Karena nanti sore Pixie ada urusan, Pixie update dulu. Semoga kalian sukaaaa. Terima kasih sudah membaca.
"Jadi, setelah melihatku seperti ini, bukankah kau menyesal?" Giselle meninggikan sebelah alis. Tidak mendapat jawaban, ia tertawa kecil. "Kalau saja sejak dulu kau memilihku, hidupmu pasti akan lebih bahagia. Perusahaanmu lebih sukses dan namamu juga lebih gemilang. Kau tidak akan terseret rumor miring karena aku tidak sebodoh Alice. Kalau aku menjadi istrimu, kupastikan kau selalu bangga padaku." "Begitukah?" timpal Edmund dingin. "Menurutmu, hidupku akan sempurna kalau bersamamu?" Giselle mengangguk tanpa berpikir panjang. "Ya. Bukankah itu sudah jelas?" Edmund tiba-tiba tertunduk. Sambil menghela napas samar, ia menggeleng-gelengkan kepala. "Ini sungguh sulit dipercaya." Mendengar gumaman itu, mata Giselle membulat. Ia seperti baru saja menangkap harapan, salah memahami kata-kata Edmund. "Kau tahu? Belum terlambat untuk mengubah keputusanmu. Tinggalkan Alice dan kembalilah kepadaku. Aku masih bersedia menerimamu." "Kembali padamu?" Edmund menegakkan kepalanya lagi. "Ya," G
"Apa itu?" Edmund mengedipkan matanya yang membulat.Giselle memperlihatkan layarnya di hadapan Edmund. Namun, sebelum sang pria berhasil merebut ponselnya, ia cepat-cepat mengamankan. "Menurutmu apa yang akan terjadi begitu Alice melihat foto ini? Dia akan salah paham? Patah hati? Mencoba untuk mengakhiri hidupnya lagi?" Giselle menaikkan alis. Suaranya menegaskan bahwa dirinya merasa di atas angin. Di luar dugaan, Edmund malah mendengus remeh. "Kau mau menggunakan trik itu lagi? Kau pikir kami akan tertipu untuk yang kedua kali?" Giselle mengerjap. "Trik apa yang kau maksud?" Ia memperbesar foto pada layar, lalu menunjukkannya kepada Edmund dari jarak yang sama. Dalam gambar yang dikirimkan oleh anak buahnya itu, Giselle tampak hendak memeluk Edmund. Tangan Edmund masih belum terangkat untuk menepisnya. "Kau pikir ini foto editan? Ini foto asli, foto saat aku tiba tadi." Edmund menghela napas lelah. "Tapi foto itu menyatakan hal yang bertentangan dengan kenyataan. Aku jelas-jel
Setibanya di parkiran, Edmund menatap Alice dan Sky dengan lembut. Senyumnya terkesan sendu. "Bagaimana kalian bisa menyusul? Apakah kalian bosan menungguku?" "Tidak, Papa. Ini berkat Bibi Emma dan Paman Henry. Mereka bilang kalau Papa sedang dalam bahaya. Karena itu, kami datang menyusul." "Emma dan Henry?" Edmund terbelalak. Alice mengangguk. "Mereka tidak sengaja melihat Giselle saat membeli kado tadi. Karena curiga, mereka membuntutinya. Ternyata mereka malah melihatmu di sini. Merasa ada yang tidak beres, mereka menelepon kami untuk segera datang." Edmund berkedip tak mengerti. "Tapi kalian butuh waktu untuk di perjalanan. Berapa lama mereka sudah di sini?" "Sekitar satu jam?" Alice mengira-ngira. Edmund sontak mendengus tak percaya. "Ternyata mereka sengaja membuatku menunggu? Kurang ajar sekali mereka." "Sudahlah, Papa. Jangan kesal. Yang penting Papa sudah aman sekarang." Mendengar suara manis itu, hati Edmund langsung luluh. Ia menekuk lutut, memegangi pundak Sky deng
