Jreng jreng jreeng .... Bagaimana respons Alice dan Sky? Akankah mereka meluruskan kebenaran kalau mereka bukan Palmer?
Mengerti bahwa perawat itulah yang mengurusnya dulu, Sky tersenyum manis. "Ya, Nyonya. Aku adalah bayi kecil itu. Namaku Sky. Senang bertemu denganmu lagi, Nyonya." Rea terkekeh gemas. Sambil membungkuk, ia menangkup pipi Sky. "Astaga, kamu manis sekali. Persis seperti ibumu. Dan kau sudah besar sekarang. Apakah kamu tahu? Dulu kamu sekecil ini." Sky tertawa kecil melihat bagaimana Rea memperagakan ukuran tubuhnya. "Benarkah dulu aku hanya sebesar ini?" Ia meniru panjang yang dibuat Rea dengan kedua tangannya. "Itu kecil sekali. Bahkan lebih kecil dari Grassy. Tidak sia-sia aku makan banyak sehingga bisa menjadi sebesar ini." Rea kini mengelus rambut Sky. Tatapannya penuh dengan kehangatan. Rasa lelah sehabis dinas malam seolah menguap dari badannya. "Anakmu menggemaskan sekali, Rachel. Kamu dan suamimu berhasil membesarkannya dengan sangat baik. Omong-omong, di mana dia? Apakah dia menunggu di mobil?" Suasana seketika berubah beku. Alice bergeming. Ia sadar bahwa suami yang dim
"Mama, ke mana tujuan kita selanjutnya? Apakah tidak jauh dari sini?" Suara Sky membuat Alice mengerjap. Ia menoleh sepintas. Dahinya terdongkrak. "Ya, dari mana kamu bisa tahu, Sayang?" Telunjuk Sky meruncing ke arah jalan. "Van kita jalannya seperti siput. Kalau tempatnya jauh, Mama pasti sudah mengebut." Alice terkekeh lirik. Ia takut ketahuan oleh sang putri bahwa dirinya melamun tadi. "Apakah kamu sudah siap menerima misi kedua?" Sky mengangguk mantap. "Ya, apakah Mama mau memberitahuku sekarang? Atau Mama mau menunggu sampai kita sampai di tempat selanjutnya?" Saat itu pula, Alice membelokkan van. Menyadari bahwa mereka mengarah ke parkiran, mata Sky membulat. "Kita sudah sampai?" Lehernya memanjang. Dengan mulut yang sedikit menganga, ia mengamati bangunan tingkat dua dengan dinding kayu dan desain unik di hadapannya. "Tempat apa ini, Mama?" Alice mematikan mesin mobil dan membuka sabuk pengaman. "Kamu tahu kalau Banff National Park adalah taman nasional tertua di Kanad
Melihat rasa penasaran Zoey, Alice tersenyum miring. "Kamu punya berapa lama untuk mendengarku bercerita?" "Anggaplah setengah jam lagi, tapi aku harus sambil bersiap-siap sebelum staf lain datang." "Aku bisa membantu." Sky mengangkat tangan tinggi-tinggi. Zoey tersenyum gemas. "Itu bagus, Anak Manis. Kalau begitu, Alice .... Ceritakan kepadaku. Apa yang terjadi?" Selama beberapa menit, Alice terus bercerita. Zoey menyimak dan sesekali menimpali dengan gerutuan. Ia seperti menyimpan dendam terhadap Lucas. Namun, di akhir cerita, kekesalannya malah berubah menjadi iba. "Jadi, kemarin dia masih membujukmu untuk kembali?" Alice mengangguk tipis. "Ya, tapi itu tidak mungkin. Aku sudah bersuami, dan kamu tahu ...."Alice melirik ke kiri sedikit. Sky sedang mengamati beragam jenis telur dengan teliti. "Aku tidak pernah benar-benar mencintainya," bisiknya lirih. "Tapi sekalipun begitu, aku tetap merasa bersalah padanya. Kau tahu? Selama lima tahun terakhir, dialah yang menjaga aku dan
Mata Sky membulat mendapati pemandangan di depannya. Dari ujung kiri hingga ke ujung kanan, ia sama sekali tidak menemukan cela. Mulutnya yang ternganga sesekali meloloskan desah. "Mama, apakah kita masih berada di bumi?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan.Alice tersenyum geli mendengarnya. "Ya, Sayang. Kenapa bertanya begitu?" "Ini sangat-sangat indah, Mama. Lihatlah warna airnya! Mengapa dia bisa begitu biru? Dan pegunungan itu." Sky menunjuk pegunungan yang berbaris memahkotai danau. "Mereka sangat megah! Salju di atas sana tampak seperti taburan gula yang sangat manis." Sky menjepit pipinya sendiri, terpejam sejenak sembari memiringkan kepala. "Dan lihatlah bagaimana langitnya terpantul di permukaan danau! Wah, itu seperti kaca. Rasanya aku bisa berjalan di atasnya. Oh, Mama? Apakah itu awan?" Sky membelalakkan mata, memperhatikan bayang-bayang putih di sisi kiri dekat pantulan gunung. Sedetik kemudian, ia mendongak. Melihat serabut awan tipis yang bergerak lambat, ia berse
