"Uh, gimana ya." Salwa menggigit bibirnya, ragu. Perasaannya berkecamuk, antara ingin menerima atau menolak secara halus.
"Mbak, please..." lanjut Fatih, matanya semakin memohon. Akhirnya, Salwa mengangguk perlahan. Dia kemudian melangkah menuju mobil tempat Bi Maryam sudah menunggu. "Bibi pulang dulu saja ya, aku mau makan siang dengan adik kelasku dulu," beritahu Salwa pada Bi Maryam. "Bagaimana jika kami menunggu nyonya," tawar Bi Maryam. "Tidak perlu Bi, nanti aku pesan taxi saja, bibi pulang dulu," suruh Salwa. "Baik, nyonya." Bi' Maryam mengangguk patuh. "Hati-hati ya, nyonya," tambahnya. *** Di restoran, Salwa dan Fatih, kini duduk berhadapan. Suasana semakin hangat ketika Fatih mulai bercerita, mendominasi pembicaraan. Dia mengamati Salwa dengan tatapan kagum. Akan tetapi, istri Kaif itu tak menyadarinya. "Aku perhatikan sepertinya banyak hal yang sudah terjadi dalam hidup Mbak, mbak Salwa baik-baik saja kan?" tanyanya dengan nada penuh kepedulian. "Aku baik-baik saja, kenapa kamu bertanya seperti itu?" Salwa menatapnya, bingung. Rasa ingin tahu mulai bercampur dengan kekhawatiran. Apa wajahnya begitu terlihat, jika ia tidak bahagia dengan hidupnya saat ini. "Mbak Salwa yang sekarang gak banyak bicara seperti yang aku kenal, mbak berbeda, sepertinya ada sesuatu yang sudah terjadi pada mbak?" tebak Fatih, Salwa menelan salivanya, terkejut dengan ucapan Fatih. Nyatanya hidup berumah tangga bersama Kaif selama tiga bulan ini menciptakan perubahan dalam dirinya. Ia seakan kehilangan keceriaan dalam dirinya. 10 menit berlalu, Fatih yang memang orangnya banyak bicara, akhirnya bisa membuat Salwa tertawa hingga akhirnya Salwa terpancing, ia menikmati candaan ringan bersama adik kelasnya itu. Padahal mereka sedang menikmati makanannya, tapi mereka masih asik dengan obrolannya, mereka seakan lupa adab ketika makan karena Fatih yang terus memancingnya untuk berbicara. Tanpa mereka sadari, tidak jauh dari mereka, ada sepasang mata yang menatapnya dengan tatapan tidak suka. Dia Kaif, tawa seseorang yang tidak asing di telinganya membuat Kaif mengalihkan netranya, ia sampai tidak menghiraukan panggilan Hana di depannya. Yah, saat ini Kaif memang sengaja mengajak Hana makan siang dan ternyata mereka satu restoran dengan Salwa dan Fatih. "Kaif, apa yang kamu lihat?" tanya Hana, ia sudah merasa kesal karena ucapannya tak direspon oleh Kaif. 'Katanya mau ke supermarket, ternyata dia malah selingkuh dengan pria ingusan itu. Katanya dia sangat menjaga adab tapi lihatlah, bagaimana dia menikmati kebersamaan dengan laki-laki tidak jelas itu,' batin Kaif, wajahnya sudah merah padam. Tangan Kaif terkepal, Hana yang penasaran, akhirnya ikut melihat kemana arah pandang Kaif. Degh Hana terkejut, saat Kaif sudah berdiri dari duduknya, melangkah dengan arogannya mendekati meja yang ditempati Salwa. "Tu-tuan," kata Salwa terbata-bata, ia terkejut dengan kedatangan Kaif yang tiba-tiba berdiri di depannya. Tanpa mengucapkan satu katapun, Kaif mencekal tangan Salwa, menariknya keluar dari restoran itu, ia tidak peduli dengan teguran Fatih Dengan amarah yang terpancar di matanya, Kaif mengendarai mobil dengan kecepatan penuh membuat Mahira ketakutan. "Tuan istighfar, jangan ngebut," pinta