"A-aku hanya lupa membukanya saja, apa sekarang hal itu jadi masalah?" Sial, mengapa kalimat itu yang keluar dari mulutku. Bisa-bisa Mak lampir itu besar kepala. Mendengar ucapanku, Luna tampak mengulum senyum lalu merogoh kunci yang ada dalam tasnya. Tak lama, ia pun melangkah masuk ke dalam dengan senyumnya yang terlihat menyebalkan itu. Kenapa aku selalu mati kutu di hadapannya? "Jangan lupa kunci pintunya ya, mas," ucap Luna tanpa menoleh. "Iya! Kau berisik sekali," Ucapku gemas melihat tingkahnya yang bertingkah bak seorang nyonya besar itu. Eits, jika dia bak seorang nyonya besar, berarti aku ... " Entah mengapa penampilan Mang Ujang saat sedang menyikat lantai garasi kini melintas di kepalaku. Dia ... Beraninya memperlakukan seorang Reshwara yang tampan dan mapan, direktur utama sebuah perusahaan sukses sebagai kacungnya? Ini tidak boleh dibiarkan, aku harus membuatnya bertekuk lutut padaku. Tapi sebelumnya aku harus mencari tahu mengapa papa bisa mengantarnya, pulan
"Siapa mereka semua?" Ketusku sambil berkacak pinggang. "Oh mereka bertiga adalah anggota himpunan pembantu rumah tangga kompleks ini, mas. Kenapa? Apa mas tertarik untuk menjadi anggota?" Jawab Luna santai. "Apa ... Himpunan pembantu rumah tangga? Kok aku baru tahu ada himpunan begituan?" "Ya ada dong. Kenapa wajahmu kaget begitu, mas? Tak suka?" "Tentu saja, kau membawa mereka semua ke rumah, hanya untuk menggangguku, begitu kan?" Tudingku tak percaya. Sepertinya, aku terlalu meremehkannya. "Seharusnya mas berterima kasih padaku. Lagipula, yang kulakukan hanya membantumu bangun, apa salah?" "Daripada buang-buang waktu dan tenaga untuk marah-marah dan mengomel tak jelas, lebih baik mas bergegas ambil kain lap dan mulailah menggosok." Perintah Luna lalu tersenyum, tak lama ia membalikkan badan hendak pergi dari tempat ini. Untuk kesekian kalinya aku harus mengakui kekalahan, sungguh tak kusangka di balik wajahnya yang polos dan terlihat lugu itu, Luna ternyata sangat menyeramka
"Toilet, kau memintaku menggosok toilet?" Mataku terbelalak lebar mendengarnya. "Iya. Bukankah toilet kamarmu, hanya kau sendiri yang memakainya? jadi kurasa tidak sulit mengerjakannya, iya kan? Sudah jangan banyak protes, kerjakan saja yang benar, gosok bath ub nya sampai kinclong, pokoknya begitu aku kembali semua pekerjaan menggosok ini sudah selesai," jelas luna panjang lebar. "Sudah ya, selamat berjuang mas! Ingat toilet kamarku juga jangan lupa!" Lanjutnya. "Berjuang katanya?" Sungutku tak percaya. "Lalu kau mau kemana?" Refleks aku bertanya, karena melihat penampilannya sudah berbeda dari beberapa saat yang lalu. "Aku?" Bibir Luna terlihat menyunggingkan senyum. "Biarkan istrimu ini memanjakan diri sejenak di salon, mas. Aku perlu pijatan untuk melenturkan otot-otot ku yang kram karena pekerjaan rumah." "Sudah ya mas, aku pergi dulu. Oh ya, makanan sudah ku siapkan di meja, makan yang banyak biar semangat. Bye!" ujarnya sambil melambaikan tangan, meninggalkanku sendiri y
Keesokan harinya, Dari balik jendela, aku melihat Luna yang sedikit kesulitan membawa dua paper bag yang kukira berisi buku-buku kuliahnya. Wajahnya tampak begitu segar dan bersemangat seakan tiada beban sama sekali. Beberapa menit kemudian, sebuah ojek online datang menepi untuk menjemputnya. Sepertinya ojek tersebut telah menjadi langganan Luna, karena sudah beberapa kali aku melihat sosok itu yang selalu datang menjemput. Aku masih berdiri di balik jendela kaca ini, memandang sekitar sambil menggenggam segelas teh hangat di tanganku. Yah, setiap pagi Luna selalu menyiapkan segelas teh hangat untukku, karena aku tak begitu suka meminum kopi atau susu jika di pagi hari. Sebuah nampan berisi sandwich diletakkan Luna di atas nakas, tak lupa segelas air mineral juga tersedia di sana. Meskipun Luna sibuk mengurus rumah dan tugas kuliah yang seakan tak ada habisnya, gadis itu tetap tak lupa dengan kewajibannya sebagai seorang istri di rumah, kecuali kewajiban di tempat tidur saja. Ak
