Di dalam mobil yang melaju cepat di jalanan Jakarta, hanya ada keheningan yang memisahkan Kaif dan Salwa.
Tiada kata terucap di antara keduanya, masing-masing larut dalam dunia pikirannya sendiri. Kaif dengan tegas memegang kemudi, pandangannya lurus ke depan, seolah mencoba untuk menembus kemacetan kota yang tak pernah tidur ini. Salwa, di sisi lain, terus menatap keluar jendela, mengamati pemandangan yang baginya tampak lebih menarik daripada kekacauan emosional yang ia alami saat ini. Di dalam dadanya, perih masih terasa membara. Berbagai upaya telah ia lakukan untuk menepis rasa sakit itu, tetapi semua terasa sia-sia. Pada akhirnya, Kaif memutuskan untuk memecah keheningan. "Kau tahu, perempuan cantik tadi?" suaranya cukup untuk membuat Salwa mengalihkan pandangannya sejenak dari jendela. Walaupun hatinya gundah, pendengarannya tajam menangkap setiap kata yang diucapkan Kaif. "Dia Hana Salsabila, perempuan pintar, cerdas, dan baik. Dan yang paling penting, dia adalah cinta pertama saya dan juga akan menjadi cinta terakhir saya," lanjut Kaif, sambil mata masih terpaku pada jalanan yang terbentang di depannya. Dalam sekejap, pernyataan itu seakan menjadi pukulan telak yang semakin menghancurkan hati Salwa yang sudah remuk. Salwa memejamkan mata sekejap, menikmati rasa sakit yang kembali Kaif ciptakan "Apa kamu tuli? Kenapa kamu hanya diam?!" gertak Kaif membuat Salwa terlonjak kaget. Dengan perlahan, Salwa menatap Kaif lalu berkata, "Aku tidak tahu harus bicara apa, tuan." Netra mereka sempat beradu, tatapan tajam Kaif dan tatapan lembut Salwa, Kaif segera mengalihkan pandangan, fokus dengan jalan di depan sana sedangkan Salwa dengan diam-diam meremas gamisnya menahan rasa sakit yang tak mampu ia ungkapkan. Tanpa terasa, hari-hari di rumah itu berlalu monoton. Sepi tanpa perubahan. Kaif, dengan sikap acuh tak acuhnya, masih belum bisa menerima kehadiran Salwa. Usai sarapan, sambil membersihkan piring di dapur, Salwa memberanikan menghampiri Kaif yang baru menyelesaikan sarapannya. "Tuan, aku mau izin ikut Bi Maryam ke supermarket, ya," ucapnya ragu-ragu. Kaif yang tengah mengelap tangannya dengan tisu menautkan alisnya, tatapan matanya tajam menyelidik. Salwa tetap tenang, dia sudah terbiasa dengan tatapan itu. "Memangnya saya bapakmu? Suara burukmu itu merusak ketenangan pagiku," jawab Kaif dengan nada ketus. Salwa tersentak, namun suaranya tetap halus, "Maaf, tuan. Tuan adalah suamiku dan aku tidak bisa keluar rumah tanpa izin suamiku." Kaif mendengus kesal, tatapannya mulai tertuju paada Salwa membuat Salwa langsung menunduk "Pergi saja, dan jika perlu tidak usah kembali. Merepotkan," cetusnya. Salwa semakin menunduk, bibirnya terkatup rapat, setiap kata dari Kaif selalu menyayat hatinya yang sudah lara. "Aku ke dalam dulu, Tuan. Jika butuh apa-apa, panggil saja aku," katanya sambil berlalu pergi dari hadapan Kaif. Diam-diam Kaif melihat punggung Salwa yang mulai menjauh dari penglihatannya, ia geleng-geleng kepala lalu bergumam. "Perempuan tidak memiliki hati, sudah aku kasari, bentak, tapi masih saja diam begitu, sampai kapan kamu betah dalam sandiwaramu, perempuan kampung." Kaif jadi penasaran, sampai sejauh mana topeng itu digunakan wanita berstatus istrinya itu? Sementara itu, Salwa dan Bi' Maryam berbelanja kebutuhan di supermarket. Ada banyak yang harus dibeli. Begitu selesai, kedua perempuan berbeda usia itu lantas membawa hasil belanjaannya. Namun, saat Salwa dan Bi' Maryam ingin memasuki mobil, tiba-tiba ada yang memanggil nama Salwa. "Mbak Salwa, ini benar mbak kan?" Mendengar suara