Salwa dengan suara gemetar. "Tuan, dengarkan penjelasanku dulu." Di dalam mobil yang melaju kencang, Kaif dengan kasar memukul setir tanpa mengurangi kecepatan, kepalanya menegang, pembuluh nadinya tampak menonjol di pelipis, dan wajahnya merah padam menunjukkan kemarahannya yang mendalam. "MUNAFIK!" teriaknya lantang. Sementara itu, Salwa, yang terjepit dalam situasi genting, wajahnya pucat pasi dengan mata yang tergenang air mata, berpegangan erat pada kursi mobil. Suasana semakin menegang saat Kaif mengerem mendadak dan suara keras dari ban mobil menderu di jalan. "Tu-tuan ja-ngan seperti i-ini," desis Salwa dengan suara gemetar, matanya terpejam kuat menahan ketakutan. Kaif yang amarahnya belum reda, menoleh tajam kepada Salwa. Tidak ada rasa belas kasih dalam pandangan matanya yang tajam seperti belati. "Kamu berlindung di balik wajah polosmu, berpura-pura seperti perempuan suci. Tapi nyatanya, kamu perempuan munafik, perempuan murahan!" sembur Kaif dengan suara penuh kebencian. Salwa mundur, merasa terpojok dan ketakutan semakin mendalam saat Kaif semakin mendekati, wajahnya masih merah padam penuh emosi. "Apa begini kelakuan aslimu di belakang saya? Sudah berapa malam kau habiskan bersama kekasih sialanmu itu?" cecar Kaif lagi, setiap kata keluar dari mulutnya bak peluru yang melukai hatinya. "Tuan, tuan salah faham, di-dia," Salwa menggigil saat ingin menjelaskan, tapi Kaif seolah tidak mendengarnya. Tiba-tiba, jeritan tajam mengisi ruangan, "Tidak bisakah kamu bersabar sebentar saja, perempuan murahan!!!" Dengan raut muka merah padam, Kaif berteriak semakin dekat, membuat jantung Salwa berdegup kencang. Nafas Salwa menjadi tersengal-sengal, takut melanda seluruh tubuhnya. Ia selalu mengenal Kaif sebagai pria yang dingin, yang suka bicara ketus padanya, namun kebrutalan Kaif kali ini sungguh di luar ekspektasi Salwa. Kaif seakan menunjukkan wajah yang tidak pernah ia kenal sebelumnya. "AWS... Tuan sakit," desah Salwa ketika merasakan cekalan kuat di lengannya, memotong aliran darahnya. Kaif mendekat, nyaris bersentuhan dengan wajah Salwa yang sekarang sudah memucat. "Mama selalu memuji kamu, tapi kamu menghianati mama dengan menjadi perempuan murahan." Bibir Kaif bergetar, napasnya memburu. Salwa menutup mata, mencoba mencari kekuatan dalam diri. "A-aku bukan perempuan murahan," ucapnya lemah, nyaris tak terdengar karena gemetar yang tak terkendali. BersambungKaif tersenyum mengejek lalu berkata, "Jika bukan perempuan murahan lalu perempuan yang bagaimana? Perempuan rendahan, perempuan kotor, perempuan pezina, perempuan apa lagi, kamu adalah perempuan yang tidak memiliki harga diri, murahan!""Ya Allah," ucap Salwa sembari tangannya menyentuh dadanya yang terasa tersayat karena setiap ucapan Kaif. Dimata Kaif Salwa seperti tidak ada harga dirinya, padahal Salwa baru pertama kali bertemu dengan seorang pria, itupun bukanlah kekasih gelapnya seperti yang dituduhkan, tapi adik kelas yang Salwa anggap seperti adiknya sendiri."Seharusnya kamu katakan dari awal jika kamu memiliki kekasih, saya pasti akan mempermudah kamu untuk bertemu dengannya, tapi kamu lakukan dengan cara diam-diam, sok-sokan izin ke supermarket tapi ternyata." Kaif geleng-geleng kepala, tidak habis fikir dengan apa yang dilihatnya."Rencana selanjutnya kalian apa? Jika saja saya tidak memergoki kalian, pasti kalian akan melakukan cek in, benar begitu bukan?""Tolong beri a