Atau sudah ku masukkan ke dalam tas? Ya tuhan, jangan sampai benda itu tidak ada ada dalam tasku. Papa bisa marah dan menganggapku lalai dengan tanggung jawab. Terdengar suara seseorang mengetuk pintu, saat tanganku hendak membuka tas kerjaku ini demi mencari proposal yang dimaksud. Sejenak membuat perhatianku teralihkan, tak lama, sosok wajah manis itu menyembul saat pintu itu terbuka, membuatku melupakan benda yang kucari. Seorang wanita tengah berdiri di muka pintu itu, bibirnya tersenyum manis. Tak lama, ia melangkah anggun. Memangkas jarak antara kami. "Saskia!" Panggilku sambil tersenyum lebar. "Siang, Mas," balasnya. "Akhirnya kau datang, kupikir kau lupa," ujarku berbasa-basi. "Mana mungkin aku lupa. Lihat aku bawa makan siang untukmu." Salah satu tangan Saskia terangkat, memperlihatkan makanan yang dibawanya. Mendengar ucapannya, spontan kulirik arloji di pergelangan tangan. Sudah hampir pukul dua belas siang, untung saja Saskia membawa makanan, karena sejak tadi aku
Reshwara, cepatlah berpikir. Jika kau tidak ingin melihat Luna membanting tubuhmu atau Saskia di sini. "A-ada apa?" Tanyaku ketus, menutupi rasa gugup yang kini menghinggapiku. Luna tampak diam namun matanya masih memperhatikan sisa makanan yang ada di atas meja. "Maaf jika aku mengganggu. Aku kesini hanya untuk mengantar barang ini," ucap Luna lalu meletakkan sebuah map plastik berwarna biru yang sedari tadi di pegangnya ke hadapanku. Mataku seketika menyipit melihatnya. Itu kan, proposal perencanaan yang tadi ku cari? Ah, mengapa aku bisa sampai teledor dan se-ceroboh ini. Di dalamnya juga pasti terselip USB yang berisi semua data pekerjaanku, yang belum sempat ku e-mail pada papa. "Te-terima kasih." Ucapku gugup. "Siapa dia mas? Kau kenal?" Tanya Saskia. Melihat penampilan Luna yang sangat santai, mengenakan kaos berlapis cardigan biru yang dipadu-padankan dengan celana jeans, wajar saja membuat Saskia bertanya. Sungguh penampilan khas seorang mahasiswi yang membosankan. "
"Eits, Jangan senang dulu mas, aku janji tak akan bicara apapun pada papa atau mama tentang perselingkuhan mas dengan si jalang itu. Dengan satu syarat." "Sy-syarat?" Mendengar kalimat yang diucapkan Luna, entah mengapa perasaanku berubah tidak enak. Firasat ku benar, jika ia memang mencari kesempatan untuk membalasku. "Syarat apa?" Mataku menyipit memandangnya. Wajah Luna tampak tersenyum menyeringai, sebuah senyuman mengerikan. Sejenak aku lupa jika dia adalah Mak lampir, sang penguasa kegelapan di rumah ini. Kegelapan yang melanda hidupku. Hidup seorang Reshwara yang tampan dan mapan. Seorang pemuda yang mempesona yang terpaksa terbelenggu oleh rantai pernikahan dengan sang penguasa kegelapan ini. Entah mengapa, kisah cintaku begitu rumit? Rasanya di masa lalu aku tak pernah menyakiti seseorang. Hingga harus mendapatkan karma buruk seperti ini. "Mas bantu aku mencuci pakaian. seminggu sekali mas gosok semua perabotan, lemari, meja, semuanya. Mas bisa pakai penyedot debu jika
"Astaga Rei, tak kusangka Luna yang tampak lembut gemulai itu bisa mengalahkan seorang Reshwara, sepertinya kau memang butuh obat kuat, brother. Atau bagaimana jika kita mampir untuk konsultasi?" Ucapan Restu tampak di amini oleh yang lain, terkecuali diriku. "Atau jangan-jangan kau dan Luna belum melakukannya?" Tanya Alex dengan tatapan selidik. Pandangan mereka kini sangat fokus memandangku. Seakan aku adalah sesuatu yang aneh yang membuat mereka begitu penasaran. Sungguh membuatku jengah. "Kau masih perjaka, Rei?" Andreas memperjelasnya. Mata lelaki keturunan Batak itu menyipit memandangku. Aku memilih diam, rasanya malas meladeni keisengan mereka. Tak lama Restu tampak mendekat dan berbisik di telingaku. "Kurasa kau memang butuh konsultasi, brother. Jangan bilang jika kau minder karena aset punyamu itu tak cukup kuat untuk menjebol gawang Luna?" "Apaan sih?" Aku mendorong tubuh Restu yang tampak tersenyum penuh arti. Tak lama, kulihat Alex menyodorkan ponselnya pada kami.