bariton itu, Salwa mengangguk. Ia merasa tidak asing depan pria tinggi di depannya itu. Tapi, siapa? "Mbak lupa aku ya, aku itu adik kelas mbak waktu di pesantren itu loh, yang waktu itu mbak kasih aku uang karena uangku hilang, lalu lucunya aku ngangkat mbak menjadi kakak angkat aku," ujarnya penuh semangat. Hah? "Masya Allah, dik Fatih, ya kan?" tebak Salwa. Senyuman Salwa mengembang, Fatih adalah adik kelasnya waktu di Pesantren dulu, mereka sangat dekat seperti kakak adik. "Tepat sekali, gak nyangka bisa ketemu dengan mbak Salwa di sini," ucap Fatih. "Kenapa dik Fatih ada di sini?" tanya Salwa. "Aku sudah berhenti dari Pesantren, mbak, karena orang tuaku pindah ke kota ini, jadi aku sekolahnya di sini, yah meskipun tidak lagi menjadi santri," jelas Fatih. Salwa mengangguk-angguk. "Mbak, aku mau traktir mbak makan siang hari ini, tolong jangan menolak ya, mbak." Fatih tiba-tiba menatap Salwa dengan mata yang penuh harap. Bersambung"Uh, gimana ya." Salwa menggigit bibirnya, ragu. Perasaannya berkecamuk, antara ingin menerima atau menolak secara halus. "Mbak, please..." lanjut Fatih, matanya semakin memohon. Akhirnya, Salwa mengangguk perlahan. Dia kemudian melangkah menuju mobil tempat Bi Maryam sudah menunggu. "Bibi pulang dulu saja ya, aku mau makan siang dengan adik kelasku dulu," beritahu Salwa pada Bi Maryam. "Bagaimana jika kami menunggu nyonya," tawar Bi Maryam. "Tidak perlu Bi, nanti aku pesan taxi saja, bibi pulang dulu," suruh Salwa. "Baik, nyonya." Bi' Maryam mengangguk patuh. "Hati-hati ya, nyonya," tambahnya. *** Di restoran, Salwa dan Fatih, kini duduk berhadapan. Suasana semakin hangat ketika Fatih mulai bercerita, mendominasi pembicaraan. Dia mengamati Salwa dengan tatapan kagum. Akan tetapi, istri Kaif itu tak menyadarinya. "Aku perhatikan sepertinya banyak hal yang sudah terjadi dalam hidup Mbak, mbak Salwa baik-baik saja kan?" tanyanya dengan nada penuh kepedulian. "A
Kaif tersenyum mengejek lalu berkata, "Jika bukan perempuan murahan lalu perempuan yang bagaimana? Perempuan rendahan, perempuan kotor, perempuan pezina, perempuan apa lagi, kamu adalah perempuan yang tidak memiliki harga diri, murahan!""Ya Allah," ucap Salwa sembari tangannya menyentuh dadanya yang terasa tersayat karena setiap ucapan Kaif. Dimata Kaif Salwa seperti tidak ada harga dirinya, padahal Salwa baru pertama kali bertemu dengan seorang pria, itupun bukanlah kekasih gelapnya seperti yang dituduhkan, tapi adik kelas yang Salwa anggap seperti adiknya sendiri."Seharusnya kamu katakan dari awal jika kamu memiliki kekasih, saya pasti akan mempermudah kamu untuk bertemu dengannya, tapi kamu lakukan dengan cara diam-diam, sok-sokan izin ke supermarket tapi ternyata." Kaif geleng-geleng kepala, tidak habis fikir dengan apa yang dilihatnya."Rencana selanjutnya kalian apa? Jika saja saya tidak memergoki kalian, pasti kalian akan melakukan cek in, benar begitu bukan?""Tolong beri a
Ponsel Kaif berbunyi, segera pria itu keluar dari kamar dengan membanting pintu. Kaif masih memiliki kesadaran untuk tidak berbuat lebih pada Salwa, karena jika ia sampai kehilangan kendali maka dirinya sendiri yang akan rugi. Tubuh Salwa luruh ke lantai, ucapan Kaif sungguh sangat menyakitkan, pria itu menuduhnya tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. *** "Kamu kemana saja sih, Kaif. Kamu mengajak aku makan siang tapi kamu yang meninggalkan aku sendiri di restoran," gerutu Hana dari balik telepon. Kaif mengusap wajahnya dengan kasar, emosinya membuat ia lupa dengan sang kekasih yang masih ada di restoran. "Maafkan aku, kamu dimana sekarang? aku jemput ya?" tawar Kaif, suaranya terdengar lembut sangat berbeda saat berbicara pada Salwa. "Tidak usah, aku sudah pesan taxi," tolak Hana. "lain kali kalau tidak memiliki niat membawa aku makan siang, gak usah sama sekali," ketus Hana, suara gadis di balik telepon itu terdengar sangat kesal. "Maafkan a—" Belum selesai, Kai
