Scott dengan sigap menopang siku Alice. "Berjalanlah dengan hati-hati. Sky, bantu aku menuntun ibumu." "Ya, Paman." Edmund bergegas maju sebelum Sky meletakkan laptop di kursi. Saat ia mengamankan benda tersebut, ia berbisik, "Tolong jaga Mama. Kalau ada apa-apa, segera panggil Paman Scott. Papa akan menemui kalian kalau kondisi Mama sudah membaik." Dagu Sky bergetar hebat. Bibirnya melengkung ke bawah. "Sampai jumpa lagi, Papa," bisiknya sambil memeluk Edmund."Ya, Papa pasti akan menjemput kalian." Setelah melepas pelukan, Sky bergegas berlari meraih tangan Alice. Ia sesekali menoleh ke arah Edmund. Ia masih bisa saling melihat sang ayah, tetapi matanya sudah penuh dengan kerinduan. Edmund menyaksikan itu dengan perasaan berkecamuk. Saat punggung Alice dan Sky tidak lagi terlihat, ia langsung mengacak rambut dan menarik napas panjang. "Kenapa jadi begini?" bisiknya pada ruang yang terasa hampa. Saat matanya melewati Lucas, pandangannya langsung kelam. "Sudah puas kau menyakit
Saat itu pula, Scott datang menghampiri mereka. "Emma, kau sudah tiba?" Emma tersenyum sekilas. "Scott, kudengar pemeriksaan sudah selesai. Aku berniat membawa Alice dan Sky ke rumahku sekarang. Kami sudah boleh pergi, kan?" Scott buru-buru mengangguk. "Ya. Kebetulan, aku juga harus kembali ke kantor." Sedetik kemudian, ia menyerahkan sebungkus plastik kepada Emma. "Ini obat untuk Alice. Preskripsinya tertulis di situ. Tinggal kau teliti saja." "Baiklah. Terima kasih." Usai menyimpan obat dalam tas, Emma dengan sigap menuntun sahabatnya. Sky pun berdiri di samping Alice, memegangi sebelah tangannya. "Terima kasih, Scott," ucap Alice sebelum pergi."Terima kasih, Paman Scott!" lambai Sky dengan senyum manis. Scott hanya bisa membalas dengan helaan napas getir. Ketika orang-orang itu sudah tidak terlihat lagi, barulah ia pergi ke sebuah pohon. Di baliknya, Edmund masih memandang ke arah Alice menghilang. "Tidak bisakah kau mencari tempat persembunyian yang lebih kreatif?" Edmund
Edmund termenung lama menatap kasur Sky. Ia teringat bagaimana dirinya berbaring di situ dengan sang putri meringkuk dalam pelukannya. Mereka akan bertukar cerita, saling berbisik dan tertawa. Terkadang, sang istri yang berbaring di sana. Saat ia menghampiri, biasanya mereka sudah terlelap. Wajah cantik mereka tampak damai, dan ia akan tergiur untuk mencuri kecupan dari bibir Alice. "Bisakah mereka tertidur lelap di rumah Emma? Sky tidak membawa satu pun dari teman-teman bonekanya," gumamnya lirih. Sedetik kemudian, pandangannya beralih ke arah tenda. Mereka juga sering berbaring di sana. Kepala mereka akan terjulur keluar, menatap langit-langit sambil menghafal bentuk rasi bintang. Helaan napas Edmund pun berhembus panjang. Sambil mendongak, ia menahan air matanya agar tidak tumpah. Malangnya, memori malah terputar lebih cepat. Masih tergambar jelas bagaimana Sky memekik gembira saat mendapat kejutan-kejutan darinya. Masih terngiang jelas bagaimana gadis kecil itu memanggilnya Pa
Sky menggeleng cepat. "Saat Paman Henry menyapa Mama tadi, aku bertanya di mana Bibi Emma. Dia bilang kalau Bibi sedang menyiapkan makan malam. Saat Paman Henry bertanya apakah aku mau membantu, tentu saja aku menjawab mau. Tapi ternyata, Paman Henry tidak membawaku ke dapur. Dia mengantarku ke sini, menemui Papa!" Edmund melirik Henry dan mengangguk kecil. Setelah mendapat balasan, ia kembali menatap sang putri. "Tapi Sayang, maaf. Papa tidak bisa berlama-lama di sini. Nanti Mama-mu melihat. Kamu tahu kalau Mama dan Papa harus menjaga jarak untuk sementara, kan?" "Ya, kita harus menunggu sampai kondisi Mama stabil. Mama butuh waktu untuk menata ingatannya yang baru kembali," ujar Sky sambil menepuk-nepuk kepala. Edmund mengangguk dengan senyum kecut. Sambil mengelus rambut ikal sang putri, ia menatap wajah bulatnya dalam kesenduan. "Kamu memang anak yang pintar, Sky. Terima kasih sudah mengerti kondisi orang tuamu." Senyum Sky melebar mendengar pujian itu. "Terima kasih, Papa.
