"Darimana para warga sini tahu jika aku pergi dengan Ayu? Darimana hah, jika tidak kau yang memberi tahu mereka?" Tudingku pada Luna beberapa detik kemudian. "Itu ...!" Ucapannya tertahan, entah kenapa ia seakan sengaja menghentikan kalimatnya lalu mengunci rapat mulutnya untuk bersuara, membuatku semakin yakin jika semua ini adalah rencananya untuk membalasku. "Kalau tahu seperti ini, lebih baik aku berlibur lebih lama di sana, setidaknya Ayu bisa membuatku nyaman, dan yang paling penting, ia tidak bersikap kekanak-kanakan seperti ini." "Apa kau tahu, aku sengaja pulang lebih cepat karena mencemaskanmu sendirian di rumah." "Ah, aku lupa kau memang anak kecil," desisku. Luna tak menjawab sepatah katapun saat aku terus menyudutkannya. Ia hanya diam dan menuduk. Membuatku semakin terus ingin memakinya. Ponselnya kembali berbunyi, membuatku akhirnya memalingkan wajah sejenak menatap ke layar pipih ini. Untuk kesekian kalinya, kulihat nama Keenan tertera di sana. "Jika sudah sele
"Apa ini Rei!?" Ketus papa sambil melemparkan sebuah proposal padaku. Setelah selesai menyantap sarapan pagi yang di siapkan Sarah, aku langsung bergegas ke ruangan papa, kupikir ia akan memberikan wejangan atau siraman rohani karena telah mendengar pengaduan Luna tentangku, tapi sepertinya aku salah. "Bisa tolong jelaskan, pa?" Tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Sungguh aku tak mengerti apa yang hendak ingin beliau sampaikan padaku dan juga proposal itu bukankah itu ...? "Mengapa konsep presentasi kita untuk perusahaan Cipta Karya bisa sama dengan perusahaan Eka karsa?" Tudingan papa menyentak pikiranku. "Sama? Itu tidak mungkin pa, aku menyelesaikannya sendiri di rumah, tak ada seorang pun yang tahu, bahkan Luna pun tidak tahu," Tanyaku bingung dan tak mengerti mengapa papa bisa menudingku seperti ini. "Jika memang seperti lalu mengapa bisa bocor sampai ke perusahaan Eka Karsa, Hah? Apa kau ingin bilang jika proposal itu berjalan sendiri ke kantor Eka Karsa?" "Tapi, sungguh
"Bapak mencurigai seseorang?" Tanya Sarah. "Ya, saat aku mendengar suara ketukan sepatumu, mendadak aku teringat pada seseorang," jawabku dengan seringai tipis di salah satu sudut bibir. Ya, tak ada orang lain lagi yang bisa melakukannya selain dia, aku tak menyangka jika dia orang yang mengkhianatiku. Sungguh, wajah cantik itu benar-benar menipu. Awas kau, kali ini aku tak akan membiarkanmu lolos. Akan ku beri tahu siapa Reshwara yang sebenarnya dan mengapa semua karyawan di kantor ini menjulukiku si mata elang. Tak ada waktu, aku harus menyelesaikan semua ini secepatnya. "Apa ada lagi yang bisa kulakukan, pak?" "Iya." "Tolong telepon istriku, katakan padanya untuk pulang ke rumah." "Baik pak, akan segera saya kerjakan. Jika tidak ada hal lain lagi, bisakah saya kembali ke ruangan saya." Aku tak menjawabnya, namun hanya anggukan kepala yang lemah, tak lama kulihat Sarah berbalik dan keluar dari ruanganku. "Aku benar-benar tertipu kali ini, tak kusangka seorang Reshwara yan
