"Kau mau bermain air di pantai, Rei?" tanya Ayu kemudian sembari tersenyum genit padaku. "Yah, mungkin nanti sore, cuacanya masih terlalu panas untuk bermain di pantai," jawabku. Entah mengapa rasanya malas untuk berdiri di bawah matahari terik seperti ini. "Ah iya, kau benar." "Aduh, aku hampir lupa, sebenarnya aku ke sini juga mau mengajakmu makan siang, sudah hampir pukul satu siang, aku yakin kau pasti sudah lapar, iyakan? Sebut saja, kau ingin makan apa, biar nanti sekalian kupesankan," ucapnya lalu menggeser tempat duduknya lalu meraih gagang telepon. "Kau mau pesan apa Rei?" Tanya Ayu sambil melihat buku menu yang ada di dekat pesawat telepon itu. "Apa aja lah,," jawabku cepat. "Mau makan di mana?" Kembali ia bertanya. "Bawakan saja ke sini, aku sedang tak ingin keluar kamar," Sahutku. "Baiklah." Ujarnya. Aku melirik sejenak Ayu yang masih berbicara di telepon itu, tak lama kulihat ia mengakhiri panggilan teleponnya lalu menoleh padaku. "Rei, kau tidak keber
Aku memandang langit malam dari balik kaca jendela kamar ini yang tampak begitu cerah dengan kerlip cahaya bintang yang berkilauan. Sungguh sebuah pemandangan malam yang indah. Aroma kopi menyeruak di sekitar indra penciumanku ketika tanganku meraih segelas kopi yang sedari tadi berada di atas meja itu, lalu menyesapnya perlahan - lahan. Kuhela nafas panjang, lalu menutup tirainya, sambil memegang gelas, aku melangkah menuju ranjang dan duduk di salah satu tepiannya. Kembali tanganku menyesap kopi yang tersisa di dalam gelas. Pandangan mataku kini menatap lurus pada televisi yang berada di hadapanku. Namun, tetap saja aku tak bisa menghilangkan perasaan gelisah ini. Yah, setelah pembicaraan dengan Ayu di tepi pantai tadi, hatiku terus menerus gelisah. Kegelisahan ini bukan karena aku mengetahui perasaan Ayu padaku tapi Luna, entah mengapa aku memikirkannya. Apa yang dilakukannya sekarang? Saat ini ia pasti sendirian di rumah, meski aku tahu ilmu beladiri nya tidak bisa dianggap r
Aku keluar dari taksi ini dengan perasaan gelisah. Kulihat rumah yang tampak sepi, kelihatannya Luna belum pulang, mungkin gadis itu masih berada di kampusnya. Sambil menjinjing koper, aku melangkah perlahan hingga akhirnya berhenti di depan pagar setinggi hampir tiga meter ini, untung saja kemarin aku membawa semua kunci rumah dalam koperku, hingga dengan mudah kakiku bisa melenggang melewati pagar besi ini. Aku meneruskan langkah menuju pintu utama rumah ini. Mataku melirik ke kanan dan kiri. Entah mengapa rasanya seperti ada seseorang yang mengintai, seakan aku hendak mencuri di rumahku sendiri. "Tumben suaminya Mbak Luna, jam segini ada di rumah?" Suara seseorang yang bertanya membuatku seketika menoleh. Kulihat di balik pagar itu ada tiga orang Ibu-ibu sedang memperhatikanku sambil melirik sinis. "Saya baru pulang dari luar kota, bu," entah mengapa aku menanggapinya. "Luar kota atau pergi sama selingkuhan?" Balas mereka sambil menatap satu sama lain. "Kasihan ya Mbak Luna,
"Darimana para warga sini tahu jika aku pergi dengan Ayu? Darimana hah, jika tidak kau yang memberi tahu mereka?" Tudingku pada Luna beberapa detik kemudian. "Itu ...!" Ucapannya tertahan, entah kenapa ia seakan sengaja menghentikan kalimatnya lalu mengunci rapat mulutnya untuk bersuara, membuatku semakin yakin jika semua ini adalah rencananya untuk membalasku. "Kalau tahu seperti ini, lebih baik aku berlibur lebih lama di sana, setidaknya Ayu bisa membuatku nyaman, dan yang paling penting, ia tidak bersikap kekanak-kanakan seperti ini." "Apa kau tahu, aku sengaja pulang lebih cepat karena mencemaskanmu sendirian di rumah." "Ah, aku lupa kau memang anak kecil," desisku. Luna tak menjawab sepatah katapun saat aku terus menyudutkannya. Ia hanya diam dan menuduk. Membuatku semakin terus ingin memakinya. Ponselnya kembali berbunyi, membuatku akhirnya memalingkan wajah sejenak menatap ke layar pipih ini. Untuk kesekian kalinya, kulihat nama Keenan tertera di sana. "Jika sudah sele
