Hai, hai! Hari ini Pixie update siang lagi. Gimana niiih? Suka dengan kejutannya? Meskipun harus ubah rencana, yang penting Edmund tetap berbinar-binar, yaa. Terima kasih sudah membaca. Sehat-sehat selalu, guys!
Setibanya di parkiran, Edmund menatap Alice dan Sky dengan lembut. Senyumnya terkesan sendu. "Bagaimana kalian bisa menyusul? Apakah kalian bosan menungguku?" "Tidak, Papa. Ini berkat Bibi Emma dan Paman Henry. Mereka bilang kalau Papa sedang dalam bahaya. Karena itu, kami datang menyusul." "Emma dan Henry?" Edmund terbelalak. Alice mengangguk. "Mereka tidak sengaja melihat Giselle saat membeli kado tadi. Karena curiga, mereka membuntutinya. Ternyata mereka malah melihatmu di sini. Merasa ada yang tidak beres, mereka menelepon kami untuk segera datang." Edmund berkedip tak mengerti. "Tapi kalian butuh waktu untuk di perjalanan. Berapa lama mereka sudah di sini?" "Sekitar satu jam?" Alice mengira-ngira. Edmund sontak mendengus tak percaya. "Ternyata mereka sengaja membuatku menunggu? Kurang ajar sekali mereka." "Sudahlah, Papa. Jangan kesal. Yang penting Papa sudah aman sekarang." Mendengar suara manis itu, hati Edmund langsung luluh. Ia menekuk lutut, memegangi pundak Sky deng
"Bagaimana, Papa? Apakah kuenya enak?" tanya Sky dengan mulut belumuran cokelat. "Sangat enak. Apakah kamu yang membuatnya?" Sky sontak mengangkat kedua tangan walaupun salah satunya masih menggenggam sendok. "Ya! Aku membantu Nyonya Klein menuangkan raspberry-nya ke dalam adonan. Aku juga mengaduknya." Ia membuat gerakan berputar, memperagakan bagaimana caranya. "Lalu aku membantu Mama menyusun lapisan kue dan hiasan di atasnya. Kata Nyonya Klein, Papa suka raspberry. Jadi aku meletakkan raspberry yang sangat banyak." Sambil terkekeh, Edmund mengelap krim cokelat yang menodai pipi putrinya. "Pantas saja kue ini sangat enak. Lain kali, bagaimana kalau kita membuatnya bersama?" Sky mengangguk mantap. "Ide bagus, Papa. Sekarang, karena Papa sudah selesai makan, bagaimana kalau Papa mulai membuka kado-kado di sana? Setelah itu, baru aku mengeluarkan kado istimewanya." "Tapi kamu belum menghabiskan kuemu." Sky tertunduk menatap piringnya. Potongan kue kedua itu baru satu gigit dima
Sambil mengusap mata, Edmund mengangguk-angguk. "Ya, mari kita jadikan pesta ulang tahun itu sebagai yang terbaik. Kamu mau kado apa, kue ulang tahun seperti apa, bagaimana dekorasinya ... katakan saja. Aku pasti akan mewujudkannya untukmu. Karena aku ayahmu." Sky tersenyum semringah. "Benarkah? Kalau aku mau mengadakan pesta ulang tahun di tengah hutan, Papa juga bisa mewujudkannya?" Edmund mengangguk. "Kamu mau pesta di tengah hutan?" Sky terkikik. "Tidak, Papa. Selama ini, aku selalu berada di hutan setiap ulang tahunku tiba. Aku mau sesuatu yang berbeda. Nanti biar kupikirkan. Mungkin di gurun pasir atau kutub utara?" Semua orang terbelalak, termasuk Edmund. Mendapati reaksi itu, tawa Sky mengudara. "Aku bercanda. Di sana sangat panas dan dingin. Tidak cocok untuk berpesta. Nanti biar kupikirkan dengan hati-hati. Untuk saat ini, Papa cukup berjanji untuk menepatinya." Sky menyodorkan kelingking. Edmund mengecupnya lalu tersenyum. "Ya, Papa janji. Sekarang, bagaimana kalau kit
"Papa, Mama, ayo cepat!" ujar Sky sambil berkacak pinggang dan mengentakkan kaki. Melihat kelakuan gadis kecil itu, Edmund dan Alice terkekeh. "Sabar, Sayang. Ini masih pagi," tutur Alice sambil menyisir rambut dengan teliti. Sementara itu, Edmund mengenakan baju dengan lebih gesit. "Ya, kita punya banyak waktu hari ini. Tidak perlu tergesa-gesa." "Tapi aku sudah tidak sabar mau pergi ke Grand Canyon. Sudah kubilang, jangan bermain lagi malam-malam. Mama dan Papa seharusnya langsung tidur. Kenapa malah bergadang?" Sambil mendengus, Sky melipat tangan di depan dada. Bibir manyunnya terlihat lucu. "Lihat akibatnya! Matahari sudah tinggi, tapi kita belum berangkat." "Jangan marah-marah, Sayang. Nanti kamu cepat tua," celetuk Alice. Edmund mengangguk sepakat. "Mama benar. Nanti kamu tidak lucu lagi." Sky mengulum bibir. Alisnya berkerut. "Papa ini sedang meledek atau memujiku?" Edmund tersenyum jail. "Dua-duanya." Sambil menggembungkan pipi, Sky merapat kepada sang ayah. Kekesala