Ponsel Kaif berbunyi, segera pria itu keluar dari kamar dengan membanting pintu. Kaif masih memiliki kesadaran untuk tidak berbuat lebih pada Salwa, karena jika ia sampai kehilangan kendali maka dirinya sendiri yang akan rugi. Tubuh Salwa luruh ke lantai, ucapan Kaif sungguh sangat menyakitkan, pria itu menuduhnya tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. *** "Kamu kemana saja sih, Kaif. Kamu mengajak aku makan siang tapi kamu yang meninggalkan aku sendiri di restoran," gerutu Hana dari balik telepon. Kaif mengusap wajahnya dengan kasar, emosinya membuat ia lupa dengan sang kekasih yang masih ada di restoran. "Maafkan aku, kamu dimana sekarang? aku jemput ya?" tawar Kaif, suaranya terdengar lembut sangat berbeda saat berbicara pada Salwa. "Tidak usah, aku sudah pesan taxi," tolak Hana. "lain kali kalau tidak memiliki niat membawa aku makan siang, gak usah sama sekali," ketus Hana, suara gadis di balik telepon itu terdengar sangat kesal. "Maafkan a—" Belum selesai, Kai
Kaif menatap wajah Salwa dengan tatapan yang menusuk, suaranya rendah namun jelas. "Masuk ke kamarmu, saya tidak memiliki waktu untuk berdebat dengan kamu." "Aku bukan ingin berdebat denganmu, Mas. Aku hanya meminta untuk dihargai layaknya seorang istri," sahut Salwa dengan suara bergetar. Kaif menarik nafas dalam-dalam, nadanya meninggi, "Koreksi cara bicaramu itu dan ingatlah posisimu, Salwa! Kamu hanya anak pembantu dan tak lebih dari itu," ucapnya tegas. "Apa kesalahanku, Mas? Mengapa kau berlaku sekejam ini, sampai-sampai aku tak boleh memanggilmu 'Mas' ketika kita berdua? Sampai kapan kau akan terus memperlakukanku seperti ini?" rintih Salwa sambil mendekati Kaif, matanya sudah berkaca-kaca. "Jika tak menginginkan aku bukan? Maka, ceraikan saja aku, Tuan," pintanya dengan nada penuh penekanan, menggantikan sapaan 'Mas' dengan 'Tuan'. Kaif mengangkat satu alis, sinis. "Kamu seorang santri, harusnya kamu paham tentang hukum Islam mengenai istri yang meminta cerai dari s
Dua hari telah berlalu setelah kejadian malam itu. Tidak ada lagi pembicaraan di antara Kaif dan Salwa. Malam itu Sofia langsung pulang setelah mengatakan pada Salwa untuk bertahan sebentar lagi. Perempuan paruh baya itu masih berharap pernikahan Kaif dan Salwa akan bertahan. Di malam hari, Salwa mendapat telepon dari kampung bahwa ibunya sedang sakit. Salwa bingung karena hari sudah malam dan ia belum pernah pulang ke kampung setelah menikah. Ia tidak tahu harus pulang bagaimana. Tanpa pilihan lain, Salwa menghampiri Kaif. "Tuan, aku baru mendapat telepon bahwa ibu sedang sakit di kampung, aku minta izin untuk pulang," ujar Salwa. Kaif menghentikan pergerakan tangannya yang sedang sibuk mengutak-atik keyboard laptop. Pria itu mengalihkan pandangan pada Salwa. "Apakah pekerjaanmu di rumah ini sudah selesai?" tanya Kaif tanpa belas kasih. "Sudah, semuanya sudah aku kerjakan, Tuan," ucap Salwa. "Yah, pergi saja!" "Terima kasih," ucap Salwa dengan lega. Meskipun dalam hati k
