“Salwa!!!"
Seorang gadis yang sedang berkutat dengan peralatan dapur hanya bisa menghela napas, saat teriakan itu mengejutkannya. Selalu saja seperti ini. Padahal, pendengarannya tidaklah bermasalah. Gegas, Salwa mematikan kompor, lalu melangkah menuju ke arah suara itu—kamar suaminya. Ya, satu minggu yang lalu, Salwa boyong dari pesantren dan ia langsung dijodohkan oleh ibunya dengan putra majikannya di kota. Padahal gadis muda itu tidak pernah bermimpi akan menikah muda. Ia masih memiliki cita-cita untuk menjadi seorang sarjana, tetapi Salwa tidak mampu menolak permintaan perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya itu. Kaif Safiraz, seorang CEO dari perusahaan ternama di Jakarta. Siapa yang tidak kenal dengan pria itu? Orang-orang selalu memujinya. Namanya sangat berpengaruh di ibu kota dan dalam dunia bisnis. Ia laki-laki tampan, memiliki tubuh atletis, bermata elang, wajah yang sempurna seperti ke-Arab-Araban. Kaif Safiras, selalu membuat siapa saja akan menunduk jika pria itu sudah murka…. Tapi, satu minggu sudah usia pernikahan antara Salwa dan Kaif nyatanya masih belum bisa menjawab rasa penasaran Salwa…. Mengapa Kaif mau dijodohkan dengan gadis kampung seperti Salwa? Dimana umur mereka terpaut 10 tahun? Seorang anak dari mantan pembantu di rumah keluarga besarnya. Belum lagi, Salwa tidak pernah melihatnya melakukan kewajiban sebagai seorang muslim. Mungkinkah dia beribadah tidak ingin dilihat orang? “Salwa! di mana kamu?!” teriaknya lagi. Salwa semakin mempercepat langkah sebab tidak ingin Kaif semakin murka. Rumah yang mereka tempati lumayan besar dan Salwa harus menaiki tangga untuk sampai di hadapan Kaif. “Iya, Tuan?” Salwa sudah berdiri di hadapan Kaif. Benar saja, mata elangnya membuat Salwa menunduk takut, meskipun pemandangan itu sudah biasa Salwa lihat? Akan tetapi, mengapa tetap saja dada Salwa bergemuruh, takut jika dia akan menyakiti dirinya lebih kejam dari pada ucapannya. Pria itu menatap Salwa dengan tatapan tajam, lalu berkata, “Lama sekali!” “Maaf, Tuan. Tadi aku lagi memasak di dapur,” kata Salwa “Sudah sering kali saya katakan padamu untuk tidak masuk ke kamar ini jika bukan perintah dari saya! Kamu mengubah letak barang-barang saya!!” hardiknya. “Ma-maaf, Tuan. Kemarin mama datang. Beliau yang menyuruh untuk melakukan itu,” jelas Salwa apa adanya. Praaang ...! Tubuh Salwa tersentak, entah sudah berapa banyak gelas kaca yang sudah ia hancurkan. Salwa tidak berani melawan, semua ini masih terasa mimpi baginya. “Saya tidak mau tahu! Kembalikan semua ke tempat semula!" perintahnya dengan suara menggelegar dan membuat Salwa terdiam. “Salwa! Apa kamu tuli?!” 'Lagi-lagi tubuh Salwa tersentak, tidak bisakah dia bicara pelan padaku?'Begitulah batin Salwa. “Ba-baik, Tuan,” ucap Salwa gugup tanpa berani menatap wajahnya Segera Salwa lakukan apa yang Kaif perintahkan. Tangan gadis muda itu bergerak lincah, tapi tidak ada yang tahu jika hati dan mentalnya hancur. Pernikahan yang dijalani tidak seindah dengan cerita novel yang suka ia baca diam-diam di pesantren. Pernikahan seperti apa ini? Dari segi panggilan saja sudah jauh, Salwa tidak memanggilnya mas, tak juga hubby, apalagi zauji. Kaif tidak menganggap Salwa sebagai istri melainkan seorang pembantu. Satu minggu ini Salwa seakan hidup dalam neraka, rumah