Pagiiii semuanyaaaa!
Alice berdiri dan mengeluarkan ponsel dari saku. Jarinya gemetar saat mencari kontak Edmund. Saat menemukannya, ia menelan ludah. Detak jantungnya telah naik hingga ke tenggorokan. "Mama, ayo jangan lama-lama. Aku sudah tidak sabar ingin mendengar suara Papa. Dia pasti senang saat mendengar kita. Dan aku punya banyak cerita untuknya." Alice menghela napas samar. Ibu jarinya naik turun mengimbangi keraguan. Saat ia tak sanggup lagi menahannya, ia serahkan ponsel ke tangan Sky. "Bagaimana kalau kamu saja yang menghubungi Papa, Sayang? Mama rasa, Papa pasti akan lebih senang kalau suaramu yang lebih dulu didengarnya." Sky menyambut ponsel dengan gembira. "Tidak masalah. Aku senang kalau Papa menyapaku duluan." Tanpa berlama-lama, ia menekan tombol hijau. Saat menempelkan ponsel di telinga, tawa ringannya mengudara. Tubuhnya terus bergoyang-goyang. "Oh, jantungku benar-benar berkeringat sekarang," celetuknya sembari menggaruk dada. Alice menanggapi sang putri dengan senyum tipis. Da
"Jadi, apa yang kau lakukan di sini? Apakah kamu sedang berlibur?" selidik Louis. Emily cepat-cepat menyikutnya. "Louis, kenapa kamu bertanya begitu? Itu tidak sopan." "Apa salahnya? Itu hanya basa-basi." Louis mengedikkan bahu. Emily mendekat ke telinga Louis. "Kamu bisa membuatnya sedih lagi. Kita tidak tahu apa yang sudah dia alami." "Baiklah, maaf kalau aku lancang. Aku tidak seharusnya bertanya. Aku hanya mau mencairkan suasana saja."Sky hanya berkedip. Ia tidak tahu harus menanggapi apa. Suasana hatinya sedang buruk. Mengerti akan hal itu, bibir Louis kembali menguncup. "Kamu tahu? Keluargaku datang ke sini untuk berbisnis sekaligus berlibur. Salah satu hotel di dekat sini ingin meningkatkan pelayanan dengan meng-upgrade fasilitas berbasis smart home. Itu bidang yang kugeluti di bawah pengawasan ayahku."Tiba-tiba, Emily menyikut lengan Louis lagi. Ia mendekat, berbisik, "Sekarang kamu terdengar sombong." Louis menghela napas. Kepalanya menggeleng tak berdaya. "Kenapa aku
"Ya, kami memang harus kembali ke hotel lagi. Tapi itu bukan berarti kami akan membiarkanmu mengatasi masalah ini sendiri."Selang satu kedipan, Louis berputar menghadap ayahnya. Wajahnya tampak tegas dan berwibawa, jauh lebih dewasa dibandingkan anak-anak seumurnya."Papa, bagaimana kalau kita meminjamkan telepon satelit kepada Sky? Di hotel ada wifi dan sinyal. Kita tidak butuh telepon satelit, sedangkan mereka butuh. Kita bisa mengambilnya lagi nanti."Mendengar itu, Alice terkesiap. Ia merasa sungkan jika harus merepotkan orang lain karena keegoisannya. "Maaf, Louis. Aku sangat menghargai niat baik kalian, tapi kalian tidak perlu melakukan itu." Kemudian, ia memegangi pundak Sky. "Sayang, bagaimana kalau kita kembali ke kota saja?"Sky menggeleng. "Tadinya, aku juga mau begitu. Tapi setelah kupikir-pikir, aku tidak mau merusak rencana Mama. Aku juga mau mendaki di sini. Biar Papa saja yang menyusul kemari. Karena itu, kita harus menghubunginya.""Begini saja." Kara mengambil telep
Firasat buruk seketika melanda hati Alice. Ia cepat-cepat menarik Sky turun dari kursi, mengitarinya sedikit sehingga di antara mereka terdapat penghalang. "Mama, mereka siapa?" bisik Sky sembari menyimpan telepon satelitnya ke dalam tas. "Mama tidak tahu, Sayang," sahut Alice gusar. Ia melirik ke sekeliling. Tidak ada orang lain di sekitar mereka. Otaknya seketika mengirim tanda bahaya. "Sayang, kamu sudah melihat pemandangan dari sini, kan? Bagaimana kalau kita turun sekarang? Lain kali, kita bisa kembali lagi ke sini." Sky mengangguk pelan. Ia seolah bisa merasakan hal yang sama dengan ibunya. "Ya, Mama." Ia buru-buru menyandang ranselnya. Namun ketika mereka hendak melangkah, dua pria asing itu menghalangi jalan mereka. "Kenapa tergesa-gesa? Kami baru saja tiba. Bagaimana kalau kita berbincang sebentar? Sambil mengamati pemandangan indah." Pria yang berbadan lebih kekar memainkan alis. "Ya, kita bahkan belum berkenalan. Takdir sudah mempertemukan kita di sini. Bagaimana kala