Pagi ini kulihat Luna tampak bergegas keluar rumah dengan membawa travel bag yang cukup besar. Wajahnya yang sendu dengan mata yang sembab begitu jelas terlihat saat tak sengaja pandangan mata kami bertemu. Luna hanya diam, sikapnya tampak datar. Tak lama kulihat ia mengenakan topi di kepalanya, mungkin untuk menutupi jejak tangisan di wajahnya. Sebuah sepeda motor kulihat menepi dan berhenti. Sepeda motor yang sama yang selalu menjemputnya. Tak lama, ia meletakkan travel bag itu di depan sang pengendara, sementara dia sendiri duduk membonceng di belakang. "Ah. Mengapa semua akhirnya kacau seperti ini?" Keluhku lalu mengigit bibir. Aku masih memandang Luna hingga akhirnya sepeda motor itu bergerak perlahan meninggalkan rumah ini. Tak lama, akupun beranjak pergi dari muka pintu ini menuju ke kamarku. Hendak mengambil tas dan kunci mobil. Langkahku tertahan saat melintas depan kamar Luna, entah mengapa mendadak tanganku ingin meraih kenop pintunya, suara cklek terdengar, tak lama p
"Tentu saja bisa, karena Keenan ..." "Keenan? Kenapa? Apa yang dia bilang?" Potongku cepat, entah kenapa aku selalu tak sabar dan emosi saat mendengar nama itu. "Karena Keenan yang memberi tahu mama jika ibu mertuamu itu sedang dirawat di rumah sakit. Ah, tidak. Jangan bilang pada mama jika Luna tak memberitahumu sebab kalian berdua sedang bertengkar," tebak mama yang lagi-lagi membuat kerongkonganku tercekat. "Itu tidak benar, kami berdua baik-baik saja." "Benarkah? Jika begitu kau pasti tahu keadaan ibu mertuamu, Rei." Untuk kali ini akhirnya aku terdiam. Entah mengapa rasanya ada selalu sulit berkelit pada mama. "Sudahlah, nanti mama telepon Luna atau Keenan saja, bicara denganmu sama saja seperti bicara dengan tembok. Kau selalu saja tidak peka dengan orang di sekelilingmu," ujar mama lalu memutus sambungan teleponnya. "Keenan, kenapa harus selalu dia?" Mendadak hatiku kembali kesal mendengar nama itu. "Apa bagusnya sih anak cengeng itu? Pemuda dua puluh satu tahun yan
"Lalu untuk apa kau pulang ke sini? Jangan bilang jika ucapan mama tadi pagi benar bahwa kau dan Luna sedang bertengkar," ujar mama dengan mata penuh selidik padaku. mendengarnya, wajahku seketika cemberut. "Tak bisakah mama membiarkanku beristirahat sebentar?" Keluhku yang kesal karena mendadak langsung di serang pertanyaan oleh mama. "Kau ini? entah apa yang ada dalam pikiranmu," geram mama padaku sambil menatap kesal. aneh sekali mengapa Mama tampak kesal padaku. tak hanya mama, tatapan mata papa pun kini terasa menusuk kornea mata kupalingkan wajah sejenak dari mama, rasanya malas di pandanginya dengan tatapan seperti itu. berharap kekesalannya segera hilang karena bisa gawat kalau ia meminta pembelaan dari papa. "Mama sudah telepon Luna? Sudah bertemu dengannya?" Tanyaku beberapa saat kemudian. "Iya, saat mama telepon, Luna bilang kalau ibunya sudah pulang dari rumah sakit, mama juga tidak bertemu Luna saat tadi menjenguk ibunya di sana, jadi belum sempat bicara dengannya
"Ha ... Ha ... ha" Tawa papa terdengar begitu keras memenuhi seisi ruangan ini sesaat aku selesai menceritakan kecurigaanku tentang hubungan terlarang Keenan dan Luna. Aku melongo melihat papa yang tampak begitu renyah tertawa, tak hanya papa, mama, Raina bahkan Keenan juga tampak tertawa. Hanya Tante Wina yang tampak mengulum senyum seakan ingin menjaga wibawaku. Ini aneh. Apa yang terjadi pada mereka semua? Mengapa tertawa? Bukankah seharusnya mereka marah dan kesal? Aku masih menatap mereka dengan wajah bingung dan tak mengerti, tak lama ku dengar Raina bicara. "Kau memang orang paling lucu yang pernah kukenal, mas." "Lucu sekali," gelak tawa Raina sambil menunjuk padaku. "Aku bicara yang sebenarnya, kenapa kalian semua tertawa?" Ketusku lalu memalingkan wajah. "Tentu saja kami semua tertawa, karena semua tuduhanmu itu tidak benar," balas Raina. "Tidak benar bagaimana, aku serius. Kalian bisa tanyakan sendiri pada Keenan," geramku sambil melirik pada pemuda yang duduk di
