Atau sudah ku masukkan ke dalam tas? Ya tuhan, jangan sampai benda itu tidak ada ada dalam tasku. Papa bisa marah dan menganggapku lalai dengan tanggung jawab. Terdengar suara seseorang mengetuk pintu, saat tanganku hendak membuka tas kerjaku ini demi mencari proposal yang dimaksud. Sejenak membuat perhatianku teralihkan, tak lama, sosok wajah manis itu menyembul saat pintu itu terbuka, membuatku melupakan benda yang kucari. Seorang wanita tengah berdiri di muka pintu itu, bibirnya tersenyum manis. Tak lama, ia melangkah anggun. Memangkas jarak antara kami. "Saskia!" Panggilku sambil tersenyum lebar. "Siang, Mas," balasnya. "Akhirnya kau datang, kupikir kau lupa," ujarku berbasa-basi. "Mana mungkin aku lupa. Lihat aku bawa makan siang untukmu." Salah satu tangan Saskia terangkat, memperlihatkan makanan yang dibawanya. Mendengar ucapannya, spontan kulirik arloji di pergelangan tangan. Sudah hampir pukul dua belas siang, untung saja Saskia membawa makanan, karena sejak tadi aku
Reshwara, cepatlah berpikir. Jika kau tidak ingin melihat Luna membanting tubuhmu atau Saskia di sini. "A-ada apa?" Tanyaku ketus, menutupi rasa gugup yang kini menghinggapiku. Luna tampak diam namun matanya masih memperhatikan sisa makanan yang ada di atas meja. "Maaf jika aku mengganggu. Aku kesini hanya untuk mengantar barang ini," ucap Luna lalu meletakkan sebuah map plastik berwarna biru yang sedari tadi di pegangnya ke hadapanku. Mataku seketika menyipit melihatnya. Itu kan, proposal perencanaan yang tadi ku cari? Ah, mengapa aku bisa sampai teledor dan se-ceroboh ini. Di dalamnya juga pasti terselip USB yang berisi semua data pekerjaanku, yang belum sempat ku e-mail pada papa. "Te-terima kasih." Ucapku gugup. "Siapa dia mas? Kau kenal?" Tanya Saskia. Melihat penampilan Luna yang sangat santai, mengenakan kaos berlapis cardigan biru yang dipadu-padankan dengan celana jeans, wajar saja membuat Saskia bertanya. Sungguh penampilan khas seorang mahasiswi yang membosankan. "
"Eits, Jangan senang dulu mas, aku janji tak akan bicara apapun pada papa atau mama tentang perselingkuhan mas dengan si jalang itu. Dengan satu syarat." "Sy-syarat?" Mendengar kalimat yang diucapkan Luna, entah mengapa perasaanku berubah tidak enak. Firasat ku benar, jika ia memang mencari kesempatan untuk membalasku. "Syarat apa?" Mataku menyipit memandangnya. Wajah Luna tampak tersenyum menyeringai, sebuah senyuman mengerikan. Sejenak aku lupa jika dia adalah Mak lampir, sang penguasa kegelapan di rumah ini. Kegelapan yang melanda hidupku. Hidup seorang Reshwara yang tampan dan mapan. Seorang pemuda yang mempesona yang terpaksa terbelenggu oleh rantai pernikahan dengan sang penguasa kegelapan ini. Entah mengapa, kisah cintaku begitu rumit? Rasanya di masa lalu aku tak pernah menyakiti seseorang. Hingga harus mendapatkan karma buruk seperti ini. "Mas bantu aku mencuci pakaian. seminggu sekali mas gosok semua perabotan, lemari, meja, semuanya. Mas bisa pakai penyedot debu jika
"Astaga Rei, tak kusangka Luna yang tampak lembut gemulai itu bisa mengalahkan seorang Reshwara, sepertinya kau memang butuh obat kuat, brother. Atau bagaimana jika kita mampir untuk konsultasi?" Ucapan Restu tampak di amini oleh yang lain, terkecuali diriku. "Atau jangan-jangan kau dan Luna belum melakukannya?" Tanya Alex dengan tatapan selidik. Pandangan mereka kini sangat fokus memandangku. Seakan aku adalah sesuatu yang aneh yang membuat mereka begitu penasaran. Sungguh membuatku jengah. "Kau masih perjaka, Rei?" Andreas memperjelasnya. Mata lelaki keturunan Batak itu menyipit memandangku. Aku memilih diam, rasanya malas meladeni keisengan mereka. Tak lama Restu tampak mendekat dan berbisik di telingaku. "Kurasa kau memang butuh konsultasi, brother. Jangan bilang jika kau minder karena aset punyamu itu tak cukup kuat untuk menjebol gawang Luna?" "Apaan sih?" Aku mendorong tubuh Restu yang tampak tersenyum penuh arti. Tak lama, kulihat Alex menyodorkan ponselnya pada kami.
