Guys, berhubung hari ini Pixie sibuk banget, izin update 1 bab aja ya. Huehehe .... Nantikan besok untuk melihat apa yang terjadi pada Giselle. Terima kasiiih.
Di penginapannya, Lucas melamun dengan tatapan tertuju ke luar jendela. Canis yang berbaring di sisi kursinya tampak lesu. Mungkin ia bosan tidak mendapat perhatian dari pemiliknya. Saat ketukan pintu terdengar, barulah Canis kembali tegak. Ia berlari ke arah pintu, mondar-mandir seolah memberitahu Lucas ada orang di sana. Akan tetapi, Lucas tidak juga beranjak. Ia malah menatap ponsel yang berdering setelah beberapa saat. "Ada apa?" "Kau sengaja membiarkan aku menunggu di sini? Cepat buka pintu!" Lucas tersenyum miring. "Mau apa kau datang kemari? Kau mau merayuku seperti bagaimana kau merayu Edmund dan laki-laki lain? Tapi aku bukan pebisnis sukses seperti mereka. Apa yang kau incar?" Giselle mendengus. Lucas bisa membayangkan rautnya yang penuh kebencian. "Tidak usah berpura-pura bodoh! Kau pikir aku tidak tahu? Foto-foto dan artikel itu ulahmu, kan?" Lucas mengerutkan sebelah alis. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Foto dan artikel apa yang kau maksud?" "Kau suda
"Sky, kau di sini? Bagaimana bisa?" tanya Lucas dengan mata berkaca-kaca. Sky berhenti memeluk Canis. Ia berdiri dengan senyum manis. Namun, bukannya menjawab, ia malah memutar badan. "Semuanya, bersiap!" Sky merentangkan tangan. Semua teman-teman hewannya, termasuk Canis, langsung berbaris sejajar. Setelah menaruh mahkota di kepala anjing kesayangannya, ia melanjutkan aba-aba. “Perhatian, perhatian. Siapa di sini yang senang menyambut kedatangan tamu spesial kita? Satu, dua, tiga!” Tiga macam bunyi hewan pun terdengar. Sky tersenyum bangga. Akhirnya, suara Felis terdengar jelas dan Gusi tidak lagi terlambat. “Siapa di sini yang tidak sabar ingin bermain bersama Papa Lucas? Satu, dua, tiga!” Sekali lagi, tiga macam bunyi mengudara. Senyum Sky bertambah lebar. Dengan gerak lambat, ia mulai mengangkat tangan. “Kalau begitu, ayo merayakan kedatangannya!” Sky mulai jalan di tempat. Canis pun memimpin pasukan hewan untuk mengelilinginya. Kali ini, Felis tidak lagi tertinggal. Ia me
Saat Lucas sedang fokus mencari jawaban, Sky mengguncang kakinya. "Ayolah, Papa. Kita berdamai saja. Jangan bertengkar lagi dengan Papa Edmund. Nanti Mama jadi sedih. Aku juga merasa tidak tenang kalau Papa Lucas masih marah kepada Papa Edmund." Lucas tertunduk menatap Sky. Wajah lugu itu hampir berhasil meruntuhkan gengsinya. "Apakah ada alasan bagiku untuk berdamai dengan ayah kandungmu? Dia adalah alasan kita harus berpisah." "Kita tidak benar-benar berpisah, Papa. Kita hanya tidak tinggal bersama, tapi ke depannya, kita akan sering bertemu. Kami berencana untuk mengelilingi dunia. Kalau kami berada di dekat tempat Papa Lucas bekerja, kita bisa mengatur janji pertemuan." Tiba-tiba, Sky melompat kecil. Matanya berbinar lebih terang. "Papa tahu? Kami juga berencana untuk sesering mungkin singgah di sini. Di rumah hutan! Aku sudah berjanji dengan Felis, Gigi, dan Gusi untuk sering menemui mereka." Selang satu anggukan, ia menurunkan pandangan. "Canis, kamu dengar yang kukatakan ta
Lama, Lucas menatap kompas di tangannya. Tidak ada satu pun suara atau gerakan yang ia buat. Hal itu meredupkan binar di wajah Sky. "Ada apa, Papa? Kamu tidak senang mendapat kompas itu?" Lucas menggeleng. "Tidak—" Suaranya tersekat. Sky menjadi salah paham. Wajahnya berubah manyun. "Papa tidak suka?" Sambil mengembuskan napas panjang, gadis kecil itu tertunduk. Ia mainkan tali jumpsuit-nya. "Sayang sekali. Padahal, aku sengaja mengosongkan celengan ayamku untuk membeli itu. Ternyata Papa tidak suka dengan hadiahku." "Tidak. Bukan begitu." Lucas menekuk lutut. Ia tunjukkan kompas barunya dengan senyum penuh haru. "Aku sangat suka dengan hadiah ini. Saking sukanya, aku sampai tidak bisa berkata-kata." "Begitukah?" Mata Sky kembali bercahaya. Lucas mengangguk. "Ya. Kau sangat hebat dalam memilih, Sky. Ini hadiah yang luar biasa. Tapi, kenapa kau sampai memecahkan celengan ayammu? Kau seharusnya menggunakan tabungan itu untuk keperluanmu." Sky terkikik lucu. "Sebetulnya, saat mem