mewah, tidak ada nilainya baginya, ia tidak butuh semua itu, yang Salwa butuhkan adalah ketenangan dan cinta dari suaminya. Kaif sudah keluar dari kamar tanpa bicara pada Salwa, pakaiannya sudah rapi, jangan lupakan tangan kanannya yang membawa tas kerja. “Nak, kini statusmu sudah berubah menjadi seorang istri. Jadilah seorang istri yang berbakti pada suamimu, Nak. Dan ingat, jangan biarkan suamimu pergi kerja dalam keadaan perut kosong,” pesan yang ibu Salwa lontarkan beberapa hari yang lalu membuat Salwa berdiri lalu menyusul suamiku. “Tuan, Tuan tunggu!” panggil Salwa Langkah Kaif terhenti, menoleh ke belakang menatap Salwa dengan tatapan tajam. Terlihat sekali jika dia tidak suka akan kehadiran Salwa. Namun, kenapa dia malah mengucapkan ijab qobul tujuh hari yang lalu, sebenarnya apa niatnya? Salwa menghela napas–memberanikan diri untuk membalas tatapan pria itu. “Tuan, sarapannya sudah siap,” ucap Salwa pada Kaif. Salwa berharap pagi ini ia mau menerima masakan yang Salwa sajikan. “Ck! Saya bisa muntah jika makan di rumah ini. Apalagi melihat wajah sok polosmu itu," cibirnya menusuk hati Salwa. “Baiklah, aku bungkus saja ya, Tuan. Nanti biar Tuan bisa makan di mobil atau di kantor. Kata mama, Tuan ada penyakit maag, tidak baik untuk kesehatan jika Tuan selalu melewatkan sarapan,” tawar Salwa masih tidak menyerah. “Mau saya mati karena kelaparan sekalipun, saya tidak sudi menyentuh masakan kampungmu itu!” ketus Kaif lalu beranjak dari hadapan Salwa. “Astaghfirullah….” Salwa meremas gamisnya sendiri dengan hati yang terasa nyeri. Sehina itukah aku di matanya? Batin Salwa. Masih sama seperti hari-hari sebelumnya, Salwa hanya bisa menatap kepergian Kaif. Kembali terlihat masakan yang Salwa masak dengan sepenuh hati lagi-lagi tidak disentuh oleh suaminya. Salwa menghela napas panjang, lantas kembali dengan aktivitasnya seperti biasa, berusaha melapangkan hati dengan apa yang sudah terjadi. Salwa selalu yakin ada hikmah di balik semua ini. Di siang hari, Mama Sofia—mama Kaif— kembali datang ke rumah. Kali ini beliau tidak sendirian. Eriana yang merupakan kakak ipar Salwa juga ikut datang ke rumah itu. Mertua Salwa ini sangat baik pada Salwa, beliau selalu perhatian. Ini adalah salah satu alasan Salwa bertahan dalam pernikahan ini. Pernikahan yang Salwa sendiri tidak tahu bagaimana masa depannya. “Apa Kaif belum mencari pembantu dan satpam?” tanya Mama Sofia tiba-tiba. “Belum, Ma,” jawab Salwa jujur. “Anak itu benar-benar, deh! Maksa banget untuk diizinkan pindah rumah. Rumah sebesar ini harus ada pembantu dan penjaga keamanan di luar! Kalau terjadi apa-apa dengan istrinya bagaimana? Apalagi dia itu super sibuk!” gerutu Sofia tampak kesal. “Sabar, Ma, Kaif pasti sedang berusaha. Sekarang itu sangat susah mencari orang yang jujur, Ma. Harus teliti jangan asal memilih,” kata Eriana. Perempuan cantik dengan berpakaian modis itu sesekali melirik Salwa dengan tatapan tidak suka. Salwa terdiam. Apakah ia berbuat salah padanya tanpa ia sadari?