Pertanyaan Sky menimbulkan dilema dalam hati Edmund. Ia tidak tahu jawaban apa yang pantas ia berikan. Terang saja ia cemburu kepada Lucas. Bukan hanya soal Alice, tetapi juga Sky. Lucas yang menemani Sky melewati periode emas. Ia yang menggendongnya sewaktu masih bayi. Ia yang mengajarinya bicara dan berjalan. Ia juga yang berbagi banyak pengetahuan dan pengalaman sehingga Sky sepintar sekarang. Satu-satunya hal yang telah Edmund lakukan untuk sang putri adalah mengajarinya membaca. Hanya satu! Edmund jelas kalah telak. "Ayolah, Papa." Sky tiba-tiba mengguncang kaki Edmund. "Kemarin saja, Mama tidak cemburu Papa berbincang dengan Giselle. Mama bahkan tidak keberatan kalau Papa jadi bekerja sama dengannya. Papa seharusnya tidak cemburu juga kalau Mama berbicara dengan Papa Lucas. Apalagi ...." Sky menarik napas dalam-dalam. "Papa Lucas sebetulnya bukan orang jahat. Meskipun dia sudah membohongi Mama dan menghukumku membersihkan kandang ayam, banyak hal yang sudah ia lakukan untukk
"Apa yang sedang kau lakukan? Kau bilang kau mengajak kami bicara untuk berpisah baik-baik. Tapi kenapa kau malah berusaha mengubah keputusan kami?" tanya Alice dengan suara tebal dan dalam. Lucas agak gentar dibuatnya. "Maaf, Alice, tapi hanya ini kesempatan yang kupunya. Aku sudah melepas kalian satu kali. Aku tidak mau ada yang kedua kalinya." "Kau lupa kalau aku bukan istrimu?" "Justru karena itu, aku meminta kesempatan. Aku bisa menikahimu, Alice, menjadikan kalian keluargaku yang sebenarnya. Tidak apa-apa kalau kau tidak mau melayaniku. Aku tidak keberatan dan aku berjanji tidak akan memaksa. Yang kubutuhkan adalah kehadiran kalian." Alice menggeleng-geleng tak percaya. "Apakah kau sudah tidak waras? Aku ini istri orang. Kau terang-terangan memintaku untuk mengkhianati Edmund?" Tiba-tiba, Lucas bangkit berdiri. Ia pindah ke sisi Alice, membungkuk dengan tangan bertopang pada meja dan sandaran kursi. "Tidakkah itu membuatmu lebih bahagia? Kau bisa hidup bebas jika bersamaku.
Bukannya menghampiri Lucas, anjing German Sepherd itu malah duduk di samping Sky. Melihat hal itu, Alice terperangah, Sky menggigit bibir, sedangkan Lucas menghela napas tak percaya. "Canis? Yang benar saja? Kau juga?" Pria itu tertawa pahit dan menjepit pangkal hidungnya. Matanya terpejam. Kepalanya menggeleng-geleng tak terima. "Bahkan Canis memilih untuk meninggalkan aku. Kenapa? Kenapa tidak ada yang mau bertahan bersamaku?" Mendengar gumaman tersebut, Sky mulai mencebik. Ia melihat Canis sejenak, lalu mendongak menatap Alice. Sesuai dugaan, sang ibu juga kehabisan kata-kata. Wajahnya melukiskan rasa iba. "Mama, haruskah aku membujuk Canis untuk ikut Papa Lucas saja?" bisiknya lirih. "Oh, Sayang," Alice mengusap pipi putrinya. "Itu adalah solusi yang sangat bijak. Tapi, apakah kamu tidak keberatan berpisah dengan Canis? Melihat kondisi sekarang, kita tidak tahu kapan bisa bertemu dengannya lagi. Papa Lucas mungkin akan menghindar dari kita sampai hatinya membaik." Sky berpiki
"Lucas, benar?" tanya Elizabeth pelan, seolah takut terdengar oleh yang lain. Alis Lucas berkerut samar. "Ya.""Tadi aku mendengar Sky memanggilmu Papa. Apakah aku tidak salah?" Alih-alih menjawab, Lucas malah memperhatikan Elizabeth dengan lebih saksama. "Maaf. Anda ini siapa, Nyonya?" Elizabeth tersenyum anggun. "Ah, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Aku Elizabeth Hills." Ia menyodorkan tangan. Lucas menyambut dengan gerak ragu. "Anda ... ibu dari Edmund?" "Benar sekali. Dan kau?" Mata Elizabeth menyipit. "Bagaimana ceritanya Sky bisa memanggilmu Papa? Mungkinkah kamu adalah orang yang menyelamatkan Alice ketika hanyut di sungai?" Lucas bergeming sejenak. "Ya, saya yang menyelamatkan Alice.""Jadi begitu." Elizabeth mengangguk-angguk. "Sekarang aku mengerti kenapa Sky awalnya memanggil Edmund Paman, sedangkan kamu langsung dipanggil Papa. Ternyata selama ini, dia menganggap orang lain sebagai ayahnya. Apakah kamu sudah menikah dengan Alice?" Alis Lucas semakin berkerut tak