Keesokan harinya, Dari balik jendela, aku melihat Luna yang sedikit kesulitan membawa dua paper bag yang kukira berisi buku-buku kuliahnya. Wajahnya tampak begitu segar dan bersemangat seakan tiada beban sama sekali. Beberapa menit kemudian, sebuah ojek online datang menepi untuk menjemputnya. Sepertinya ojek tersebut telah menjadi langganan Luna, karena sudah beberapa kali aku melihat sosok itu yang selalu datang menjemput. Aku masih berdiri di balik jendela kaca ini, memandang sekitar sambil menggenggam segelas teh hangat di tanganku. Yah, setiap pagi Luna selalu menyiapkan segelas teh hangat untukku, karena aku tak begitu suka meminum kopi atau susu jika di pagi hari. Sebuah nampan berisi sandwich diletakkan Luna di atas nakas, tak lupa segelas air mineral juga tersedia di sana. Meskipun Luna sibuk mengurus rumah dan tugas kuliah yang seakan tak ada habisnya, gadis itu tetap tak lupa dengan kewajibannya sebagai seorang istri di rumah, kecuali kewajiban di tempat tidur saja. Ak
Atau sudah ku masukkan ke dalam tas? Ya tuhan, jangan sampai benda itu tidak ada ada dalam tasku. Papa bisa marah dan menganggapku lalai dengan tanggung jawab. Terdengar suara seseorang mengetuk pintu, saat tanganku hendak membuka tas kerjaku ini demi mencari proposal yang dimaksud. Sejenak membuat perhatianku teralihkan, tak lama, sosok wajah manis itu menyembul saat pintu itu terbuka, membuatku melupakan benda yang kucari. Seorang wanita tengah berdiri di muka pintu itu, bibirnya tersenyum manis. Tak lama, ia melangkah anggun. Memangkas jarak antara kami. "Saskia!" Panggilku sambil tersenyum lebar. "Siang, Mas," balasnya. "Akhirnya kau datang, kupikir kau lupa," ujarku berbasa-basi. "Mana mungkin aku lupa. Lihat aku bawa makan siang untukmu." Salah satu tangan Saskia terangkat, memperlihatkan makanan yang dibawanya. Mendengar ucapannya, spontan kulirik arloji di pergelangan tangan. Sudah hampir pukul dua belas siang, untung saja Saskia membawa makanan, karena sejak tadi aku
Reshwara, cepatlah berpikir. Jika kau tidak ingin melihat Luna membanting tubuhmu atau Saskia di sini. "A-ada apa?" Tanyaku ketus, menutupi rasa gugup yang kini menghinggapiku. Luna tampak diam namun matanya masih memperhatikan sisa makanan yang ada di atas meja. "Maaf jika aku mengganggu. Aku kesini hanya untuk mengantar barang ini," ucap Luna lalu meletakkan sebuah map plastik berwarna biru yang sedari tadi di pegangnya ke hadapanku. Mataku seketika menyipit melihatnya. Itu kan, proposal perencanaan yang tadi ku cari? Ah, mengapa aku bisa sampai teledor dan se-ceroboh ini. Di dalamnya juga pasti terselip USB yang berisi semua data pekerjaanku, yang belum sempat ku e-mail pada papa. "Te-terima kasih." Ucapku gugup. "Siapa dia mas? Kau kenal?" Tanya Saskia. Melihat penampilan Luna yang sangat santai, mengenakan kaos berlapis cardigan biru yang dipadu-padankan dengan celana jeans, wajar saja membuat Saskia bertanya. Sungguh penampilan khas seorang mahasiswi yang membosankan. "
"Eits, Jangan senang dulu mas, aku janji tak akan bicara apapun pada papa atau mama tentang perselingkuhan mas dengan si jalang itu. Dengan satu syarat." "Sy-syarat?" Mendengar kalimat yang diucapkan Luna, entah mengapa perasaanku berubah tidak enak. Firasat ku benar, jika ia memang mencari kesempatan untuk membalasku. "Syarat apa?" Mataku menyipit memandangnya. Wajah Luna tampak tersenyum menyeringai, sebuah senyuman mengerikan. Sejenak aku lupa jika dia adalah Mak lampir, sang penguasa kegelapan di rumah ini. Kegelapan yang melanda hidupku. Hidup seorang Reshwara yang tampan dan mapan. Seorang pemuda yang mempesona yang terpaksa terbelenggu oleh rantai pernikahan dengan sang penguasa kegelapan ini. Entah mengapa, kisah cintaku begitu rumit? Rasanya di masa lalu aku tak pernah menyakiti seseorang. Hingga harus mendapatkan karma buruk seperti ini. "Mas bantu aku mencuci pakaian. seminggu sekali mas gosok semua perabotan, lemari, meja, semuanya. Mas bisa pakai penyedot debu jika
"Astaga Rei, tak kusangka Luna yang tampak lembut gemulai itu bisa mengalahkan seorang Reshwara, sepertinya kau memang butuh obat kuat, brother. Atau bagaimana jika kita mampir untuk konsultasi?" Ucapan Restu tampak di amini oleh yang lain, terkecuali diriku. "Atau jangan-jangan kau dan Luna belum melakukannya?" Tanya Alex dengan tatapan selidik. Pandangan mereka kini sangat fokus memandangku. Seakan aku adalah sesuatu yang aneh yang membuat mereka begitu penasaran. Sungguh membuatku jengah. "Kau masih perjaka, Rei?" Andreas memperjelasnya. Mata lelaki keturunan Batak itu menyipit memandangku. Aku memilih diam, rasanya malas meladeni keisengan mereka. Tak lama Restu tampak mendekat dan berbisik di telingaku. "Kurasa kau memang butuh konsultasi, brother. Jangan bilang jika kau minder karena aset punyamu itu tak cukup kuat untuk menjebol gawang Luna?" "Apaan sih?" Aku mendorong tubuh Restu yang tampak tersenyum penuh arti. Tak lama, kulihat Alex menyodorkan ponselnya pada kami.
