Share

3. BAJU COUPLE

Penulis: Zaidhiya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-17 01:12:26

Sayangnya, keinginan itu tak tercapai.

Meski demikian, hubungan Salwa dengan Kaif tidak ada perubahan setelah perdebatan tiga bulan yang lalu.

Salwa hanya bicara seperlunya saja, mendadak menjadi perempuan pendiam, padahal itu bukanlah sifatnya yang sebenarnya.

Mereka memang tinggal satu atap, tapi seperti orang asing yang tak pernah saling kenal, kegiatan Salwa setiap harinya mengerjakan pekerjaan rumah, memasak meskipun Kaif tidak pernah menyentuh masakan Salwa.

"Ini siapa yang masak?" tanya Kaif pada pembantu di rumah itu, Bi' Maryam. Yah sesuai permintaan Sofia. Kaif mempekerjakan pembantu di rumahnya.

"Ini masakan nyonya, tuan," jawab Bi' Maryam.

"Singkirkan sampah-sampah ini, dan masak lagi, saya tunggu 15 menit," perintah Kaif.

Salwa yang masih ada di dapur hanya bisa mengusap dada, padahal sudah sering kali ia mendapatkan penolakan, tapi tetap saja ia terus mencoba, dengan harapan tuan Kaif akan luluh.

Salwa perempuan paham akan ilmu agama, itu sebabnya berat baginya untuk angkat tangan dari semua kewajibanya sebagai seorang istri, tak peduli berapa banyak ia harus mendapatkan penolakan, ia tetap melakukan kewajibannya, meskipun itu harus dilakukan secara diam-diam

agar Kaif tak mengetahuinya.

Di sore hari, saat Salwa menyiram bunga-bunga yang ia tanam di depan rumah, Kaif datang.

Salwa merasa heran, tumben dia pulang awal, padahal biasanya kaif akan pulang di atas jam 9 malam.

"Jangan pernah menampakkan diri di hadapanku, ingat itu!"

Ucapan Kaif waktu itu begitu jelas di ingatan Salwa, segera ia beranjak, masuk ke dalam rumah agar kaif tidak melihat keberadaannya.

Salwa tidak ingin memperburuk suasana hati Kaif. Pagi tadi dia sudah marah-marah pada Bi Maryam karena ada masakan Salwa di meja makan.

Salwa duduk di kursi meja hias, melihat pantulan wajahnya di kaca kamar.

"Sampai kapan harus seperti ini, kenapa dia masih mempertahankan aku jika akhirnya aku hanya dijadikan pajangan, melihat wajahku saja dia enggan, lalu kenapa aku harus tetap di sini," ucap Salwa lirih.

Lelah yang Salwa rasakan, mentalnya seakan dipermainkan, harga dirinya seakan tiada artinya bagi pria yang sudah menjadi suaminya itu.

Tok tok tok

"Permisi nyonya, tuan memanggil nyonya di ruang tamu," beritahu Bii' Maryam di balik

pintu kamar Salwa.

"Baik Bi', aku segera ke sana," ucap Salwa.

"Tumben," gumam Salwa.

Salwa lantas menghampiri Kaif yang saat ini sudah duduk di sofa ruang tamu, pria itu terlihat fokus pada ponselnya. Salwa melangkah dengan jantung berdebar, entah kenapa ia merasa gugup.

Sudah lama mereka tidak saling tatap, sejak perdebatan tiga bulan yang lalu. Jika

mereka kebetulan berpas-pasan maka Salwa segera menghindar karena ia tidak ingin memancing amarah Kaif.

"Permisi tuan," sapa Salwa memecah keheningan.

'Ah, seperti orang asing saja, bicaraku formal, tidak menggambarkan jika kami pasangan suami istri,' batin Salwa.

Kaif mengangkat wajahnya, tanpa melihat ke arah Salwa, ia melempar paper bag yang entah apa isinya ke arah Salwa, Salwa yang tidak siap membuat paper bag itu jatuh di lantai.

Bibir Salwa tersenyum miris, miris pada dirinya sendiri.