Kaif menatap wajah Salwa dengan tatapan yang menusuk, suaranya rendah namun jelas. "Masuk ke kamarmu, saya tidak memiliki waktu untuk berdebat dengan kamu." "Aku bukan ingin berdebat denganmu, Mas. Aku hanya meminta untuk dihargai layaknya seorang istri," sahut Salwa dengan suara bergetar. Kaif menarik nafas dalam-dalam, nadanya meninggi, "Koreksi cara bicaramu itu dan ingatlah posisimu, Salwa! Kamu hanya anak pembantu dan tak lebih dari itu," ucapnya tegas. "Apa kesalahanku, Mas? Mengapa kau berlaku sekejam ini, sampai-sampai aku tak boleh memanggilmu 'Mas' ketika kita berdua? Sampai kapan kau akan terus memperlakukanku seperti ini?" rintih Salwa sambil mendekati Kaif, matanya sudah berkaca-kaca. "Jika tak menginginkan aku bukan? Maka, ceraikan saja aku, Tuan," pintanya dengan nada penuh penekanan, menggantikan sapaan 'Mas' dengan 'Tuan'. Kaif mengangkat satu alis, sinis. "Kamu seorang santri, harusnya kamu paham tentang hukum Islam mengenai istri yang meminta cerai dari s
Dua hari telah berlalu setelah kejadian malam itu. Tidak ada lagi pembicaraan di antara Kaif dan Salwa. Malam itu Sofia langsung pulang setelah mengatakan pada Salwa untuk bertahan sebentar lagi. Perempuan paruh baya itu masih berharap pernikahan Kaif dan Salwa akan bertahan. Di malam hari, Salwa mendapat telepon dari kampung bahwa ibunya sedang sakit. Salwa bingung karena hari sudah malam dan ia belum pernah pulang ke kampung setelah menikah. Ia tidak tahu harus pulang bagaimana. Tanpa pilihan lain, Salwa menghampiri Kaif. "Tuan, aku baru mendapat telepon bahwa ibu sedang sakit di kampung, aku minta izin untuk pulang," ujar Salwa. Kaif menghentikan pergerakan tangannya yang sedang sibuk mengutak-atik keyboard laptop. Pria itu mengalihkan pandangan pada Salwa. "Apakah pekerjaanmu di rumah ini sudah selesai?" tanya Kaif tanpa belas kasih. "Sudah, semuanya sudah aku kerjakan, Tuan," ucap Salwa. "Yah, pergi saja!" "Terima kasih," ucap Salwa dengan lega. Meskipun dalam hati k
Setelah dua hari berada di rumah kelahirannya, kebahagiaan meluap dari raut wajah Salwa. Senyumnya cerah bak mentari pagi, dan ia bisa berlaku apa adanya di sisi ibu serta saudara-saudarinya. Lihatlah bagaimana ia dilarang menyentuh apapun di dapur, Laila dan Siti, istri Hadi, selalu sigap memanjakan adik mereka itu. Kepulangan Salwa menyuntikkan semangat baru bagi Saida, ibu mereka yang sudah beranjak tua. Kini, perempuan itu bersemangat meninggalkan peraduan yang sebelumnya menjadi pengapnya selama berhari-hari. Semua perubahan ini tidak luput dari mata Kaif, yang juga diawasi oleh mata-mata lain dalam keluarga. Meski di rumah itu semuanya nampak sederhana, Kaif merasakan kedamaian yang mendalam saat dikelilingi hangatnya keluarga Salwa. Bahagia merebak di udara kampung, beberapa tetangga berdatangan hanya untuk mengetahui kabar dari Salwa. Semua ini sangat berbeda dari hiruk-pikuk kota, tempat manusia terjebak dalam pusaran pencapaian pribadi. Keakraban dan kehangatan persaud