"Bagaimana, Papa? Apakah kuenya enak?" tanya Sky dengan mulut belumuran cokelat. "Sangat enak. Apakah kamu yang membuatnya?" Sky sontak mengangkat kedua tangan walaupun salah satunya masih menggenggam sendok. "Ya! Aku membantu Nyonya Klein menuangkan raspberry-nya ke dalam adonan. Aku juga mengaduknya." Ia membuat gerakan berputar, memperagakan bagaimana caranya. "Lalu aku membantu Mama menyusun lapisan kue dan hiasan di atasnya. Kata Nyonya Klein, Papa suka raspberry. Jadi aku meletakkan raspberry yang sangat banyak." Sambil terkekeh, Edmund mengelap krim cokelat yang menodai pipi putrinya. "Pantas saja kue ini sangat enak. Lain kali, bagaimana kalau kita membuatnya bersama?" Sky mengangguk mantap. "Ide bagus, Papa. Sekarang, karena Papa sudah selesai makan, bagaimana kalau Papa mulai membuka kado-kado di sana? Setelah itu, baru aku mengeluarkan kado istimewanya." "Tapi kamu belum menghabiskan kuemu." Sky tertunduk menatap piringnya. Potongan kue kedua itu baru satu gigit dima
Sambil mengusap mata, Edmund mengangguk-angguk. "Ya, mari kita jadikan pesta ulang tahun itu sebagai yang terbaik. Kamu mau kado apa, kue ulang tahun seperti apa, bagaimana dekorasinya ... katakan saja. Aku pasti akan mewujudkannya untukmu. Karena aku ayahmu." Sky tersenyum semringah. "Benarkah? Kalau aku mau mengadakan pesta ulang tahun di tengah hutan, Papa juga bisa mewujudkannya?" Edmund mengangguk. "Kamu mau pesta di tengah hutan?" Sky terkikik. "Tidak, Papa. Selama ini, aku selalu berada di hutan setiap ulang tahunku tiba. Aku mau sesuatu yang berbeda. Nanti biar kupikirkan. Mungkin di gurun pasir atau kutub utara?" Semua orang terbelalak, termasuk Edmund. Mendapati reaksi itu, tawa Sky mengudara. "Aku bercanda. Di sana sangat panas dan dingin. Tidak cocok untuk berpesta. Nanti biar kupikirkan dengan hati-hati. Untuk saat ini, Papa cukup berjanji untuk menepatinya." Sky menyodorkan kelingking. Edmund mengecupnya lalu tersenyum. "Ya, Papa janji. Sekarang, bagaimana kalau kit
"Papa, Mama, ayo cepat!" ujar Sky sambil berkacak pinggang dan mengentakkan kaki. Melihat kelakuan gadis kecil itu, Edmund dan Alice terkekeh. "Sabar, Sayang. Ini masih pagi," tutur Alice sambil menyisir rambut dengan teliti. Sementara itu, Edmund mengenakan baju dengan lebih gesit. "Ya, kita punya banyak waktu hari ini. Tidak perlu tergesa-gesa." "Tapi aku sudah tidak sabar mau pergi ke Grand Canyon. Sudah kubilang, jangan bermain lagi malam-malam. Mama dan Papa seharusnya langsung tidur. Kenapa malah bergadang?" Sambil mendengus, Sky melipat tangan di depan dada. Bibir manyunnya terlihat lucu. "Lihat akibatnya! Matahari sudah tinggi, tapi kita belum berangkat." "Jangan marah-marah, Sayang. Nanti kamu cepat tua," celetuk Alice. Edmund mengangguk sepakat. "Mama benar. Nanti kamu tidak lucu lagi." Sky mengulum bibir. Alisnya berkerut. "Papa ini sedang meledek atau memujiku?" Edmund tersenyum jail. "Dua-duanya." Sambil menggembungkan pipi, Sky merapat kepada sang ayah. Kekesala
