Menuju tamat nih, guys. Siap berpisah sama Sky kecil beluuum?
"Papa, dengan apa kamu menembak orang-orang jahat tadi?" tanya Sky saat mereka sedang menikmati makan malam. Telunjuk Edmund seketika teracung. "Tunggu sebentar." Ia mengambil tasnya lalu mengeluarkan sebuah senapan. "Wow! Itu keren. Dari mana Papa mendapatkannya?" Sky ikut meninggalkan piring dan memeriksa senapan. "Sebetulnya, ini hendak aku berikan kepada kamu kemarin. Aku sudah berjanji untuk menemuimu, kau ingat?" Sky mengangguk. "Ya, aku sempat khawatir karena tidak bisa menepati janji. Papa pasti sedih saat tahu aku dan Mama sudah pergi." Edmund mengangguk. Ia melirik Alice. Sang istri memasang tampang bersalah. "Ya, aku sedih, tapi sekarang sudah tidak lagi." "Tapi, kenapa Papa memberiku senapan? Bukankah itu berbahaya? Itu bisa melukai bahkan membunuh satwa." Edmund menggeleng samar. "Papa membeli ini bukan untuk kamu berburu, tapi untuk kamu berjaga-jaga saat bertualang di hutan nanti. Kamu tahu? Kita bisa saja bertemu dengan pemburu liar atau penjahat. Kamu butuh ses
"Aku juga senang bertemu denganmu lagi, Sky," Louis menepuk-nepuk punggung Sky. Setelah itu, ia melirik ke arah dua orang yang menghampiri. "Jadi, kamu sudah bertemu lagi dengan ayahmu?" Sky mengangguk dengan senyum manis. "Ya! Ternyata, Papa selama ini membuntuti aku dan Mama. Dia datang saat dua orang mengganggu kami." "Ada yang mengganggu kalian? Apakah kamu baik-baik saja?" Sky mengulang gerak kepalanya tadi. "Ya, Papa datang di saat yang tepat. Dia membuat orang-orang itu lari terbirit-birit." "Wow, ayahmu sangat hebat. Aku bersyukur dia menyelamatkan kalian." Sedetik kemudian, Louis berputar menghadap Edmund. "Halo, Tuan. Saya Louis, teman baru Sky. Saya turut senang Anda sudah kembali berkumpul dengan keluarga lagi." Sebelah alis Edmund terdongkrak naik. Ia diam-diam terkesan dengan sikap sopan Louis. "Saya Edmund Hills. Ayah Sky. Senang bertemu denganmu." Louis tersenyum kecil. Setelah membuat Edmund terkesan dengan jabat tangannya yang tegas, fokusnya beralih kepada Al
"Hei, kenapa kau bengong saja? Ayo duduklah di sini. Ceritakan kepada kami bagaimana petualangan cucumu selama ini." Elizabeth mengerjap mendengar permintaan tersebut. "Petualangan?" "Ya." Wanita yang paling kurus mengangguk lalu melirik dua temannya yang lain. "Kalian tahu? Alice sempat mengirimkan foto Sky kepadaku. Dia sedang berada di tepi danau yang sangat indah. Dia memeluk boneka beruangnya. Senyumnya sangat lucu. Dia tampak sangat bahagia." Wanita yang duduk di sebelahnya membelalakkan mata. "Dia mengirimkan foto Sky juga kepadamu?" "Oh, kau juga dapat?" Wanita yang mengenakan pin kupu-kupu itu mengangguk. Dengan mata berbinar, ia memamerkan foto Sky di ponselnya. Sky sedang berdiri merentangkan tangan dengan air terjun besar di belakangnya. "Lihat ini, bukankah dia sangat menggemaskan?" Yang lain mengangguk sepakat. "Ya, dia terlihat sangat gembira. Dia pasti merasa bebas di sana. Oh, aku jadi berpikir kalau dia hendak memelukku." "Tapi kurasa, posenya di foto yang ku
Di penginapannya, Lucas melamun dengan tatapan tertuju ke luar jendela. Canis yang berbaring di sisi kursinya tampak lesu. Mungkin ia bosan tidak mendapat perhatian dari pemiliknya. Saat ketukan pintu terdengar, barulah Canis kembali tegak. Ia berlari ke arah pintu, mondar-mandir seolah memberitahu Lucas ada orang di sana. Akan tetapi, Lucas tidak juga beranjak. Ia malah menatap ponsel yang berdering setelah beberapa saat. "Ada apa?" "Kau sengaja membiarkan aku menunggu di sini? Cepat buka pintu!" Lucas tersenyum miring. "Mau apa kau datang kemari? Kau mau merayuku seperti bagaimana kau merayu Edmund dan laki-laki lain? Tapi aku bukan pebisnis sukses seperti mereka. Apa yang kau incar?" Giselle mendengus. Lucas bisa membayangkan rautnya yang penuh kebencian. "Tidak usah berpura-pura bodoh! Kau pikir aku tidak tahu? Foto-foto dan artikel itu ulahmu, kan?" Lucas mengerutkan sebelah alis. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Foto dan artikel apa yang kau maksud?" "Kau suda