"Pakai itu untuk malam ini, di rumah mama ada acara," perintah Kaif tanpa melihat ke arah Salwa.

"Acara apa, Tuan?" tanya Salwa mengenyampingkan rasa sesak di dada.

Kaif mulai menata Salwa tajam, seakan ada yang salah dari pertanyaan itu. Dia berdiri dengan tatapan masih tertuju pada Salwa.

Salwa menunduk.

"Kau tak perlu tahu. Yang jelas, jangan coba-coba untuk mengadu pada mama, perhatikan wajahmu saat bertemu dengan keluarga saya, saya tidak mau tahu, kamu harus bersikap seolah-olah kamu bahagia bersama saya," peringat Kaif tak mau dibantah, “satu lagi, jangan pasang wajah memelasmu itu.”

"Baik, tuan, InsyaAllah," ucap Salwa pasrah.

Jam setengah tujuh malam suami istri itu sudah siap untuk pergi ke rumah Sofia, jarak dengan rumah Sofia tidak terlalu jauh, mereka hanya membutuhkan waktu satu jam untuk sampai di sana.

Di sinilah mereka berada, di dalam mobil, sesekali Salwa melirik ke arah Kaif yang sedang fokus menyetir. Salwa akui suaminya itu sangat tampan, apalagi warna kemejanya yang senada dengan warna gamis Salwa.

Ada rasa berbunga-bunga di hati Salwa, ini adalah pakaian couple pertama mereka, meskipun Salwa tidak tahu niatnya tapi ia merasa senang, akhirnya ia bisa memakai pakaian yang Kaif berikan pada Salwa.

Mobil memasuki halaman rumah mewah, bercat putih dengan perpaduan hijau,cantik sekali.

Terlihat rumah itu sudah dipenuhi dengan hiasan yang sangat cantik, dan orang-orang mulai masuk ke dalam sana.

Salwa tidak tahu, sedang ada acara apa di rumah itu, karena suaminya yang sepertinya enggan memberi tahu, miris sekali, Salwa sebagai menantu di keluarga itu malah tidak tahu di rumah mertuanya ada acara apa.

Saat mereka ingin masuk ke dalam rumah, Salwa terkejut dengan sikap Kaif yang tiba-tiba.

Kaif menggenggam tangan Salwa, tubuh Salwa meremang, ia bukan perempuan yang terbiasa bersentuhan fisik dengan lawan jenis.

Salwa tahu Kaif halal menyentuh dirinya atau melakukan hal lebih, tapi Salwa masih belum terbiasa, apalagi selama ini Kaif seperti sangat jijik untuk bersentuhan dengan Salwa.

"Saya melakukan ini karena mama, jangan berharap lebih," bisik Kaif.

Sudah Salwa duga, ia hanya bisa mengangguk pasrah.

"Ini nih yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga." Sofia, mama mertua Salwa menyambut kedatangan anak dan menantunya, terlihat aura kebahagiaan terpancar di wajahnya.

Salwa dan Kaif mencium punggung tangan Sofia.

"Apa kamu sudah sehat, nak?" Sofia mengerutkan kening, sejak kapan dirinya sakit.

"Istriku sudah sehat, Ma," jawab kaif cepat.

Salwa menatap Kaif, dan ia paham sekarang.

"Alhamdulillah, kata Kaif kamu sedang gak enak badan, makannya mama tidak mengatakan padamu jika malam ini ada acara, kalau kamu sampai tahu pasti kamu akan datang jauh-jauh hari dan melakukan banyak pekerjaan,"

"Mama sangat pengertian, tapi lain kali katakan saja Ma, Alhamdulillah aku sudah lebih sehat sekarang, " ucap Salwa.

"Tidak apa, banyak yang membantu mama di sini, kamu cukup diam saja, kamu harus

menjaga kesehatanmu, nak"

Salwa memiliki suami yang susah untuk digapai hatinya, tapi di balik itu ia memiliki mama mertua yang sangat baik, beliau tidak hanya menganggap Salwa sebagai menantunya tapi sebagai putrinya. Lalu bagaimana bisa ia menyerah dalam hubungan ini, sedangkan Mama

mertuanya sangat berharap pada Salwa untuk menjaga putranya yang saat ini sudah menjadi suami Salwa.