Pertanyaan Sky menimbulkan dilema dalam hati Edmund. Ia tidak tahu jawaban apa yang pantas ia berikan. Terang saja ia cemburu kepada Lucas. Bukan hanya soal Alice, tetapi juga Sky. Lucas yang menemani Sky melewati periode emas. Ia yang menggendongnya sewaktu masih bayi. Ia yang mengajarinya bicara dan berjalan. Ia juga yang berbagi banyak pengetahuan dan pengalaman sehingga Sky sepintar sekarang. Satu-satunya hal yang telah Edmund lakukan untuk sang putri adalah mengajarinya membaca. Hanya satu! Edmund jelas kalah telak. "Ayolah, Papa." Sky tiba-tiba mengguncang kaki Edmund. "Kemarin saja, Mama tidak cemburu Papa berbincang dengan Giselle. Mama bahkan tidak keberatan kalau Papa jadi bekerja sama dengannya. Papa seharusnya tidak cemburu juga kalau Mama berbicara dengan Papa Lucas. Apalagi ...." Sky menarik napas dalam-dalam. "Papa Lucas sebetulnya bukan orang jahat. Meskipun dia sudah membohongi Mama dan menghukumku membersihkan kandang ayam, banyak hal yang sudah ia lakukan untukk
"Apa yang sedang kau lakukan? Kau bilang kau mengajak kami bicara untuk berpisah baik-baik. Tapi kenapa kau malah berusaha mengubah keputusan kami?" tanya Alice dengan suara tebal dan dalam. Lucas agak gentar dibuatnya. "Maaf, Alice, tapi hanya ini kesempatan yang kupunya. Aku sudah melepas kalian satu kali. Aku tidak mau ada yang kedua kalinya." "Kau lupa kalau aku bukan istrimu?" "Justru karena itu, aku meminta kesempatan. Aku bisa menikahimu, Alice, menjadikan kalian keluargaku yang sebenarnya. Tidak apa-apa kalau kau tidak mau melayaniku. Aku tidak keberatan dan aku berjanji tidak akan memaksa. Yang kubutuhkan adalah kehadiran kalian." Alice menggeleng-geleng tak percaya. "Apakah kau sudah tidak waras? Aku ini istri orang. Kau terang-terangan memintaku untuk mengkhianati Edmund?" Tiba-tiba, Lucas bangkit berdiri. Ia pindah ke sisi Alice, membungkuk dengan tangan bertopang pada meja dan sandaran kursi. "Tidakkah itu membuatmu lebih bahagia? Kau bisa hidup bebas jika bersamaku.
"Sky, kita seharusnya membawa senapan itu juga tadi. Mengapa kita meninggalkannya di dalam tenda? Pemburu itu jadi bisa mengambilnya," bisik Emily sembari mengguncang tangan Sky. Merasa risih, Louis menyikut lengannya. "Sudahlah, Emily. Tidak ada yang perlu disesali. Kita sebaiknya memikirkan cara untuk mengalahkan laki-laki jahat ini." "Kalian pikir kalian bisa mengalahkanku?" Pemburu itu tertawa kasar. "Jangan bermimpi!" Sang pemburu mengangkat senapannya lagi. Namun, ketika ia hendak membidik, suara aneh datang dari atas. Melihat seekor orang utan besar hendak melompat dari dahan, Sky bergegas menarik si Kembar berlari mengikutinya. Ia tidak peduli lagi dengan senapan yang tergeletak di tanah. Ia tahu betul bahwa orang utan yang sedang marah jauh lebih berbahaya dibandingkan musuh mereka. Sementara itu, sang pemburu sudah terlanjur terpaku. Ia hanya bisa berteriak saat mamalia besar itu menimpanya. Pemburu lain yang menyaksikan tidak berani bertindak. Mereka bahkan sama sekali
Si Kembar kembali bungkam. Mereka tidak tahu jawaban apa yang tepat. Mereka tidak ingin kembali ke kurungan sempit itu, tetapi mereka juga tidak mau ditembak. Apalagi, pemburu di hadapan mereka tampak serius dengan ancamannya. "Louis, kurasa kita jangan melawan. Dia tidak akan ragu menembak kita. Lihat, jarinya sudah siap menekan pelatuk," bisik Emily was-was. Louis menelan ludah. Ia sepakat dengan sang adik, tetapi enggan mengakuinya. "Tenang, Emily. Masih ada cara lain untuk selamat." Ia berpikir keras, memaksa otak untuk menelurkan ide spontan. "Tuan, bagaimana kalau kita bernegosiasi?" ucapnya tanpa terduga. Sang pemburu menarik matanya mundur dari lubang pengintai. Sebelah alisnya terdongkrak naik. Ia tidak menduga bisa mendengar kata itu. "Negosiasi apa yang bisa ditawarkan anak kecil sepertimu?" "Kami ini bukan anak-anak biasa. Kami adalah pewaris Savior Group, calon pemimpin hebat di masa depan. Kalau kau bersedia membebaskan kami, kami akan membayarmu dengan jumlah besar