Belum, Bi," jawab Salwa dengan suara yang tetap tenang, hatinya telah berlapis baja menghadapi pertanyaan seperti ini. "Kalian pakai KB ya?" usik Bi Seli lagi dengan tatapan penuh penasaran. "Tidak, Bi," jawab Salwa singkat, merasa sedikit tersudut. Dengan lembut, Bu Seli meraih bahu Salwa, "Sudahlah, jangan kau pikirkan. Pernikahan kalian masih muda, nikmatilah masa-masa ini dengan suami. Saat waktunya tepat, Insya Allah, Allah akan mengirimkan kalian seorang anak yang lucu-lucu." Kata-kata Bi Seli mengalir bagaikan hembusan angin yang menyejukkan, membuat hati Salwa menghangat.Salwa tersenyum, kepalanya mengangguk. Inilah yang ia sukai dengan kehidupan di kampungnya, orang-orang di kampung kelahirannya, saling bahu-membahu dan saling menguatkan bukan saling menghakimi.Percakapan itu tak luput dari pendengaran Kaif, tapi pria itu hanya diam tanpa suara.Di keheningan malam yang menyerupai dua malam sebelumnya, Salwa berniat tidur bersama ibunya. Namun, kehendak Saida malam ini
Di kamar Sallwa, Kaif sedang berbicara lewat telepon dengan kekasihnya, Hana. "Kenapa harus ambil kontrak itu, Hana? Kamu baru saja keluar dari rumah sakit. Jika butuh uang, katakan saja padaku," kata Kaif dengan suara penuh kekhawatiran. "Tidak, Kaif. Aku hanya akan menerima uangmu bila aku sudah resmi menjadi istrimu. Tapi saat ini," jawab Hana dari ujung sana, suaranya bergetar. "Maaf, Hana. Aku juga tidak ingin menggantung hubungan kita, tapi kamu tahu sendirikan bagaimana mama. Apalagi, kamu tidak ingin menjadi istri kedua," ucap Kaif. Kaif tak menyadari bahwa setiap kata yang terucap terdengar jelas oleh Salwa, gadis berhijab yang berdiri di balik pintu yang tak tertutup sempurna. Hati Salwa berdesir, merasakan luka yang mendalam; bibir bawahnya tergigit kuat, menahan ledakan emosi yang siap meledak. Kaif menutup percakapannya dan menaruh teleponnya. Saat itulah Salwa memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, Kaif seperti tidak peduli dengan kehadiran Salwa di kamar itu.Kama
Salwa dengan lembut mengambil Al Qur'an terjemah yang selalu berada di sampingnya setiap malam, sebuah ritual yang telah menjadi bagian dari jiwa dan rutinitasnya. Di bawah sinar rembulan yang menerobos jendela, momen itu terasa begitu sakral, berbeda dari sebelumnya. Dahulu, Salwa selalu seorang diri dalam keteduhan malam, namun malam ini, ia ditemani oleh sang suami tercinta, Kaif, meskipun ia hanya terlelap dalam tidurnya. Sambil membaca ayat-ayat suci dengan lirih, Salwa merasakan kedamaian yang menyelubungi ruang hatinya. Tangan kirinya bergerak lembut, mengelus kepala Kaif dengan penuh kasih, memberi rasa tenang dan kedamaian pada tidurnya. Kehadiran Kaif, meski dalam kebisuan tidur, memberikan kebahagiaan yang tidak terkira bagi Salwa. Suasana hening malam itu semakin membuat setiap kata yang terucap dari Al Qur'an membawa Salwa ke dalam kedalaman kontemplasi dan rasa syukur yang mendalam. Kehadiran mereka berdua dalam doa dan cinta, menjadikan malam itu tak terlupakan, s
Salwa terjaga dari tidurnya yang tidak biasanya begitu lelap. Ada perasaan aneh menggelayuti pikirannya saat ia menyadari ada sesuatu yang berbeda malam ini. Meski biasanya ia sering terbangun di tengah malam, namun kali ini tubuhnya begitu nyaman dan tidak terganggu sama sekali. Seraya mencoba bangkit, tiba-tiba Salwa terhenyak, sebuah tangan kuat melingkar di perutnya. Dengan detak jantung yang berpacu, ia menoleh dan mendapati Kaif, pria yang kini ada di sampingnya. Dalam kebingungan dan sedikit rasa sesal, Salwa menyesali dirinya sendiri karena telah melupakan bahwa ia kini berada di Jakarta, dan lebih lagi, di kamar Kaif, rumah ibunya, Sofia. Salwa menatap Kaif yang masih terlelap di sampingnya, tangan besar pria itu hangat di perutnya. Mungkin, pikirnya, itulah yang membuat tidurnya terasa berbeda malam ini. Perlahan, dengan gerakan yang hampir tidak terdengar, Salwa berusaha melepaskan tangan Kaif dari perutnya. Ia berniat pergi ke kamar mandi, namun baru saja menyentuh le
