Apa yang mau kalian bilang ke Edmund? Ada yang mau kasih jempol?
Edmund termenung lama menatap kasur Sky. Ia teringat bagaimana dirinya berbaring di situ dengan sang putri meringkuk dalam pelukannya. Mereka akan bertukar cerita, saling berbisik dan tertawa. Terkadang, sang istri yang berbaring di sana. Saat ia menghampiri, biasanya mereka sudah terlelap. Wajah cantik mereka tampak damai, dan ia akan tergiur untuk mencuri kecupan dari bibir Alice. "Bisakah mereka tertidur lelap di rumah Emma? Sky tidak membawa satu pun dari teman-teman bonekanya," gumamnya lirih. Sedetik kemudian, pandangannya beralih ke arah tenda. Mereka juga sering berbaring di sana. Kepala mereka akan terjulur keluar, menatap langit-langit sambil menghafal bentuk rasi bintang. Helaan napas Edmund pun berhembus panjang. Sambil mendongak, ia menahan air matanya agar tidak tumpah. Malangnya, memori malah terputar lebih cepat. Masih tergambar jelas bagaimana Sky memekik gembira saat mendapat kejutan-kejutan darinya. Masih terngiang jelas bagaimana gadis kecil itu memanggilnya Pa
Sky menggeleng cepat. "Saat Paman Henry menyapa Mama tadi, aku bertanya di mana Bibi Emma. Dia bilang kalau Bibi sedang menyiapkan makan malam. Saat Paman Henry bertanya apakah aku mau membantu, tentu saja aku menjawab mau. Tapi ternyata, Paman Henry tidak membawaku ke dapur. Dia mengantarku ke sini, menemui Papa!" Edmund melirik Henry dan mengangguk kecil. Setelah mendapat balasan, ia kembali menatap sang putri. "Tapi Sayang, maaf. Papa tidak bisa berlama-lama di sini. Nanti Mama-mu melihat. Kamu tahu kalau Mama dan Papa harus menjaga jarak untuk sementara, kan?" "Ya, kita harus menunggu sampai kondisi Mama stabil. Mama butuh waktu untuk menata ingatannya yang baru kembali," ujar Sky sambil menepuk-nepuk kepala. Edmund mengangguk dengan senyum kecut. Sambil mengelus rambut ikal sang putri, ia menatap wajah bulatnya dalam kesenduan. "Kamu memang anak yang pintar, Sky. Terima kasih sudah mengerti kondisi orang tuamu." Senyum Sky melebar mendengar pujian itu. "Terima kasih, Papa.
Sambil memeluk Grassy, Sky kembali ke ruang tengah. Ia duduk di sofa, pandangannya menggantung. Selang satu kedipan, ia membalikkan bonekanya, memberi beruang hijau itu usapan lembut."Grassy, apa yang harus kita lakukan? Mama sepertinya masih marah kepada Papa. Apakah mereka bisa kembali bersama?"Sambil menggigit bibir, Sky menoleh ke jendela. Kerinduan kembali memberatkan hatinya. Setelah merenung sejenak, ia mengambil Rocky Talkie dari dalam tas. "Papa, apakah kamu mendengarku?" tanyanya dengan suara kecil yang menyayat hati. Usai jeda singkat, suara Edmund terdengar. "Sky, kau berhasil menyalakan Rocky Talkie sendiri?" Sky menekan lagi tombol yang tadi. "Ya, aku mengikuti tahap-tahap yang Papa ajarkan." "Bagus sekali, Sayang. Kamu hebat. Ada apa kamu menghubungiku?"Sky mendengus samar. "Papa tahu? Mama sedang menangis. Aku tidak sengaja mendengarnya." "Kenapa dia menangis?" Edmund terdengar khawatir. "Mama melihat kita tadi. Mama tahu kalau aku merindukan Papa." "Apakah di
"Maaf, Papa Lucas. Kamu belum boleh bertemu dengan Mama. Bagaimana kalau kamu menunggu selama beberapa hari?" Sky memiringkan kepala. Ekspresinya serius. Belum sempat Lucas menjawab, ia kembali bicara. "Kalau Papa bertemu dengan Mama sekarang, aku takut hasilnya akan sia-sia. Papa Edmund saja belum berani bertemu Mama. Mama masih marah kepada kalian." Lucas mulai menggertakkan geraham. Kesabarannya tidak banyak tersisa. "Jangan menceramahiku. Aku ini papamu. Sekarang juga, panggil Mama keluar." Bukannya takut, Sky malah berkacak pinggang. Kepalanya menggeleng tegas. "Tidak, Papa. Aku sudah berjanji untuk menjaga Mama. Tidak akan aku biarkan Mama bersedih atau menangis lagi. Karena itu, tolong mengertilah. Beri Mama waktu untuk menata ulang ingatannya. Setelah kondisi Mama membaik, baru Papa boleh bicara dengan Mama." Lucas mendengus. Ia tidak mau mengindahkan peringatan gadis kecil itu. Ia hendak menerobos masuk. Namun, tanpa terduga, Sky merentangkan tangan dan bergeser menghalan