"Papa, kebetulan sekali, GPS milik Louis ada padaku. Aku sedang melihat koordinat lokasinya," ujar Sky sambil berkedip-kedip gusar. "Itu bagus, Sayang. Bisa kau bacakan koordinatnya? Papa akan langsung menuju ke sana." Sky menelan ludah. Keringat dingin membutir di keningnya. "Itulah masalahnya. Aku lupa angka-angka yang sudah kuhafal." Edmund terdiam sejenak. Sky bisa membayangkan sang ayah mendesah kecewa. "Papa, apakah Papa marah? Ganti." "Tidak, Sayang. Papa tidak marah. Papa mengerti kalau kamu terlalu gugup sekarang. Coba tarik napas dalam-dalam, tenangkan pikiran. Kamu sudah berhasil mengingat semua angka dan bahkan huruf, Sayang. Pelan-pelan, kamu pasti bisa membacanya." Sky menuruti saran Edmund. Setelah terpejam sejenak, ia memperhatikan koordinat dengan saksama. "Ada garis kecil yang sedang tidur di sini, Papa." "Oke. Itu tanda negatif. Artinya kalian sedang berada di selatan garis khatulistiwa. Lalu?" "Ada bulat. Ini nol, kan?" "Ya. Kamu melakukannya dengan baik s
"Apakah aku tidak salah lihat? Ada anak manusia di tengah hutan?" Pria itu berbicara dengan bahasa yang tidak Louis dan Emily mengerti.Decak kesal terlontar dari pria yang satu lagi. "Sial! Menambah pekerjaan kita saja." "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Apa lagi? Kita tidak mungkin membiarkan mereka lepas. Mereka bisa melapor kepada orang-orang. Rencana kita bisa berantakan. Ayo tangkap mereka!" Si Kembar mengerjap melihat senapan yang ditodongkan ke arah mereka. Emily langsung bersembunyi di balik punggung Louis, sedangkan Louis dengan berani melangkah maju dan merentangkan tangan di depan Mimi. "Jangan sakiti orang utan ini! Mereka adalah hewan langka yang dilindungi oleh seluruh dunia. Mereka tidak boleh diburu dan diperdagangkan!" seru Louis lantang. Dari balik pundak Louis, Emily mengintip. "Ya! Orang utan harus dilestarikan, bukan diburu. Memangnya kalian tidak kasihan kepada mereka? Lihat! Anaknya sampai ketakutan!" Di luar dugaan, dua pemburu itu malah tertawa. T
"Tidak, Louis." Emily mengernyitkan dahi. "Kita tidak boleh meninggalkan Mimi sendirian di sini. Dia bisa mati.""Tapi itu yang dia mau. Dia ingin anaknya selamat. Dia pasti bertahan. Kita hanya perlu menyelamatkan anak Mimi dengan cepat. Menurutku, kita bisa melakukannya. Kita ini anak-anak terlatih, kau ingat?" Alih-alih setuju, Emily menggeleng tegas. "Tidak, Louis. Itu terlalu berisiko. Kita tidak boleh egois dan memikirkan kesenangan kita sendiri. Bagaimana kalau kita hubungi rumah hutan saja? Ini masalah serius."Sementara Louis menghela napas berat, Sky menautkan alis. Ia terlihat sangat serius dengan bibir terlipat ke dalam."Kurasa Emily benar. Kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Kita butuh bantuan orang dewasa. Papa Mama kita dan orang-orang yayasan. Kita harus melaporkan hal ini kepada mereka. Mimi butuh bantuan medis, sedangkan para pemburu liar itu harus ditangkap." Louis termenung sebentar. Ia sebetulnya enggan menghubungi orang tuanya. Ia ingin mandiri.
