Gimana nih, guys? Izinin apa enggak?
Pertanyaan Sky menimbulkan dilema dalam hati Edmund. Ia tidak tahu jawaban apa yang pantas ia berikan. Terang saja ia cemburu kepada Lucas. Bukan hanya soal Alice, tetapi juga Sky. Lucas yang menemani Sky melewati periode emas. Ia yang menggendongnya sewaktu masih bayi. Ia yang mengajarinya bicara dan berjalan. Ia juga yang berbagi banyak pengetahuan dan pengalaman sehingga Sky sepintar sekarang. Satu-satunya hal yang telah Edmund lakukan untuk sang putri adalah mengajarinya membaca. Hanya satu! Edmund jelas kalah telak. "Ayolah, Papa." Sky tiba-tiba mengguncang kaki Edmund. "Kemarin saja, Mama tidak cemburu Papa berbincang dengan Giselle. Mama bahkan tidak keberatan kalau Papa jadi bekerja sama dengannya. Papa seharusnya tidak cemburu juga kalau Mama berbicara dengan Papa Lucas. Apalagi ...." Sky menarik napas dalam-dalam. "Papa Lucas sebetulnya bukan orang jahat. Meskipun dia sudah membohongi Mama dan menghukumku membersihkan kandang ayam, banyak hal yang sudah ia lakukan untukk
"Apa yang sedang kau lakukan? Kau bilang kau mengajak kami bicara untuk berpisah baik-baik. Tapi kenapa kau malah berusaha mengubah keputusan kami?" tanya Alice dengan suara tebal dan dalam. Lucas agak gentar dibuatnya. "Maaf, Alice, tapi hanya ini kesempatan yang kupunya. Aku sudah melepas kalian satu kali. Aku tidak mau ada yang kedua kalinya." "Kau lupa kalau aku bukan istrimu?" "Justru karena itu, aku meminta kesempatan. Aku bisa menikahimu, Alice, menjadikan kalian keluargaku yang sebenarnya. Tidak apa-apa kalau kau tidak mau melayaniku. Aku tidak keberatan dan aku berjanji tidak akan memaksa. Yang kubutuhkan adalah kehadiran kalian." Alice menggeleng-geleng tak percaya. "Apakah kau sudah tidak waras? Aku ini istri orang. Kau terang-terangan memintaku untuk mengkhianati Edmund?" Tiba-tiba, Lucas bangkit berdiri. Ia pindah ke sisi Alice, membungkuk dengan tangan bertopang pada meja dan sandaran kursi. "Tidakkah itu membuatmu lebih bahagia? Kau bisa hidup bebas jika bersamaku.
Bukannya menghampiri Lucas, anjing German Sepherd itu malah duduk di samping Sky. Melihat hal itu, Alice terperangah, Sky menggigit bibir, sedangkan Lucas menghela napas tak percaya. "Canis? Yang benar saja? Kau juga?" Pria itu tertawa pahit dan menjepit pangkal hidungnya. Matanya terpejam. Kepalanya menggeleng-geleng tak terima. "Bahkan Canis memilih untuk meninggalkan aku. Kenapa? Kenapa tidak ada yang mau bertahan bersamaku?" Mendengar gumaman tersebut, Sky mulai mencebik. Ia melihat Canis sejenak, lalu mendongak menatap Alice. Sesuai dugaan, sang ibu juga kehabisan kata-kata. Wajahnya melukiskan rasa iba. "Mama, haruskah aku membujuk Canis untuk ikut Papa Lucas saja?" bisiknya lirih. "Oh, Sayang," Alice mengusap pipi putrinya. "Itu adalah solusi yang sangat bijak. Tapi, apakah kamu tidak keberatan berpisah dengan Canis? Melihat kondisi sekarang, kita tidak tahu kapan bisa bertemu dengannya lagi. Papa Lucas mungkin akan menghindar dari kita sampai hatinya membaik." Sky berpiki