"Sky, kau di sini? Bagaimana bisa?" tanya Lucas dengan mata berkaca-kaca. Sky berhenti memeluk Canis. Ia berdiri dengan senyum manis. Namun, bukannya menjawab, ia malah memutar badan. "Semuanya, bersiap!" Sky merentangkan tangan. Semua teman-teman hewannya, termasuk Canis, langsung berbaris sejajar. Setelah menaruh mahkota di kepala anjing kesayangannya, ia melanjutkan aba-aba. “Perhatian, perhatian. Siapa di sini yang senang menyambut kedatangan tamu spesial kita? Satu, dua, tiga!” Tiga macam bunyi hewan pun terdengar. Sky tersenyum bangga. Akhirnya, suara Felis terdengar jelas dan Gusi tidak lagi terlambat. “Siapa di sini yang tidak sabar ingin bermain bersama Papa Lucas? Satu, dua, tiga!” Sekali lagi, tiga macam bunyi mengudara. Senyum Sky bertambah lebar. Dengan gerak lambat, ia mulai mengangkat tangan. “Kalau begitu, ayo merayakan kedatangannya!” Sky mulai jalan di tempat. Canis pun memimpin pasukan hewan untuk mengelilinginya. Kali ini, Felis tidak lagi tertinggal. Ia me
Saat Lucas sedang fokus mencari jawaban, Sky mengguncang kakinya. "Ayolah, Papa. Kita berdamai saja. Jangan bertengkar lagi dengan Papa Edmund. Nanti Mama jadi sedih. Aku juga merasa tidak tenang kalau Papa Lucas masih marah kepada Papa Edmund." Lucas tertunduk menatap Sky. Wajah lugu itu hampir berhasil meruntuhkan gengsinya. "Apakah ada alasan bagiku untuk berdamai dengan ayah kandungmu? Dia adalah alasan kita harus berpisah." "Kita tidak benar-benar berpisah, Papa. Kita hanya tidak tinggal bersama, tapi ke depannya, kita akan sering bertemu. Kami berencana untuk mengelilingi dunia. Kalau kami berada di dekat tempat Papa Lucas bekerja, kita bisa mengatur janji pertemuan." Tiba-tiba, Sky melompat kecil. Matanya berbinar lebih terang. "Papa tahu? Kami juga berencana untuk sesering mungkin singgah di sini. Di rumah hutan! Aku sudah berjanji dengan Felis, Gigi, dan Gusi untuk sering menemui mereka." Selang satu anggukan, ia menurunkan pandangan. "Canis, kamu dengar yang kukatakan ta
Lama, Lucas menatap kompas di tangannya. Tidak ada satu pun suara atau gerakan yang ia buat. Hal itu meredupkan binar di wajah Sky. "Ada apa, Papa? Kamu tidak senang mendapat kompas itu?" Lucas menggeleng. "Tidak—" Suaranya tersekat. Sky menjadi salah paham. Wajahnya berubah manyun. "Papa tidak suka?" Sambil mengembuskan napas panjang, gadis kecil itu tertunduk. Ia mainkan tali jumpsuit-nya. "Sayang sekali. Padahal, aku sengaja mengosongkan celengan ayamku untuk membeli itu. Ternyata Papa tidak suka dengan hadiahku." "Tidak. Bukan begitu." Lucas menekuk lutut. Ia tunjukkan kompas barunya dengan senyum penuh haru. "Aku sangat suka dengan hadiah ini. Saking sukanya, aku sampai tidak bisa berkata-kata." "Begitukah?" Mata Sky kembali bercahaya. Lucas mengangguk. "Ya. Kau sangat hebat dalam memilih, Sky. Ini hadiah yang luar biasa. Tapi, kenapa kau sampai memecahkan celengan ayammu? Kau seharusnya menggunakan tabungan itu untuk keperluanmu." Sky terkikik lucu. "Sebetulnya, saat mem
"Nenek!" Sky melompat-lompat saat speedboat yang digunakan oleh sang ayah kembali. Wajahnya begitu cerah, senyumnya semringah. Tangannya tak berhenti melambai. Di belakang mereka, speedboat lain menyusul. Dua wanita terlihat tegang di sana. Mereka memegang koper masing-masing dengan erat. Saat kaki mereka menyentuh darat, barulah mereka bisa bernapas lega. "Astaga, perjalanan kemari menyeramkan sekali. Mulutku tidak henti-hentinya mengucapkan doa. Untung saja perahu kita sampai dengan selamat." "Ya, aku juga takut sekali tadi. Aku nyaris tidak bergerak. Bisa gawat kalau perahu kita oleng. Kita bisa saja berakhir menjadi santapan buaya." Mendengar komentar teman-temannya, Elizabeth mengibaskan tangan. "Sudahlah, jangan menggerutu lagi. Bukan aku yang memaksa kalian untuk menemani aku ke sini. Kalian sendiri yang menawarkan diri." Dua wanita lain mengatupkan mulut dengan gaya khas masing-masing. Yang satu sibuk merapikan rambut. Yang satu lagi sibuk membetulkan kerah baju. Melihat