Reshwara, cepatlah berpikir. Jika kau tidak ingin melihat Luna membanting tubuhmu atau Saskia di sini. "A-ada apa?" Tanyaku ketus, menutupi rasa gugup yang kini menghinggapiku. Luna tampak diam namun matanya masih memperhatikan sisa makanan yang ada di atas meja. "Maaf jika aku mengganggu. Aku kesini hanya untuk mengantar barang ini," ucap Luna lalu meletakkan sebuah map plastik berwarna biru yang sedari tadi di pegangnya ke hadapanku. Mataku seketika menyipit melihatnya. Itu kan, proposal perencanaan yang tadi ku cari? Ah, mengapa aku bisa sampai teledor dan se-ceroboh ini. Di dalamnya juga pasti terselip USB yang berisi semua data pekerjaanku, yang belum sempat ku e-mail pada papa. "Te-terima kasih." Ucapku gugup. "Siapa dia mas? Kau kenal?" Tanya Saskia. Melihat penampilan Luna yang sangat santai, mengenakan kaos berlapis cardigan biru yang dipadu-padankan dengan celana jeans, wajar saja membuat Saskia bertanya. Sungguh penampilan khas seorang mahasiswi yang membosankan. "
"Eits, Jangan senang dulu mas, aku janji tak akan bicara apapun pada papa atau mama tentang perselingkuhan mas dengan si jalang itu. Dengan satu syarat." "Sy-syarat?" Mendengar kalimat yang diucapkan Luna, entah mengapa perasaanku berubah tidak enak. Firasat ku benar, jika ia memang mencari kesempatan untuk membalasku. "Syarat apa?" Mataku menyipit memandangnya. Wajah Luna tampak tersenyum menyeringai, sebuah senyuman mengerikan. Sejenak aku lupa jika dia adalah Mak lampir, sang penguasa kegelapan di rumah ini. Kegelapan yang melanda hidupku. Hidup seorang Reshwara yang tampan dan mapan. Seorang pemuda yang mempesona yang terpaksa terbelenggu oleh rantai pernikahan dengan sang penguasa kegelapan ini. Entah mengapa, kisah cintaku begitu rumit? Rasanya di masa lalu aku tak pernah menyakiti seseorang. Hingga harus mendapatkan karma buruk seperti ini. "Mas bantu aku mencuci pakaian. seminggu sekali mas gosok semua perabotan, lemari, meja, semuanya. Mas bisa pakai penyedot debu jika
"Astaga Rei, tak kusangka Luna yang tampak lembut gemulai itu bisa mengalahkan seorang Reshwara, sepertinya kau memang butuh obat kuat, brother. Atau bagaimana jika kita mampir untuk konsultasi?" Ucapan Restu tampak di amini oleh yang lain, terkecuali diriku. "Atau jangan-jangan kau dan Luna belum melakukannya?" Tanya Alex dengan tatapan selidik. Pandangan mereka kini sangat fokus memandangku. Seakan aku adalah sesuatu yang aneh yang membuat mereka begitu penasaran. Sungguh membuatku jengah. "Kau masih perjaka, Rei?" Andreas memperjelasnya. Mata lelaki keturunan Batak itu menyipit memandangku. Aku memilih diam, rasanya malas meladeni keisengan mereka. Tak lama Restu tampak mendekat dan berbisik di telingaku. "Kurasa kau memang butuh konsultasi, brother. Jangan bilang jika kau minder karena aset punyamu itu tak cukup kuat untuk menjebol gawang Luna?" "Apaan sih?" Aku mendorong tubuh Restu yang tampak tersenyum penuh arti. Tak lama, kulihat Alex menyodorkan ponselnya pada kami.