Setelah dua hari berada di rumah kelahirannya, kebahagiaan meluap dari raut wajah Salwa. Senyumnya cerah bak mentari pagi, dan ia bisa berlaku apa adanya di sisi ibu serta saudara-saudarinya. Lihatlah bagaimana ia dilarang menyentuh apapun di dapur, Laila dan Siti, istri Hadi, selalu sigap memanjakan adik mereka itu. Kepulangan Salwa menyuntikkan semangat baru bagi Saida, ibu mereka yang sudah beranjak tua. Kini, perempuan itu bersemangat meninggalkan peraduan yang sebelumnya menjadi pengapnya selama berhari-hari. Semua perubahan ini tidak luput dari mata Kaif, yang juga diawasi oleh mata-mata lain dalam keluarga. Meski di rumah itu semuanya nampak sederhana, Kaif merasakan kedamaian yang mendalam saat dikelilingi hangatnya keluarga Salwa. Bahagia merebak di udara kampung, beberapa tetangga berdatangan hanya untuk mengetahui kabar dari Salwa. Semua ini sangat berbeda dari hiruk-pikuk kota, tempat manusia terjebak dalam pusaran pencapaian pribadi. Keakraban dan kehangatan persaud
Belum, Bi," jawab Salwa dengan suara yang tetap tenang, hatinya telah berlapis baja menghadapi pertanyaan seperti ini. "Kalian pakai KB ya?" usik Bi Seli lagi dengan tatapan penuh penasaran. "Tidak, Bi," jawab Salwa singkat, merasa sedikit tersudut. Dengan lembut, Bu Seli meraih bahu Salwa, "Sudahlah, jangan kau pikirkan. Pernikahan kalian masih muda, nikmatilah masa-masa ini dengan suami. Saat waktunya tepat, Insya Allah, Allah akan mengirimkan kalian seorang anak yang lucu-lucu." Kata-kata Bi Seli mengalir bagaikan hembusan angin yang menyejukkan, membuat hati Salwa menghangat.Salwa tersenyum, kepalanya mengangguk. Inilah yang ia sukai dengan kehidupan di kampungnya, orang-orang di kampung kelahirannya, saling bahu-membahu dan saling menguatkan bukan saling menghakimi.Percakapan itu tak luput dari pendengaran Kaif, tapi pria itu hanya diam tanpa suara.Di keheningan malam yang menyerupai dua malam sebelumnya, Salwa berniat tidur bersama ibunya. Namun, kehendak Saida malam ini
Di kamar Sallwa, Kaif sedang berbicara lewat telepon dengan kekasihnya, Hana. "Kenapa harus ambil kontrak itu, Hana? Kamu baru saja keluar dari rumah sakit. Jika butuh uang, katakan saja padaku," kata Kaif dengan suara penuh kekhawatiran. "Tidak, Kaif. Aku hanya akan menerima uangmu bila aku sudah resmi menjadi istrimu. Tapi saat ini," jawab Hana dari ujung sana, suaranya bergetar. "Maaf, Hana. Aku juga tidak ingin menggantung hubungan kita, tapi kamu tahu sendirikan bagaimana mama. Apalagi, kamu tidak ingin menjadi istri kedua," ucap Kaif. Kaif tak menyadari bahwa setiap kata yang terucap terdengar jelas oleh Salwa, gadis berhijab yang berdiri di balik pintu yang tak tertutup sempurna. Hati Salwa berdesir, merasakan luka yang mendalam; bibir bawahnya tergigit kuat, menahan ledakan emosi yang siap meledak. Kaif menutup percakapannya dan menaruh teleponnya. Saat itulah Salwa memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, Kaif seperti tidak peduli dengan kehadiran Salwa di kamar itu.Kama