"Kaif, sana hampiri calon tunangan Eriana, sedari tadi dia mencarimu," suruh mama Sofia pada Kaif.

"Baik, Ma,"

Kaif beranjak, ternyata malam ini adalah acara pertunangan Eriana. Terlihat dari hiasan dinding dimana di sana tertera nama Eriana dam Halik, calon tunangan Eriana.

Beberapa jam sudah berlalu, acara pertunangan sudah selesai, Salwa menyapu pandangan ke segala arah mencari keberadaan Kaif, dia belum makan malam, dan Salwa ingin mengajaknya makan malam dengan menikmati makanan yang sudah disiapkan.

Salwa melangkah, melewati para tamu, ia masih belum menemukan suaminya, apa dia sudah pulang dan meninggalkan dirinya? Begitulah fikir Salwa.

Tanpa Salwa sadari, ia sudah sampai di samping rumah, di sana ada kolam renang,

langkah Salwa terhenti saat ia mendengar suara yang tak asing di telinganya.

Perempuan itu berdiri di depan kaif, kekecewaan merajai setiap lekukan wajahnya.

"Tega sekali kamu, Kaif. Kamu berjanji menungguku, tapi kamu malah menyakitiku," ucap perempuan itu dengan suara terbata karena rasa sakit yang dirasakan.

Kaif hanya bisa menundukkan kepala, keraguan memenuhi tatapannya. "Maafkan aku. Semua ini bukan pilihan yang kumau. Kamu tahu betul, aku tak tega melihat Mama sedih," jawab Kaif dengan suara lemah. "Tapi aku tidak menginginkan dia," lanjut Kaif, suaranya terdengar begitu lembut.

Salwa menutup mulutnya.

Mengamati sosok Kaif yang yang bicara dengan suara lembut pada perempuan itu, dan juga mengapa Salwa merasakan pedih mendengar pengakuan Kaif? Padahal sudah ia tekankan pada hatinya untuk tidak berharap.

bersambung

Bab terkait

  • Istri Rasa Pembantu    4. KEKASIH KAIF

    Salwa bingung harus bereaksi apa, selain memegang dadanya yang terasa perih mendengar tangisan wanita di hadapan Kaif–kian pecah. "Aku tahu sekarang, kamu sudah hidup bersamanya di bawah satu atap, menyentuhnya, membayangkan saja membuatku sangat hancur." Kaif menghela napas. "Aku tidak mencintainya, aku tidak sudi menyentuhnya, kami memang tinggal satu atap, tapi aku tidak melayaninya sebagai seorang istri," jujur Kaif, “perempuan kampung itu bukan seleraku. Aku bahkan tersiksa selalu bersandiwara di depan keluarga jika aku mencintainya. Mimpiku untuk membangun bahtera rumah tangga masih tetap bersamamu bukan dengan dia." Cukup sudah.Dengan nafas tidak beraturan, Salwa menjauh dari tempat itu.Padahal sudah ia tegaskan pada hatinya untuk tidak manja? Untuk tidak terbawa perasaan atas ucapan suaminya? Tapi, malam ini Salwa gagal.Nyatanya Salwa sudah mencintai, Kaif, suami yang tak pernah menginginkannya.Di sinilah Salwa berada, di kamar mandi, ia hidupkan kran air dan menangis

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • Istri Rasa Pembantu    5. Meminta Izin pada Suami