Iya, itu benar. Kurasa ini saatnya memberitahu Keenan bahwa Luna adalah istriku. Istri dari seorang Reshwara yang tampan dan mapan. Aku melangkah menuju teras rumah dengan perasaan gelisah. Entah mengapa jantungku berdegup kencang. Pikiranku kusut melihat mereka tampak begitu nyaman berbicara. Tak biasanya aku bersikap aneh begini, meskipun kulihat Saskia di gandeng oleh seorang model pria tampan sekalipun. Mendengar suara langkahku yang kian mendekat, pandangan mata mereka kini beralih menatapku. Kulihat wajah Keenan tampak biasa saja seakan tak terkejut dengan kedatanganku. Ini aneh. Seharusnya dia terkejut, karena melihatku ada di sini, tapi mengapa pemuda itu tampak begitu santai? Ehem! Aku berdehem begitu tiba di hadapan mereka, tampak Luna membalasnya dengan sebuah senyuman. Tak lama ia balas menyapaku lebih dulu. "Kau sudah pulang, mas? Kupikir kau akan pulang malam." "Tidak, mendadak saja aku ingin pulang," ujarku spontan, sekilas kulirik Keenan yang hendak mengamb
Anak ingusan ini, andai saja ia bukan anak lelakinya Tante Wina, sudah kuseret ia dari rumahku. Enak saja mengatai ku anak anjing, lah dia sendiri apa, serigala? Yah, serigala berbulu domba. Julukan itu memang pantas untuknya yang tidak tahu malu. Aku mencibir melihat sikapnya yang sok perhatian itu. Tak lama Keenan pun beranjak dari tempat duduknya, lalu kembali memandang Luna sambil mengulas senyum terbaiknya "Bye Luna, aku tunggu besok di kampus ya!" Ujarnya sambil melambaikan tangan sebentar lalu membalikkan badan dan melangkah perlahan meninggalkan kami, kembali masuk ke mobilnya. Deru mobilnya terdengar beberapa menit kemudian. Tak lama, mobil yang dikemudikan Keenan pun akhirnya bergerak meninggalkan rumah ini, sungguh ini sangat melegakan hatiku. Aku tersenyum lebar saat melihat mobil Keenan menghilang dari pandangan, tak lama kudengar suara dentingan gelas membuatku refleks menoleh. "Bawa sendiri gelas bekas kau pakai itu ke dalam, mas." "Kenapa tidak sekalian saja,"
"Besok aku ada tugas ke luar kota, menemui seorang klien yang kebetulan sedang berada di sana," tuturku pada Luna saat kami baru saja menyelesaikan makan malam. "Oh," sahut Luna pendek, lalu menjangkau gelas berisi air yang berada di samping piringnya. "Kau tidak ingin bertanya, besok aku mau akan pergi ke mana?" "Tak perlu, untuk urusan pekerjaan kan? Aku percaya kok sama Mas Rei," jawabnya sambil mengulas senyum. "Kau juga tak ingin tahu aku pergi berapa lama?" "Paling lama tiga hari, iya kan?" Tebaknya. "Iya," jawabku sambil tersenyum kecut, entah mengapa ada rasa bersalah dalam hatiku karena membohonginya. "Perlu aku siapkan kopermu, mas?" Aku menggeleng." Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri. Kau ingin oleh-oleh apa? nanti akan kubawakan." "Tak usah mas, yang penting kau bisa kembali dengan selamat saja sudah cukup bagiku. Kuharap semua urusan mas di sana, berjalan lancar." Ucapan Luna entah mengapa membuat hatiku menghangat. Inikah yang dinamakan bentu