"Lucas, benar?" tanya Elizabeth pelan, seolah takut terdengar oleh yang lain. Alis Lucas berkerut samar. "Ya.""Tadi aku mendengar Sky memanggilmu Papa. Apakah aku tidak salah?" Alih-alih menjawab, Lucas malah memperhatikan Elizabeth dengan lebih saksama. "Maaf. Anda ini siapa, Nyonya?" Elizabeth tersenyum anggun. "Ah, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Aku Elizabeth Hills." Ia menyodorkan tangan. Lucas menyambut dengan gerak ragu. "Anda ... ibu dari Edmund?" "Benar sekali. Dan kau?" Mata Elizabeth menyipit. "Bagaimana ceritanya Sky bisa memanggilmu Papa? Mungkinkah kamu adalah orang yang menyelamatkan Alice ketika hanyut di sungai?" Lucas bergeming sejenak. "Ya, saya yang menyelamatkan Alice.""Jadi begitu." Elizabeth mengangguk-angguk. "Sekarang aku mengerti kenapa Sky awalnya memanggil Edmund Paman, sedangkan kamu langsung dipanggil Papa. Ternyata selama ini, dia menganggap orang lain sebagai ayahnya. Apakah kamu sudah menikah dengan Alice?" Alis Lucas semakin berkerut tak
"Wah, inikah ngarai terindah dan terbesar di dunia?" ujar Sky dengan mata berbinar. Alice dan Edmund tersenyum melihat antusiasmenya. "Ya, terbesar berdasarkan panjangnya. Dia mencapai 445 km. Tapi kalau dilihat dari kedalamannya, masih ada ngarai di Nepal, Peru, dan Meksiko yang lebih dalam." "Seberapa panjang 445 km itu, Papa?" Sky menyipitkan mata, mengukur apa yang terlihat dengan jengkal mungilnya. "Kira-kira ... setengah dari lebarnya Pulau Kalimantan?" Sky melirik Edmund dan tertawa takjub. "Wow! Itu sangat besar! Pasti butuh waktu lama untuk menjelajahinya dari ujung ke ujung. Orang yang pertama kali menemukan tempat ini sangat beruntung. Namanya pasti tercatat dalam sejarah." "Kamu tertarik untuk menjelajahi ngarai ini? Ada ratusan gua yang sama sekali belum dieksplorasi," tanya Alice geli. Tiba-tiba, Sky melompat membalikkan badan. Kedua tangannya direntang selebar-lebarnya. "Ya, kalau sudah besar nanti, aku akan melakukan banyak ekspedisi. Aku akan menemukan tempat-te
Usai makan malam, semua orang berkumpul di ruang tengah. Mereka sudah tidak sabar ingin mendengarkan cerita dari Sky. Sejak pulang tadi, gadis kecil itu tidak henti-hentinya memberi mereka spoiler yang mengundang penasaran. "Kalian tahu? Grand Canyon adalah ngarai paling panjang di dunia. Ukurannya sangat besar!" Sky berjinjit sambil melingkarkan tangan di atas kepala. "Kalau kalian tidak percaya, lihat ini!" Ia memamerkan fotonya bersama Alice dan Edmund dengan latar dinding ngarai. Semua pelayan berdecak kagum melihatnya. "Wah, itu sangat indah, Nona!" "Ya! Saking indahnya, aku hampir terhipnotis di pinggir pagar. Untung saja aku berpegangan dengan kuat. Kalau tidak, aku bisa saja terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam. Dan kalian tahu? Ini baru sebagian kecil dari Grand Canyon. Panjangnya mencapai 445 km, setengah dari lebar Pulau Kalimantan! Karena itu, kami tidak bisa memfoto seluruh bagian ngarai. Hanya sepotong-sepotong saja!" Sky mengeluarkan lebih banyak kertas foto.