    Di dalam mobil yang melaju cepat di jalanan Jakarta, hanya ada keheningan yang memisahkan Kaif dan Salwa. Tiada kata terucap di antara keduanya, masing-masing larut dalam dunia pikirannya sendiri. Kaif dengan tegas memegang kemudi, pandangannya lurus ke depan, seolah mencoba untuk menembus kemacetan kota yang tak pernah tidur ini. Salwa, di sisi lain, terus menatap keluar jendela, mengamati pemandangan yang baginya tampak lebih menarik daripada kekacauan emosional yang ia alami saat ini. Di dalam dadanya, perih masih terasa membara. Berbagai upaya telah ia lakukan untuk menepis rasa sakit itu, tetapi semua terasa sia-sia. Pada akhirnya, Kaif memutuskan untuk memecah keheningan. "Kau tahu, perempuan cantik tadi?" suaranya cukup untuk membuat Salwa mengalihkan pandangannya sejenak dari jendela. Walaupun hatinya gundah, pendengarannya tajam menangkap setiap kata yang diucapkan Kaif. "Dia Hana Salsabila, perempuan pintar, cerdas, dan baik. Dan yang paling penting, dia adalah cint

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • Istri Rasa Pembantu    6. AMARAH KAIF

    "Uh, gimana ya." Salwa menggigit bibirnya, ragu. Perasaannya berkecamuk, antara ingin menerima atau menolak secara halus. "Mbak, please..." lanjut Fatih, matanya semakin memohon. Akhirnya, Salwa mengangguk perlahan. Dia kemudian melangkah menuju mobil tempat Bi Maryam sudah menunggu. "Bibi pulang dulu saja ya, aku mau makan siang dengan adik kelasku dulu," beritahu Salwa pada Bi Maryam. "Bagaimana jika kami menunggu nyonya," tawar Bi Maryam. "Tidak perlu Bi, nanti aku pesan taxi saja, bibi pulang dulu," suruh Salwa. "Baik, nyonya." Bi' Maryam mengangguk patuh. "Hati-hati ya, nyonya," tambahnya. *** Di restoran, Salwa dan Fatih, kini duduk berhadapan. Suasana semakin hangat ketika Fatih mulai bercerita, mendominasi pembicaraan. Dia mengamati Salwa dengan tatapan kagum. Akan tetapi, istri Kaif itu tak menyadarinya. "Aku perhatikan sepertinya banyak hal yang sudah terjadi dalam hidup Mbak, mbak Salwa baik-baik saja kan?" tanyanya dengan nada penuh kepedulian. "A

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-29
  • Istri Rasa Pembantu    7. IRP

    Kaif tersenyum mengejek lalu berkata, "Jika bukan perempuan murahan lalu perempuan yang bagaimana? Perempuan rendahan, perempuan kotor, perempuan pezina, perempuan apa lagi, kamu adalah perempuan yang tidak memiliki harga diri, murahan!""Ya Allah," ucap Salwa sembari tangannya menyentuh dadanya yang terasa tersayat karena setiap ucapan Kaif. Dimata Kaif Salwa seperti tidak ada harga dirinya, padahal Salwa baru pertama kali bertemu dengan seorang pria, itupun bukanlah kekasih gelapnya seperti yang dituduhkan, tapi adik kelas yang Salwa anggap seperti adiknya sendiri."Seharusnya kamu katakan dari awal jika kamu memiliki kekasih, saya pasti akan mempermudah kamu untuk bertemu dengannya, tapi kamu lakukan dengan cara diam-diam, sok-sokan izin ke supermarket tapi ternyata." Kaif geleng-geleng kepala, tidak habis fikir dengan apa yang dilihatnya."Rencana selanjutnya kalian apa? Jika saja saya tidak memergoki kalian, pasti kalian akan melakukan cek in, benar begitu bukan?""Tolong beri a

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Istri Rasa Pembantu    8. IRP

    Ponsel Kaif berbunyi, segera pria itu keluar dari kamar dengan membanting pintu. Kaif masih memiliki kesadaran untuk tidak berbuat lebih pada Salwa, karena jika ia sampai kehilangan kendali maka dirinya sendiri yang akan rugi. Tubuh Salwa luruh ke lantai, ucapan Kaif sungguh sangat menyakitkan, pria itu menuduhnya tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. *** "Kamu kemana saja sih, Kaif. Kamu mengajak aku makan siang tapi kamu yang meninggalkan aku sendiri di restoran," gerutu Hana dari balik telepon. Kaif mengusap wajahnya dengan kasar, emosinya membuat ia lupa dengan sang kekasih yang masih ada di restoran. "Maafkan aku, kamu dimana sekarang? aku jemput ya?" tawar Kaif, suaranya terdengar lembut sangat berbeda saat berbicara pada Salwa. "Tidak usah, aku sudah pesan taxi," tolak Hana. "lain kali kalau tidak memiliki niat membawa aku makan siang, gak usah sama sekali," ketus Hana, suara gadis di balik telepon itu terdengar sangat kesal. "Maafkan a—" Belum selesai, Kai

