Semoga suka yaa. Makasi udah membaca ....
Sambil mengusap mata, Edmund mengangguk-angguk. "Ya, mari kita jadikan pesta ulang tahun itu sebagai yang terbaik. Kamu mau kado apa, kue ulang tahun seperti apa, bagaimana dekorasinya ... katakan saja. Aku pasti akan mewujudkannya untukmu. Karena aku ayahmu." Sky tersenyum semringah. "Benarkah? Kalau aku mau mengadakan pesta ulang tahun di tengah hutan, Papa juga bisa mewujudkannya?" Edmund mengangguk. "Kamu mau pesta di tengah hutan?" Sky terkikik. "Tidak, Papa. Selama ini, aku selalu berada di hutan setiap ulang tahunku tiba. Aku mau sesuatu yang berbeda. Nanti biar kupikirkan. Mungkin di gurun pasir atau kutub utara?" Semua orang terbelalak, termasuk Edmund. Mendapati reaksi itu, tawa Sky mengudara. "Aku bercanda. Di sana sangat panas dan dingin. Tidak cocok untuk berpesta. Nanti biar kupikirkan dengan hati-hati. Untuk saat ini, Papa cukup berjanji untuk menepatinya." Sky menyodorkan kelingking. Edmund mengecupnya lalu tersenyum. "Ya, Papa janji. Sekarang, bagaimana kalau kit
"Papa, Mama, ayo cepat!" ujar Sky sambil berkacak pinggang dan mengentakkan kaki. Melihat kelakuan gadis kecil itu, Edmund dan Alice terkekeh. "Sabar, Sayang. Ini masih pagi," tutur Alice sambil menyisir rambut dengan teliti. Sementara itu, Edmund mengenakan baju dengan lebih gesit. "Ya, kita punya banyak waktu hari ini. Tidak perlu tergesa-gesa." "Tapi aku sudah tidak sabar mau pergi ke Grand Canyon. Sudah kubilang, jangan bermain lagi malam-malam. Mama dan Papa seharusnya langsung tidur. Kenapa malah bergadang?" Sambil mendengus, Sky melipat tangan di depan dada. Bibir manyunnya terlihat lucu. "Lihat akibatnya! Matahari sudah tinggi, tapi kita belum berangkat." "Jangan marah-marah, Sayang. Nanti kamu cepat tua," celetuk Alice. Edmund mengangguk sepakat. "Mama benar. Nanti kamu tidak lucu lagi." Sky mengulum bibir. Alisnya berkerut. "Papa ini sedang meledek atau memujiku?" Edmund tersenyum jail. "Dua-duanya." Sambil menggembungkan pipi, Sky merapat kepada sang ayah. Kekesala
Pertanyaan Sky menimbulkan dilema dalam hati Edmund. Ia tidak tahu jawaban apa yang pantas ia berikan. Terang saja ia cemburu kepada Lucas. Bukan hanya soal Alice, tetapi juga Sky. Lucas yang menemani Sky melewati periode emas. Ia yang menggendongnya sewaktu masih bayi. Ia yang mengajarinya bicara dan berjalan. Ia juga yang berbagi banyak pengetahuan dan pengalaman sehingga Sky sepintar sekarang. Satu-satunya hal yang telah Edmund lakukan untuk sang putri adalah mengajarinya membaca. Hanya satu! Edmund jelas kalah telak. "Ayolah, Papa." Sky tiba-tiba mengguncang kaki Edmund. "Kemarin saja, Mama tidak cemburu Papa berbincang dengan Giselle. Mama bahkan tidak keberatan kalau Papa jadi bekerja sama dengannya. Papa seharusnya tidak cemburu juga kalau Mama berbicara dengan Papa Lucas. Apalagi ...." Sky menarik napas dalam-dalam. "Papa Lucas sebetulnya bukan orang jahat. Meskipun dia sudah membohongi Mama dan menghukumku membersihkan kandang ayam, banyak hal yang sudah ia lakukan untukk
"Apa yang sedang kau lakukan? Kau bilang kau mengajak kami bicara untuk berpisah baik-baik. Tapi kenapa kau malah berusaha mengubah keputusan kami?" tanya Alice dengan suara tebal dan dalam. Lucas agak gentar dibuatnya. "Maaf, Alice, tapi hanya ini kesempatan yang kupunya. Aku sudah melepas kalian satu kali. Aku tidak mau ada yang kedua kalinya." "Kau lupa kalau aku bukan istrimu?" "Justru karena itu, aku meminta kesempatan. Aku bisa menikahimu, Alice, menjadikan kalian keluargaku yang sebenarnya. Tidak apa-apa kalau kau tidak mau melayaniku. Aku tidak keberatan dan aku berjanji tidak akan memaksa. Yang kubutuhkan adalah kehadiran kalian." Alice menggeleng-geleng tak percaya. "Apakah kau sudah tidak waras? Aku ini istri orang. Kau terang-terangan memintaku untuk mengkhianati Edmund?" Tiba-tiba, Lucas bangkit berdiri. Ia pindah ke sisi Alice, membungkuk dengan tangan bertopang pada meja dan sandaran kursi. "Tidakkah itu membuatmu lebih bahagia? Kau bisa hidup bebas jika bersamaku.
