Pagiii semuanyaa! Gimana ini, guys? Akankah Sky terpisah dari Edmund lagi? Atau memang hanya sementara? Dan ke mana tujuan Alice? Ada yang bisa tebak?
Sepulang kerja, Edmund langsung menuju ke rumah Emma dengan hati gembira. Hadiah spesial telah ia siapkan di jok sebelah. Ia yakin, begitu Sky membukanya, ia pasti melompat-lompat gembira. Setibanya di sana, Edmund langsung meraih Rocky Talkie-nya. Namun, belum sempat ia menghubungi Sky, pintu depan terbuka lebar. Sedetik kemudian, Emma muncul dengan wajah gusar."Ke mana saja kau tadi? Kenapa tidak menjawab panggilan dari Sky? Dia sudah beberapa kali mencoba untuk menghubungimu."Edmund menaikkan alis. "Aku sudah bilang padanya kalau aku harus rapat. Kami janji bertemu setelah aku pulang kerja. Memangnya ada apa? Di mana dia sekarang?"Sambil melipat tangan di depan dada, Emma memalingkan muka. Ia seolah takut menatap Edmund lekat-lekat. "Mereka sudah berangkat," ujarnya lirih. Edmund mendadak beku. Matanya tidak berkedip, napasnya berat. "Berangkat? Apa maksudmu?" Emma menghela napas cepat. Sambil menatap Edmund lagi, ia menjawab, "Alice memutuskan untuk menenangkan diri di tempa
Giselle menggertakkan rahang. Kedua tangannya kini terkepal erat. "Bukankah aku sudah pernah bilang? Aku mengagumimu sejak lama. Kau pria yang luar biasa. Karena itu, aku dulu melamar sebagai sekretarismu. Aku ingin belajar banyak darimu. Aku ingin sesering mungkin bersamamu. Aku ingin terus mendampingimu." Tiba-tiba, Giselle bergeser maju. Wajahnya mendongak menatap Edmund, memperlihatkan kesungguhan. "Dan melihat dirimu yang sekarang, adakah alasan untuk aku berhenti menyukaimu? Kau berhasil menjadi CEO sukses. Meskipun perusahaan yang kau bangun menjadi yang terdepan di bidangmu, kau masih tetap mempertahankan kepribadianmu yang mengesankan. Apakah aku rela membiarkanmu bersanding dengan yang lain?"Sambil menarik napas dalam-dalam, Giselle menggeleng tegas. "Tidak. Pria sebaik dirimu tidak boleh menyia-nyiakan hidup demi perempuan seperti Alice. Kau seharusnya bersanding dengan perempuan hebat juga, seperti aku." "Tapi aku tidak butuh perempuan sepertimu. Aku hanya butuh Alice.
Edmund mendengus. "Mama takut aku tidak bisa memberi uang jajan lagi? Kenapa tidak minta kepada Giselle saja? Dia anak Mama sekarang." "Edmund!" pekik Elizabeth di puncak suaranya. Wajahnya kini sudah sangat merah. "Jangan khawatir, Ma. Tabunganku banyak. Uangku cukup untuk menghidupi keluarga kita sampai Sky dewasa. Tapi karena aku tetap harus membayar gaji pelayan yang mengurus rumah, uang jajanmu harus berkurang." "Kenapa kau tidak pernah mendengarkan aku? Kau lebih sayang pada istrimu dibandingkan ibumu, hah?" Elizabeth mulai terdengar lelah. Rautnya kini terkesan kecewa dan memelas.Akan tetapi, Edmund sama sekali tidak menunjukkan iba. Ia membetulkan posisi tas gunung yang bergantung di pundaknya. Tangannya yang lain menenteng beberapa tas lebih erat. "Maaf, Ma. Ada penerbangan yang harus kukejar. Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa!" Edmund melangkah pergi. Elizabeth berusaha menahannya. Ia menarik tas sang putra dengan sekuat tenaga. Namun, ia tetap kalah. "Edmund, te
Alice menggigit bibir. Ia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan bahwa hatinya belum siap untuk bertemu Edmund. Melihat diamnya sang ibu, binar di mata Sky perlahan meredup. Ia tahu jawabannya. "Mama belum mau bertemu Papa?" Alice meraih tangan mungil putrinya. "Maaf, Sayang. Bisakah kamu bersabar? Beri Mama waktu sedikit lagi." "Berapa lama?" Mata Alice bergetar menatap jalan lurus di depannya. "Tiga hari?" "Itu terlalu lama," gerutu Sky spontan. "Tidak bisakah Mama menjadikannya satu hari?" Alice menimbang-nimbang hingga tiba-tiba, ia mendapat ide. "Bisa, asalkan kamu mau membantu Mama." Harapan Sky sekali lagi meroket. "Apa, Mama?" Alice mengulum senyum. "Sebetulnya, Mama datang ke sini bukan untuk menghindar dari Papa saja, tapi ada maksud lain." Sky mencondongkan badannya ke arah sang ibu. Kalau tidak ada sabuk pengaman, mereka mungkin sudah menempel. "Ternyata Mama juga merahasiakan sesuatu dariku? Apa itu, Mama?" Alice melirik sang putri dengan tatapan misterius. "M