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Istri Rasa Pembantu    9. IRP

    Kaif menatap wajah Salwa dengan tatapan yang menusuk, suaranya rendah namun jelas. "Masuk ke kamarmu, saya tidak memiliki waktu untuk berdebat dengan kamu." "Aku bukan ingin berdebat denganmu, Mas. Aku hanya meminta untuk dihargai layaknya seorang istri," sahut Salwa dengan suara bergetar. Kaif menarik nafas dalam-dalam, nadanya meninggi, "Koreksi cara bicaramu itu dan ingatlah posisimu, Salwa! Kamu hanya anak pembantu dan tak lebih dari itu," ucapnya tegas. "Apa kesalahanku, Mas? Mengapa kau berlaku sekejam ini, sampai-sampai aku tak boleh memanggilmu 'Mas' ketika kita berdua? Sampai kapan kau akan terus memperlakukanku seperti ini?" rintih Salwa sambil mendekati Kaif, matanya sudah berkaca-kaca. "Jika tak menginginkan aku bukan? Maka, ceraikan saja aku, Tuan," pintanya dengan nada penuh penekanan, menggantikan sapaan 'Mas' dengan 'Tuan'. Kaif mengangkat satu alis, sinis. "Kamu seorang santri, harusnya kamu paham tentang hukum Islam mengenai istri yang meminta cerai dari s

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16
  • Istri Rasa Pembantu    10. IRP

    Dua hari telah berlalu setelah kejadian malam itu. Tidak ada lagi pembicaraan di antara Kaif dan Salwa. Malam itu Sofia langsung pulang setelah mengatakan pada Salwa untuk bertahan sebentar lagi. Perempuan paruh baya itu masih berharap pernikahan Kaif dan Salwa akan bertahan. Di malam hari, Salwa mendapat telepon dari kampung bahwa ibunya sedang sakit. Salwa bingung karena hari sudah malam dan ia belum pernah pulang ke kampung setelah menikah. Ia tidak tahu harus pulang bagaimana. Tanpa pilihan lain, Salwa menghampiri Kaif. "Tuan, aku baru mendapat telepon bahwa ibu sedang sakit di kampung, aku minta izin untuk pulang," ujar Salwa. Kaif menghentikan pergerakan tangannya yang sedang sibuk mengutak-atik keyboard laptop. Pria itu mengalihkan pandangan pada Salwa. "Apakah pekerjaanmu di rumah ini sudah selesai?" tanya Kaif tanpa belas kasih. "Sudah, semuanya sudah aku kerjakan, Tuan," ucap Salwa. "Yah, pergi saja!" "Terima kasih," ucap Salwa dengan lega. Meskipun dalam hati k

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16
  • Istri Rasa Pembantu    11. IRP

    Setelah dua hari berada di rumah kelahirannya, kebahagiaan meluap dari raut wajah Salwa. Senyumnya cerah bak mentari pagi, dan ia bisa berlaku apa adanya di sisi ibu serta saudara-saudarinya. Lihatlah bagaimana ia dilarang menyentuh apapun di dapur, Laila dan Siti, istri Hadi, selalu sigap memanjakan adik mereka itu. Kepulangan Salwa menyuntikkan semangat baru bagi Saida, ibu mereka yang sudah beranjak tua. Kini, perempuan itu bersemangat meninggalkan peraduan yang sebelumnya menjadi pengapnya selama berhari-hari. Semua perubahan ini tidak luput dari mata Kaif, yang juga diawasi oleh mata-mata lain dalam keluarga. Meski di rumah itu semuanya nampak sederhana, Kaif merasakan kedamaian yang mendalam saat dikelilingi hangatnya keluarga Salwa. Bahagia merebak di udara kampung, beberapa tetangga berdatangan hanya untuk mengetahui kabar dari Salwa. Semua ini sangat berbeda dari hiruk-pikuk kota, tempat manusia terjebak dalam pusaran pencapaian pribadi. Keakraban dan kehangatan persaud