“Salwa!!!"Seorang gadis yang sedang berkutat dengan peralatan dapur hanya bisa menghela napas, saat teriakan itu mengejutkannya.Selalu saja seperti ini. Padahal, pendengarannya tidaklah bermasalah.Gegas, Salwa mematikan kompor, lalu melangkah menuju ke arah suara itu—kamar suaminya.Ya, satu minggu yang lalu, Salwa boyong dari pesantren dan ia langsung dijodohkan oleh ibunya dengan putra majikannya di kota. Padahal gadis muda itu tidak pernah bermimpi akan menikah muda. Ia masih memiliki cita-cita untuk menjadi seorang sarjana, tetapi Salwa tidak mampu menolak permintaan perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya itu.Kaif Safiraz, seorang CEO dari perusahaan ternama di Jakarta. Siapa yang tidak kenal dengan pria itu? Orang-orang selalu memujinya. Namanya sangat berpengaruh di ibu kota dan dalam dunia bisnis. Ia laki-laki tampan, memiliki tubuh atletis, bermata elang, wajah yang sempurna seperti ke-Arab-Araban. Kaif Safiras, selalu membuat siapa saja akan menunduk jika
Di kamar Sallwa, Kaif sedang berbicara lewat telepon dengan kekasihnya, Hana. "Kenapa harus ambil kontrak itu, Hana? Kamu baru saja keluar dari rumah sakit. Jika butuh uang, katakan saja padaku," kata Kaif dengan suara penuh kekhawatiran. "Tidak, Kaif. Aku hanya akan menerima uangmu bila aku sudah resmi menjadi istrimu. Tapi saat ini," jawab Hana dari ujung sana, suaranya bergetar. "Maaf, Hana. Aku juga tidak ingin menggantung hubungan kita, tapi kamu tahu sendirikan bagaimana mama. Apalagi, kamu tidak ingin menjadi istri kedua," ucap Kaif. Kaif tak menyadari bahwa setiap kata yang terucap terdengar jelas oleh Salwa, gadis berhijab yang berdiri di balik pintu yang tak tertutup sempurna. Hati Salwa berdesir, merasakan luka yang mendalam; bibir bawahnya tergigit kuat, menahan ledakan emosi yang siap meledak. Kaif menutup percakapannya dan menaruh teleponnya. Saat itulah Salwa memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, Kaif seperti tidak peduli dengan kehadiran Salwa di kamar itu.Kama
Belum, Bi," jawab Salwa dengan suara yang tetap tenang, hatinya telah berlapis baja menghadapi pertanyaan seperti ini. "Kalian pakai KB ya?" usik Bi Seli lagi dengan tatapan penuh penasaran. "Tidak, Bi," jawab Salwa singkat, merasa sedikit tersudut. Dengan lembut, Bu Seli meraih bahu Salwa, "Sudahlah, jangan kau pikirkan. Pernikahan kalian masih muda, nikmatilah masa-masa ini dengan suami. Saat waktunya tepat, Insya Allah, Allah akan mengirimkan kalian seorang anak yang lucu-lucu." Kata-kata Bi Seli mengalir bagaikan hembusan angin yang menyejukkan, membuat hati Salwa menghangat.Salwa tersenyum, kepalanya mengangguk. Inilah yang ia sukai dengan kehidupan di kampungnya, orang-orang di kampung kelahirannya, saling bahu-membahu dan saling menguatkan bukan saling menghakimi.Percakapan itu tak luput dari pendengaran Kaif, tapi pria itu hanya diam tanpa suara.Di keheningan malam yang menyerupai dua malam sebelumnya, Salwa berniat tidur bersama ibunya. Namun, kehendak Saida malam ini
Setelah dua hari berada di rumah kelahirannya, kebahagiaan meluap dari raut wajah Salwa. Senyumnya cerah bak mentari pagi, dan ia bisa berlaku apa adanya di sisi ibu serta saudara-saudarinya. Lihatlah bagaimana ia dilarang menyentuh apapun di dapur, Laila dan Siti, istri Hadi, selalu sigap memanjakan adik mereka itu. Kepulangan Salwa menyuntikkan semangat baru bagi Saida, ibu mereka yang sudah beranjak tua. Kini, perempuan itu bersemangat meninggalkan peraduan yang sebelumnya menjadi