Alice berdiri dan mengeluarkan ponsel dari saku. Jarinya gemetar saat mencari kontak Edmund. Saat menemukannya, ia menelan ludah. Detak jantungnya telah naik hingga ke tenggorokan. "Mama, ayo jangan lama-lama. Aku sudah tidak sabar ingin mendengar suara Papa. Dia pasti senang saat mendengar kita. Dan aku punya banyak cerita untuknya." Alice menghela napas samar. Ibu jarinya naik turun mengimbangi keraguan. Saat ia tak sanggup lagi menahannya, ia serahkan ponsel ke tangan Sky. "Bagaimana kalau kamu saja yang menghubungi Papa, Sayang? Mama rasa, Papa pasti akan lebih senang kalau suaramu yang lebih dulu didengarnya." Sky menyambut ponsel dengan gembira. "Tidak masalah. Aku senang kalau Papa menyapaku duluan." Tanpa berlama-lama, ia menekan tombol hijau. Saat menempelkan ponsel di telinga, tawa ringannya mengudara. Tubuhnya terus bergoyang-goyang. "Oh, jantungku benar-benar berkeringat sekarang," celetuknya sembari menggaruk dada. Alice menanggapi sang putri dengan senyum tipis. Da
"Jadi, apa yang kau lakukan di sini? Apakah kamu sedang berlibur?" selidik Louis. Emily cepat-cepat menyikutnya. "Louis, kenapa kamu bertanya begitu? Itu tidak sopan." "Apa salahnya? Itu hanya basa-basi." Louis mengedikkan bahu. Emily mendekat ke telinga Louis. "Kamu bisa membuatnya sedih lagi. Kita tidak tahu apa yang sudah dia alami." "Baiklah, maaf kalau aku lancang. Aku tidak seharusnya bertanya. Aku hanya mau mencairkan suasana saja."Sky hanya berkedip. Ia tidak tahu harus menanggapi apa. Suasana hatinya sedang buruk. Mengerti akan hal itu, bibir Louis kembali menguncup. "Kamu tahu? Keluargaku datang ke sini untuk berbisnis sekaligus berlibur. Salah satu hotel di dekat sini ingin meningkatkan pelayanan dengan meng-upgrade fasilitas berbasis smart home. Itu bidang yang kugeluti di bawah pengawasan ayahku."Tiba-tiba, Emily menyikut lengan Louis lagi. Ia mendekat, berbisik, "Sekarang kamu terdengar sombong." Louis menghela napas. Kepalanya menggeleng tak berdaya. "Kenapa aku
"Ya, kami memang harus kembali ke hotel lagi. Tapi itu bukan berarti kami akan membiarkanmu mengatasi masalah ini sendiri."Selang satu kedipan, Louis berputar menghadap ayahnya. Wajahnya tampak tegas dan berwibawa, jauh lebih dewasa dibandingkan anak-anak seumurnya."Papa, bagaimana kalau kita meminjamkan telepon satelit kepada Sky? Di hotel ada wifi dan sinyal. Kita tidak butuh telepon satelit, sedangkan mereka butuh. Kita bisa mengambilnya lagi nanti."Mendengar itu, Alice terkesiap. Ia merasa sungkan jika harus merepotkan orang lain karena keegoisannya. "Maaf, Louis. Aku sangat menghargai niat baik kalian, tapi kalian tidak perlu melakukan itu." Kemudian, ia memegangi pundak Sky. "Sayang, bagaimana kalau kita kembali ke kota saja?"Sky menggeleng. "Tadinya, aku juga mau begitu. Tapi setelah kupikir-pikir, aku tidak mau merusak rencana Mama. Aku juga mau mendaki di sini. Biar Papa saja yang menyusul kemari. Karena itu, kita harus menghubunginya.""Begini saja." Kara mengambil telep
Firasat buruk seketika melanda hati Alice. Ia cepat-cepat menarik Sky turun dari kursi, mengitarinya sedikit sehingga di antara mereka terdapat penghalang. "Mama, mereka siapa?" bisik Sky sembari menyimpan telepon satelitnya ke dalam tas. "Mama tidak tahu, Sayang," sahut Alice gusar. Ia melirik ke sekeliling. Tidak ada orang lain di sekitar mereka. Otaknya seketika mengirim tanda bahaya. "Sayang, kamu sudah melihat pemandangan dari sini, kan? Bagaimana kalau kita turun sekarang? Lain kali, kita bisa kembali lagi ke sini." Sky mengangguk pelan. Ia seolah bisa merasakan hal yang sama dengan ibunya. "Ya, Mama." Ia buru-buru menyandang ranselnya. Namun ketika mereka hendak melangkah, dua pria asing itu menghalangi jalan mereka. "Kenapa tergesa-gesa? Kami baru saja tiba. Bagaimana kalau kita berbincang sebentar? Sambil mengamati pemandangan indah." Pria yang berbadan lebih kekar memainkan alis. "Ya, kita bahkan belum berkenalan. Takdir sudah mempertemukan kita di sini. Bagaimana kala