Bukannya menghampiri Lucas, anjing German Sepherd itu malah duduk di samping Sky. Melihat hal itu, Alice terperangah, Sky menggigit bibir, sedangkan Lucas menghela napas tak percaya. "Canis? Yang benar saja? Kau juga?" Pria itu tertawa pahit dan menjepit pangkal hidungnya. Matanya terpejam. Kepalanya menggeleng-geleng tak terima. "Bahkan Canis memilih untuk meninggalkan aku. Kenapa? Kenapa tidak ada yang mau bertahan bersamaku?" Mendengar gumaman tersebut, Sky mulai mencebik. Ia melihat Canis sejenak, lalu mendongak menatap Alice. Sesuai dugaan, sang ibu juga kehabisan kata-kata. Wajahnya melukiskan rasa iba. "Mama, haruskah aku membujuk Canis untuk ikut Papa Lucas saja?" bisiknya lirih. "Oh, Sayang," Alice mengusap pipi putrinya. "Itu adalah solusi yang sangat bijak. Tapi, apakah kamu tidak keberatan berpisah dengan Canis? Melihat kondisi sekarang, kita tidak tahu kapan bisa bertemu dengannya lagi. Papa Lucas mungkin akan menghindar dari kita sampai hatinya membaik." Sky berpiki
"Lucas, benar?" tanya Elizabeth pelan, seolah takut terdengar oleh yang lain. Alis Lucas berkerut samar. "Ya.""Tadi aku mendengar Sky memanggilmu Papa. Apakah aku tidak salah?" Alih-alih menjawab, Lucas malah memperhatikan Elizabeth dengan lebih saksama. "Maaf. Anda ini siapa, Nyonya?" Elizabeth tersenyum anggun. "Ah, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Aku Elizabeth Hills." Ia menyodorkan tangan. Lucas menyambut dengan gerak ragu. "Anda ... ibu dari Edmund?" "Benar sekali. Dan kau?" Mata Elizabeth menyipit. "Bagaimana ceritanya Sky bisa memanggilmu Papa? Mungkinkah kamu adalah orang yang menyelamatkan Alice ketika hanyut di sungai?" Lucas bergeming sejenak. "Ya, saya yang menyelamatkan Alice.""Jadi begitu." Elizabeth mengangguk-angguk. "Sekarang aku mengerti kenapa Sky awalnya memanggil Edmund Paman, sedangkan kamu langsung dipanggil Papa. Ternyata selama ini, dia menganggap orang lain sebagai ayahnya. Apakah kamu sudah menikah dengan Alice?" Alis Lucas semakin berkerut tak
"Wah, inikah ngarai terindah dan terbesar di dunia?" ujar Sky dengan mata berbinar. Alice dan Edmund tersenyum melihat antusiasmenya. "Ya, terbesar berdasarkan panjangnya. Dia mencapai 445 km. Tapi kalau dilihat dari kedalamannya, masih ada ngarai di Nepal, Peru, dan Meksiko yang lebih dalam." "Seberapa panjang 445 km itu, Papa?" Sky menyipitkan mata, mengukur apa yang terlihat dengan jengkal mungilnya. "Kira-kira ... setengah dari lebarnya Pulau Kalimantan?" Sky melirik Edmund dan tertawa takjub. "Wow! Itu sangat besar! Pasti butuh waktu lama untuk menjelajahinya dari ujung ke ujung. Orang yang pertama kali menemukan tempat ini sangat beruntung. Namanya pasti tercatat dalam sejarah." "Kamu tertarik untuk menjelajahi ngarai ini? Ada ratusan gua yang sama sekali belum dieksplorasi," tanya Alice geli. Tiba-tiba, Sky melompat membalikkan badan. Kedua tangannya direntang selebar-lebarnya. "Ya, kalau sudah besar nanti, aku akan melakukan banyak ekspedisi. Aku akan menemukan tempat-te
Usai makan malam, semua orang berkumpul di ruang tengah. Mereka sudah tidak sabar ingin mendengarkan cerita dari Sky. Sejak pulang tadi, gadis kecil itu tidak henti-hentinya memberi mereka spoiler yang mengundang penasaran. "Kalian tahu? Grand Canyon adalah ngarai paling panjang di dunia. Ukurannya sangat besar!" Sky berjinjit sambil melingkarkan tangan di atas kepala. "Kalau kalian tidak percaya, lihat ini!" Ia memamerkan fotonya bersama Alice dan Edmund dengan latar dinding ngarai. Semua pelayan berdecak kagum melihatnya. "Wah, itu sangat indah, Nona!" "Ya! Saking indahnya, aku hampir terhipnotis di pinggir pagar. Untung saja aku berpegangan dengan kuat. Kalau tidak, aku bisa saja terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam. Dan kalian tahu? Ini baru sebagian kecil dari Grand Canyon. Panjangnya mencapai 445 km, setengah dari lebar Pulau Kalimantan! Karena itu, kami tidak bisa memfoto seluruh bagian ngarai. Hanya sepotong-sepotong saja!" Sky mengeluarkan lebih banyak kertas foto.