pengapnya selama berhari-hari. Semua perubahan ini tidak luput dari mata Kaif, yang juga diawasi oleh mata-mata lain dalam keluarga. Meski di rumah itu semuanya nampak sederhana, Kaif merasakan kedamaian yang mendalam saat dikelilingi hangatnya keluarga Salwa. Bahagia merebak di udara kampung, beberapa tetangga berdatangan hanya untuk mengetahui kabar dari Salwa. Semua ini sangat berbeda dari hiruk-pikuk kota, tempat manusia terjebak dalam pusaran pencapaian pribadi. Keakraban dan kehangatan persaud
Dua hari telah berlalu setelah kejadian malam itu. Tidak ada lagi pembicaraan di antara Kaif dan Salwa. Malam itu Sofia langsung pulang setelah mengatakan pada Salwa untuk bertahan sebentar lagi. Perempuan paruh baya itu masih berharap pernikahan Kaif dan Salwa akan bertahan. Di malam hari, Salwa mendapat telepon dari kampung bahwa ibunya sedang sakit. Salwa bingung karena hari sudah malam dan ia belum pernah pulang ke kampung setelah menikah. Ia tidak tahu harus pulang bagaimana. Tanpa pilihan lain, Salwa menghampiri Kaif. "Tuan, aku baru mendapat telepon bahwa ibu sedang sakit di kampung, aku minta izin untuk pulang," ujar Salwa. Kaif menghentikan pergerakan tangannya yang sedang sibuk mengutak-atik keyboard laptop. Pria itu mengalihkan pandangan pada Salwa. "Apakah pekerjaanmu di rumah ini sudah selesai?" tanya Kaif tanpa belas kasih. "Sudah, semuanya sudah aku kerjakan, Tuan," ucap Salwa. "Yah, pergi saja!" "Terima kasih," ucap Salwa dengan lega. Meskipun dalam hati k
Kaif menatap wajah Salwa dengan tatapan yang menusuk, suaranya rendah namun jelas. "Masuk ke kamarmu, saya tidak memiliki waktu untuk berdebat dengan kamu." "Aku bukan ingin berdebat denganmu, Mas. Aku hanya meminta untuk dihargai layaknya seorang istri," sahut Salwa dengan suara bergetar. Kaif menarik nafas dalam-dalam, nadanya meninggi, "Koreksi cara bicaramu itu dan ingatlah posisimu, Salwa! Kamu hanya anak pembantu dan tak lebih dari itu," ucapnya tegas. "Apa kesalahanku, Mas? Mengapa kau berlaku sekejam ini, sampai-sampai aku tak boleh memanggilmu 'Mas' ketika kita berdua? Sampai kapan kau akan terus memperlakukanku seperti ini?" rintih Salwa sambil mendekati Kaif, matanya sudah berkaca-kaca. "Jika tak menginginkan aku bukan? Maka, ceraikan saja aku, Tuan," pintanya dengan nada penuh penekanan, menggantikan sapaan 'Mas' dengan 'Tuan'. Kaif mengangkat satu alis, sinis. "Kamu seorang santri, harusnya kamu paham tentang hukum Islam mengenai istri yang meminta cerai dari s
Ponsel Kaif berbunyi, segera pria itu keluar dari kamar dengan membanting pintu. Kaif masih memiliki kesadaran untuk tidak berbuat lebih pada Salwa, karena jika ia sampai kehilangan kendali maka dirinya sendiri yang akan rugi. Tubuh Salwa luruh ke lantai, ucapan Kaif sungguh sangat menyakitkan, pria itu menuduhnya tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. *** "Kamu kemana saja sih, Kaif. Kamu mengajak aku makan siang tapi kamu yang meninggalkan aku sendiri di restoran," gerutu Hana dari balik telepon. Kaif mengusap wajahnya dengan kasar, emosinya membuat ia lupa dengan sang kekasih yang masih ada di restoran. "Maafkan aku, kamu dimana sekarang? aku jemput ya?" tawar Kaif, suaranya terdengar lembut sangat berbeda saat berbicara pada Salwa. "Tidak usah, aku sudah pesan taxi," tolak Hana. "lain kali kalau tidak memiliki niat membawa aku makan siang, gak usah sama sekali," ketus Hana, suara gadis di balik telepon itu terdengar sangat kesal. "Maafkan a—" Belum selesai, Kai