Sambil memeluk Grassy, Sky kembali ke ruang tengah. Ia duduk di sofa, pandangannya menggantung. Selang satu kedipan, ia membalikkan bonekanya, memberi beruang hijau itu usapan lembut."Grassy, apa yang harus kita lakukan? Mama sepertinya masih marah kepada Papa. Apakah mereka bisa kembali bersama?"Sambil menggigit bibir, Sky menoleh ke jendela. Kerinduan kembali memberatkan hatinya. Setelah merenung sejenak, ia mengambil Rocky Talkie dari dalam tas. "Papa, apakah kamu mendengarku?" tanyanya dengan suara kecil yang menyayat hati. Usai jeda singkat, suara Edmund terdengar. "Sky, kau berhasil menyalakan Rocky Talkie sendiri?" Sky menekan lagi tombol yang tadi. "Ya, aku mengikuti tahap-tahap yang Papa ajarkan." "Bagus sekali, Sayang. Kamu hebat. Ada apa kamu menghubungiku?"Sky mendengus samar. "Papa tahu? Mama sedang menangis. Aku tidak sengaja mendengarnya." "Kenapa dia menangis?" Edmund terdengar khawatir. "Mama melihat kita tadi. Mama tahu kalau aku merindukan Papa." "Apakah di
"Maaf, Papa Lucas. Kamu belum boleh bertemu dengan Mama. Bagaimana kalau kamu menunggu selama beberapa hari?" Sky memiringkan kepala. Ekspresinya serius. Belum sempat Lucas menjawab, ia kembali bicara. "Kalau Papa bertemu dengan Mama sekarang, aku takut hasilnya akan sia-sia. Papa Edmund saja belum berani bertemu Mama. Mama masih marah kepada kalian." Lucas mulai menggertakkan geraham. Kesabarannya tidak banyak tersisa. "Jangan menceramahiku. Aku ini papamu. Sekarang juga, panggil Mama keluar." Bukannya takut, Sky malah berkacak pinggang. Kepalanya menggeleng tegas. "Tidak, Papa. Aku sudah berjanji untuk menjaga Mama. Tidak akan aku biarkan Mama bersedih atau menangis lagi. Karena itu, tolong mengertilah. Beri Mama waktu untuk menata ulang ingatannya. Setelah kondisi Mama membaik, baru Papa boleh bicara dengan Mama." Lucas mendengus. Ia tidak mau mengindahkan peringatan gadis kecil itu. Ia hendak menerobos masuk. Namun, tanpa terduga, Sky merentangkan tangan dan bergeser menghalan
"Ya, bagaimana mungkin aku bisa berhenti marah padamu?" jawab Alice jujur.Harapan Lucas runtuh, sedangkan Emma tersenyum. "Kau tidak tahu bagaimana dampak dari perbuatanmu, Lucas," lanjut Alice. "Kau hanya tahu kepalaku pusing, tapi kau tidak tahu seberapa besar rasa sakit yang harus kutahan." "Kenapa?" Suara Lucas tersendat. Kebingungan mewarnai matanya. "Kenapa kau malah marah kepadaku? Bukankah kau seharusnya marah kepada Edmund? Dia yang telah merusak kepercayaan darimu. Dia yang paling menyakitimu?" "Maaf aku harus mengatakan ini. Tapi, sejak Edmund kembali, aku merasa hidupku sempurna. Aku bisa merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Aku bisa menyaksikan Sky tertawa begitu lepas. Dengan ingatan yang kau kembalikan kepadaku, semua itu rusak. Kalau saja aku bisa memilih, aku lebih baik tidak usah mendapat ingatan itu lagi. Dengan begitu, aku hanya punya kenangan manis. Aku bisa tetap mencintai Edmund dan hidup bersamanya tanpa rasa khawatir." Lucas melangkah mundur. Sebagian
Sepulang kerja, Edmund langsung menuju ke rumah Emma dengan hati gembira. Hadiah spesial telah ia siapkan di jok sebelah. Ia yakin, begitu Sky membukanya, ia pasti melompat-lompat gembira. Setibanya di sana, Edmund langsung meraih Rocky Talkie-nya. Namun, belum sempat ia menghubungi Sky, pintu depan terbuka lebar. Sedetik kemudian, Emma muncul dengan wajah gusar."Ke mana saja kau tadi? Kenapa tidak menjawab panggilan dari Sky? Dia sudah beberapa kali mencoba untuk menghubungimu."Edmund menaikkan alis. "Aku sudah bilang padanya kalau aku harus rapat. Kami janji bertemu setelah aku pulang kerja. Memangnya ada apa? Di mana dia sekarang?"Sambil melipat tangan di depan dada, Emma memalingkan muka. Ia seolah takut menatap Edmund lekat-lekat. "Mereka sudah berangkat," ujarnya lirih. Edmund mendadak beku. Matanya tidak berkedip, napasnya berat. "Berangkat? Apa maksudmu?" Emma menghela napas cepat. Sambil menatap Edmund lagi, ia menjawab, "Alice memutuskan untuk menenangkan diri di tempa