Iya, itu benar. Kurasa ini saatnya memberitahu Keenan bahwa Luna adalah istriku. Istri dari seorang Reshwara yang tampan dan mapan. Aku melangkah menuju teras rumah dengan perasaan gelisah. Entah mengapa jantungku berdegup kencang. Pikiranku kusut melihat mereka tampak begitu nyaman berbicara. Tak biasanya aku bersikap aneh begini, meskipun kulihat Saskia di gandeng oleh seorang model pria tampan sekalipun. Mendengar suara langkahku yang kian mendekat, pandangan mata mereka kini beralih menatapku. Kulihat wajah Keenan tampak biasa saja seakan tak terkejut dengan kedatanganku. Ini aneh. Seharusnya dia terkejut, karena melihatku ada di sini, tapi mengapa pemuda itu tampak begitu santai? Ehem! Aku berdehem begitu tiba di hadapan mereka, tampak Luna membalasnya dengan sebuah senyuman. Tak lama ia balas menyapaku lebih dulu. "Kau sudah pulang, mas? Kupikir kau akan pulang malam." "Tidak, mendadak saja aku ingin pulang," ujarku spontan, sekilas kulirik Keenan yang hendak mengamb
Anak ingusan ini, andai saja ia bukan anak lelakinya Tante Wina, sudah kuseret ia dari rumahku. Enak saja mengatai ku anak anjing, lah dia sendiri apa, serigala? Yah, serigala berbulu domba. Julukan itu memang pantas untuknya yang tidak tahu malu. Aku mencibir melihat sikapnya yang sok perhatian itu. Tak lama Keenan pun beranjak dari tempat duduknya, lalu kembali memandang Luna sambil mengulas senyum terbaiknya "Bye Luna, aku tunggu besok di kampus ya!" Ujarnya sambil melambaikan tangan sebentar lalu membalikkan badan dan melangkah perlahan meninggalkan kami, kembali masuk ke mobilnya. Deru mobilnya terdengar beberapa menit kemudian. Tak lama, mobil yang dikemudikan Keenan pun akhirnya bergerak meninggalkan rumah ini, sungguh ini sangat melegakan hatiku. Aku tersenyum lebar saat melihat mobil Keenan menghilang dari pandangan, tak lama kudengar suara dentingan gelas membuatku refleks menoleh. "Bawa sendiri gelas bekas kau pakai itu ke dalam, mas." "Kenapa tidak sekalian saja,"
"Besok aku ada tugas ke luar kota, menemui seorang klien yang kebetulan sedang berada di sana," tuturku pada Luna saat kami baru saja menyelesaikan makan malam. "Oh," sahut Luna pendek, lalu menjangkau gelas berisi air yang berada di samping piringnya. "Kau tidak ingin bertanya, besok aku mau akan pergi ke mana?" "Tak perlu, untuk urusan pekerjaan kan? Aku percaya kok sama Mas Rei," jawabnya sambil mengulas senyum. "Kau juga tak ingin tahu aku pergi berapa lama?" "Paling lama tiga hari, iya kan?" Tebaknya. "Iya," jawabku sambil tersenyum kecut, entah mengapa ada rasa bersalah dalam hatiku karena membohonginya. "Perlu aku siapkan kopermu, mas?" Aku menggeleng." Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri. Kau ingin oleh-oleh apa? nanti akan kubawakan." "Tak usah mas, yang penting kau bisa kembali dengan selamat saja sudah cukup bagiku. Kuharap semua urusan mas di sana, berjalan lancar." Ucapan Luna entah mengapa membuat hatiku menghangat. Inikah yang dinamakan bentu