Mengerti bahwa perawat itulah yang mengurusnya dulu, Sky tersenyum manis. "Ya, Nyonya. Aku adalah bayi kecil itu. Namaku Sky. Senang bertemu denganmu lagi, Nyonya." Rea terkekeh gemas. Sambil membungkuk, ia menangkup pipi Sky. "Astaga, kamu manis sekali. Persis seperti ibumu. Dan kau sudah besar sekarang. Apakah kamu tahu? Dulu kamu sekecil ini." Sky tertawa kecil melihat bagaimana Rea memperagakan ukuran tubuhnya. "Benarkah dulu aku hanya sebesar ini?" Ia meniru panjang yang dibuat Rea dengan kedua tangannya. "Itu kecil sekali. Bahkan lebih kecil dari Grassy. Tidak sia-sia aku makan banyak sehingga bisa menjadi sebesar ini." Rea kini mengelus rambut Sky. Tatapannya penuh dengan kehangatan. Rasa lelah sehabis dinas malam seolah menguap dari badannya. "Anakmu menggemaskan sekali, Rachel. Kamu dan suamimu berhasil membesarkannya dengan sangat baik. Omong-omong, di mana dia? Apakah dia menunggu di mobil?" Suasana seketika berubah beku. Alice bergeming. Ia sadar bahwa suami yang dim
"Mama, ke mana tujuan kita selanjutnya? Apakah tidak jauh dari sini?" Suara Sky membuat Alice mengerjap. Ia menoleh sepintas. Dahinya terdongkrak. "Ya, dari mana kamu bisa tahu, Sayang?" Telunjuk Sky meruncing ke arah jalan. "Van kita jalannya seperti siput. Kalau tempatnya jauh, Mama pasti sudah mengebut." Alice terkekeh lirik. Ia takut ketahuan oleh sang putri bahwa dirinya melamun tadi. "Apakah kamu sudah siap menerima misi kedua?" Sky mengangguk mantap. "Ya, apakah Mama mau memberitahuku sekarang? Atau Mama mau menunggu sampai kita sampai di tempat selanjutnya?" Saat itu pula, Alice membelokkan van. Menyadari bahwa mereka mengarah ke parkiran, mata Sky membulat. "Kita sudah sampai?" Lehernya memanjang. Dengan mulut yang sedikit menganga, ia mengamati bangunan tingkat dua dengan dinding kayu dan desain unik di hadapannya. "Tempat apa ini, Mama?" Alice mematikan mesin mobil dan membuka sabuk pengaman. "Kamu tahu kalau Banff National Park adalah taman nasional tertua di Kanad
Melihat rasa penasaran Zoey, Alice tersenyum miring. "Kamu punya berapa lama untuk mendengarku bercerita?" "Anggaplah setengah jam lagi, tapi aku harus sambil bersiap-siap sebelum staf lain datang." "Aku bisa membantu." Sky mengangkat tangan tinggi-tinggi. Zoey tersenyum gemas. "Itu bagus, Anak Manis. Kalau begitu, Alice .... Ceritakan kepadaku. Apa yang terjadi?" Selama beberapa menit, Alice terus bercerita. Zoey menyimak dan sesekali menimpali dengan gerutuan. Ia seperti menyimpan dendam terhadap Lucas. Namun, di akhir cerita, kekesalannya malah berubah menjadi iba. "Jadi, kemarin dia masih membujukmu untuk kembali?" Alice mengangguk tipis. "Ya, tapi itu tidak mungkin. Aku sudah bersuami, dan kamu tahu ...."Alice melirik ke kiri sedikit. Sky sedang mengamati beragam jenis telur dengan teliti. "Aku tidak pernah benar-benar mencintainya," bisiknya lirih. "Tapi sekalipun begitu, aku tetap merasa bersalah padanya. Kau tahu? Selama lima tahun terakhir, dialah yang menjaga aku dan
Mata Sky membulat mendapati pemandangan di depannya. Dari ujung kiri hingga ke ujung kanan, ia sama sekali tidak menemukan cela. Mulutnya yang ternganga sesekali meloloskan desah. "Mama, apakah kita masih berada di bumi?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.Alice tersenyum geli mendengarnya. "Ya, Sayang. Kenapa bertanya begitu?" "Ini sangat-sangat indah, Mama. Lihatlah warna airnya! Mengapa dia bisa begitu biru? Dan pegunungan itu." Sky menunjuk pegunungan yang berbaris memahkotai danau. "Mereka sangat megah! Salju di atas sana tampak seperti taburan gula yang sangat manis." Sky menjepit pipinya sendiri, terpejam sejenak sembari memiringkan kepala. "Dan lihatlah bagaimana langitnya terpantul di permukaan danau! Wah, itu seperti kaca. Rasanya aku bisa berjalan di atasnya. Oh, Mama? Apakah itu awan?" Sky membelalakkan mata, memperhatikan bayang-bayang putih di sisi kiri dekat pantulan gunung. Sedetik kemudian, ia mendongak. Melihat serabut awan tipis yang bergerak lambat, ia berse