"Ya, bagaimana mungkin aku bisa berhenti marah padamu?" jawab Alice jujur.Harapan Lucas runtuh, sedangkan Emma tersenyum. "Kau tidak tahu bagaimana dampak dari perbuatanmu, Lucas," lanjut Alice. "Kau hanya tahu kepalaku pusing, tapi kau tidak tahu seberapa besar rasa sakit yang harus kutahan." "Kenapa?" Suara Lucas tersendat. Kebingungan mewarnai matanya. "Kenapa kau malah marah kepadaku? Bukankah kau seharusnya marah kepada Edmund? Dia yang telah merusak kepercayaan darimu. Dia yang paling menyakitimu?" "Maaf aku harus mengatakan ini. Tapi, sejak Edmund kembali, aku merasa hidupku sempurna. Aku bisa merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Aku bisa menyaksikan Sky tertawa begitu lepas. Dengan ingatan yang kau kembalikan kepadaku, semua itu rusak. Kalau saja aku bisa memilih, aku lebih baik tidak usah mendapat ingatan itu lagi. Dengan begitu, aku hanya punya kenangan manis. Aku bisa tetap mencintai Edmund dan hidup bersamanya tanpa rasa khawatir." Lucas melangkah mundur. Sebagian
Sepulang kerja, Edmund langsung menuju ke rumah Emma dengan hati gembira. Hadiah spesial telah ia siapkan di jok sebelah. Ia yakin, begitu Sky membukanya, ia pasti melompat-lompat gembira. Setibanya di sana, Edmund langsung meraih Rocky Talkie-nya. Namun, belum sempat ia menghubungi Sky, pintu depan terbuka lebar. Sedetik kemudian, Emma muncul dengan wajah gusar."Ke mana saja kau tadi? Kenapa tidak menjawab panggilan dari Sky? Dia sudah beberapa kali mencoba untuk menghubungimu."Edmund menaikkan alis. "Aku sudah bilang padanya kalau aku harus rapat. Kami janji bertemu setelah aku pulang kerja. Memangnya ada apa? Di mana dia sekarang?"Sambil melipat tangan di depan dada, Emma memalingkan muka. Ia seolah takut menatap Edmund lekat-lekat. "Mereka sudah berangkat," ujarnya lirih. Edmund mendadak beku. Matanya tidak berkedip, napasnya berat. "Berangkat? Apa maksudmu?" Emma menghela napas cepat. Sambil menatap Edmund lagi, ia menjawab, "Alice memutuskan untuk menenangkan diri di tempa
Giselle menggertakkan rahang. Kedua tangannya kini terkepal erat. "Bukankah aku sudah pernah bilang? Aku mengagumimu sejak lama. Kau pria yang luar biasa. Karena itu, aku dulu melamar sebagai sekretarismu. Aku ingin belajar banyak darimu. Aku ingin sesering mungkin bersamamu. Aku ingin terus mendampingimu." Tiba-tiba, Giselle bergeser maju. Wajahnya mendongak menatap Edmund, memperlihatkan kesungguhan. "Dan melihat dirimu yang sekarang, adakah alasan untuk aku berhenti menyukaimu? Kau berhasil menjadi CEO sukses. Meskipun perusahaan yang kau bangun menjadi yang terdepan di bidangmu, kau masih tetap mempertahankan kepribadianmu yang mengesankan. Apakah aku rela membiarkanmu bersanding dengan yang lain?"Sambil menarik napas dalam-dalam, Giselle menggeleng tegas. "Tidak. Pria sebaik dirimu tidak boleh menyia-nyiakan hidup demi perempuan seperti Alice. Kau seharusnya bersanding dengan perempuan hebat juga, seperti aku." "Tapi aku tidak butuh perempuan sepertimu. Aku hanya butuh Alice.
Edmund mendengus. "Mama takut aku tidak bisa memberi uang jajan lagi? Kenapa tidak minta kepada Giselle saja? Dia anak Mama sekarang." "Edmund!" pekik Elizabeth di puncak suaranya. Wajahnya kini sudah sangat merah. "Jangan khawatir, Ma. Tabunganku banyak. Uangku cukup untuk menghidupi keluarga kita sampai Sky dewasa. Tapi karena aku tetap harus membayar gaji pelayan yang mengurus rumah, uang jajanmu harus berkurang." "Kenapa kau tidak pernah mendengarkan aku? Kau lebih sayang pada istrimu dibandingkan ibumu, hah?" Elizabeth mulai terdengar lelah. Rautnya kini terkesan kecewa dan memelas.Akan tetapi, Edmund sama sekali tidak menunjukkan iba. Ia membetulkan posisi tas gunung yang bergantung di pundaknya. Tangannya yang lain menenteng beberapa tas lebih erat. "Maaf, Ma. Ada penerbangan yang harus kukejar. Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa!" Edmund melangkah pergi. Elizabeth berusaha menahannya. Ia menarik tas sang putra dengan sekuat tenaga. Namun, ia tetap kalah. "Edmund, te