"Ma-mama, kesini? Kok nggak ngabarin sebelumnya sih?" Tanyaku terkejut sambil memaksakan diri tersenyum. Mata mama menyipit padaku, menatap tiap-tiap jengkal tubuhku yang hanya mengenakan celana pendek dan kaus saja. Seakan aku adalah seorang pencuri yang sedang kepergok mencuri uang dalam dompetnya. "Apa yang kulakukan di dalam kamar ini? Tak malu membiarkan Luna membereskan pekerjaan rumah sendiri, sementara kau tidur sampai siang?" Tuding mama. Aku menelan ludah mendengarnya, mengapa pula Luna tidak memberi tahu sebelumnya jika mama ada di sini, atau jangan-jangan dia sedang balas dendam? Tapi balas dendam untuk apa? Rasanya aku tidak membuat kesalahan. Ekor mata mama terlihat ingin mengintip isi kamarku, segera saja kuhalangi pandangannya, lalu perlahan menggeser tubuhku dan menutup rapat pintunya. Untung saja aku cepat menyadari sikap mama, bisa gawat kalau ia mengetahui bahwa aku dan Luna tidak tidur dalam satu kamar, Ah, Reshwara mengapa hidupmu sampai serumit ini.
"Aku juga sudah jelasin sama Mama, kalau tiap malam kita berikhtiar, ya kan Mas?" lanjut Luna, entah mengapa tiba-tiba saja tawa mama pecah. "Aduh Luna, mama tidak tahan mau ketawa. Raina benar, kau memang anak yang menyenangkan." Entah mengapa mama memujinya. Rasanya tidak ada yang lucu. Justru aku ingin protes, karena semua yang dikatakan Luna tak lebih dari sebuah kebohongan belaka. Ikhtiar? Ikhtiar apaan? bahkan di sentuh saja belum?" "Kau ini Rei, makanya kalau orang tua lagi ngomong itu mbok ya didengerin dulu. Bukannya sibuk mikirin malam panas kalian." Ucapan mama membuatku melongo, malam panas? Istilah apa lagi itu? sebenarnya apa maksudnya? Ayolah Reshwara, jangan sampai kau terlihat menyedihkan seperti ini di depan ibumu sendiri. "Maksudnya apa sih ma?" "Luna tadi hanya asal bicara saja. Sebenarnya tadi mama bilang kalau Bi Asih belum bisa ke sini karena mau pulang kampung dulu, mau urus anaknya yang mau melahirkan," terang mama. "Makanya kalau orang tua ngomong i
"Iya, aku lupa kalau ada kencan, Mas. Lebih baik mas bawa kunci cadangan karena mungkin aku juga akan pulang malam," jawabnya. Entah mengapa mendadak aku merasa melihat kunang-kunang terbang di atas kepalaku. "Apa!" "Ke-kencan? Apa maksudmu?" Aku mengernyitkan dahi, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Iya, mas. Kenapa apa ada yang salah?" Sanggahnya. "Dengan siapa?" Mataku membulat menatapnya. Mendengar ucapanku, bukannya menjawab Luna malah menyeringai, lalu membalas tatapanku seakan ingin menantangku. "Apa aku harus memberi tahumu juga, Mas?" Untuk beberapa saat aku tak percaya dengan apa yang kudengar, kalimat itu, bukankah kalimat yang kuucapkan padanya tadi saat ia bertanya? Dan sekarang kalimat itu dikembalikannya padaku. Kami masih saling melempar pandangan, melihat sikapnya, entah mengapa aku seakan merasa tak dihargai. Berani sekali ia berkata seperti itu, di hadapanku, suaminya. "Aku harus tahu kau pergi kemana dan bersama siapa, bagaimanapun
"Halo sayang, temani aku belanja yuk," terdengar suara manja Saskia di ujung sambungan telepon ini menggelitik telingaku. ***Beberapa jam kemudian, Suasana rumah yang temaram membuat keningku berkerut. Kulihat tak ada satupun lampu yang menyala, mungkinkah Luna belum pulang dan masih menikmati kencannya bersama Keenan? Kulirik arloji di pergelangan tangan yang sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Apa yang dilakukan Luna dan Keenan hingga sampai malam begini masih belum pulang? Aku menghela nafas berat, saat mengingat apa yang kulihat saat di restoran tadi. Tampaknya mereka berdua janji bertemu lalu menghabiskan waktu bersama. Ah, Mengapa terasa sesak di dada membayangkan senyum Luna ketika ia melambaikan tangannya pada Keenan tadi? Ah, Reshwara. Kau benar-benar seorang suami yang tak terjamah. Di mana pesona ketampanan yang selalu kau banggakan itu? Bahkan wajah dan kemapanan yang selalu kau banggakan itu tidak mampu membuat Luna berpaling bahkan berselingkuh di belakan
