"Aku juga sudah jelasin sama Mama, kalau tiap malam kita berikhtiar, ya kan Mas?" lanjut Luna, entah mengapa tiba-tiba saja tawa mama pecah. "Aduh Luna, mama tidak tahan mau ketawa. Raina benar, kau memang anak yang menyenangkan." Entah mengapa mama memujinya. Rasanya tidak ada yang lucu. Justru aku ingin protes, karena semua yang dikatakan Luna tak lebih dari sebuah kebohongan belaka. Ikhtiar? Ikhtiar apaan? bahkan di sentuh saja belum?" "Kau ini Rei, makanya kalau orang tua lagi ngomong itu mbok ya didengerin dulu. Bukannya sibuk mikirin malam panas kalian." Ucapan mama membuatku melongo, malam panas? Istilah apa lagi itu? sebenarnya apa maksudnya? Ayolah Reshwara, jangan sampai kau terlihat menyedihkan seperti ini di depan ibumu sendiri. "Maksudnya apa sih ma?" "Luna tadi hanya asal bicara saja. Sebenarnya tadi mama bilang kalau Bi Asih belum bisa ke sini karena mau pulang kampung dulu, mau urus anaknya yang mau melahirkan," terang mama. "Makanya kalau orang tua ngomong i
"Iya, aku lupa kalau ada kencan, Mas. Lebih baik mas bawa kunci cadangan karena mungkin aku juga akan pulang malam," jawabnya. Entah mengapa mendadak aku merasa melihat kunang-kunang terbang di atas kepalaku. "Apa!" "Ke-kencan? Apa maksudmu?" Aku mengernyitkan dahi, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Iya, mas. Kenapa apa ada yang salah?" Sanggahnya. "Dengan siapa?" Mataku membulat menatapnya. Mendengar ucapanku, bukannya menjawab Luna malah menyeringai, lalu membalas tatapanku seakan ingin menantangku. "Apa aku harus memberi tahumu juga, Mas?" Untuk beberapa saat aku tak percaya dengan apa yang kudengar, kalimat itu, bukankah kalimat yang kuucapkan padanya tadi saat ia bertanya? Dan sekarang kalimat itu dikembalikannya padaku. Kami masih saling melempar pandangan, melihat sikapnya, entah mengapa aku seakan merasa tak dihargai. Berani sekali ia berkata seperti itu, di hadapanku, suaminya. "Aku harus tahu kau pergi kemana dan bersama siapa, bagaimanapun
"Halo sayang, temani aku belanja yuk," terdengar suara manja Saskia di ujung sambungan telepon ini menggelitik telingaku. ***Beberapa jam kemudian, Suasana rumah yang temaram membuat keningku berkerut. Kulihat tak ada satupun lampu yang menyala, mungkinkah Luna belum pulang dan masih menikmati kencannya bersama Keenan? Kulirik arloji di pergelangan tangan yang sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Apa yang dilakukan Luna dan Keenan hingga sampai malam begini masih belum pulang? Aku menghela nafas berat, saat mengingat apa yang kulihat saat di restoran tadi. Tampaknya mereka berdua janji bertemu lalu menghabiskan waktu bersama. Ah, Mengapa terasa sesak di dada membayangkan senyum Luna ketika ia melambaikan tangannya pada Keenan tadi? Ah, Reshwara. Kau benar-benar seorang suami yang tak terjamah. Di mana pesona ketampanan yang selalu kau banggakan itu? Bahkan wajah dan kemapanan yang selalu kau banggakan itu tidak mampu membuat Luna berpaling bahkan berselingkuh di belakan