Kaif tersenyum mengejek lalu berkata, "Jika bukan perempuan murahan lalu perempuan yang bagaimana? Perempuan rendahan, perempuan kotor, perempuan pezina, perempuan apa lagi, kamu adalah perempuan yang tidak memiliki harga diri, murahan!""Ya Allah," ucap Salwa sembari tangannya menyentuh dadanya yang terasa tersayat karena setiap ucapan Kaif. Dimata Kaif Salwa seperti tidak ada harga dirinya, padahal Salwa baru pertama kali bertemu dengan seorang pria, itupun bukanlah kekasih gelapnya seperti yang dituduhkan, tapi adik kelas yang Salwa anggap seperti adiknya sendiri."Seharusnya kamu katakan dari awal jika kamu memiliki kekasih, saya pasti akan mempermudah kamu untuk bertemu dengannya, tapi kamu lakukan dengan cara diam-diam, sok-sokan izin ke supermarket tapi ternyata." Kaif geleng-geleng kepala, tidak habis fikir dengan apa yang dilihatnya."Rencana selanjutnya kalian apa? Jika saja saya tidak memergoki kalian, pasti kalian akan melakukan cek in, benar begitu bukan?""Tolong beri a
"Uh, gimana ya." Salwa menggigit bibirnya, ragu. Perasaannya berkecamuk, antara ingin menerima atau menolak secara halus. "Mbak, please..." lanjut Fatih, matanya semakin memohon. Akhirnya, Salwa mengangguk perlahan. Dia kemudian melangkah menuju mobil tempat Bi Maryam sudah menunggu. "Bibi pulang dulu saja ya, aku mau makan siang dengan adik kelasku dulu," beritahu Salwa pada Bi Maryam. "Bagaimana jika kami menunggu nyonya," tawar Bi Maryam. "Tidak perlu Bi, nanti aku pesan taxi saja, bibi pulang dulu," suruh Salwa. "Baik, nyonya." Bi' Maryam mengangguk patuh. "Hati-hati ya, nyonya," tambahnya. *** Di restoran, Salwa dan Fatih, kini duduk berhadapan. Suasana semakin hangat ketika Fatih mulai bercerita, mendominasi pembicaraan. Dia mengamati Salwa dengan tatapan kagum. Akan tetapi, istri Kaif itu tak menyadarinya. "Aku perhatikan sepertinya banyak hal yang sudah terjadi dalam hidup Mbak, mbak Salwa baik-baik saja kan?" tanyanya dengan nada penuh kepedulian. "A
Di dalam mobil yang melaju cepat di jalanan Jakarta, hanya ada keheningan yang memisahkan Kaif dan Salwa. Tiada kata terucap di antara keduanya, masing-masing larut dalam dunia pikirannya sendiri. Kaif dengan tegas memegang kemudi, pandangannya lurus ke depan, seolah mencoba untuk menembus kemacetan kota yang tak pernah tidur ini. Salwa, di sisi lain, terus menatap keluar jendela, mengamati pemandangan yang baginya tampak lebih menarik daripada kekacauan emosional yang ia alami saat ini. Di dalam dadanya, perih masih terasa membara. Berbagai upaya telah ia lakukan untuk menepis rasa sakit itu, tetapi semua terasa sia-sia. Pada akhirnya, Kaif memutuskan untuk memecah keheningan. "Kau tahu, perempuan cantik tadi?" suaranya cukup untuk membuat Salwa mengalihkan pandangannya sejenak dari jendela. Walaupun hatinya gundah, pendengarannya tajam menangkap setiap kata yang diucapkan Kaif. "Dia Hana Salsabila, perempuan pintar, cerdas, dan baik. Dan yang paling penting, dia adalah cint