Iya, itu benar. Kurasa ini saatnya memberitahu Keenan bahwa Luna adalah istriku. Istri dari seorang Reshwara yang tampan dan mapan. Aku melangkah menuju teras rumah dengan perasaan gelisah. Entah mengapa jantungku berdegup kencang. Pikiranku kusut melihat mereka tampak begitu nyaman berbicara. Tak biasanya aku bersikap aneh begini, meskipun kulihat Saskia di gandeng oleh seorang model pria tampan sekalipun. Mendengar suara langkahku yang kian mendekat, pandangan mata mereka kini beralih menatapku. Kulihat wajah Keenan tampak biasa saja seakan tak terkejut dengan kedatanganku. Ini aneh. Seharusnya dia terkejut, karena melihatku ada di sini, tapi mengapa pemuda itu tampak begitu santai? Ehem! Aku berdehem begitu tiba di hadapan mereka, tampak Luna membalasnya dengan sebuah senyuman. Tak lama ia balas menyapaku lebih dulu. "Kau sudah pulang, mas? Kupikir kau akan pulang malam." "Tidak, mendadak saja aku ingin pulang," ujarku spontan, sekilas kulirik Keenan yang hendak mengamb
Anak ingusan ini, andai saja ia bukan anak lelakinya Tante Wina, sudah kuseret ia dari rumahku. Enak saja mengatai ku anak anjing, lah dia sendiri apa, serigala? Yah, serigala berbulu domba. Julukan itu memang pantas untuknya yang tidak tahu malu. Aku mencibir melihat sikapnya yang sok perhatian itu. Tak lama Keenan pun beranjak dari tempat duduknya, lalu kembali memandang Luna sambil mengulas senyum terbaiknya "Bye Luna, aku tunggu besok di kampus ya!" Ujarnya sambil melambaikan tangan sebentar lalu membalikkan badan dan melangkah perlahan meninggalkan kami, kembali masuk ke mobilnya. Deru mobilnya terdengar beberapa menit kemudian. Tak lama, mobil yang dikemudikan Keenan pun akhirnya bergerak meninggalkan rumah ini, sungguh ini sangat melegakan hatiku. Aku tersenyum lebar saat melihat mobil Keenan menghilang dari pandangan, tak lama kudengar suara dentingan gelas membuatku refleks menoleh. "Bawa sendiri gelas bekas kau pakai itu ke dalam, mas." "Kenapa tidak sekalian saja,"
"Besok aku ada tugas ke luar kota, menemui seorang klien yang kebetulan sedang berada di sana," tuturku pada Luna saat kami baru saja menyelesaikan makan malam. "Oh," sahut Luna pendek, lalu menjangkau gelas berisi air yang berada di samping piringnya. "Kau tidak ingin bertanya, besok aku mau akan pergi ke mana?" "Tak perlu, untuk urusan pekerjaan kan? Aku percaya kok sama Mas Rei," jawabnya sambil mengulas senyum. "Kau juga tak ingin tahu aku pergi berapa lama?" "Paling lama tiga hari, iya kan?" Tebaknya. "Iya," jawabku sambil tersenyum kecut, entah mengapa ada rasa bersalah dalam hatiku karena membohonginya. "Perlu aku siapkan kopermu, mas?" Aku menggeleng." Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri. Kau ingin oleh-oleh apa? nanti akan kubawakan." "Tak usah mas, yang penting kau bisa kembali dengan selamat saja sudah cukup bagiku. Kuharap semua urusan mas di sana, berjalan lancar." Ucapan Luna entah mengapa membuat hatiku menghangat. Inikah yang dinamakan bentu
Sinar matahari cukup hangat menyapa ketika kakiku melangkah keluar dari pesawat. Beberapa penumpang yang sudah lebih dulu keluar, tampak berjalan tergesa-gesa seakan berpacu dengan waktu, entahlah hanya saja yang kutahu, bahwa kedatanganku ke tempat ini adalah untuk berlibur, melepaskan kepenatan dan jenuh yang mencengkramku selama beberapa minggu terakhir ini. Sepasang pengantin baru, yang kuketahui bernama Lucy dan Ferry berdiri tak jauh di belakangku. Kulirik Ayu yang terlihat kesulitan menarik kopernya, membuatku akhirnya berhenti sejenak untuk membantunya. "Tak apa-apa Rei, aku bisa membawanya sendiri," tolaknya ketika aku menawarkan diri untuk membantu. "Oh baiklah." Aku kembali melanjutkan langkah, sekilas kulirik pasangan Lucy dan Ferry yang tampak bergandengan tangan. Entah mengapa, melihat kemesraan mereka mendadak aku teringat akan Luna. Ah, ada apa denganku? Mengapa di saat berada jauh darinya pun, pikiranku masih tertuju padanya? Sedang apa Mak Lampir itu sek
"Kau mau bermain air di pantai, Rei?" tanya Ayu kemudian sembari tersenyum genit padaku. "Yah, mungkin nanti sore, cuacanya masih terlalu panas untuk bermain di pantai," jawabku. Entah mengapa rasanya malas untuk berdiri di bawah matahari terik seperti ini. "Ah iya, kau benar." "Aduh, aku hampir lupa, sebenarnya aku ke sini juga mau mengajakmu makan siang, sudah hampir pukul satu siang, aku yakin kau pasti sudah lapar, iyakan? Sebut saja, kau ingin makan apa, biar nanti sekalian kupesankan," ucapnya lalu menggeser tempat duduknya lalu meraih gagang telepon. "Kau mau pesan apa Rei?" Tanya Ayu sambil melihat buku menu yang ada di dekat pesawat telepon itu. "Apa aja lah,," jawabku cepat. "Mau makan di mana?" Kembali ia bertanya. "Bawakan saja ke sini, aku sedang tak ingin keluar kamar," Sahutku. "Baiklah." Ujarnya. Aku melirik sejenak Ayu yang masih berbicara di telepon itu, tak lama kulihat ia mengakhiri panggilan teleponnya lalu menoleh padaku. "Rei, kau tidak keber