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lucas dengan nada tak bersahabat. "Aku menemani istriku. Tidak boleh?" Edmund menaikkan sebelah alis. Tak ingin menimbulkan keributan dan diusir dari sana, Lucas pun menghela napas. "Baiklah, terserah kau saja. Alice, Sky, silakan duduk, Sayang." Edmund mendengus mendengar panggilan tersebut. Sementara Alice dan Sky duduk berseberangan dengan Lucas, ia menempati meja sebelah. "Jadi, apa yang mau kau berikan?" tanya Alice canggung. Lucas tidak langsung menjawab. Ia melirik Edmund sekilas, lalu menatap Alice dalam-dalam. Saat itulah, suara Sky tiba-tiba memecah ketegangan. "Papa Lucas, di mana Canis? Kamu tidak membawanya?" Ia masih memeriksa sekeliling. Lucas menggeleng kecil. "Aku meninggalkannya di penginapan. Kau mau bertemu dengannya? Bagaimana kalau kamu ikut aku ke sana?" "Lucas," sela Alice tegas, "tolong jangan mengulangi kesalahan kemarin. Kau tahu keputusan kami sudah final. Kami tidak akan meninggalkan Edmund. Kita memang harus
Melihat Alice meringis kesakitan, Lucas bergegas memegangi lengannya. "Alice, kau baik-baik saja?" Akan tetapi, sang wanita menolak sentuhannya. "Tidak!" Alice menjauh. Karena keseimbangannya terganggu, ia cepat-cepat berpegangan pada meja. Sambil tertunduk, ia mengatur napas. "Matikan .... Cepat matikan!" Bukannya menurut, Lucas malah terjebak dalam dilema. Ia tidak tahu harus tetap pada rencana atau mementingkan keselamatan Alice. Sadar dirinya tidak bisa mengandalkan Lucas, Alice pun meraih ponsel. Namun, melihat bagaimana Elizabeth mendorongnya hingga terjatuh, kepalanya bertambah pusing. "Aaargh ...." "Alice?" Lagi-lagi, Alice mengangkat tangan, mengisyaratkan Lucas agar tidak menyentuhnya. Matanya kini terpejam erat. Bibirnya meringis. Malangnya, pusing dalam kepalanya malah bertambah parah. Samar-samar, suara lain mulai terdengar. "Kalau tahu akan jadi begini, aku seharusnya tidak menghentikanmu saat akan melompat di jembatan. Biar saja kau hanyut di sungai sebagai or
"Sky, kita seharusnya membawa senapan itu juga tadi. Mengapa kita meninggalkannya di dalam tenda? Pemburu itu jadi bisa mengambilnya," bisik Emily sembari mengguncang tangan Sky. Merasa risih, Louis menyikut lengannya. "Sudahlah, Emily. Tidak ada yang perlu disesali. Kita sebaiknya memikirkan cara untuk mengalahkan laki-laki jahat ini." "Kalian pikir kalian bisa mengalahkanku?" Pemburu itu tertawa kasar. "Jangan bermimpi!" Sang pemburu mengangkat senapannya lagi. Namun, ketika ia hendak membidik, suara aneh datang dari atas. Melihat seekor orang utan besar hendak melompat dari dahan, Sky bergegas menarik si Kembar berlari mengikutinya. Ia tidak peduli lagi dengan senapan yang tergeletak di tanah. Ia tahu betul bahwa orang utan yang sedang marah jauh lebih berbahaya dibandingkan musuh mereka. Sementara itu, sang pemburu sudah terlanjur terpaku. Ia hanya bisa berteriak saat mamalia besar itu menimpanya. Pemburu lain yang menyaksikan tidak berani bertindak. Mereka bahkan sama sekali
Si Kembar kembali bungkam. Mereka tidak tahu jawaban apa yang tepat. Mereka tidak ingin kembali ke kurungan sempit itu, tetapi mereka juga tidak mau ditembak. Apalagi, pemburu di hadapan mereka tampak serius dengan ancamannya. "Louis, kurasa kita jangan melawan. Dia tidak akan ragu menembak kita. Lihat, jarinya sudah siap menekan pelatuk," bisik Emily was-was. Louis menelan ludah. Ia sepakat dengan sang adik, tetapi enggan mengakuinya. "Tenang, Emily. Masih ada cara lain untuk selamat." Ia berpikir keras, memaksa otak untuk menelurkan ide spontan. "Tuan, bagaimana kalau kita bernegosiasi?" ucapnya tanpa terduga. Sang pemburu menarik matanya mundur dari lubang pengintai. Sebelah alisnya terdongkrak naik. Ia tidak menduga bisa mendengar kata itu. "Negosiasi apa yang bisa ditawarkan anak kecil sepertimu?" "Kami ini bukan anak-anak biasa. Kami adalah pewaris Savior Group, calon pemimpin hebat di masa depan. Kalau kau bersedia membebaskan kami, kami akan membayarmu dengan jumlah besar