“Ya sudah, Mama mau pulang ya, Salwa. Ini Mama ada belikan gamis untukmu. Tadi pergi ke mall gak sengaja lihat ini, lalu keingat menantu. Langsung saja Mama beli. Semoga kamu suka ya.” Sofia tersenyum sembari memberikan paper bag di tangannya pada Salwa.Salwa mengambil paper bag itu meski merasa canggung. Baru satu minggu Salwa menjadi menantunya, tapi entah sudah berapa pakaian baru yang mertuanya itu belikan untuk Salwa.Apa orang kaya memang sebebas itu? Bebas membeli apa saja yang menarik dimatanya…Cukup lama keduanya di rumah Salwa. Bahkan, mereka menikmati masakan yang Salwa masak meski Erina masih menatap Salwa dengan tatapan tidak suka.Hanya saja, Salwa tak memedulikan itu semua dan tetap melayani mertua dan iparnya sebaik yang ia bisa.***Di malam hari, Kaif baru saja pulang kerja mendadak membuka pintu dengan kasar.Salwa dikejutkan dengan sikapnya, terlebih ia melempar uang merah beberapa lembar ke wajah Salwa yang entah berapa jumlahnya.“Dasar perempuan mu
Sayangnya, keinginan itu tak tercapai. Meski demikian, hubungan Salwa dengan Kaif tidak ada perubahan setelah perdebatan tiga bulan yang lalu. Salwa hanya bicara seperlunya saja, mendadak menjadi perempuan pendiam, padahal itu bukanlah sifatnya yang sebenarnya.Mereka memang tinggal satu atap, tapi seperti orang asing yang tak pernah saling kenal, kegiatan Salwa setiap harinya mengerjakan pekerjaan rumah, memasak meskipun Kaif tidak pernah menyentuh masakan Salwa."Ini siapa yang masak?" tanya Kaif pada pembantu di rumah itu, Bi' Maryam. Yah sesuai permintaan Sofia. Kaif mempekerjakan pembantu di rumahnya."Ini masakan nyonya, tuan," jawab Bi' Maryam."Singkirkan sampah-sampah ini, dan masak lagi, saya tunggu 15 menit," perintah Kaif.Salwa yang masih ada di dapur hanya bisa mengusap dada, padahal sudah sering kali iamendapatkan penolakan, tapi tetap saja ia terus mencoba, dengan harapan tuan Kaif akan luluh.Salwa perempuan paham akan ilmu agama, itu sebabnya berat baginya u
Salwa bingung harus bereaksi apa, selain memegang dadanya yang terasa perih mendengar tangisan wanita di hadapan Kaif–kian pecah. "Aku tahu sekarang, kamu sudah hidup bersamanya di bawah satu atap, menyentuhnya, membayangkan saja membuatku sangat hancur." Kaif menghela napas. "Aku tidak mencintainya, aku tidak sudi menyentuhnya, kami memang tinggal satu atap, tapi aku tidak melayaninya sebagai seorang istri," jujur Kaif, “perempuan kampung itu bukan seleraku. Aku bahkan tersiksa selalu bersandiwara di depan keluarga jika aku mencintainya. Mimpiku untuk membangun bahtera rumah tangga masih tetap bersamamu bukan dengan dia." Cukup sudah.Dengan nafas tidak beraturan, Salwa menjauh dari tempat itu.Padahal sudah ia tegaskan pada hatinya untuk tidak manja? Untuk tidak terbawa perasaan atas ucapan suaminya? Tapi, malam ini Salwa gagal.Nyatanya Salwa sudah mencintai, Kaif, suami yang tak pernah menginginkannya.Di sinilah Salwa berada, di kamar mandi, ia hidupkan kran air dan menangis
Di dalam mobil yang melaju cepat di jalanan Jakarta, hanya ada keheningan yang memisahkan Kaif dan Salwa. Tiada kata terucap di antara keduanya, masing-masing larut dalam dunia pikirannya sendiri. Kaif dengan tegas memegang kemudi, pandangannya lurus ke depan, seolah mencoba untuk menembus kemacetan kota yang tak pernah tidur ini. Salwa, di sisi lain, terus menatap keluar jendela, mengamati pemandangan yang baginya tampak lebih menarik daripada kekacauan emosional yang ia alami saat ini. Di dalam dadanya, perih masih terasa membara. Berbagai upaya telah ia lakukan untuk menepis rasa sakit itu, tetapi semua terasa sia-sia. Pada akhirnya, Kaif memutuskan untuk memecah keheningan. "Kau tahu, perempuan cantik tadi?" suaranya cukup untuk membuat Salwa mengalihkan pandangannya sejenak dari jendela. Walaupun hatinya gundah, pendengarannya tajam menangkap setiap kata yang diucapkan Kaif. "Dia Hana Salsabila, perempuan pintar, cerdas, dan baik. Dan yang paling penting, dia adalah cint