Aku menoleh pada Keenan yang masih menatapku, ada rasa bersalah dalam hati karena telah asal menuduhnya, jika memang itu yang sebenarnya terjadi, maka aku telah melakukan kesalahan yang besar pada Luna. Ah, mengapa aku bisa sampai bertindak se-ceroboh ini, tak biasanya aku melakukan sesuatu hal tanpa rencana, sungguh aku merasa sangat malu saat ini. Papa terlihat menggelengkan kepalanya, sementara mama masih tertawa geli, dan Raina, gadis itu mengulas senyum tipis di wajahnya, senyuman yang entah mengapa terlihat begitu menyebalkan. Tak lama kudengar mama bicara. "Luna adalah gadis yang baik, Rei. Cobalah untuk mengenalnya lebih dekat, kau pasti tahu mengapa mama dan papa memilihnya untuk menjadi pendampingmu." Aku tak menjawabnya, hanya mengangguk lemah. Ucapan Mama mungkin ada benarnya, aku yang salah, karena masih belum sepenuhnya menerima keberadaan dirinya dan juga pernikahan kami. Mungkin karena jarak usia kami yang terpaut cukup jauh, membuatku meremehkannya atau mungkin
Aaww! Teriakku cukup keras saat Luna menekan kasar bagian memar di bagian pelipisku, seperti di lakukannya dengan sengaja. Ah, mengapa aku sampai lupa jika ia adalah Mak lampir. "Dasar Mak lampir, kau sengaja melakukannya untuk membunuhku, ya?" Ucapku yang tanpa sadar kelepasan bicara. "Apa? Kau mengataiku Mak lampir?" Mata Luna melotot padaku. "Ah, itu ... Hehe! lagipula kau memang seperti Mak Lampir." Kupaksakan bibirku tersenyum. "Kau mau memar-mu ini kutambah, mas?" ancam Luna cemberut, ah, mengapa aku baru sadar jika ia ternyata semanis ini. "Iya, Jika kau yang melakukannya, aku tak akan menolak," ujarku dengan cepat menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. "Kau tahu, sepertinya aku telah jatuh cinta pada seorang mak lampir yang cantik," bisikku di telinganya. "Mulai sekarang, maukah kau menerima pria bodoh ini menjadi suamimu?" Lanjutku lalu mengurai sedikit pelukanku dan memandangnya. Luna terdiam sesaat. tak lama kulihat kepalanya mengangguk. entah mengapa membu
"Maaf, karena telah menyakiti hatimu," ucapku pelan lalu kembali mengusap bibirku yang masih terasa nyeri. Saskia menatapku nanar, seolah tak percaya ungkapan itu berasal dari mulutku. Tak lama, ia kembali bicara. "Lebih baik sekarang kau pergi dari sini mas, sebelum aku meminta pihak keamanan untuk mengusirmu," Suaranya terdengar bergetar disertai dengan jari telunjuk yang mengarah ke arah pintu. "Iya, aku akan keluar dari sini. Sekali lagi aku minta maaf karena telah membohongimu." Yah, memang seharusnya aku meminta maaf padanya karena bagaimanapun ia berkata benar, akulah orang pertama yang mengkhianati hubungan kami, akulah orang yang telah berbohong padanya karena menyembunyikan status pernikahanku darinya. Setidaknya aku bisa sedikit mengerti alasan mengapa ia bertindak senekat ini. Mungkin ini juga bentuk hukuman dari tuhan padaku karena telah berbohong dan mengabaikan keberadaan Luna selama ini. Ah, mengapa aku semakin merindukan istri kecilku itu? Akuilah Reshwara jika