"A-aku hanya lupa membukanya saja, apa sekarang hal itu jadi masalah?" Sial, mengapa kalimat itu yang keluar dari mulutku. Bisa-bisa Mak lampir itu besar kepala. Mendengar ucapanku, Luna tampak mengulum senyum lalu merogoh kunci yang ada dalam tasnya. Tak lama, ia pun melangkah masuk ke dalam dengan senyumnya yang terlihat menyebalkan itu. Kenapa aku selalu mati kutu di hadapannya? "Jangan lupa kunci pintunya ya, mas," ucap Luna tanpa menoleh. "Iya! Kau berisik sekali," Ucapku gemas melihat tingkahnya yang bertingkah bak seorang nyonya besar itu. Eits, jika dia bak seorang nyonya besar, berarti aku ... " Entah mengapa penampilan Mang Ujang saat sedang menyikat lantai garasi kini melintas di kepalaku. Dia ... Beraninya memperlakukan seorang Reshwara yang tampan dan mapan, direktur utama sebuah perusahaan sukses sebagai kacungnya? Ini tidak boleh dibiarkan, aku harus membuatnya bertekuk lutut padaku. Tapi sebelumnya aku harus mencari tahu mengapa papa bisa mengantarnya, pulan
"Siapa mereka semua?" Ketusku sambil berkacak pinggang. "Oh mereka bertiga adalah anggota himpunan pembantu rumah tangga kompleks ini, mas. Kenapa? Apa mas tertarik untuk menjadi anggota?" Jawab Luna santai. "Apa ... Himpunan pembantu rumah tangga? Kok aku baru tahu ada himpunan begituan?" "Ya ada dong. Kenapa wajahmu kaget begitu, mas? Tak suka?" "Tentu saja, kau membawa mereka semua ke rumah, hanya untuk menggangguku, begitu kan?" Tudingku tak percaya. Sepertinya, aku terlalu meremehkannya. "Seharusnya mas berterima kasih padaku. Lagipula, yang kulakukan hanya membantumu bangun, apa salah?" "Daripada buang-buang waktu dan tenaga untuk marah-marah dan mengomel tak jelas, lebih baik mas bergegas ambil kain lap dan mulailah menggosok." Perintah Luna lalu tersenyum, tak lama ia membalikkan badan hendak pergi dari tempat ini. Untuk kesekian kalinya aku harus mengakui kekalahan, sungguh tak kusangka di balik wajahnya yang polos dan terlihat lugu itu, Luna ternyata sangat menyeramka
"Toilet, kau memintaku menggosok toilet?" Mataku terbelalak lebar mendengarnya. "Iya. Bukankah toilet kamarmu, hanya kau sendiri yang memakainya? jadi kurasa tidak sulit mengerjakannya, iya kan? Sudah jangan banyak protes, kerjakan saja yang benar, gosok bath ub nya sampai kinclong, pokoknya begitu aku kembali semua pekerjaan menggosok ini sudah selesai," jelas luna panjang lebar. "Sudah ya, selamat berjuang mas! Ingat toilet kamarku juga jangan lupa!" Lanjutnya. "Berjuang katanya?" Sungutku tak percaya. "Lalu kau mau kemana?" Refleks aku bertanya, karena melihat penampilannya sudah berbeda dari beberapa saat yang lalu. "Aku?" Bibir Luna terlihat menyunggingkan senyum. "Biarkan istrimu ini memanjakan diri sejenak di salon, mas. Aku perlu pijatan untuk melenturkan otot-otot ku yang kram karena pekerjaan rumah." "Sudah ya mas, aku pergi dulu. Oh ya, makanan sudah ku siapkan di meja, makan yang banyak biar semangat. Bye!" ujarnya sambil melambaikan tangan, meninggalkanku sendiri y
Keesokan harinya, Dari balik jendela, aku melihat Luna yang sedikit kesulitan membawa dua paper bag yang kukira berisi buku-buku kuliahnya. Wajahnya tampak begitu segar dan bersemangat seakan tiada beban sama sekali. Beberapa menit kemudian, sebuah ojek online datang menepi untuk menjemputnya. Sepertinya ojek tersebut telah menjadi langganan Luna, karena sudah beberapa kali aku melihat sosok itu yang selalu datang menjemput. Aku masih berdiri di balik jendela kaca ini, memandang sekitar sambil menggenggam segelas teh hangat di tanganku. Yah, setiap pagi Luna selalu menyiapkan segelas teh hangat untukku, karena aku tak begitu suka meminum kopi atau susu jika di pagi hari. Sebuah nampan berisi sandwich diletakkan Luna di atas nakas, tak lupa segelas air mineral juga tersedia di sana. Meskipun Luna sibuk mengurus rumah dan tugas kuliah yang seakan tak ada habisnya, gadis itu tetap tak lupa dengan kewajibannya sebagai seorang istri di rumah, kecuali kewajiban di tempat tidur saja. Ak