"Uh, gimana ya." Salwa menggigit bibirnya, ragu. Perasaannya berkecamuk, antara ingin menerima atau menolak secara halus. "Mbak, please..." lanjut Fatih, matanya semakin memohon. Akhirnya, Salwa mengangguk perlahan. Dia kemudian melangkah menuju mobil tempat Bi Maryam sudah menunggu. "Bibi pulang dulu saja ya, aku mau makan siang dengan adik kelasku dulu," beritahu Salwa pada Bi Maryam. "Bagaimana jika kami menunggu nyonya," tawar Bi Maryam. "Tidak perlu Bi, nanti aku pesan taxi saja, bibi pulang dulu," suruh Salwa. "Baik, nyonya." Bi' Maryam mengangguk patuh. "Hati-hati ya, nyonya," tambahnya. *** Di restoran, Salwa dan Fatih, kini duduk berhadapan. Suasana semakin hangat ketika Fatih mulai bercerita, mendominasi pembicaraan. Dia mengamati Salwa dengan tatapan kagum. Akan tetapi, istri Kaif itu tak menyadarinya. "Aku perhatikan sepertinya banyak hal yang sudah terjadi dalam hidup Mbak, mbak Salwa baik-baik saja kan?" tanyanya dengan nada penuh kepedulian. "A
Kaif tersenyum mengejek lalu berkata, "Jika bukan perempuan murahan lalu perempuan yang bagaimana? Perempuan rendahan, perempuan kotor, perempuan pezina, perempuan apa lagi, kamu adalah perempuan yang tidak memiliki harga diri, murahan!""Ya Allah," ucap Salwa sembari tangannya menyentuh dadanya yang terasa tersayat karena setiap ucapan Kaif. Dimata Kaif Salwa seperti tidak ada harga dirinya, padahal Salwa baru pertama kali bertemu dengan seorang pria, itupun bukanlah kekasih gelapnya seperti yang dituduhkan, tapi adik kelas yang Salwa anggap seperti adiknya sendiri."Seharusnya kamu katakan dari awal jika kamu memiliki kekasih, saya pasti akan mempermudah kamu untuk bertemu dengannya, tapi kamu lakukan dengan cara diam-diam, sok-sokan izin ke supermarket tapi ternyata." Kaif geleng-geleng kepala, tidak habis fikir dengan apa yang dilihatnya."Rencana selanjutnya kalian apa? Jika saja saya tidak memergoki kalian, pasti kalian akan melakukan cek in, benar begitu bukan?""Tolong beri a
Ponsel Kaif berbunyi, segera pria itu keluar dari kamar dengan membanting pintu. Kaif masih memiliki kesadaran untuk tidak berbuat lebih pada Salwa, karena jika ia sampai kehilangan kendali maka dirinya sendiri yang akan rugi. Tubuh Salwa luruh ke lantai, ucapan Kaif sungguh sangat menyakitkan, pria itu menuduhnya tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. *** "Kamu kemana saja sih, Kaif. Kamu mengajak aku makan siang tapi kamu yang meninggalkan aku sendiri di restoran," gerutu Hana dari balik telepon. Kaif mengusap wajahnya dengan kasar, emosinya membuat ia lupa dengan sang kekasih yang masih ada di restoran. "Maafkan aku, kamu dimana sekarang? aku jemput ya?" tawar Kaif, suaranya terdengar lembut sangat berbeda saat berbicara pada Salwa. "Tidak usah, aku sudah pesan taxi," tolak Hana. "lain kali kalau tidak memiliki niat membawa aku makan siang, gak usah sama sekali," ketus Hana, suara gadis di balik telepon itu terdengar sangat kesal. "Maafkan a—" Belum selesai, Kai