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-18

Bab terbaru

  • Istri Rasa Pembantu    54. IRP

    Salwa membuka pintu dengan wajah yang terlihat tegang dan nafasnya sedikit tercekat. Di depannya, Pak Mahdi dibantu masuk oleh seorang pria ber-masker dan bertopi, yang tak lain adalah Kaif, dan Salwa belum menyadarinya. "Ya Allah, Bapak kenapa?" pekik Salwa perasaan khawatir bercampur panik. Di sisi lain, seorang wanita paruh baya yang merupakan istri Pak Mahdi, terdengar dari samping toko, "Ada apa, Nduk?" tanyanya dengan suara yang serak, khawatir tergambar jelas di wajahnya. " Bapak, Bu," jawab Salwa, suaranya gemetar. Dengan sigap, Bu Nia melangkah ke arah mereka, kepalanya terangguk memberi isyarat. "Ayo, dibawa masuk," perintahnya lembut namun pasti. Dengan langkah yang teratur dan penuh perhatian, Kaif menggiring Pak Mahdi menuju kamar, menaruhnya perlahan di kasur tua yang bersuara keriatan. "Ibu ambil air minum dulu," ucap Bu Nia, bersiap meninggalkan ruangan. "Biar aku saja, Bu. Ibu temanin Bapak saja," sahut Salwa cepat, mencoba mengurangi beban sang ibu. Dengan

  • Istri Rasa Pembantu    53. IRP

    "Ini, Bu Nisa, hanya sisa lauk ini. Apakah cukup?" DeghKaif yang awalnya sibuk dengan ponselnya, seketika mendongak. Suara lembut itu menusuk kalbu, menggema dalam relung hatinya yang paling dalam, membuat detak jantungnya berhenti sejenak.Napas Kaif tersengal, matanya langsung berkaca-kaca ketika pandangannya tertuju pada sosok perempuan yang selama ini ia cari keberadaannya. Maliha Ana Salwa, begitulah nama perempuan yang kini sedang berdiskusi dengan Bu Nisa itu. Sungguh, dia adalah istrinya yang telah lama hilang dari pelukannya. "Tolong letakkan ini di sana, Ya mbak? Tangan saya kotor," pinta Bu Nisa dengan lembut. "Tentu, Bu," sahut Ana, yang tak lain adalah Salwa.Kaif lngsung menundukkan kepala, bukan karena tidak ingin menatap istrinya, tetapi dia masih terbelenggu oleh permintaan terakhir Salwa yang terpahat di memorinya. Dia ingin mendekatinya dengan segala kesopanan, tidak ingin membuat Salwa terkejut dengan kehadirannya. Dari kejauhan, Kaif merasakan detak langka

  • Istri Rasa Pembantu    52. IRP

    Di tengah keheningan desa yang tersembunyi jauh dari hiruk pikuk kota, Kaif menemukan tempat yang dia yakini sebagai janji suci yang harus dipenuhinya. "Desa ini sempurna, Pak Sandi. Hanya memiliki surau, sehingga pembangunan Masjid akan membawa banyak berkah bagi warga di sini," ujar Kaif dengan penuh keyakinan. Misi Kaif bukan sekadar membangun sebuah struktur fisik. Itu adalah nazar yang terbentuk dari perjuangan dan doa saat ia berjuang melawan sakit yang hampir merenggut nyawanya. "Jika saya diberi kesempatan kedua untuk hidup, maka saya akan membangun sebuah masjid," itulah janjinya. Pak Sandi, pria yang dipercayai Kaif untuk mencari lokasi yang ideal, mengangguk mengerti. "Desa ini memang tidak banyak diketahui oleh banyak orang, sehingga untuk mendapatkan bantuan saja terasa sulit. Tapi itulah yang menjadikannya tempat yang pas. Masjid di sini akan menjadi pusat komunitas yang solid," kata Pak Sandi sambil menyelidiki sekeliling. Kaif menarik napas dalam, mencermati ha