Sinar matahari cukup hangat menyapa ketika kakiku melangkah keluar dari pesawat. Beberapa penumpang yang sudah lebih dulu keluar, tampak berjalan tergesa-gesa seakan berpacu dengan waktu, entahlah hanya saja yang kutahu, bahwa kedatanganku ke tempat ini adalah untuk berlibur, melepaskan kepenatan dan jenuh yang mencengkramku selama beberapa minggu terakhir ini. Sepasang pengantin baru, yang kuketahui bernama Lucy dan Ferry berdiri tak jauh di belakangku. Kulirik Ayu yang terlihat kesulitan menarik kopernya, membuatku akhirnya berhenti sejenak untuk membantunya. "Tak apa-apa Rei, aku bisa membawanya sendiri," tolaknya ketika aku menawarkan diri untuk membantu. "Oh baiklah." Aku kembali melanjutkan langkah, sekilas kulirik pasangan Lucy dan Ferry yang tampak bergandengan tangan. Entah mengapa, melihat kemesraan mereka mendadak aku teringat akan Luna. Ah, ada apa denganku? Mengapa di saat berada jauh darinya pun, pikiranku masih tertuju padanya? Sedang apa Mak Lampir itu sek
Aaww! Teriakku cukup keras saat Luna menekan kasar bagian memar di bagian pelipisku, seperti di lakukannya dengan sengaja. Ah, mengapa aku sampai lupa jika ia adalah Mak lampir. "Dasar Mak lampir, kau sengaja melakukannya untuk membunuhku, ya?" Ucapku yang tanpa sadar kelepasan bicara. "Apa? Kau mengataiku Mak lampir?" Mata Luna melotot padaku. "Ah, itu ... Hehe! lagipula kau memang seperti Mak Lampir." Kupaksakan bibirku tersenyum. "Kau mau memar-mu ini kutambah, mas?" ancam Luna cemberut, ah, mengapa aku baru sadar jika ia ternyata semanis ini. "Iya, Jika kau yang melakukannya, aku tak akan menolak," ujarku dengan cepat menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. "Kau tahu, sepertinya aku telah jatuh cinta pada seorang mak lampir yang cantik," bisikku di telinganya. "Mulai sekarang, maukah kau menerima pria bodoh ini menjadi suamimu?" Lanjutku lalu mengurai sedikit pelukanku dan memandangnya. Luna terdiam sesaat. tak lama kulihat kepalanya mengangguk. entah mengapa membu
"Maaf, karena telah menyakiti hatimu," ucapku pelan lalu kembali mengusap bibirku yang masih terasa nyeri. Saskia menatapku nanar, seolah tak percaya ungkapan itu berasal dari mulutku. Tak lama, ia kembali bicara. "Lebih baik sekarang kau pergi dari sini mas, sebelum aku meminta pihak keamanan untuk mengusirmu," Suaranya terdengar bergetar disertai dengan jari telunjuk yang mengarah ke arah pintu. "Iya, aku akan keluar dari sini. Sekali lagi aku minta maaf karena telah membohongimu." Yah, memang seharusnya aku meminta maaf padanya karena bagaimanapun ia berkata benar, akulah orang pertama yang mengkhianati hubungan kami, akulah orang yang telah berbohong padanya karena menyembunyikan status pernikahanku darinya. Setidaknya aku bisa sedikit mengerti alasan mengapa ia bertindak senekat ini. Mungkin ini juga bentuk hukuman dari tuhan padaku karena telah berbohong dan mengabaikan keberadaan Luna selama ini. Ah, mengapa aku semakin merindukan istri kecilku itu? Akuilah Reshwara jika
"Melihat lelaki ini ada di apartemenmu, sudah cukup menjadi jawabannya. Aku tak menyangka jika ternyata kau juga menjalin hubungan lain di belakangku, benar -benar perempuan murahan." Cih! "Ya, aku yang melakukannya. Mengapa? Kau kesal, marah, kecewa?" Suara Saskia terdengar lantang, seakan mewakili kemarahannya. Kupalingkan wajah dan menatapnya yang saat ini tengah melempar tatapan tajam padaku. "Kau bener sekali, aku yang membocorkannya. Bagaimana rasanya di khianati? Sakit?" Desis Saskia. "Kau ...!" Geramku padanya dengan tangan terkepal. Andai ia bukan seorang perempuan, sudah ku hajar ia sekarang. Atmosfir ruangan ini kini berubah panas, mata itu masih melempar tatapan menghujam padaku, seakan sedang melepaskan semua kemarahannya padaku. "Aku tidak menyangka jika kau bisa mengkhianatiku, Saskia." "Tentu saja bisa, kau tahu mengapa aku melakukannya?" Bibir itu mengulas senyum sinis padaku. "Karena kau yang lebih dulu mengkhianatiku. Apa kau pikir aku tidak tahu jika terny
"Saat seorang wanita sudah merasa tidak nyaman di rumah suaminya, maka secara naluri ia akan pulang ke rumah orang tuanya, karena ia tahu bahwa rumah orang tuanya adalah satu satunya tempat ternyaman untuknya," ujar Tante Wina ikut bicara. "Begitukah?" ucapku tanpa sadar sambil melirik Raina yang menggeleng kesal. "Makanya mas, cari tahu dulu penyebabnya, jangan bisanya cuma asal tuduh saja. Kalau begini kau juga yang malu kan?" Aku mengulas senyum getir saat mendengarnya. Raina berkata benar, entah mengapa saat ini aku merindukan Luna, merindukan tingkah konyol Mak lampir cantik itu. Ponselku tiba tiba berdering, kulirik arloji di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan angka delapan, rasanya masih belum terlalu malam untuk meluncur ke Depok dan menjemput Luna. Namun, sebelum itu, aku akan menjawab panggilan teleponku dulu. Senyumku seketika terbit saat kulihat nama seseorang yang tertera di layar, kelihatannya, aku harus menunda sebentar kepergian ku ke Depok karena masih ada
Aku menoleh pada Keenan yang masih menatapku, ada rasa bersalah dalam hati karena telah asal menuduhnya, jika memang itu yang sebenarnya terjadi, maka aku telah melakukan kesalahan yang besar pada Luna. Ah, mengapa aku bisa sampai bertindak se-ceroboh ini, tak biasanya aku melakukan sesuatu hal tanpa rencana, sungguh aku merasa sangat malu saat ini. Papa terlihat menggelengkan kepalanya, sementara mama masih tertawa geli, dan Raina, gadis itu mengulas senyum tipis di wajahnya, senyuman yang entah mengapa terlihat begitu menyebalkan. Tak lama kudengar mama bicara. "Luna adalah gadis yang baik, Rei. Cobalah untuk mengenalnya lebih dekat, kau pasti tahu mengapa mama dan papa memilihnya untuk menjadi pendampingmu." Aku tak menjawabnya, hanya mengangguk lemah. Ucapan Mama mungkin ada benarnya, aku yang salah, karena masih belum sepenuhnya menerima keberadaan dirinya dan juga pernikahan kami. Mungkin karena jarak usia kami yang terpaut cukup jauh, membuatku meremehkannya atau mungkin
"Ha ... Ha ... ha" Tawa papa terdengar begitu keras memenuhi seisi ruangan ini sesaat aku selesai menceritakan kecurigaanku tentang hubungan terlarang Keenan dan Luna. Aku melongo melihat papa yang tampak begitu renyah tertawa, tak hanya papa, mama, Raina bahkan Keenan juga tampak tertawa. Hanya Tante Wina yang tampak mengulum senyum seakan ingin menjaga wibawaku. Ini aneh. Apa yang terjadi pada mereka semua? Mengapa tertawa? Bukankah seharusnya mereka marah dan kesal? Aku masih menatap mereka dengan wajah bingung dan tak mengerti, tak lama ku dengar Raina bicara. "Kau memang orang paling lucu yang pernah kukenal, mas." "Lucu sekali," gelak tawa Raina sambil menunjuk padaku. "Aku bicara yang sebenarnya, kenapa kalian semua tertawa?" Ketusku lalu memalingkan wajah. "Tentu saja kami semua tertawa, karena semua tuduhanmu itu tidak benar," balas Raina. "Tidak benar bagaimana, aku serius. Kalian bisa tanyakan sendiri pada Keenan," geramku sambil melirik pada pemuda yang duduk di