"Papa, kebetulan sekali, GPS milik Louis ada padaku. Aku sedang melihat koordinat lokasinya," ujar Sky sambil berkedip-kedip gusar. "Itu bagus, Sayang. Bisa kau bacakan koordinatnya? Papa akan langsung menuju ke sana." Sky menelan ludah. Keringat dingin membutir di keningnya. "Itulah masalahnya. Aku lupa angka-angka yang sudah kuhafal." Edmund terdiam sejenak. Sky bisa membayangkan sang ayah mendesah kecewa. "Papa, apakah Papa marah? Ganti." "Tidak, Sayang. Papa tidak marah. Papa mengerti kalau kamu terlalu gugup sekarang. Coba tarik napas dalam-dalam, tenangkan pikiran. Kamu sudah berhasil mengingat semua angka dan bahkan huruf, Sayang. Pelan-pelan, kamu pasti bisa membacanya." Sky menuruti saran Edmund. Setelah terpejam sejenak, ia memperhatikan koordinat dengan saksama. "Ada garis kecil yang sedang tidur di sini, Papa." "Oke. Itu tanda negatif. Artinya kalian sedang berada di selatan garis khatulistiwa. Lalu?" "Ada bulat. Ini nol, kan?" "Ya. Kamu melakukannya dengan baik s
"Apakah aku tidak salah lihat? Ada anak manusia di tengah hutan?" Pria itu berbicara dengan bahasa yang tidak Louis dan Emily mengerti.Decak kesal terlontar dari pria yang satu lagi. "Sial! Menambah pekerjaan kita saja." "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Apa lagi? Kita tidak mungkin membiarkan mereka lepas. Mereka bisa melapor kepada orang-orang. Rencana kita bisa berantakan. Ayo tangkap mereka!" Si Kembar mengerjap melihat senapan yang ditodongkan ke arah mereka. Emily langsung bersembunyi di balik punggung Louis, sedangkan Louis dengan berani melangkah maju dan merentangkan tangan di depan Mimi. "Jangan sakiti orang utan ini! Mereka adalah hewan langka yang dilindungi oleh seluruh dunia. Mereka tidak boleh diburu dan diperdagangkan!" seru Louis lantang. Dari balik pundak Louis, Emily mengintip. "Ya! Orang utan harus dilestarikan, bukan diburu. Memangnya kalian tidak kasihan kepada mereka? Lihat! Anaknya sampai ketakutan!" Di luar dugaan, dua pemburu itu malah tertawa. T
"Tidak, Louis." Emily mengernyitkan dahi. "Kita tidak boleh meninggalkan Mimi sendirian di sini. Dia bisa mati.""Tapi itu yang dia mau. Dia ingin anaknya selamat. Dia pasti bertahan. Kita hanya perlu menyelamatkan anak Mimi dengan cepat. Menurutku, kita bisa melakukannya. Kita ini anak-anak terlatih, kau ingat?" Alih-alih setuju, Emily menggeleng tegas. "Tidak, Louis. Itu terlalu berisiko. Kita tidak boleh egois dan memikirkan kesenangan kita sendiri. Bagaimana kalau kita hubungi rumah hutan saja? Ini masalah serius."Sementara Louis menghela napas berat, Sky menautkan alis. Ia terlihat sangat serius dengan bibir terlipat ke dalam."Kurasa Emily benar. Kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Kita butuh bantuan orang dewasa. Papa Mama kita dan orang-orang yayasan. Kita harus melaporkan hal ini kepada mereka. Mimi butuh bantuan medis, sedangkan para pemburu liar itu harus ditangkap." Louis termenung sebentar. Ia sebetulnya enggan menghubungi orang tuanya. Ia ingin mandiri.