Atau sudah ku masukkan ke dalam tas? Ya tuhan, jangan sampai benda itu tidak ada ada dalam tasku. Papa bisa marah dan menganggapku lalai dengan tanggung jawab. Terdengar suara seseorang mengetuk pintu, saat tanganku hendak membuka tas kerjaku ini demi mencari proposal yang dimaksud. Sejenak membuat perhatianku teralihkan, tak lama, sosok wajah manis itu menyembul saat pintu itu terbuka, membuatku melupakan benda yang kucari. Seorang wanita tengah berdiri di muka pintu itu, bibirnya tersenyum manis. Tak lama, ia melangkah anggun. Memangkas jarak antara kami. "Saskia!" Panggilku sambil tersenyum lebar. "Siang, Mas," balasnya. "Akhirnya kau datang, kupikir kau lupa," ujarku berbasa-basi. "Mana mungkin aku lupa. Lihat aku bawa makan siang untukmu." Salah satu tangan Saskia terangkat, memperlihatkan makanan yang dibawanya. Mendengar ucapannya, spontan kulirik arloji di pergelangan tangan. Sudah hampir pukul dua belas siang, untung saja Saskia membawa makanan, karena sejak tadi aku
Aaww! Teriakku cukup keras saat Luna menekan kasar bagian memar di bagian pelipisku, seperti di lakukannya dengan sengaja. Ah, mengapa aku sampai lupa jika ia adalah Mak lampir. "Dasar Mak lampir, kau sengaja melakukannya untuk membunuhku, ya?" Ucapku yang tanpa sadar kelepasan bicara. "Apa? Kau mengataiku Mak lampir?" Mata Luna melotot padaku. "Ah, itu ... Hehe! lagipula kau memang seperti Mak Lampir." Kupaksakan bibirku tersenyum. "Kau mau memar-mu ini kutambah, mas?" ancam Luna cemberut, ah, mengapa aku baru sadar jika ia ternyata semanis ini. "Iya, Jika kau yang melakukannya, aku tak akan menolak," ujarku dengan cepat menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. "Kau tahu, sepertinya aku telah jatuh cinta pada seorang mak lampir yang cantik," bisikku di telinganya. "Mulai sekarang, maukah kau menerima pria bodoh ini menjadi suamimu?" Lanjutku lalu mengurai sedikit pelukanku dan memandangnya. Luna terdiam sesaat. tak lama kulihat kepalanya mengangguk. entah mengapa membu
"Maaf, karena telah menyakiti hatimu," ucapku pelan lalu kembali mengusap bibirku yang masih terasa nyeri. Saskia menatapku nanar, seolah tak percaya ungkapan itu berasal dari mulutku. Tak lama, ia kembali bicara. "Lebih baik sekarang kau pergi dari sini mas, sebelum aku meminta pihak keamanan untuk mengusirmu," Suaranya terdengar bergetar disertai dengan jari telunjuk yang mengarah ke arah pintu. "Iya, aku akan keluar dari sini. Sekali lagi aku minta maaf karena telah membohongimu." Yah, memang seharusnya aku meminta maaf padanya karena bagaimanapun ia berkata benar, akulah orang pertama yang mengkhianati hubungan kami, akulah orang yang telah berbohong padanya karena menyembunyikan status pernikahanku darinya. Setidaknya aku bisa sedikit mengerti alasan mengapa ia bertindak senekat ini. Mungkin ini juga bentuk hukuman dari tuhan padaku karena telah berbohong dan mengabaikan keberadaan Luna selama ini. Ah, mengapa aku semakin merindukan istri kecilku itu? Akuilah Reshwara jika
