Mau apa ya si nenek mendatangi Lucas?
"Lucas, benar?" tanya Elizabeth pelan, seolah takut terdengar oleh yang lain. Alis Lucas berkerut samar. "Ya.""Tadi aku mendengar Sky memanggilmu Papa. Apakah aku tidak salah?" Alih-alih menjawab, Lucas malah memperhatikan Elizabeth dengan lebih saksama. "Maaf. Anda ini siapa, Nyonya?" Elizabeth tersenyum anggun. "Ah, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Aku Elizabeth Hills." Ia menyodorkan tangan. Lucas menyambut dengan gerak ragu. "Anda ... ibu dari Edmund?" "Benar sekali. Dan kau?" Mata Elizabeth menyipit. "Bagaimana ceritanya Sky bisa memanggilmu Papa? Mungkinkah kamu adalah orang yang menyelamatkan Alice ketika hanyut di sungai?" Lucas bergeming sejenak. "Ya, saya yang menyelamatkan Alice.""Jadi begitu." Elizabeth mengangguk-angguk. "Sekarang aku mengerti kenapa Sky awalnya memanggil Edmund Paman, sedangkan kamu langsung dipanggil Papa. Ternyata selama ini, dia menganggap orang lain sebagai ayahnya. Apakah kamu sudah menikah dengan Alice?" Alis Lucas semakin berkerut tak
"Wah, inikah ngarai terindah dan terbesar di dunia?" ujar Sky dengan mata berbinar. Alice dan Edmund tersenyum melihat antusiasmenya. "Ya, terbesar berdasarkan panjangnya. Dia mencapai 445 km. Tapi kalau dilihat dari kedalamannya, masih ada ngarai di Nepal, Peru, dan Meksiko yang lebih dalam." "Seberapa panjang 445 km itu, Papa?" Sky menyipitkan mata, mengukur apa yang terlihat dengan jengkal mungilnya. "Kira-kira ... setengah dari lebarnya Pulau Kalimantan?" Sky melirik Edmund dan tertawa takjub. "Wow! Itu sangat besar! Pasti butuh waktu lama untuk menjelajahinya dari ujung ke ujung. Orang yang pertama kali menemukan tempat ini sangat beruntung. Namanya pasti tercatat dalam sejarah." "Kamu tertarik untuk menjelajahi ngarai ini? Ada ratusan gua yang sama sekali belum dieksplorasi," tanya Alice geli. Tiba-tiba, Sky melompat membalikkan badan. Kedua tangannya direntang selebar-lebarnya. "Ya, kalau sudah besar nanti, aku akan melakukan banyak ekspedisi. Aku akan menemukan tempat-te
Usai makan malam, semua orang berkumpul di ruang tengah. Mereka sudah tidak sabar ingin mendengarkan cerita dari Sky. Sejak pulang tadi, gadis kecil itu tidak henti-hentinya memberi mereka spoiler yang mengundang penasaran. "Kalian tahu? Grand Canyon adalah ngarai paling panjang di dunia. Ukurannya sangat besar!" Sky berjinjit sambil melingkarkan tangan di atas kepala. "Kalau kalian tidak percaya, lihat ini!" Ia memamerkan fotonya bersama Alice dan Edmund dengan latar dinding ngarai. Semua pelayan berdecak kagum melihatnya. "Wah, itu sangat indah, Nona!" "Ya! Saking indahnya, aku hampir terhipnotis di pinggir pagar. Untung saja aku berpegangan dengan kuat. Kalau tidak, aku bisa saja terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam. Dan kalian tahu? Ini baru sebagian kecil dari Grand Canyon. Panjangnya mencapai 445 km, setengah dari lebar Pulau Kalimantan! Karena itu, kami tidak bisa memfoto seluruh bagian ngarai. Hanya sepotong-sepotong saja!" Sky mengeluarkan lebih banyak kertas foto.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lucas dengan nada tak bersahabat. "Aku menemani istriku. Tidak boleh?" Edmund menaikkan sebelah alis. Tak ingin menimbulkan keributan dan diusir dari sana, Lucas pun menghela napas. "Baiklah, terserah kau saja. Alice, Sky, silakan duduk, Sayang." Edmund mendengus mendengar panggilan tersebut. Sementara Alice dan Sky duduk berseberangan dengan Lucas, ia menempati meja sebelah. "Jadi, apa yang mau kau berikan?" tanya Alice canggung. Lucas tidak langsung menjawab. Ia melirik Edmund sekilas, lalu menatap Alice dalam-dalam. Saat itulah, suara Sky tiba-tiba memecah ketegangan. "Papa Lucas, di mana Canis? Kamu tidak membawanya?" Ia masih memeriksa sekeliling. Lucas menggeleng kecil. "Aku meninggalkannya di penginapan. Kau mau bertemu dengannya? Bagaimana kalau kamu ikut aku ke sana?" "Lucas," sela Alice tegas, "tolong jangan mengulangi kesalahan kemarin. Kau tahu keputusan kami sudah final. Kami tidak akan meninggalkan Edmund. Kita memang harus
