Aku keluar dari taksi ini dengan perasaan gelisah. Kulihat rumah yang tampak sepi, kelihatannya Luna belum pulang, mungkin gadis itu masih berada di kampusnya. Sambil menjinjing koper, aku melangkah perlahan hingga akhirnya berhenti di depan pagar setinggi hampir tiga meter ini, untung saja kemarin aku membawa semua kunci rumah dalam koperku, hingga dengan mudah kakiku bisa melenggang melewati pagar besi ini. Aku meneruskan langkah menuju pintu utama rumah ini. Mataku melirik ke kanan dan kiri. Entah mengapa rasanya seperti ada seseorang yang mengintai, seakan aku hendak mencuri di rumahku sendiri. "Tumben suaminya Mbak Luna, jam segini ada di rumah?" Suara seseorang yang bertanya membuatku seketika menoleh. Kulihat di balik pagar itu ada tiga orang Ibu-ibu sedang memperhatikanku sambil melirik sinis. "Saya baru pulang dari luar kota, bu," entah mengapa aku menanggapinya. "Luar kota atau pergi sama selingkuhan?" Balas mereka sambil menatap satu sama lain. "Kasihan ya Mbak Luna,
"Darimana para warga sini tahu jika aku pergi dengan Ayu? Darimana hah, jika tidak kau yang memberi tahu mereka?" Tudingku pada Luna beberapa detik kemudian. "Itu ...!" Ucapannya tertahan, entah kenapa ia seakan sengaja menghentikan kalimatnya lalu mengunci rapat mulutnya untuk bersuara, membuatku semakin yakin jika semua ini adalah rencananya untuk membalasku. "Kalau tahu seperti ini, lebih baik aku berlibur lebih lama di sana, setidaknya Ayu bisa membuatku nyaman, dan yang paling penting, ia tidak bersikap kekanak-kanakan seperti ini." "Apa kau tahu, aku sengaja pulang lebih cepat karena mencemaskanmu sendirian di rumah." "Ah, aku lupa kau memang anak kecil," desisku. Luna tak menjawab sepatah katapun saat aku terus menyudutkannya. Ia hanya diam dan menuduk. Membuatku semakin terus ingin memakinya. Ponselnya kembali berbunyi, membuatku akhirnya memalingkan wajah sejenak menatap ke layar pipih ini. Untuk kesekian kalinya, kulihat nama Keenan tertera di sana. "Jika sudah sele
"Apa ini Rei!?" Ketus papa sambil melemparkan sebuah proposal padaku. Setelah selesai menyantap sarapan pagi yang di siapkan Sarah, aku langsung bergegas ke ruangan papa, kupikir ia akan memberikan wejangan atau siraman rohani karena telah mendengar pengaduan Luna tentangku, tapi sepertinya aku salah. "Bisa tolong jelaskan, pa?" Tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Sungguh aku tak mengerti apa yang hendak ingin beliau sampaikan padaku dan juga proposal itu bukankah itu ...? "Mengapa konsep presentasi kita untuk perusahaan Cipta Karya bisa sama dengan perusahaan Eka karsa?" Tudingan papa menyentak pikiranku. "Sama? Itu tidak mungkin pa, aku menyelesaikannya sendiri di rumah, tak ada seorang pun yang tahu, bahkan Luna pun tidak tahu," Tanyaku bingung dan tak mengerti mengapa papa bisa menudingku seperti ini. "Jika memang seperti lalu mengapa bisa bocor sampai ke perusahaan Eka Karsa, Hah? Apa kau ingin bilang jika proposal itu berjalan sendiri ke kantor Eka Karsa?" "Tapi, sungguh
"Bapak mencurigai seseorang?" Tanya Sarah. "Ya, saat aku mendengar suara ketukan sepatumu, mendadak aku teringat pada seseorang," jawabku dengan seringai tipis di salah satu sudut bibir. Ya, tak ada orang lain lagi yang bisa melakukannya selain dia, aku tak menyangka jika dia orang yang mengkhianatiku. Sungguh, wajah cantik itu benar-benar menipu. Awas kau, kali ini aku tak akan membiarkanmu lolos. Akan ku beri tahu siapa Reshwara yang sebenarnya dan mengapa semua karyawan di kantor ini menjulukiku si mata elang. Tak ada waktu, aku harus menyelesaikan semua ini secepatnya. "Apa ada lagi yang bisa kulakukan, pak?" "Iya." "Tolong telepon istriku, katakan padanya untuk pulang ke rumah." "Baik pak, akan segera saya kerjakan. Jika tidak ada hal lain lagi, bisakah saya kembali ke ruangan saya." Aku tak menjawabnya, namun hanya anggukan kepala yang lemah, tak lama kulihat Sarah berbalik dan keluar dari ruanganku. "Aku benar-benar tertipu kali ini, tak kusangka seorang Reshwara yan