"Melihat lelaki ini ada di apartemenmu, sudah cukup menjadi jawabannya. Aku tak menyangka jika ternyata kau juga menjalin hubungan lain di belakangku, benar -benar perempuan murahan." Cih! "Ya, aku yang melakukannya. Mengapa? Kau kesal, marah, kecewa?" Suara Saskia terdengar lantang, seakan mewakili kemarahannya. Kupalingkan wajah dan menatapnya yang saat ini tengah melempar tatapan tajam padaku. "Kau bener sekali, aku yang membocorkannya. Bagaimana rasanya di khianati? Sakit?" Desis Saskia. "Kau ...!" Geramku padanya dengan tangan terkepal. Andai ia bukan seorang perempuan, sudah ku hajar ia sekarang. Atmosfir ruangan ini kini berubah panas, mata itu masih melempar tatapan menghujam padaku, seakan sedang melepaskan semua kemarahannya padaku. "Aku tidak menyangka jika kau bisa mengkhianatiku, Saskia." "Tentu saja bisa, kau tahu mengapa aku melakukannya?" Bibir itu mengulas senyum sinis padaku. "Karena kau yang lebih dulu mengkhianatiku. Apa kau pikir aku tidak tahu jika terny
"Saat seorang wanita sudah merasa tidak nyaman di rumah suaminya, maka secara naluri ia akan pulang ke rumah orang tuanya, karena ia tahu bahwa rumah orang tuanya adalah satu satunya tempat ternyaman untuknya," ujar Tante Wina ikut bicara. "Begitukah?" ucapku tanpa sadar sambil melirik Raina yang menggeleng kesal. "Makanya mas, cari tahu dulu penyebabnya, jangan bisanya cuma asal tuduh saja. Kalau begini kau juga yang malu kan?" Aku mengulas senyum getir saat mendengarnya. Raina berkata benar, entah mengapa saat ini aku merindukan Luna, merindukan tingkah konyol Mak lampir cantik itu. Ponselku tiba tiba berdering, kulirik arloji di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan angka delapan, rasanya masih belum terlalu malam untuk meluncur ke Depok dan menjemput Luna. Namun, sebelum itu, aku akan menjawab panggilan teleponku dulu. Senyumku seketika terbit saat kulihat nama seseorang yang tertera di layar, kelihatannya, aku harus menunda sebentar kepergian ku ke Depok karena masih ada
Aku menoleh pada Keenan yang masih menatapku, ada rasa bersalah dalam hati karena telah asal menuduhnya, jika memang itu yang sebenarnya terjadi, maka aku telah melakukan kesalahan yang besar pada Luna. Ah, mengapa aku bisa sampai bertindak se-ceroboh ini, tak biasanya aku melakukan sesuatu hal tanpa rencana, sungguh aku merasa sangat malu saat ini. Papa terlihat menggelengkan kepalanya, sementara mama masih tertawa geli, dan Raina, gadis itu mengulas senyum tipis di wajahnya, senyuman yang entah mengapa terlihat begitu menyebalkan. Tak lama kudengar mama bicara. "Luna adalah gadis yang baik, Rei. Cobalah untuk mengenalnya lebih dekat, kau pasti tahu mengapa mama dan papa memilihnya untuk menjadi pendampingmu." Aku tak menjawabnya, hanya mengangguk lemah. Ucapan Mama mungkin ada benarnya, aku yang salah, karena masih belum sepenuhnya menerima keberadaan dirinya dan juga pernikahan kami. Mungkin karena jarak usia kami yang terpaut cukup jauh, membuatku meremehkannya atau mungkin
"Ha ... Ha ... ha" Tawa papa terdengar begitu keras memenuhi seisi ruangan ini sesaat aku selesai menceritakan kecurigaanku tentang hubungan terlarang Keenan dan Luna. Aku melongo melihat papa yang tampak begitu renyah tertawa, tak hanya papa, mama, Raina bahkan Keenan juga tampak tertawa. Hanya Tante Wina yang tampak mengulum senyum seakan ingin menjaga wibawaku. Ini aneh. Apa yang terjadi pada mereka semua? Mengapa tertawa? Bukankah seharusnya mereka marah dan kesal? Aku masih menatap mereka dengan wajah bingung dan tak mengerti, tak lama ku dengar Raina bicara. "Kau memang orang paling lucu yang pernah kukenal, mas." "Lucu sekali," gelak tawa Raina sambil menunjuk padaku. "Aku bicara yang sebenarnya, kenapa kalian semua tertawa?" Ketusku lalu memalingkan wajah. "Tentu saja kami semua tertawa, karena semua tuduhanmu itu tidak benar," balas Raina. "Tidak benar bagaimana, aku serius. Kalian bisa tanyakan sendiri pada Keenan," geramku sambil melirik pada pemuda yang duduk di