"Sky, bunyi apa itu?" bisik Emily dengan suara tersekat. "Apakah itu suara ledakan?" "Kurasa itu suara senapan," potong Louis sebelum menggenggam lengan gadis yang paling kecil. "Sky, mungkinkah itu pemburu liar?" Sky berkedip-kedip gusar. "Mungkin iya. Daerah ini sudah berada di luar lingkup yayasan. Tim patroli hanya sesekali memeriksanya. Itu pun kalau mereka sempat." "Bukankah perburuan liar itu dilarang? Kenapa masih ada saja orang-orang jahat yang membunuh satwa? Kira-kira, apa yang baru saja mereka tembak? Apakah orang utan?" tanya Louis dengan ekspresi serius. Emily langsung bergidik ngeri. "Oh, kalau memang para pemburu itu mengincar orang utan, kuharap dia berhasil lolos dan selamat. Orang utan itu hewan langka. Kasihan kalau mereka punah." "Dan kuharap itu bukan Mimi," lanjut Sky sembari mengentakkan kaki. "Dia selalu membawa anaknya ke mana-mana. Dia pasti susah bergerak dan rentan terhadap serangan." "Bagaimana kalau kita memeriksanya? Kalau memang itu ulah pemburu l
"Sayang, apakah kamu melihat anak-anak?" tanya Alice sembari menghampiri Edmund. "Anak-anak?" Edmund mengalihkan pandangan dari laptopnya. Kedua alisnya terdongkrak. "Bukankah mereka masih tidur? Aku tidak melihat mereka keluar tenda." "Kupikir juga begitu. Tapi setelah kuperiksa, mereka tidak ada." Edmund pun menoleh ke sekeliling. Mata dan telinganya menajam. Akan tetapi, tidak ada jejak anak-anak yang terdeteksi. "Mungkinkah mereka bermain di kebun belakang?" Alice menggeleng. "Aku sudah mencari mereka di sana. Tidak ada." "Kandang ayam? Siapa tahu, Sky mengajak si Kembar dan Russell melihat anak ayam." "Tidak ada juga." Edmund menjentikkan jari. "Kandang angsa! Mereka pasti sedang bermain dengan Gigi dan Gusi." Alice menghela napas berat. Guratan di keningnya tampak lebih jelas. "Tidak ada, Ed. Aku sudah mencari mereka ke mana-mana. Mereka tidak ada." "Apakah kau sudah mencari di dalam rumah? Siapa tahu mereka sedang bermain petak umpet. Mereka mungkin saja sedang bersemb
Alis Louis berkerut mendengar pertanyaan Edmund. "Kenapa Anda bertanya begitu, Tuan? Tentu saja aku menyayangi Sky. Dia temanku. Dia sudah seperti seorang adik bagiku." Edmund berkedip kaku. "Begitukah? Kau menganggapnya sebagai seorang adik?" Louis mengangguk mantap. "Ya, kurasa Emily juga begitu. Dulu dia menginginkan adik perempuan. Ternyata, Russell yang keluar. Dia sempat sedih. Kehadiran Sky membantu mengobati kekecewaannya." Bibir Edmund perlahan mengerucut. Tangannya disempal ke dalam saku. "Jadi, kau menganggap putriku sebagai adikmu?" gumamnya. Entah mengapa, perasaan lega timbul dalam hatinya. "Apakah itu berarti kau akan menjaganya seperti adik-adikmu?" "Ya, aku akan berusaha untuk menjaga Sky dengan baik. Aku tidak akan membuatnya menangis." Alis Edmund kembali tertaut. "Tapi tadi, aku melihatmu mengusili Emily. Apakah kau bisa dipercaya untuk menjaga adik-adikmu?" Tiba-tiba saja, bibir Louis berkedut. Sambil menggaruk pelipis, ia terkekeh. "Soal itu, aku memang suk
Semua orang bertepuk tangan saat Sky dan teman-teman hewannya selesai melakukan pertunjukan. Bukan hanya anak-anak Harper yang terkesima, tetapi orang tua mereka juga. "Terima kasih, Sky. Ini adalah sambutan paling manis yang pernah kami terima," tutur Kara dengan senyum lebar. "Ya, ini sambutan yang luar biasa. Bagaimana caramu melatih hewan-hewan itu? Bukan hanya kucing dan anjing, kamu juga berhasil melatih dua ekor angsa." Frank mengacungkan jempolnya. Sky terkekeh bangga. "Itu karena mereka bukan sembarang hewan, Tuan. Mereka adalah teman-temanku dan mereka pintar. Kurasa mereka mau mengikuti aba-aba dariku karena kami akrab." "Mereka teman-temanmu?" Frank menaikkan alis. Si Kembar langsung berebut menjelaskan. "Tidak ada anak-anak lain di sini, Papa. Karena itu, Sky hanya bermain dengan teman-teman hewannya." "Sky bilang dia selalu memberi mereka makan yang banyak. Kurasa, karena itu juga hewan-hewan itu patuh padanya. Mereka suka pada Sky!" Sky melompat antusias. "Louis