Pagi ini kulihat Luna tampak bergegas keluar rumah dengan membawa travel bag yang cukup besar. Wajahnya yang sendu dengan mata yang sembab begitu jelas terlihat saat tak sengaja pandangan mata kami bertemu. Luna hanya diam, sikapnya tampak datar. Tak lama kulihat ia mengenakan topi di kepalanya, mungkin untuk menutupi jejak tangisan di wajahnya. Sebuah sepeda motor kulihat menepi dan berhenti. Sepeda motor yang sama yang selalu menjemputnya. Tak lama, ia meletakkan travel bag itu di depan sang pengendara, sementara dia sendiri duduk membonceng di belakang. "Ah. Mengapa semua akhirnya kacau seperti ini?" Keluhku lalu mengigit bibir. Aku masih memandang Luna hingga akhirnya sepeda motor itu bergerak perlahan meninggalkan rumah ini. Tak lama, akupun beranjak pergi dari muka pintu ini menuju ke kamarku. Hendak mengambil tas dan kunci mobil. Langkahku tertahan saat melintas depan kamar Luna, entah mengapa mendadak tanganku ingin meraih kenop pintunya, suara cklek terdengar, tak lama p
"Tentu saja bisa, karena Keenan ..." "Keenan? Kenapa? Apa yang dia bilang?" Potongku cepat, entah kenapa aku selalu tak sabar dan emosi saat mendengar nama itu. "Karena Keenan yang memberi tahu mama jika ibu mertuamu itu sedang dirawat di rumah sakit. Ah, tidak. Jangan bilang pada mama jika Luna tak memberitahumu sebab kalian berdua sedang bertengkar," tebak mama yang lagi-lagi membuat kerongkonganku tercekat. "Itu tidak benar, kami berdua baik-baik saja." "Benarkah? Jika begitu kau pasti tahu keadaan ibu mertuamu, Rei." Untuk kali ini akhirnya aku terdiam. Entah mengapa rasanya ada selalu sulit berkelit pada mama. "Sudahlah, nanti mama telepon Luna atau Keenan saja, bicara denganmu sama saja seperti bicara dengan tembok. Kau selalu saja tidak peka dengan orang di sekelilingmu," ujar mama lalu memutus sambungan teleponnya. "Keenan, kenapa harus selalu dia?" Mendadak hatiku kembali kesal mendengar nama itu. "Apa bagusnya sih anak cengeng itu? Pemuda dua puluh satu tahun yan
"Lalu untuk apa kau pulang ke sini? Jangan bilang jika ucapan mama tadi pagi benar bahwa kau dan Luna sedang bertengkar," ujar mama dengan mata penuh selidik padaku. mendengarnya, wajahku seketika cemberut. "Tak bisakah mama membiarkanku beristirahat sebentar?" Keluhku yang kesal karena mendadak langsung di serang pertanyaan oleh mama. "Kau ini? entah apa yang ada dalam pikiranmu," geram mama padaku sambil menatap kesal. aneh sekali mengapa Mama tampak kesal padaku. tak hanya mama, tatapan mata papa pun kini terasa menusuk kornea mata kupalingkan wajah sejenak dari mama, rasanya malas di pandanginya dengan tatapan seperti itu. berharap kekesalannya segera hilang karena bisa gawat kalau ia meminta pembelaan dari papa. "Mama sudah telepon Luna? Sudah bertemu dengannya?" Tanyaku beberapa saat kemudian. "Iya, saat mama telepon, Luna bilang kalau ibunya sudah pulang dari rumah sakit, mama juga tidak bertemu Luna saat tadi menjenguk ibunya di sana, jadi belum sempat bicara dengannya
"Ha ... Ha ... ha" Tawa papa terdengar begitu keras memenuhi seisi ruangan ini sesaat aku selesai menceritakan kecurigaanku tentang hubungan terlarang Keenan dan Luna. Aku melongo melihat papa yang tampak begitu renyah tertawa, tak hanya papa, mama, Raina bahkan Keenan juga tampak tertawa. Hanya Tante Wina yang tampak mengulum senyum seakan ingin menjaga wibawaku. Ini aneh. Apa yang terjadi pada mereka semua? Mengapa tertawa? Bukankah seharusnya mereka marah dan kesal? Aku masih menatap mereka dengan wajah bingung dan tak mengerti, tak lama ku dengar Raina bicara. "Kau memang orang paling lucu yang pernah kukenal, mas." "Lucu sekali," gelak tawa Raina sambil menunjuk padaku. "Aku bicara yang sebenarnya, kenapa kalian semua tertawa?" Ketusku lalu memalingkan wajah. "Tentu saja kami semua tertawa, karena semua tuduhanmu itu tidak benar," balas Raina. "Tidak benar bagaimana, aku serius. Kalian bisa tanyakan sendiri pada Keenan," geramku sambil melirik pada pemuda yang duduk di