"Melihat lelaki ini ada di apartemenmu, sudah cukup menjadi jawabannya. Aku tak menyangka jika ternyata kau juga menjalin hubungan lain di belakangku, benar -benar perempuan murahan." Cih! "Ya, aku yang melakukannya. Mengapa? Kau kesal, marah, kecewa?" Suara Saskia terdengar lantang, seakan mewakili kemarahannya. Kupalingkan wajah dan menatapnya yang saat ini tengah melempar tatapan tajam padaku. "Kau bener sekali, aku yang membocorkannya. Bagaimana rasanya di khianati? Sakit?" Desis Saskia. "Kau ...!" Geramku padanya dengan tangan terkepal. Andai ia bukan seorang perempuan, sudah ku hajar ia sekarang. Atmosfir ruangan ini kini berubah panas, mata itu masih melempar tatapan menghujam padaku, seakan sedang melepaskan semua kemarahannya padaku. "Aku tidak menyangka jika kau bisa mengkhianatiku, Saskia." "Tentu saja bisa, kau tahu mengapa aku melakukannya?" Bibir itu mengulas senyum sinis padaku. "Karena kau yang lebih dulu mengkhianatiku. Apa kau pikir aku tidak tahu jika terny
"Saat seorang wanita sudah merasa tidak nyaman di rumah suaminya, maka secara naluri ia akan pulang ke rumah orang tuanya, karena ia tahu bahwa rumah orang tuanya adalah satu satunya tempat ternyaman untuknya," ujar Tante Wina ikut bicara. "Begitukah?" ucapku tanpa sadar sambil melirik Raina yang menggeleng kesal. "Makanya mas, cari tahu dulu penyebabnya, jangan bisanya cuma asal tuduh saja. Kalau begini kau juga yang malu kan?" Aku mengulas senyum getir saat mendengarnya. Raina berkata benar, entah mengapa saat ini aku merindukan Luna, merindukan tingkah konyol Mak lampir cantik itu. Ponselku tiba tiba berdering, kulirik arloji di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan angka delapan, rasanya masih belum terlalu malam untuk meluncur ke Depok dan menjemput Luna. Namun, sebelum itu, aku akan menjawab panggilan teleponku dulu. Senyumku seketika terbit saat kulihat nama seseorang yang tertera di layar, kelihatannya, aku harus menunda sebentar kepergian ku ke Depok karena masih ada
Aku menoleh pada Keenan yang masih menatapku, ada rasa bersalah dalam hati karena telah asal menuduhnya, jika memang itu yang sebenarnya terjadi, maka aku telah melakukan kesalahan yang besar pada Luna. Ah, mengapa aku bisa sampai bertindak se-ceroboh ini, tak biasanya aku melakukan sesuatu hal tanpa rencana, sungguh aku merasa sangat malu saat ini. Papa terlihat menggelengkan kepalanya, sementara mama masih tertawa geli, dan Raina, gadis itu mengulas senyum tipis di wajahnya, senyuman yang entah mengapa terlihat begitu menyebalkan. Tak lama kudengar mama bicara. "Luna adalah gadis yang baik, Rei. Cobalah untuk mengenalnya lebih dekat, kau pasti tahu mengapa mama dan papa memilihnya untuk menjadi pendampingmu." Aku tak menjawabnya, hanya mengangguk lemah. Ucapan Mama mungkin ada benarnya, aku yang salah, karena masih belum sepenuhnya menerima keberadaan dirinya dan juga pernikahan kami. Mungkin karena jarak usia kami yang terpaut cukup jauh, membuatku meremehkannya atau mungkin
"Ha ... Ha ... ha" Tawa papa terdengar begitu keras memenuhi seisi ruangan ini sesaat aku selesai menceritakan kecurigaanku tentang hubungan terlarang Keenan dan Luna. Aku melongo melihat papa yang tampak begitu renyah tertawa, tak hanya papa, mama, Raina bahkan Keenan juga tampak tertawa. Hanya Tante Wina yang tampak mengulum senyum seakan ingin menjaga wibawaku. Ini aneh. Apa yang terjadi pada mereka semua? Mengapa tertawa? Bukankah seharusnya mereka marah dan kesal? Aku masih menatap mereka dengan wajah bingung dan tak mengerti, tak lama ku dengar Raina bicara. "Kau memang orang paling lucu yang pernah kukenal, mas." "Lucu sekali," gelak tawa Raina sambil menunjuk padaku. "Aku bicara yang sebenarnya, kenapa kalian semua tertawa?" Ketusku lalu memalingkan wajah. "Tentu saja kami semua tertawa, karena semua tuduhanmu itu tidak benar," balas Raina. "Tidak benar bagaimana, aku serius. Kalian bisa tanyakan sendiri pada Keenan," geramku sambil melirik pada pemuda yang duduk di