Kaif menatap wajah Salwa dengan tatapan yang menusuk, suaranya rendah namun jelas. "Masuk ke kamarmu, saya tidak memiliki waktu untuk berdebat dengan kamu." "Aku bukan ingin berdebat denganmu, Mas. Aku hanya meminta untuk dihargai layaknya seorang istri," sahut Salwa dengan suara bergetar. Kaif menarik nafas dalam-dalam, nadanya meninggi, "Koreksi cara bicaramu itu dan ingatlah posisimu, Salwa! Kamu hanya anak pembantu dan tak lebih dari itu," ucapnya tegas. "Apa kesalahanku, Mas? Mengapa kau berlaku sekejam ini, sampai-sampai aku tak boleh memanggilmu 'Mas' ketika kita berdua? Sampai kapan kau akan terus memperlakukanku seperti ini?" rintih Salwa sambil mendekati Kaif, matanya sudah berkaca-kaca. "Jika tak menginginkan aku bukan? Maka, ceraikan saja aku, Tuan," pintanya dengan nada penuh penekanan, menggantikan sapaan 'Mas' dengan 'Tuan'. Kaif mengangkat satu alis, sinis. "Kamu seorang santri, harusnya kamu paham tentang hukum Islam mengenai istri yang meminta cerai dari s
Di kamar Sallwa, Kaif sedang berbicara lewat telepon dengan kekasihnya, Hana. "Kenapa harus ambil kontrak itu, Hana? Kamu baru saja keluar dari rumah sakit. Jika butuh uang, katakan saja padaku," kata Kaif dengan suara penuh kekhawatiran. "Tidak, Kaif. Aku hanya akan menerima uangmu bila aku sudah resmi menjadi istrimu. Tapi saat ini," jawab Hana dari ujung sana, suaranya bergetar. "Maaf, Hana. Aku juga tidak ingin menggantung hubungan kita, tapi kamu tahu sendirikan bagaimana mama. Apalagi, kamu tidak ingin menjadi istri kedua," ucap Kaif. Kaif tak menyadari bahwa setiap kata yang terucap terdengar jelas oleh Salwa, gadis berhijab yang berdiri di balik pintu yang tak tertutup sempurna. Hati Salwa berdesir, merasakan luka yang mendalam; bibir bawahnya tergigit kuat, menahan ledakan emosi yang siap meledak. Kaif menutup percakapannya dan menaruh teleponnya. Saat itulah Salwa memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, Kaif seperti tidak peduli dengan kehadiran Salwa di kamar itu.Kama
Belum, Bi," jawab Salwa dengan suara yang tetap tenang, hatinya telah berlapis baja menghadapi pertanyaan seperti ini. "Kalian pakai KB ya?" usik Bi Seli lagi dengan tatapan penuh penasaran. "Tidak, Bi," jawab Salwa singkat, merasa sedikit tersudut. Dengan lembut, Bu Seli meraih bahu Salwa, "Sudahlah, jangan kau pikirkan. Pernikahan kalian masih muda, nikmatilah masa-masa ini dengan suami. Saat waktunya tepat, Insya Allah, Allah akan mengirimkan kalian seorang anak yang lucu-lucu." Kata-kata Bi Seli mengalir bagaikan hembusan angin yang menyejukkan, membuat hati Salwa menghangat.Salwa tersenyum, kepalanya mengangguk. Inilah yang ia sukai dengan kehidupan di kampungnya, orang-orang di kampung kelahirannya, saling bahu-membahu dan saling menguatkan bukan saling menghakimi.Percakapan itu tak luput dari pendengaran Kaif, tapi pria itu hanya diam tanpa suara.Di keheningan malam yang menyerupai dua malam sebelumnya, Salwa berniat tidur bersama ibunya. Namun, kehendak Saida malam ini