  • Istri Rasa Pembantu    51. IRP

    Usai telepon terputus, napas Kaif terhembus lega. Ia menginstruksikan supirnya untuk bergerak cepat kembali ke Jakarta. Salwa, istrinya, tidak ada di kampung halamannya, dan kini Kaif harus memutar otak untuk menemukannya. Pikirannya bergejolak, dan setiap detik terasa seperti berjalan di atas bara api. Ke mana harus mencari? Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi padanya? Linglung dan gelisah, Kaif terus menerus meminta perlindungan dari Yang Maha Kuasa, berharap agar istrinya ditemukan dalam keadaan selamat. "Setelah ini, Tuan Kaif akan mencari Non Salwa dimana?" tanya Pak Toha memecah keheningan. Kaif yang duduk di sampingnya, mengalihkan pandangan pada Pak Toha dan berkata, "Salwa tidak memiliki banyak kenalan di Jakarta, tapi ada satu orang yang dia kenal." "Siapa, Tuan?" "Tambah kecepatannya, Pak Toha," perintah Kaif. *** "Baru mencari dia sekarang? Dulu kemana saja anda, Tuan Kaif? Saat di depan mata anda abaikan, tapi setelah pergi kau mencarinya. Perbuatan

  • Istri Rasa Pembantu    50. IRP

    Amukan Hasbi tak terkendali ketika Kaif membongkar semua kebenaran yang menyakitkan. Tubuh Kaif layu tanpa daya menyerah pada hantaman demi hantaman yang dilancarkan oleh Hasbi. "Kenapa adikku harus terjebak menikah dengan orang sepertimu? Dia begitu lugu, dia rela disalahkan hanya demi menuruti suaminya yang bangsat ini," ujar Hasbi dengan mata yang memerah dan air mata yang meleleh tanpa bisa ia tahan. Penyesalan mendalam terpancar dari raut wajah Hasbi yang sekarang terguncang oleh kesadaran yang datang terlambat. Dia sendiri yang dulu meninggalkan adiknya, menampar bahkan melarangnya untuk pulang. Dengan suara yang bergetar, dia berbisik pilu, "Astaghfirullah, adikku..." Tangannya tak henti-hentinya menghujam ke tubuh Kaif yang kian memar, seraya mengabaikan setiap bisikan penyesalan dan permohonan maaf Kaif. Keadaan semakin kacau hingga tiba-tiba Siti muncul bagai oasis di tengah padang pasir. Dengan nafas tersengal, dia menerobos ke dalam dan dengan berani menghalau suaminy

  • Istri Rasa Pembantu    49. IRP

    "Menurut pak Toha, istriku sudah melahirkan apa belum ya?""Istri yang mana ya, Tuan?" tanya pak Toha dengan hati-hati, kawatir pertanyaannya menyinggung Kaif."Siapa lagi kalau bukan, Salwa. Hanya dia istriku," kata Kaif."Saya kurang tahu, Tuan. Tapi kemungkinan belum tuan. Kalau tidak salah sekarang kandungan Nona Salwa berusia 8 bulan. Karena saya pernah mendengar pembicaraan Nona Salwa dengan Bi Maryam empat bulan yang lalu," jelas Pak Toha.Ucapan panjang Pak Toha membuat Kaif tersenyum tipis.'Maaf Salwa, aku tidak bisa menuruti keinginanmu,' batin Kaif.***Mendung tebal dan jalanan yang semrawut menyelimuti hati Kaif, membuat langkahnya terhenti. Dengan berat hati, ia memutuskan untuk menunda perjalanan dan beristirahat di sebuah penginapan, karena perhitungannya, ia akan sampai di rumah Salwa pukul sepuluh malam. Waktu yang sangat larut di kampung halamannya, dimana nyaris semua jiwa telah terlelap dalam dinginnya malam. Matahari belum sepenuhnya menyingkap tirai fajarnya