"Lalu untuk apa kau pulang ke sini? Jangan bilang jika ucapan mama tadi pagi benar bahwa kau dan Luna sedang bertengkar," ujar mama dengan mata penuh selidik padaku. mendengarnya, wajahku seketika cemberut. "Tak bisakah mama membiarkanku beristirahat sebentar?" Keluhku yang kesal karena mendadak langsung di serang pertanyaan oleh mama. "Kau ini? entah apa yang ada dalam pikiranmu," geram mama padaku sambil menatap kesal. aneh sekali mengapa Mama tampak kesal padaku. tak hanya mama, tatapan mata papa pun kini terasa menusuk kornea mata kupalingkan wajah sejenak dari mama, rasanya malas di pandanginya dengan tatapan seperti itu. berharap kekesalannya segera hilang karena bisa gawat kalau ia meminta pembelaan dari papa. "Mama sudah telepon Luna? Sudah bertemu dengannya?" Tanyaku beberapa saat kemudian. "Iya, saat mama telepon, Luna bilang kalau ibunya sudah pulang dari rumah sakit, mama juga tidak bertemu Luna saat tadi menjenguk ibunya di sana, jadi belum sempat bicara dengannya
"Tentu saja bisa, karena Keenan ..." "Keenan? Kenapa? Apa yang dia bilang?" Potongku cepat, entah kenapa aku selalu tak sabar dan emosi saat mendengar nama itu. "Karena Keenan yang memberi tahu mama jika ibu mertuamu itu sedang dirawat di rumah sakit. Ah, tidak. Jangan bilang pada mama jika Luna tak memberitahumu sebab kalian berdua sedang bertengkar," tebak mama yang lagi-lagi membuat kerongkonganku tercekat. "Itu tidak benar, kami berdua baik-baik saja." "Benarkah? Jika begitu kau pasti tahu keadaan ibu mertuamu, Rei." Untuk kali ini akhirnya aku terdiam. Entah mengapa rasanya ada selalu sulit berkelit pada mama. "Sudahlah, nanti mama telepon Luna atau Keenan saja, bicara denganmu sama saja seperti bicara dengan tembok. Kau selalu saja tidak peka dengan orang di sekelilingmu," ujar mama lalu memutus sambungan teleponnya. "Keenan, kenapa harus selalu dia?" Mendadak hatiku kembali kesal mendengar nama itu. "Apa bagusnya sih anak cengeng itu? Pemuda dua puluh satu tahun yan
Pagi ini kulihat Luna tampak bergegas keluar rumah dengan membawa travel bag yang cukup besar. Wajahnya yang sendu dengan mata yang sembab begitu jelas terlihat saat tak sengaja pandangan mata kami bertemu. Luna hanya diam, sikapnya tampak datar. Tak lama kulihat ia mengenakan topi di kepalanya, mungkin untuk menutupi jejak tangisan di wajahnya. Sebuah sepeda motor kulihat menepi dan berhenti. Sepeda motor yang sama yang selalu menjemputnya. Tak lama, ia meletakkan travel bag itu di depan sang pengendara, sementara dia sendiri duduk membonceng di belakang. "Ah. Mengapa semua akhirnya kacau seperti ini?" Keluhku lalu mengigit bibir. Aku masih memandang Luna hingga akhirnya sepeda motor itu bergerak perlahan meninggalkan rumah ini. Tak lama, akupun beranjak pergi dari muka pintu ini menuju ke kamarku. Hendak mengambil tas dan kunci mobil. Langkahku tertahan saat melintas depan kamar Luna, entah mengapa mendadak tanganku ingin meraih kenop pintunya, suara cklek terdengar, tak lama p