Setelah dua hari berada di rumah kelahirannya, kebahagiaan meluap dari raut wajah Salwa. Senyumnya cerah bak mentari pagi, dan ia bisa berlaku apa adanya di sisi ibu serta saudara-saudarinya. Lihatlah bagaimana ia dilarang menyentuh apapun di dapur, Laila dan Siti, istri Hadi, selalu sigap memanjakan adik mereka itu. Kepulangan Salwa menyuntikkan semangat baru bagi Saida, ibu mereka yang sudah beranjak tua. Kini, perempuan itu bersemangat meninggalkan peraduan yang sebelumnya menjadi pengapnya selama berhari-hari. Semua perubahan ini tidak luput dari mata Kaif, yang juga diawasi oleh mata-mata lain dalam keluarga. Meski di rumah itu semuanya nampak sederhana, Kaif merasakan kedamaian yang mendalam saat dikelilingi hangatnya keluarga Salwa. Bahagia merebak di udara kampung, beberapa tetangga berdatangan hanya untuk mengetahui kabar dari Salwa. Semua ini sangat berbeda dari hiruk-pikuk kota, tempat manusia terjebak dalam pusaran pencapaian pribadi. Keakraban dan kehangatan persaud
Dua hari telah berlalu setelah kejadian malam itu. Tidak ada lagi pembicaraan di antara Kaif dan Salwa. Malam itu Sofia langsung pulang setelah mengatakan pada Salwa untuk bertahan sebentar lagi. Perempuan paruh baya itu masih berharap pernikahan Kaif dan Salwa akan bertahan. Di malam hari, Salwa mendapat telepon dari kampung bahwa ibunya sedang sakit. Salwa bingung karena hari sudah malam dan ia belum pernah pulang ke kampung setelah menikah. Ia tidak tahu harus pulang bagaimana. Tanpa pilihan lain, Salwa menghampiri Kaif. "Tuan, aku baru mendapat telepon bahwa ibu sedang sakit di kampung, aku minta izin untuk pulang," ujar Salwa. Kaif menghentikan pergerakan tangannya yang sedang sibuk mengutak-atik keyboard laptop. Pria itu mengalihkan pandangan pada Salwa. "Apakah pekerjaanmu di rumah ini sudah selesai?" tanya Kaif tanpa belas kasih. "Sudah, semuanya sudah aku kerjakan, Tuan," ucap Salwa. "Yah, pergi saja!" "Terima kasih," ucap Salwa dengan lega. Meskipun dalam hati k
Kaif menatap wajah Salwa dengan tatapan yang menusuk, suaranya rendah namun jelas. "Masuk ke kamarmu, saya tidak memiliki waktu untuk berdebat dengan kamu." "Aku bukan ingin berdebat denganmu, Mas. Aku hanya meminta untuk dihargai layaknya seorang istri," sahut Salwa dengan suara bergetar. Kaif menarik nafas dalam-dalam, nadanya meninggi, "Koreksi cara bicaramu itu dan ingatlah posisimu, Salwa! Kamu hanya anak pembantu dan tak lebih dari itu," ucapnya tegas. "Apa kesalahanku, Mas? Mengapa kau berlaku sekejam ini, sampai-sampai aku tak boleh memanggilmu 'Mas' ketika kita berdua? Sampai kapan kau akan terus memperlakukanku seperti ini?" rintih Salwa sambil mendekati Kaif, matanya sudah berkaca-kaca. "Jika tak menginginkan aku bukan? Maka, ceraikan saja aku, Tuan," pintanya dengan nada penuh penekanan, menggantikan sapaan 'Mas' dengan 'Tuan'. Kaif mengangkat satu alis, sinis. "Kamu seorang santri, harusnya kamu paham tentang hukum Islam mengenai istri yang meminta cerai dari s
Ponsel Kaif berbunyi, segera pria itu keluar dari kamar dengan membanting pintu. Kaif masih memiliki kesadaran untuk tidak berbuat lebih pada Salwa, karena jika ia sampai kehilangan kendali maka dirinya sendiri yang akan rugi. Tubuh Salwa luruh ke lantai, ucapan Kaif sungguh sangat menyakitkan, pria itu menuduhnya tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. *** "Kamu kemana saja sih, Kaif. Kamu mengajak aku makan siang tapi kamu yang meninggalkan aku sendiri di restoran," gerutu Hana dari balik telepon. Kaif mengusap wajahnya dengan kasar, emosinya membuat ia lupa dengan sang kekasih yang masih ada di restoran. "Maafkan aku, kamu dimana sekarang? aku jemput ya?" tawar Kaif, suaranya terdengar lembut sangat berbeda saat berbicara pada Salwa. "Tidak usah, aku sudah pesan taxi," tolak Hana. "lain kali kalau tidak memiliki niat membawa aku makan siang, gak usah sama sekali," ketus Hana, suara gadis di balik telepon itu terdengar sangat kesal. "Maafkan a—" Belum selesai, Kai