"Nenek!" Sky melompat-lompat saat speedboat yang digunakan oleh sang ayah kembali. Wajahnya begitu cerah, senyumnya semringah. Tangannya tak berhenti melambai. Di belakang mereka, speedboat lain menyusul. Dua wanita terlihat tegang di sana. Mereka memegang koper masing-masing dengan erat. Saat kaki mereka menyentuh darat, barulah mereka bisa bernapas lega. "Astaga, perjalanan kemari menyeramkan sekali. Mulutku tidak henti-hentinya mengucapkan doa. Untung saja perahu kita sampai dengan selamat." "Ya, aku juga takut sekali tadi. Aku nyaris tidak bergerak. Bisa gawat kalau perahu kita oleng. Kita bisa saja berakhir menjadi santapan buaya." Mendengar komentar teman-temannya, Elizabeth mengibaskan tangan. "Sudahlah, jangan menggerutu lagi. Bukan aku yang memaksa kalian untuk menemani aku ke sini. Kalian sendiri yang menawarkan diri." Dua wanita lain mengatupkan mulut dengan gaya khas masing-masing. Yang satu sibuk merapikan rambut. Yang satu lagi sibuk membetulkan kerah baju. Melihat
Setibanya di rumah hutan, Alice ternyata sudah siap untuk menyambut mereka. Ia berdiri di depan tangga dengan senyum hangat. Nyonya Anggrek dan Nyonya Kupu-Kupu dengan senang hati membalas dekapannya. "Bagaimana kabarmu, Alice? Kau tampak lebih bersinar di sini. Apakah karena lingkungan yang damai ini?" "Dia pasti bahagia telah terbebas dari tekanan Elizabeth. Tapi kau tahu, Alice? Mertuamu sudah berubah. Kau tidak perlu takut padanya lagi. Karena itulah kami di sini. Kami—aduh!" Wanita itu mengusap lengannya dan melirik Elizabeth. "Kenapa mencubitku?" "Jangan merebut bagianku. Biar aku saja yang menyatakannya. Kalian tidak perlu mewakiliku." Dua wanita itu tersenyum miring. "Kau yakin? Sepanjang latihan, kau selalu membuat kesalahan." "Nyonya Anggrek, tolong jangan meledek Nenek. Nanti dia malu dan tidak jadi meminta maaf kepada Mama," tutur Sky dengan bibir menguncup dan tangan di pinggang. Wanita itu terkekeh. "Aku tidak meledeknya, Sky. Aku memberinya keberanian." Sedetik k
"Louis! Emily!" Sky melambaikan tangan dengan sekuat tenaga. Suara tawanya begitu ringan, apalagi saat si Kembar membalas panggilannya. "Sky! Sky!" Mereka melompat-lompat di atas speedboat yang meluncur ke arah dermaga. Di samping mereka, bocah lain yang lebih kecil ikut melambai. Melihat itu, mata Sky berbinar lebih terang. "Russell, kau juga ikut?" Sambil tertawa lebih kencang, ia ikut melompat. "Russel!" Menyaksikan betapa antusias Sky menyambut teman-temannya, Edmund tanpa sadar mendengus. Alice mendengar itu. Ia melirik, tersenyum geli. "Ed, bukankah kau sudah pernah bertemu dengan Louis? Kupikir kau setuju kalau dia anak yang baik." Edmund menaikkan alis sedikit. "Ya, dia memang anak baik. Tapi itu bukan berarti dia bisa lolos dari pantauanku." Alice mengernyitkan dahi. "Kau masih cemburu? Ayolah, Ed. Dia masih kecil, dan kamu sudah dengar sendiri pengakuan Sky. Laki-laki favoritnya tetap kamu." Alice menyikut lengan Edmund. Akan tetapi, suaminya itu tetap memasang tampang
Semua orang bertepuk tangan saat Sky dan teman-teman hewannya selesai melakukan pertunjukan. Bukan hanya anak-anak Harper yang terkesima, tetapi orang tua mereka juga. "Terima kasih, Sky. Ini adalah sambutan paling manis yang pernah kami terima," tutur Kara dengan senyum lebar. "Ya, ini sambutan yang luar biasa. Bagaimana caramu melatih hewan-hewan itu? Bukan hanya kucing dan anjing, kamu juga berhasil melatih dua ekor angsa." Frank mengacungkan jempolnya. Sky terkekeh bangga. "Itu karena mereka bukan sembarang hewan, Tuan. Mereka adalah teman-temanku dan mereka pintar. Kurasa mereka mau mengikuti aba-aba dariku karena kami akrab." "Mereka teman-temanmu?" Frank menaikkan alis. Si Kembar langsung berebut menjelaskan. "Tidak ada anak-anak lain di sini, Papa. Karena itu, Sky hanya bermain dengan teman-teman hewannya." "Sky bilang dia selalu memberi mereka makan yang banyak. Kurasa, karena itu juga hewan-hewan itu patuh padanya. Mereka suka pada Sky!" Sky melompat antusias. "Louis