"Istrimu sudah tidur, Kaif. Lebih baik l bermalam di sini saja," ucap Sofia lembut pada putranya yang baru saja tiba. Kaif mengangguk lelah. "Hari ini, energiku benar-benar terkuras habis, Ma."Jaga kesehatanmu, Nak. Kamu itu belum sembuh total," nasihat Sofia. "Kamu sudah makan malam belum?" Sofia bertanya pada putranya, penuh kekhawatiran. "Udah, Ma. Tadi sempat makan di kantor," jawab Kaif, suaranya lesu. "Baiklah, kamu mandi dan istirahatlah," kata Sofia. Kaif mengangguk, lalu melangkah menuju kamar. Begitu pintu kamar dibuka, suasana senyap menyambut Kaif. Di atas ranjang oper size, terlihat Salwa yang tertidur pulas, seolah sedang dalam pelukan mimpi. Cahaya kamar, menerangi wajah damai istrinya yang menjadi penawar lelah. Kaif tersenyum, seketika merasa semua kepenatan seolah terhapus. Berjalan hati-hati, ia meletakkan tas kerjanya, mengambil pakaian ganti dan melangkah ke kamar mandi, berusaha sebaik mungkin untuk tidak membangunkan mimpi indah yang sedang dijalani
"Ada apa, Bu?" tanya Bu Dokter dengan suara lembut sambil menatap Salwa yang terlihat sokKeterkejutan Salwa begitu nyata saat mendengar ucapan frontal Kaif, pria itu benar-benar tidak tahu tempat. Untuk saja dokter kandungan itu tidak mendengar."Oh, tidak, tidak ada yang salah, Dokter," jawab Salwa dengan suara kikuk, memaksakan senyum yang tak sempurna sementara Kaif hanya menampilkan senyum samar yang seolah menyembunyikan rahasia besar.Setelah meninggalkan ruangan dokter kandungan dan menebus obat, langkah mereka langsung pulang ke rumah. Tiba di depan pintu, Sofia, dengan tangan yang lembut, menarik lembut tangan menantunya."Kalian benaran tidak ingin menginap di rumah ini malam ini? Sungguh, rindu sekali Mama pada menantu cantik mama," tuturnya dengan suara yang meluapkan kerinduan mendalam.Salwa menoleh kepada suaminya, menunggu jawaban dari pria tampan itu. Raut wajah Kaif memendarkan keengganan, seakan mempertimbangkan seribu satu hal dalam benaknya sebelum akhirnya menja
"Oh, maaf maaf, Kak." Eriana segera berbalik, membelakangi Kaif dan Salwa."Ck, ganggu saja," gerutu Kaif tertuju pada Eriana. Sedangkan Salwa menunduk dengan wajah merona, Malu. Bagaimana ia tidak malu, jika adik iparnya itu melihat dirinya dan Kaif dalam posisi yang begitu intim."Maaf, Kak," ucap Eriana sekali lagi. Hubungan Eriana dan Kaif tidak terlalu baik, ia jadi semakin kawatir saudaranya itu akan semakin benci padanya."Itu, Kak. Di depan ada dokter yang mau memeriksa keadaan kak Kaif," ujar Eriana."Untuk apa dokter, suruh pulang saja dia. Saya sudah punya dokter pribadi," kata Kaif dengan santainya sembari melirik pada Salwa yang masih menunduk."Keluar kamu, dan tutup pintunya," perintah Kaif.Eriana nurut, perempuan itu langsung keluar dan menutup pintu kamar Salwa dengan rapat.Salwa melihat banyak perubahan yang terjadi pada Eriana. Dia tidak seperti Eriana yang Salwa kenal."Mas." Salwa terlonjak kaget, saat Kaif tiba-tiba menarik tubuhnya dalam pelukannya."Mas masi