Kaif tersenyum mengejek lalu berkata, "Jika bukan perempuan murahan lalu perempuan yang bagaimana? Perempuan rendahan, perempuan kotor, perempuan pezina, perempuan apa lagi, kamu adalah perempuan yang tidak memiliki harga diri, murahan!""Ya Allah," ucap Salwa sembari tangannya menyentuh dadanya yang terasa tersayat karena setiap ucapan Kaif. Dimata Kaif Salwa seperti tidak ada harga dirinya, padahal Salwa baru pertama kali bertemu dengan seorang pria, itupun bukanlah kekasih gelapnya seperti yang dituduhkan, tapi adik kelas yang Salwa anggap seperti adiknya sendiri."Seharusnya kamu katakan dari awal jika kamu memiliki kekasih, saya pasti akan mempermudah kamu untuk bertemu dengannya, tapi kamu lakukan dengan cara diam-diam, sok-sokan izin ke supermarket tapi ternyata." Kaif geleng-geleng kepala, tidak habis fikir dengan apa yang dilihatnya."Rencana selanjutnya kalian apa? Jika saja saya tidak memergoki kalian, pasti kalian akan melakukan cek in, benar begitu bukan?""Tolong beri a
"Uh, gimana ya." Salwa menggigit bibirnya, ragu. Perasaannya berkecamuk, antara ingin menerima atau menolak secara halus. "Mbak, please..." lanjut Fatih, matanya semakin memohon. Akhirnya, Salwa mengangguk perlahan. Dia kemudian melangkah menuju mobil tempat Bi Maryam sudah menunggu. "Bibi pulang dulu saja ya, aku mau makan siang dengan adik kelasku dulu," beritahu Salwa pada Bi Maryam. "Bagaimana jika kami menunggu nyonya," tawar Bi Maryam. "Tidak perlu Bi, nanti aku pesan taxi saja, bibi pulang dulu," suruh Salwa. "Baik, nyonya." Bi' Maryam mengangguk patuh. "Hati-hati ya, nyonya," tambahnya. *** Di restoran, Salwa dan Fatih, kini duduk berhadapan. Suasana semakin hangat ketika Fatih mulai bercerita, mendominasi pembicaraan. Dia mengamati Salwa dengan tatapan kagum. Akan tetapi, istri Kaif itu tak menyadarinya. "Aku perhatikan sepertinya banyak hal yang sudah terjadi dalam hidup Mbak, mbak Salwa baik-baik saja kan?" tanyanya dengan nada penuh kepedulian. "A
Di dalam mobil yang melaju cepat di jalanan Jakarta, hanya ada keheningan yang memisahkan Kaif dan Salwa. Tiada kata terucap di antara keduanya, masing-masing larut dalam dunia pikirannya sendiri. Kaif dengan tegas memegang kemudi, pandangannya lurus ke depan, seolah mencoba untuk menembus kemacetan kota yang tak pernah tidur ini. Salwa, di sisi lain, terus menatap keluar jendela, mengamati pemandangan yang baginya tampak lebih menarik daripada kekacauan emosional yang ia alami saat ini. Di dalam dadanya, perih masih terasa membara. Berbagai upaya telah ia lakukan untuk menepis rasa sakit itu, tetapi semua terasa sia-sia. Pada akhirnya, Kaif memutuskan untuk memecah keheningan. "Kau tahu, perempuan cantik tadi?" suaranya cukup untuk membuat Salwa mengalihkan pandangannya sejenak dari jendela. Walaupun hatinya gundah, pendengarannya tajam menangkap setiap kata yang diucapkan Kaif. "Dia Hana Salsabila, perempuan pintar, cerdas, dan baik. Dan yang paling penting, dia adalah cint