"Apa ini Rei!?" Ketus papa sambil melemparkan sebuah proposal padaku. Setelah selesai menyantap sarapan pagi yang di siapkan Sarah, aku langsung bergegas ke ruangan papa, kupikir ia akan memberikan wejangan atau siraman rohani karena telah mendengar pengaduan Luna tentangku, tapi sepertinya aku salah. "Bisa tolong jelaskan, pa?" Tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Sungguh aku tak mengerti apa yang hendak ingin beliau sampaikan padaku dan juga proposal itu bukankah itu ...? "Mengapa konsep presentasi kita untuk perusahaan Cipta Karya bisa sama dengan perusahaan Eka karsa?" Tudingan papa menyentak pikiranku. "Sama? Itu tidak mungkin pa, aku menyelesaikannya sendiri di rumah, tak ada seorang pun yang tahu, bahkan Luna pun tidak tahu," Tanyaku bingung dan tak mengerti mengapa papa bisa menudingku seperti ini. "Jika memang seperti lalu mengapa bisa bocor sampai ke perusahaan Eka Karsa, Hah? Apa kau ingin bilang jika proposal itu berjalan sendiri ke kantor Eka Karsa?" "Tapi, sungguh
"Bapak mencurigai seseorang?" Tanya Sarah. "Ya, saat aku mendengar suara ketukan sepatumu, mendadak aku teringat pada seseorang," jawabku dengan seringai tipis di salah satu sudut bibir. Ya, tak ada orang lain lagi yang bisa melakukannya selain dia, aku tak menyangka jika dia orang yang mengkhianatiku. Sungguh, wajah cantik itu benar-benar menipu. Awas kau, kali ini aku tak akan membiarkanmu lolos. Akan ku beri tahu siapa Reshwara yang sebenarnya dan mengapa semua karyawan di kantor ini menjulukiku si mata elang. Tak ada waktu, aku harus menyelesaikan semua ini secepatnya. "Apa ada lagi yang bisa kulakukan, pak?" "Iya." "Tolong telepon istriku, katakan padanya untuk pulang ke rumah." "Baik pak, akan segera saya kerjakan. Jika tidak ada hal lain lagi, bisakah saya kembali ke ruangan saya." Aku tak menjawabnya, namun hanya anggukan kepala yang lemah, tak lama kulihat Sarah berbalik dan keluar dari ruanganku. "Aku benar-benar tertipu kali ini, tak kusangka seorang Reshwara yan
Pagi ini kulihat Luna tampak bergegas keluar rumah dengan membawa travel bag yang cukup besar. Wajahnya yang sendu dengan mata yang sembab begitu jelas terlihat saat tak sengaja pandangan mata kami bertemu. Luna hanya diam, sikapnya tampak datar. Tak lama kulihat ia mengenakan topi di kepalanya, mungkin untuk menutupi jejak tangisan di wajahnya. Sebuah sepeda motor kulihat menepi dan berhenti. Sepeda motor yang sama yang selalu menjemputnya. Tak lama, ia meletakkan travel bag itu di depan sang pengendara, sementara dia sendiri duduk membonceng di belakang. "Ah. Mengapa semua akhirnya kacau seperti ini?" Keluhku lalu mengigit bibir. Aku masih memandang Luna hingga akhirnya sepeda motor itu bergerak perlahan meninggalkan rumah ini. Tak lama, akupun beranjak pergi dari muka pintu ini menuju ke kamarku. Hendak mengambil tas dan kunci mobil. Langkahku tertahan saat melintas depan kamar Luna, entah mengapa mendadak tanganku ingin meraih kenop pintunya, suara cklek terdengar, tak lama p
"Tentu saja bisa, karena Keenan ..." "Keenan? Kenapa? Apa yang dia bilang?" Potongku cepat, entah kenapa aku selalu tak sabar dan emosi saat mendengar nama itu. "Karena Keenan yang memberi tahu mama jika ibu mertuamu itu sedang dirawat di rumah sakit. Ah, tidak. Jangan bilang pada mama jika Luna tak memberitahumu sebab kalian berdua sedang bertengkar," tebak mama yang lagi-lagi membuat kerongkonganku tercekat. "Itu tidak benar, kami berdua baik-baik saja." "Benarkah? Jika begitu kau pasti tahu keadaan ibu mertuamu, Rei." Untuk kali ini akhirnya aku terdiam. Entah mengapa rasanya ada selalu sulit berkelit pada mama. "Sudahlah, nanti mama telepon Luna atau Keenan saja, bicara denganmu sama saja seperti bicara dengan tembok. Kau selalu saja tidak peka dengan orang di sekelilingmu," ujar mama lalu memutus sambungan teleponnya. "Keenan, kenapa harus selalu dia?" Mendadak hatiku kembali kesal mendengar nama itu. "Apa bagusnya sih anak cengeng itu? Pemuda dua puluh satu tahun yan