Menuju puncak konflik nih, guys. Thanks for reading. Happy weekend!
"Presdir yang tidak becus itu .... Apakah dia berpikir dia lebih berkuasa karena mendanai proyek kerja sama denganku?" gerutu Edmund.Selang satu dengusan, ia mengeluarkan ponsel, hendak menghubungi Alice lagi. Namun, tak ingin Sky kecewa untuk yang kedua kalinya, ia bergegas kembali ke meja. Ia sadar dirinya harus lebih tegas."Tuan Cage, di mana presdir Anda sekarang?" tanya Edmund, terdengar sedikit kesal. Pria di seberang meja memeriksa ponselnya. "Maaf atas ketidaknyamanan Anda, Tuan. Dua menit lagi mereka tiba. Kita bisa langsung memproses penandatanganan begitu mereka datang." Alis Edmund berkerut lebih dalam. Ia heran mengapa sang pria menyebut "mereka". Apakah presdir Elles Investment lebih dari satu orang? Atau sopirnya dihitung juga? "Saya harap Anda tidak lupa kalau waktu saya terbatas. Jika lima menit lagi presdir Anda tidak berada di sini, saya terpaksa meninggalkan kontrak tanpa tanda tangan." Tuan Cage mengangguk. "Mengerti, Tuan." Namun, tak sampai semenit, seoran
"Jadi, setelah melihatku seperti ini, bukankah kau menyesal?" Giselle meninggikan sebelah alis. Tidak mendapat jawaban, ia tertawa kecil. "Kalau saja sejak dulu kau memilihku, hidupmu pasti akan lebih bahagia. Perusahaanmu lebih sukses dan namamu juga lebih gemilang. Kau tidak akan terseret rumor miring karena aku tidak sebodoh Alice. Kalau aku menjadi istrimu, kupastikan kau selalu bangga padaku." "Begitukah?" timpal Edmund dingin. "Menurutmu, hidupku akan sempurna kalau bersamamu?" Giselle mengangguk tanpa berpikir panjang. "Ya. Bukankah itu sudah jelas?" Edmund tiba-tiba tertunduk. Sambil menghela napas samar, ia menggeleng-gelengkan kepala. "Ini sungguh sulit dipercaya." Mendengar gumaman itu, mata Giselle membulat. Ia seperti baru saja menangkap harapan, salah memahami kata-kata Edmund. "Kau tahu? Belum terlambat untuk mengubah keputusanmu. Tinggalkan Alice dan kembalilah kepadaku. Aku masih bersedia menerimamu." "Kembali padamu?" Edmund menegakkan kepalanya lagi. "Ya," G
"Apa itu?" Edmund mengedipkan matanya yang membulat.Giselle memperlihatkan layarnya di hadapan Edmund. Namun, sebelum sang pria berhasil merebut ponselnya, ia cepat-cepat mengamankan. "Menurutmu apa yang akan terjadi begitu Alice melihat foto ini? Dia akan salah paham? Patah hati? Mencoba untuk mengakhiri hidupnya lagi?" Giselle menaikkan alis. Suaranya menegaskan bahwa dirinya merasa di atas angin. Di luar dugaan, Edmund malah mendengus remeh. "Kau mau menggunakan trik itu lagi? Kau pikir kami akan tertipu untuk yang kedua kali?" Giselle mengerjap. "Trik apa yang kau maksud?" Ia memperbesar foto pada layar, lalu menunjukkannya kepada Edmund dari jarak yang sama. Dalam gambar yang dikirimkan oleh anak buahnya itu, Giselle tampak hendak memeluk Edmund. Tangan Edmund masih belum terangkat untuk menepisnya. "Kau pikir ini foto editan? Ini foto asli, foto saat aku tiba tadi." Edmund menghela napas lelah. "Tapi foto itu menyatakan hal yang bertentangan dengan kenyataan. Aku jelas-jel
Setibanya di parkiran, Edmund menatap Alice dan Sky dengan lembut. Senyumnya terkesan sendu. "Bagaimana kalian bisa menyusul? Apakah kalian bosan menungguku?" "Tidak, Papa. Ini berkat Bibi Emma dan Paman Henry. Mereka bilang kalau Papa sedang dalam bahaya. Karena itu, kami datang menyusul." "Emma dan Henry?" Edmund terbelalak. Alice mengangguk. "Mereka tidak sengaja melihat Giselle saat membeli kado tadi. Karena curiga, mereka membuntutinya. Ternyata mereka malah melihatmu di sini. Merasa ada yang tidak beres, mereka menelepon kami untuk segera datang." Edmund berkedip tak mengerti. "Tapi kalian butuh waktu untuk di perjalanan. Berapa lama mereka sudah di sini?" "Sekitar satu jam?" Alice mengira-ngira. Edmund sontak mendengus tak percaya. "Ternyata mereka sengaja membuatku menunggu? Kurang ajar sekali mereka." "Sudahlah, Papa. Jangan kesal. Yang penting Papa sudah aman sekarang." Mendengar suara manis itu, hati Edmund langsung luluh. Ia menekuk lutut, memegangi pundak Sky deng