"Lalu untuk apa kau pulang ke sini? Jangan bilang jika ucapan mama tadi pagi benar bahwa kau dan Luna sedang bertengkar," ujar mama dengan mata penuh selidik padaku. mendengarnya, wajahku seketika cemberut. "Tak bisakah mama membiarkanku beristirahat sebentar?" Keluhku yang kesal karena mendadak langsung di serang pertanyaan oleh mama. "Kau ini? entah apa yang ada dalam pikiranmu," geram mama padaku sambil menatap kesal. aneh sekali mengapa Mama tampak kesal padaku. tak hanya mama, tatapan mata papa pun kini terasa menusuk kornea mata kupalingkan wajah sejenak dari mama, rasanya malas di pandanginya dengan tatapan seperti itu. berharap kekesalannya segera hilang karena bisa gawat kalau ia meminta pembelaan dari papa. "Mama sudah telepon Luna? Sudah bertemu dengannya?" Tanyaku beberapa saat kemudian. "Iya, saat mama telepon, Luna bilang kalau ibunya sudah pulang dari rumah sakit, mama juga tidak bertemu Luna saat tadi menjenguk ibunya di sana, jadi belum sempat bicara dengannya
"Tentu saja bisa, karena Keenan ..." "Keenan? Kenapa? Apa yang dia bilang?" Potongku cepat, entah kenapa aku selalu tak sabar dan emosi saat mendengar nama itu. "Karena Keenan yang memberi tahu mama jika ibu mertuamu itu sedang dirawat di rumah sakit. Ah, tidak. Jangan bilang pada mama jika Luna tak memberitahumu sebab kalian berdua sedang bertengkar," tebak mama yang lagi-lagi membuat kerongkonganku tercekat. "Itu tidak benar, kami berdua baik-baik saja." "Benarkah? Jika begitu kau pasti tahu keadaan ibu mertuamu, Rei." Untuk kali ini akhirnya aku terdiam. Entah mengapa rasanya ada selalu sulit berkelit pada mama. "Sudahlah, nanti mama telepon Luna atau Keenan saja, bicara denganmu sama saja seperti bicara dengan tembok. Kau selalu saja tidak peka dengan orang di sekelilingmu," ujar mama lalu memutus sambungan teleponnya. "Keenan, kenapa harus selalu dia?" Mendadak hatiku kembali kesal mendengar nama itu. "Apa bagusnya sih anak cengeng itu? Pemuda dua puluh satu tahun yan
Pagi ini kulihat Luna tampak bergegas keluar rumah dengan membawa travel bag yang cukup besar. Wajahnya yang sendu dengan mata yang sembab begitu jelas terlihat saat tak sengaja pandangan mata kami bertemu. Luna hanya diam, sikapnya tampak datar. Tak lama kulihat ia mengenakan topi di kepalanya, mungkin untuk menutupi jejak tangisan di wajahnya. Sebuah sepeda motor kulihat menepi dan berhenti. Sepeda motor yang sama yang selalu menjemputnya. Tak lama, ia meletakkan travel bag itu di depan sang pengendara, sementara dia sendiri duduk membonceng di belakang. "Ah. Mengapa semua akhirnya kacau seperti ini?" Keluhku lalu mengigit bibir. Aku masih memandang Luna hingga akhirnya sepeda motor itu bergerak perlahan meninggalkan rumah ini. Tak lama, akupun beranjak pergi dari muka pintu ini menuju ke kamarku. Hendak mengambil tas dan kunci mobil. Langkahku tertahan saat melintas depan kamar Luna, entah mengapa mendadak tanganku ingin meraih kenop pintunya, suara cklek terdengar, tak lama p