"A-aku hanya lupa membukanya saja, apa sekarang hal itu jadi masalah?" Sial, mengapa kalimat itu yang keluar dari mulutku. Bisa-bisa Mak lampir itu besar kepala. Mendengar ucapanku, Luna tampak mengulum senyum lalu merogoh kunci yang ada dalam tasnya. Tak lama, ia pun melangkah masuk ke dalam dengan senyumnya yang terlihat menyebalkan itu. Kenapa aku selalu mati kutu di hadapannya? "Jangan lupa kunci pintunya ya, mas," ucap Luna tanpa menoleh. "Iya! Kau berisik sekali," Ucapku gemas melihat tingkahnya yang bertingkah bak seorang nyonya besar itu. Eits, jika dia bak seorang nyonya besar, berarti aku ... " Entah mengapa penampilan Mang Ujang saat sedang menyikat lantai garasi kini melintas di kepalaku. Dia ... Beraninya memperlakukan seorang Reshwara yang tampan dan mapan, direktur utama sebuah perusahaan sukses sebagai kacungnya? Ini tidak boleh dibiarkan, aku harus membuatnya bertekuk lutut padaku. Tapi sebelumnya aku harus mencari tahu mengapa papa bisa mengantarnya, pulan
"Siapa mereka semua?" Ketusku sambil berkacak pinggang. "Oh mereka bertiga adalah anggota himpunan pembantu rumah tangga kompleks ini, mas. Kenapa? Apa mas tertarik untuk menjadi anggota?" Jawab Luna santai. "Apa ... Himpunan pembantu rumah tangga? Kok aku baru tahu ada himpunan begituan?" "Ya ada dong. Kenapa wajahmu kaget begitu, mas? Tak suka?" "Tentu saja, kau membawa mereka semua ke rumah, hanya untuk menggangguku, begitu kan?" Tudingku tak percaya. Sepertinya, aku terlalu meremehkannya. "Seharusnya mas berterima kasih padaku. Lagipula, yang kulakukan hanya membantumu bangun, apa salah?" "Daripada buang-buang waktu dan tenaga untuk marah-marah dan mengomel tak jelas, lebih baik mas bergegas ambil kain lap dan mulailah menggosok." Perintah Luna lalu tersenyum, tak lama ia membalikkan badan hendak pergi dari tempat ini. Untuk kesekian kalinya aku harus mengakui kekalahan, sungguh tak kusangka di balik wajahnya yang polos dan terlihat lugu itu, Luna ternyata sangat menyeramka
"Toilet, kau memintaku menggosok toilet?" Mataku terbelalak lebar mendengarnya. "Iya. Bukankah toilet kamarmu, hanya kau sendiri yang memakainya? jadi kurasa tidak sulit mengerjakannya, iya kan? Sudah jangan banyak protes, kerjakan saja yang benar, gosok bath ub nya sampai kinclong, pokoknya begitu aku kembali semua pekerjaan menggosok ini sudah selesai," jelas luna panjang lebar. "Sudah ya, selamat berjuang mas! Ingat toilet kamarku juga jangan lupa!" Lanjutnya. "Berjuang katanya?" Sungutku tak percaya. "Lalu kau mau kemana?" Refleks aku bertanya, karena melihat penampilannya sudah berbeda dari beberapa saat yang lalu. "Aku?" Bibir Luna terlihat menyunggingkan senyum. "Biarkan istrimu ini memanjakan diri sejenak di salon, mas. Aku perlu pijatan untuk melenturkan otot-otot ku yang kram karena pekerjaan rumah." "Sudah ya mas, aku pergi dulu. Oh ya, makanan sudah ku siapkan di meja, makan yang banyak biar semangat. Bye!" ujarnya sambil melambaikan tangan, meninggalkanku sendiri y
Keesokan harinya, Dari balik jendela, aku melihat Luna yang sedikit kesulitan membawa dua paper bag yang kukira berisi buku-buku kuliahnya. Wajahnya tampak begitu segar dan bersemangat seakan tiada beban sama sekali. Beberapa menit kemudian, sebuah ojek online datang menepi untuk menjemputnya. Sepertinya ojek tersebut telah menjadi langganan Luna, karena sudah beberapa kali aku melihat sosok itu yang selalu datang menjemput. Aku masih berdiri di balik jendela kaca ini, memandang sekitar sambil menggenggam segelas teh hangat di tanganku. Yah, setiap pagi Luna selalu menyiapkan segelas teh hangat untukku, karena aku tak begitu suka meminum kopi atau susu jika di pagi hari. Sebuah nampan berisi sandwich diletakkan Luna di atas nakas, tak lupa segelas air mineral juga tersedia di sana. Meskipun Luna sibuk mengurus rumah dan tugas kuliah yang seakan tak ada habisnya, gadis itu tetap tak lupa dengan kewajibannya sebagai seorang istri di rumah, kecuali kewajiban di tempat tidur saja. Ak