"Sky, bunyi apa itu?" bisik Emily dengan suara tersekat. "Apakah itu suara ledakan?" "Kurasa itu suara senapan," potong Louis sebelum menggenggam lengan gadis yang paling kecil. "Sky, mungkinkah itu pemburu liar?" Sky berkedip-kedip gusar. "Mungkin iya. Daerah ini sudah berada di luar lingkup yayasan. Tim patroli hanya sesekali memeriksanya. Itu pun kalau mereka sempat." "Bukankah perburuan liar itu dilarang? Kenapa masih ada saja orang-orang jahat yang membunuh satwa? Kira-kira, apa yang baru saja mereka tembak? Apakah orang utan?" tanya Louis dengan ekspresi serius. Emily langsung bergidik ngeri. "Oh, kalau memang para pemburu itu mengincar orang utan, kuharap dia berhasil lolos dan selamat. Orang utan itu hewan langka. Kasihan kalau mereka punah." "Dan kuharap itu bukan Mimi," lanjut Sky sembari mengentakkan kaki. "Dia selalu membawa anaknya ke mana-mana. Dia pasti susah bergerak dan rentan terhadap serangan." "Bagaimana kalau kita memeriksanya? Kalau memang itu ulah pemburu l
"Sayang, apakah kamu melihat anak-anak?" tanya Alice sembari menghampiri Edmund. "Anak-anak?" Edmund mengalihkan pandangan dari laptopnya. Kedua alisnya terdongkrak. "Bukankah mereka masih tidur? Aku tidak melihat mereka keluar tenda." "Kupikir juga begitu. Tapi setelah kuperiksa, mereka tidak ada." Edmund pun menoleh ke sekeliling. Mata dan telinganya menajam. Akan tetapi, tidak ada jejak anak-anak yang terdeteksi. "Mungkinkah mereka bermain di kebun belakang?" Alice menggeleng. "Aku sudah mencari mereka di sana. Tidak ada." "Kandang ayam? Siapa tahu, Sky mengajak si Kembar dan Russell melihat anak ayam." "Tidak ada juga." Edmund menjentikkan jari. "Kandang angsa! Mereka pasti sedang bermain dengan Gigi dan Gusi." Alice menghela napas berat. Guratan di keningnya tampak lebih jelas. "Tidak ada, Ed. Aku sudah mencari mereka ke mana-mana. Mereka tidak ada." "Apakah kau sudah mencari di dalam rumah? Siapa tahu mereka sedang bermain petak umpet. Mereka mungkin saja sedang bersemb
Alis Louis berkerut mendengar pertanyaan Edmund. "Kenapa Anda bertanya begitu, Tuan? Tentu saja aku menyayangi Sky. Dia temanku. Dia sudah seperti seorang adik bagiku." Edmund berkedip kaku. "Begitukah? Kau menganggapnya sebagai seorang adik?" Louis mengangguk mantap. "Ya, kurasa Emily juga begitu. Dulu dia menginginkan adik perempuan. Ternyata, Russell yang keluar. Dia sempat sedih. Kehadiran Sky membantu mengobati kekecewaannya." Bibir Edmund perlahan mengerucut. Tangannya disempal ke dalam saku. "Jadi, kau menganggap putriku sebagai adikmu?" gumamnya. Entah mengapa, perasaan lega timbul dalam hatinya. "Apakah itu berarti kau akan menjaganya seperti adik-adikmu?" "Ya, aku akan berusaha untuk menjaga Sky dengan baik. Aku tidak akan membuatnya menangis." Alis Edmund kembali tertaut. "Tapi tadi, aku melihatmu mengusili Emily. Apakah kau bisa dipercaya untuk menjaga adik-adikmu?" Tiba-tiba saja, bibir Louis berkedut. Sambil menggaruk pelipis, ia terkekeh. "Soal itu, aku memang suk
Semua orang bertepuk tangan saat Sky dan teman-teman hewannya selesai melakukan pertunjukan. Bukan hanya anak-anak Harper yang terkesima, tetapi orang tua mereka juga. "Terima kasih, Sky. Ini adalah sambutan paling manis yang pernah kami terima," tutur Kara dengan senyum lebar. "Ya, ini sambutan yang luar biasa. Bagaimana caramu melatih hewan-hewan itu? Bukan hanya kucing dan anjing, kamu juga berhasil melatih dua ekor angsa." Frank mengacungkan jempolnya. Sky terkekeh bangga. "Itu karena mereka bukan sembarang hewan, Tuan. Mereka adalah teman-temanku dan mereka pintar. Kurasa mereka mau mengikuti aba-aba dariku karena kami akrab." "Mereka teman-temanmu?" Frank menaikkan alis. Si Kembar langsung berebut menjelaskan. "Tidak ada anak-anak lain di sini, Papa. Karena itu, Sky hanya bermain dengan teman-teman hewannya." "Sky bilang dia selalu memberi mereka makan yang banyak. Kurasa, karena itu juga hewan-hewan itu patuh padanya. Mereka suka pada Sky!" Sky melompat antusias. "Louis