"Mas tanganmu terluka!" Seruan itu pecah di keheningan kamar saat Salwa menyentuh punggung tangan Syakir yang tampak memar. Pria itu, Kaif, kini duduk di pinggir ranjang Tangan Kaif yang lebam itu seakan melukis kesakitan di matanya. "Ini hanya luka kecil, tak perlu khawatir," Kaif mencoba menenangkan, sambil membiarkan tangan hangat Salwa menelusuri lebamnya. Wajah Salwa, yang sedang hamil, menyiratkan kekhawatiran mendalam, lebih dari yang seharusnya untuk luka sekecil itu. "Pasti sakit, ya? Maaf, Mas," suara Salwa bergetar, mata berkaca-kaca menatap Kaif, menyuarakan kepedulian dan kegentaran seorang ibu hamil yang hormonnya melonjak. Kaif hanya mengangguk, gesturnya memperdalam cemas di hati Salwa. Dia bahkan mulai beranjak ingin mengambil perlengkapan obat. Namun, tangan Kaif dengan cepat meraihnya, menghentikan gerak langkahnya. "Bukan di sini yang sakit, Salwa," suara Kaif mendadak serius dan dalam, memotong atmosfer ruangan dengan berat. Salwa mendongak, menatap
Di dalam kamar Salwa yang tidak begitu luas. Sofia dengan setia menjaga Salwa yang sedang tidur di ranjangnya setelah diperiksa oleh dokter beberapa menit yang lalu.Sementara itu, di luar, Hasbi dan Kaif tengah sibuk di halaman rumah, berbicara dengan polisi mengenai Halik yang sedang mereka upayakan untuk mendapatkan hukuman berat di penjara, seraya api keadilan berkobar di dalam hati mereka.Di dalam kamar.Salwa membuka matanya perlahan, tersadar dari tidur yang tampaknya tidak memberikan kekuatan apa pun kepadanya."Eriana, tolong ambilkan air," suruh Sofia pada Eriana yang juga ada di sana.Tanpa menunda, Eriana segera mengambil segelas air yang sudah tersedia di kamar itu."Ayo minum dulu, Nak," ucap Sofia sambil menopang tubuh Salwa yang terasa seperti puing-puing yang lelah. Salwa hanya dapat menelan dengan susah payah, tiap tegukan terasa seperti pejuangan. Kejadian pagi tadi, membuat Salwa merasa tubuhnya lemas.Kepedulian Sofia terpancar jelas saat ia dengan sabar membantu
Dentuman keras terdengar bertalu-talu saat Kaif dengan brutalnya memukul Halik yang hingga berdaya, sementara Salwa lemah terpeluk dalam dekapan Sofia. Segalanya berawal ketika Halik mencoba menyeret Salwa ke dalam mobil dengan paksa, namun momen itu terpotong dengan kedatangan Kaif. Tanpa pikir panjang, ia melompat dari mobilnya, amarah membara di dadanya. Bugh bugh bugh... Suara pukulan itu menggema, setiap hantaman Kaif menghujam tanpa ampun ke tubuh Halik yang sudah penuh luka. Halik hanya bisa mengerang kesakitan, badannya seolah tak lebih dari boneka kain yang diseret oleh gelombang amarah Kaif. Sungguh, pertarungan ini mungkin telah berakhir dengan tragis jika bukan karena kedatangan Hasbi dan istrinya di saat yang tepat. Dengan segala kekuatannya, Hasbi berhasil melerai Kaif, menarik Kaif yang masih diliputi amarah dan keinginan untuk melampiaskan lebih banyak lagi penderitaan pada Halik. Namun, Hasbi dengan tegas mengingatkan bahwa semua ini harus berakhir, karena lepas
Salwa melangkah keluar, menyerap kedamaian pagi yang menyejukkan jiwa. Sapaan hangat dari warga desa yang bersiap menuju kerja menyelinap melalui hawa segar, dan Salwa membalas dengan senyuman yang merekah di wajahnya. "Adek, jangan melewatkan waktu sarapan ya, sarapannya sudah kakak siapkan di meja. Kakak mau ke belakang menemui Bang Hasbi dulu," ujar Istri Hasbi dengan lembut. Salwa mengangguk, "Iya kak, terima kasih banyak." Perempuan itu tersenyum lembut sebelum melangkah menuju belakang rumah. Salwa kemudian duduk di kursi halaman, tempat kesukaannya untuk menikmati pemandangan sekitar. Hasbi sudah membuat kursi itu khusus untuk Salwa, hafal jika adik kesayangannya suka sekali menikmati udara di tempat itu. Sambil mengusap perutnya yang kian membesar, Salwa berbisik lirih, "Rindu ayah ya, Nak," seraya tatapannya terhanyut dalam kenangan tentang sang ayah yang terasa begitu dekat namun jauh.Sudah lima hari berlalu tapi Salwa sendiri yang kalah, tiada hari tanpa merindukan Ka