Melihat Alice meringis kesakitan, Lucas bergegas memegangi lengannya. "Alice, kau baik-baik saja?" Akan tetapi, sang wanita menolak sentuhannya. "Tidak!" Alice menjauh. Karena keseimbangannya terganggu, ia cepat-cepat berpegangan pada meja. Sambil tertunduk, ia mengatur napas. "Matikan .... Cepat matikan!" Bukannya menurut, Lucas malah terjebak dalam dilema. Ia tidak tahu harus tetap pada rencana atau mementingkan keselamatan Alice. Sadar dirinya tidak bisa mengandalkan Lucas, Alice pun meraih ponsel. Namun, melihat bagaimana Elizabeth mendorongnya hingga terjatuh, kepalanya bertambah pusing. "Aaargh ...." "Alice?" Lagi-lagi, Alice mengangkat tangan, mengisyaratkan Lucas agar tidak menyentuhnya. Matanya kini terpejam erat. Bibirnya meringis. Malangnya, pusing dalam kepalanya malah bertambah parah. Samar-samar, suara lain mulai terdengar. "Kalau tahu akan jadi begini, aku seharusnya tidak menghentikanmu saat akan melompat di jembatan. Biar saja kau hanyut di sungai sebagai or
Scott dengan sigap menopang siku Alice. "Berjalanlah dengan hati-hati. Sky, bantu aku menuntun ibumu." "Ya, Paman." Edmund bergegas maju sebelum Sky meletakkan laptop di kursi. Saat ia mengamankan benda tersebut, ia berbisik, "Tolong jaga Mama. Kalau ada apa-apa, segera panggil Paman Scott. Papa akan menemui kalian kalau kondisi Mama sudah membaik." Dagu Sky bergetar hebat. Bibirnya melengkung ke bawah. "Sampai jumpa lagi, Papa," bisiknya sambil memeluk Edmund."Ya, Papa pasti akan menjemput kalian." Setelah melepas pelukan, Sky bergegas berlari meraih tangan Alice. Ia sesekali menoleh ke arah Edmund. Ia masih bisa saling melihat sang ayah, tetapi matanya sudah penuh dengan kerinduan. Edmund menyaksikan itu dengan perasaan berkecamuk. Saat punggung Alice dan Sky tidak lagi terlihat, ia langsung mengacak rambut dan menarik napas panjang. "Kenapa jadi begini?" bisiknya pada ruang yang terasa hampa. Saat matanya melewati Lucas, pandangannya langsung kelam. "Sudah puas kau menyakit
Saat itu pula, Scott datang menghampiri mereka. "Emma, kau sudah tiba?" Emma tersenyum sekilas. "Scott, kudengar pemeriksaan sudah selesai. Aku berniat membawa Alice dan Sky ke rumahku sekarang. Kami sudah boleh pergi, kan?" Scott buru-buru mengangguk. "Ya. Kebetulan, aku juga harus kembali ke kantor." Sedetik kemudian, ia menyerahkan sebungkus plastik kepada Emma. "Ini obat untuk Alice. Preskripsinya tertulis di situ. Tinggal kau teliti saja." "Baiklah. Terima kasih." Usai menyimpan obat dalam tas, Emma dengan sigap menuntun sahabatnya. Sky pun berdiri di samping Alice, memegangi sebelah tangannya. "Terima kasih, Scott," ucap Alice sebelum pergi."Terima kasih, Paman Scott!" lambai Sky dengan senyum manis. Scott hanya bisa membalas dengan helaan napas getir. Ketika orang-orang itu sudah tidak terlihat lagi, barulah ia pergi ke sebuah pohon. Di baliknya, Edmund masih memandang ke arah Alice menghilang. "Tidak bisakah kau mencari tempat persembunyian yang lebih kreatif?" Edmund
Edmund termenung lama menatap kasur Sky. Ia teringat bagaimana dirinya berbaring di situ dengan sang putri meringkuk dalam pelukannya. Mereka akan bertukar cerita, saling berbisik dan tertawa. Terkadang, sang istri yang berbaring di sana. Saat ia menghampiri, biasanya mereka sudah terlelap. Wajah cantik mereka tampak damai, dan ia akan tergiur untuk mencuri kecupan dari bibir Alice. "Bisakah mereka tertidur lelap di rumah Emma? Sky tidak membawa satu pun dari teman-teman bonekanya," gumamnya lirih. Sedetik kemudian, pandangannya beralih ke arah tenda. Mereka juga sering berbaring di sana. Kepala mereka akan terjulur keluar, menatap langit-langit sambil menghafal bentuk rasi bintang. Helaan napas Edmund pun berhembus panjang. Sambil mendongak, ia menahan air matanya agar tidak tumpah. Malangnya, memori malah terputar lebih cepat. Masih tergambar jelas bagaimana Sky memekik gembira saat mendapat kejutan-kejutan darinya. Masih terngiang jelas bagaimana gadis kecil itu memanggilnya Pa