Melihat respons temannya, pria lain menatap ke arah yang sama. "Ada apa?" "Entahlah. Seperti ada laser yang menyoroti mataku barusan." "Laser?" Pria itu memicingkan mata. Tanpa terduga, berkas cahaya tajam itu mengenai matanya. Ia spontan mengangkat tangan, menghalau pandangan. "Apa-apaan itu? Siapa yang berani mengusili kita?" Melihat dua pria itu teralihkan, Alice cepat-cepat menarik Sky mundur ke jalan pulang. Namun, karena Sky menahan langkahnya, gerak mereka menjadi terbatas. Gadis kecil itu masih belum merelakan boneka kesayangannya. "Mama, tunggu dulu. Grassy ...." "Kita harus segera pergi dari sini, Sayang. Biarkan mereka mengambil Grassy. Kita bisa membelinya lagi nanti. Keselamatan kita lebih penting." Sky menggeleng. "Tidak mau, Mama. Tidak ada boneka lain yang bisa menggantikan Grassy. Itu adalah hadiah pertama Papa untukku. Dan dia sudah setia menemaniku selama ini." Melihat tangan Sky terulur, berusaha menggapai boneka walau tidak sampai, Alice meringis resah. Apal
Berulang kali, Edmund mengecup kepala putri kecilnya. Senyumnya tulus. Wajahnya diliputi haru. "Kamu baik-baik saja, Sayang? Maaf kamu harus menghadapi orang-orang jahat itu. Aku seharusnya menemui kalian lebih awal." Sky terkikik mendapat kehangatan itu. Masih dengan lengan melingkari leher sang ayah, ia menggeleng. "Tidak apa-apa, Papa. Aku sangat senang Papa datang ke sini. Papa tahu? Aku dan Mama sudah berusaha menghubungi Papa sejak tadi pagi, tapi nomor Papa tidak aktif. Kami sampai meminjam telepon satelit milik ayah Louis untuk menelepon Papa setiap 15 menit. Tapi ternyata, Papa sudah di Kanada! Pantas saja nomor Papa tidak bisa kami hubungi." Edmund tersenyum kecut. Ia mengelus wajah bulat sang putri, mengecup keningnya sekali lagi. "Maaf membuatmu gusar. Aku tidak tahu kalau kalian ternyata berusaha menghubungiku. Kupikir, Mama-mu masih marah kepadaku. Aku takut membuatnya tertekan kalau tahu aku membuntuti kalian. Jadi, aku bersembunyi.""Memangnya, sejak kapan Papa meng
"Apa maksudmu? Aku memang tidak pernah menyentuh wanita itu," Edmund menggeleng dengan raut paling serius."Kau tidak perlu berbohong, Ed. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Bukan foto, bukan rekaman. Kamu sendiri yang menyentuhnya secara langsung." "Kapan? Kau yakin kau tidak salah lihat? Aku sendiri tidak ingat pernah menyentuhnya." "Pagi hari sebelum aku melompat di jembatan, setelah malam kau mengusirku lebih tepatnya. Kamu merangkul Giselle di parkiran." Edmund sontak membeku. Bola matanya bergetar cepat, memutar ingatan ke lima tahun yang lalu. Pagi itu, kepalanya terasa sangat berat dan pusing. Namun, ia bersikeras untuk berangkat ke kantor. Ia berharap pekerjaan dapat mengusir kesedihan dan kepedihan hatinya. Elizabeth sempat melarang, tetapi kemudian setuju asalkan Edmund diantar oleh Giselle. Sekarang Edmund sadar bahwa itu juga jebakan. "Astaga ...." Ia geleng-geleng sambil berkacak pinggang. Saat melirik istrinya lagi, ia mendesahkan tawa. " Ternyata kau mara
"Papa, dengan apa kamu menembak orang-orang jahat tadi?" tanya Sky saat mereka sedang menikmati makan malam. Telunjuk Edmund seketika teracung. "Tunggu sebentar." Ia mengambil tasnya lalu mengeluarkan sebuah senapan. "Wow! Itu keren. Dari mana Papa mendapatkannya?" Sky ikut meninggalkan piring dan memeriksa senapan. "Sebetulnya, ini hendak aku berikan kepada kamu kemarin. Aku sudah berjanji untuk menemuimu, kau ingat?" Sky mengangguk. "Ya, aku sempat khawatir karena tidak bisa menepati janji. Papa pasti sedih saat tahu aku dan Mama sudah pergi." Edmund mengangguk. Ia melirik Alice. Sang istri memasang tampang bersalah. "Ya, aku sedih, tapi sekarang sudah tidak lagi." "Tapi, kenapa Papa memberiku senapan? Bukankah itu berbahaya? Itu bisa melukai bahkan membunuh satwa." Edmund menggeleng samar. "Papa membeli ini bukan untuk kamu berburu, tapi untuk kamu berjaga-jaga saat bertualang di hutan nanti. Kamu tahu? Kita bisa saja bertemu dengan pemburu liar atau penjahat. Kamu butuh ses