"Lalu untuk apa kau pulang ke sini? Jangan bilang jika ucapan mama tadi pagi benar bahwa kau dan Luna sedang bertengkar," ujar mama dengan mata penuh selidik padaku. mendengarnya, wajahku seketika cemberut. "Tak bisakah mama membiarkanku beristirahat sebentar?" Keluhku yang kesal karena mendadak langsung di serang pertanyaan oleh mama. "Kau ini? entah apa yang ada dalam pikiranmu," geram mama padaku sambil menatap kesal. aneh sekali mengapa Mama tampak kesal padaku. tak hanya mama, tatapan mata papa pun kini terasa menusuk kornea mata kupalingkan wajah sejenak dari mama, rasanya malas di pandanginya dengan tatapan seperti itu. berharap kekesalannya segera hilang karena bisa gawat kalau ia meminta pembelaan dari papa. "Mama sudah telepon Luna? Sudah bertemu dengannya?" Tanyaku beberapa saat kemudian. "Iya, saat mama telepon, Luna bilang kalau ibunya sudah pulang dari rumah sakit, mama juga tidak bertemu Luna saat tadi menjenguk ibunya di sana, jadi belum sempat bicara dengannya
"Tentu saja bisa, karena Keenan ..." "Keenan? Kenapa? Apa yang dia bilang?" Potongku cepat, entah kenapa aku selalu tak sabar dan emosi saat mendengar nama itu. "Karena Keenan yang memberi tahu mama jika ibu mertuamu itu sedang dirawat di rumah sakit. Ah, tidak. Jangan bilang pada mama jika Luna tak memberitahumu sebab kalian berdua sedang bertengkar," tebak mama yang lagi-lagi membuat kerongkonganku tercekat. "Itu tidak benar, kami berdua baik-baik saja." "Benarkah? Jika begitu kau pasti tahu keadaan ibu mertuamu, Rei." Untuk kali ini akhirnya aku terdiam. Entah mengapa rasanya ada selalu sulit berkelit pada mama. "Sudahlah, nanti mama telepon Luna atau Keenan saja, bicara denganmu sama saja seperti bicara dengan tembok. Kau selalu saja tidak peka dengan orang di sekelilingmu," ujar mama lalu memutus sambungan teleponnya. "Keenan, kenapa harus selalu dia?" Mendadak hatiku kembali kesal mendengar nama itu. "Apa bagusnya sih anak cengeng itu? Pemuda dua puluh satu tahun yan
Pagi ini kulihat Luna tampak bergegas keluar rumah dengan membawa travel bag yang cukup besar. Wajahnya yang sendu dengan mata yang sembab begitu jelas terlihat saat tak sengaja pandangan mata kami bertemu. Luna hanya diam, sikapnya tampak datar. Tak lama kulihat ia mengenakan topi di kepalanya, mungkin untuk menutupi jejak tangisan di wajahnya. Sebuah sepeda motor kulihat menepi dan berhenti. Sepeda motor yang sama yang selalu menjemputnya. Tak lama, ia meletakkan travel bag itu di depan sang pengendara, sementara dia sendiri duduk membonceng di belakang. "Ah. Mengapa semua akhirnya kacau seperti ini?" Keluhku lalu mengigit bibir. Aku masih memandang Luna hingga akhirnya sepeda motor itu bergerak perlahan meninggalkan rumah ini. Tak lama, akupun beranjak pergi dari muka pintu ini menuju ke kamarku. Hendak mengambil tas dan kunci mobil. Langkahku tertahan saat melintas depan kamar Luna, entah mengapa mendadak tanganku ingin meraih kenop pintunya, suara cklek terdengar, tak lama p