"Bagaimana, Papa? Apakah kuenya enak?" tanya Sky dengan mulut belumuran cokelat. "Sangat enak. Apakah kamu yang membuatnya?" Sky sontak mengangkat kedua tangan walaupun salah satunya masih menggenggam sendok. "Ya! Aku membantu Nyonya Klein menuangkan raspberry-nya ke dalam adonan. Aku juga mengaduknya." Ia membuat gerakan berputar, memperagakan bagaimana caranya. "Lalu aku membantu Mama menyusun lapisan kue dan hiasan di atasnya. Kata Nyonya Klein, Papa suka raspberry. Jadi aku meletakkan raspberry yang sangat banyak." Sambil terkekeh, Edmund mengelap krim cokelat yang menodai pipi putrinya. "Pantas saja kue ini sangat enak. Lain kali, bagaimana kalau kita membuatnya bersama?" Sky mengangguk mantap. "Ide bagus, Papa. Sekarang, karena Papa sudah selesai makan, bagaimana kalau Papa mulai membuka kado-kado di sana? Setelah itu, baru aku mengeluarkan kado istimewanya." "Tapi kamu belum menghabiskan kuemu." Sky tertunduk menatap piringnya. Potongan kue kedua itu baru satu gigit dima
Sambil mengusap mata, Edmund mengangguk-angguk. "Ya, mari kita jadikan pesta ulang tahun itu sebagai yang terbaik. Kamu mau kado apa, kue ulang tahun seperti apa, bagaimana dekorasinya ... katakan saja. Aku pasti akan mewujudkannya untukmu. Karena aku ayahmu." Sky tersenyum semringah. "Benarkah? Kalau aku mau mengadakan pesta ulang tahun di tengah hutan, Papa juga bisa mewujudkannya?" Edmund mengangguk. "Kamu mau pesta di tengah hutan?" Sky terkikik. "Tidak, Papa. Selama ini, aku selalu berada di hutan setiap ulang tahunku tiba. Aku mau sesuatu yang berbeda. Nanti biar kupikirkan. Mungkin di gurun pasir atau kutub utara?" Semua orang terbelalak, termasuk Edmund. Mendapati reaksi itu, tawa Sky mengudara. "Aku bercanda. Di sana sangat panas dan dingin. Tidak cocok untuk berpesta. Nanti biar kupikirkan dengan hati-hati. Untuk saat ini, Papa cukup berjanji untuk menepatinya." Sky menyodorkan kelingking. Edmund mengecupnya lalu tersenyum. "Ya, Papa janji. Sekarang, bagaimana kalau kit
"Papa, Mama, ayo cepat!" ujar Sky sambil berkacak pinggang dan mengentakkan kaki. Melihat kelakuan gadis kecil itu, Edmund dan Alice terkekeh. "Sabar, Sayang. Ini masih pagi," tutur Alice sambil menyisir rambut dengan teliti. Sementara itu, Edmund mengenakan baju dengan lebih gesit. "Ya, kita punya banyak waktu hari ini. Tidak perlu tergesa-gesa." "Tapi aku sudah tidak sabar mau pergi ke Grand Canyon. Sudah kubilang, jangan bermain lagi malam-malam. Mama dan Papa seharusnya langsung tidur. Kenapa malah bergadang?" Sambil mendengus, Sky melipat tangan di depan dada. Bibir manyunnya terlihat lucu. "Lihat akibatnya! Matahari sudah tinggi, tapi kita belum berangkat." "Jangan marah-marah, Sayang. Nanti kamu cepat tua," celetuk Alice. Edmund mengangguk sepakat. "Mama benar. Nanti kamu tidak lucu lagi." Sky mengulum bibir. Alisnya berkerut. "Papa ini sedang meledek atau memujiku?" Edmund tersenyum jail. "Dua-duanya." Sambil menggembungkan pipi, Sky merapat kepada sang ayah. Kekesala
Pertanyaan Sky menimbulkan dilema dalam hati Edmund. Ia tidak tahu jawaban apa yang pantas ia berikan. Terang saja ia cemburu kepada Lucas. Bukan hanya soal Alice, tetapi juga Sky. Lucas yang menemani Sky melewati periode emas. Ia yang menggendongnya sewaktu masih bayi. Ia yang mengajarinya bicara dan berjalan. Ia juga yang berbagi banyak pengetahuan dan pengalaman sehingga Sky sepintar sekarang. Satu-satunya hal yang telah Edmund lakukan untuk sang putri adalah mengajarinya membaca. Hanya satu! Edmund jelas kalah telak. "Ayolah, Papa." Sky tiba-tiba mengguncang kaki Edmund. "Kemarin saja, Mama tidak cemburu Papa berbincang dengan Giselle. Mama bahkan tidak keberatan kalau Papa jadi bekerja sama dengannya. Papa seharusnya tidak cemburu juga kalau Mama berbicara dengan Papa Lucas. Apalagi ...." Sky menarik napas dalam-dalam. "Papa Lucas sebetulnya bukan orang jahat. Meskipun dia sudah membohongi Mama dan menghukumku membersihkan kandang ayam, banyak hal yang sudah ia lakukan untukk