  • Istri Rasa Pembantu    48. IRP

    "Jaga batasanmu, Hana!" ucap Kaif dengan suara yang keras. Pak Toha, yang menyaksikan adegan itu, merasa kebingungan yang dalam. Kerutan di keningnya semakin dalam. Bukankah Hana adalah istri Kaif? Hana, dengan mata berkaca-kaca, berlutut di hadapan Kaif. "Mas, maafkan aku, aku khilaf. Berikan aku kesempatan lagi," rayunya dengan suara serak. "Demi anak yang sedang aku kandung ini, aku memohon." Situasi itu terasa memotong napas, menebar aroma konflik yang mendalam dan menyayat hati di udara sore itu. Hana terduduk lemah, seraya menyimpan sejuta harapan dan penyesalan.Menunggu jawaban dari Kaif yang masih terpaku, terhujam dalam dilema yang menyelimuti kesenyapan yang sejatinya penuh dengan kenangan mereka berdua."Anak siapa? Benih dari laki-laki bajingan itu yang harus aku kasihani?" Kaif menatap wajah Hana dengan tatapan tidak suka. "Sekarang pergi dari rumah saya, hubungan kita sudah berakhir satu bulan yang lalu!""Tidak, Mas. Aku masih ingin mempertahankan pernikahan ini,"

  • Istri Rasa Pembantu    47. IRP

    Salwa menatap kosong seluruh ruang di rumah Sofia yang kini sunyi, terasa semakin hampa setiap detiknya. Dengan ketegaran yang membara, dia menyusun barang-barangnya satu per satu, tanpa kepastian tentang ke mana langkah selanjutnya akan mengarah. Memikirkan pulang ke kampung halamannya bukanlah pilihan, saudaranya sudah menutup pintu untuknya. "Hei, Nak. Kita pergi dari rumah ini, selalu temani mama ya, Nak," gumam Salwa lembut sambil mengelus perutnya yang kian membesar, berharap masa depan cerah untuk buah hatinya. Ketika Salwa melangkahkan kaki keluar kamar, pandangannya menyusuri setiap sudut yang kini hanya berbekas kenangan. Tiba-tiba, suara familiar menghentikan langkahnya. "Non Salwa." Suara Bi Maryam terdengar memanggil dari kejauhan. "Bibi masih belum pulang kampung?" tanya Salwa dengan nada lembut. "Sebentar lagi, Non," sahut Bi Maryam, nada suaranya menenangkan. Salwa tersenyum pahit, "Hati-hati, Bi'." "Non Salwa, mari ikut bibi pulang ke rumah bibi di kampung

  • Istri Rasa Pembantu    46. IRP

    "Ma, boleh aku ikut ke bandara, aku mohon," pinta Salwa pada Sofia, saat Kaif sudah ada di dalam mobil ambulance. Awalnya Sofia ingin menolak, tapi ia berubah fikiran hingga mengizinkan Salwa untuk ikut mengantar. Waktu seperti berlalu begitu cepat, saat ini mereka sudah ada di bandara. Sofia akan membawa Kaif ke Amerika dengan menggunakan pesawat khusus , dimana pesawat itu sudah dilengkapi dengan alat medis. Pada saat detik-detik Kaif dan Sofia bersiap memasuki pesawat, kesedihan semakin menyelimuti Salwa. Perpisahan yang akan terjadi begitu nyata hingga membuat dadanya sesak, dan jantungnya seolah tertindih beban berat. "Kaif, apa kamu merasa baik-baik saja?" Sofia memecah kesunyian sambil memandang Kaif yang berusaha menggerakkan - gerakkan jemarinya sehingga wajah pria itu memerah karena terlalu memaksa. Dengan gerakan yang teramat pelan, Salwa membungkuk di hadapan Kaif, kedua tangan lembutnya menyentuh tangan Kaif dengan penuh kasih. "Kenapa, Tuan? Apakah ada yang

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status