Malang tak dapat ditolak, apalagi diprediksi. Seperti halnya kali ini. Petugas sidak kukuh memberi sanksi pada para penghuni kamar yang dilabel sedang mesum. Tidak kecuali dengan Daehan dan Umi.
Wajah lelaki tampan itu memerah dan tegang. Tidak menyangka niatan berteduh jadi sesialan seperti ini. Umi menatap cemas pada petugas sidak yang barusan mendekati Daehan dan merraba tubuh besar itu tanpa segan. Meski pemilik badan mengibas kasar, para petugas abai dan semakin berwajah sinis setelahnya. “Alibi kalian sama sekali tidak masuk akal. Bisa jadi juga disertai ancaman dan kekerasan. Melihatmu yang tidak berpakaian dalam dan wajah wanita ini seperti habis dianiya, kalian masuk ke dalam daftar pasangan haram yang disanksi.” Petugas sidak berbicara tegas dan tajam. “Jangan menuduh. Sudah aku tegaskan, dia pekerjaku. Tidak ada kamar lagi. Aku kasihan sebab tadi kehujanan. Dia perempuan, tidak mungkin aku biarkan di luaran! Mukanya bengkak sebab suntik cantik, bukan tanganku yang bikin!” sembur Daehan geram. "Tanyalah sana pada orang hotel. Jangan suka-suka memfitnah dan menghukum!" ucap Daehan kembali. "Pihak hotel tidak akan bertanggung jawab. Mutlak salah kalian. Apa tidak pernah belajar agama? Lelaki dan wanita bukan muhrim dilarang khalwatan. Tidak boleh berduaan." Petugas kembali menegaskan hal yang beberapa kali sudah dikatakan. Daehan sungguh bosan dan semakin kesal. Namun, tidak ada guna protesnya. Petugas catat terus beraksi dengan meminta identitas, petugas lain juga banyak mengambil foto. Wajah Daehan memerah menahan amarah. Umi kebingungan dengan segala keadaan buruk yang tiba-tiba menimpa. Para petugas data dan sidak telah keluar bertukar dengan tiga petugas lain yang siap membawa pasangan tertuduh asusila itu keluar. Namun, Daehan menerobos keluar dan mengejar para penyidak. Coba akan menggunakan trik suap demi selamat dari sanksi. Tidak lama masuk lagi ke dalam kamar dengan menendang sofa single hingga tergeser. Jelas sekali jika upayanya bertemu jalur buntu. “Aku nggak mau nikah cepat, Pak!” celutuk Umi tak bisa tenang. “Aku pun ogah nikah samamu, Um!” bentak Daehan keras tambah geram. Umi mengkerut. Kesal bukan main. Rasa-rasanya ingin menabok muka Umi yang bengkak sebab filler. Sok cakep, padahal bengap. Buat apa juga ditambal-tambal. “Lalu… kita bakal dilepas, Pak?” tanya Umi cemas. Daehan tidak menjawab, justru kembali menendang kuat kursi tadi. Sepatunya memang mahal, jadi kuantitas buat nendang jangan tanya. “Nikah, Um. Nikah saja. Lebih baik akur biar cepat beres.” Mendadak Daehan berbalik dan berbicara serius. “Apa, Pak?!” seru Umi kaget bukan main. “Kamu sudah janda, kan, Um? Apa susahnya? Ini hanya nikah-nikahan… setelahnya lupakan,” ucap Daehan serius. “Tapi, saya…,” “Akan kubayar mahal, Um. Dua jam lagi aku harus sampai di kotaku. Akan ribet jika menolak sanksi mereka. Harus menghadirkan banyak saksi pembebas dari pihakku dan pihakmu. Itu memalukan dan makan waktu. Sedang dua jam lagi adalah masa depanku. Paham?!” jelas Daehan cepat. “Lah itu masa depanmu saja, Pak?! Lha masa depanku, hancur dong!” Umi memrotes keras. Daehan menatap wajah Umi yang lebam dan bengkak, terutama di bibir, pipi dan matanya membiru. Kembali kesal dengan wanita yang kurang bersyukur segalanya seperti Umi. “Kamu ini sudah janda, Um. Apa salahnya janda-jandaan sekali lagi?! Aku aja yang lajang dan siap-siap menduda pun biasa aja!” sahut Daehan menahan geram. “Tapi, Pak. Masalahnya saya ini belum…,” “Belum puas jadi janda?! Ya bentar aja nikahnya, habis itu jadilah janda lagi. Apa susahnya…?” Daehan menahan kesal. Merasa jika Umi hanya memperkeruh keadaan. “Masalahnya, saya tidak mau jadi janda. Sebab sa…,” “Kubayar ma-halll!! Hingga wajahmu dan seluruh bodimu bisa kamu bawa operasi besar-besaran di Korea Utara sana, Umi!” sambar Daehan merasa sangat kesal. “Ish, tempat o pe bukan di Utara, Pak! Tapi di Selatan! Di utara yang ada aku malah didor sama Kim Un!” sambar Umi meralat keras. “Terserah, Um. Mau ke Timur Tengah pun silahkan. Tugasku hanya membayarmu. Lekaslah, mereka sudah tidak sabar,” ucap Daehan berusaha damai. “Benar-benar mimpi buruk. Disuruh nikahin janda burik. Aku pulak yang bujuk, bayar lagi!” Daehan mengumpat, mengira jika Umi yang sedang berjalan sambil bingung tidak mendengar. “Pak, emang mau bayar berapa? Saya ogah kalo murah.” Umi berbalik dan bicara ketus. Berhenti berjalan, tidak peduli dengan ekspresi para petugas yang kesal. “Lima belas juta.” Daehan menyahut asal. Padahal niatnya bukan sesedikit itu. “Ish, itu kan gajiku jadi asistenmu pengganti Bik Rum. Ini… kerja besar. Nikah paksa, terus dijandain… berat, tahu!” protes Umi tajam. Daehan tertawa masam. “Emang kamunya saja yang terpaksa?! Sok jual mahal!” rutuk Daehan sangat geram pada janda belagu di depannya. Umi diam… memilih pasrah, mengingat betapa diri sedang sangat butuh uang. Kesempatan, sepertinya Daehan bisa dia peras di saat sempit sebegini. Lagipula, juga tidak ingin masalah ini jadi kian kepanjangan. Badan Umi meriang dan rasa di wajah sungguh nyut-nyutan. Ingin sekali cepat-cepat istirahat dan rebahan. Mereka berdua terus berdiskusi seru. Abai akan perhatian petugas yang justru senyum-senyum melihat debat keduanya. Namun, kejelasan hubungan Umi dan Daehan yang seperti bukan pasangan barusan mesum, tidak menggerakkan hati untuk membantu. Merasa jika itu bukan ranah tugas mereka. Juga tidak ingin mempersulit diri sendiri. Umi dan Daehan sudah mendapat mufakat. Pembicaraan mereka jadi berbisik. Hingga para petugas tidak mampu lagi menguping. Mereka dibawa ke sebuah ruang luas menyerupai aula. Bukan juga sebuah mushola. Ternyata, tiga pasangan dengan nasib sama yang terduga mesum sudah berjajar duduk di sana. Menunggu giliran dinikahkan. Benar-benar proses yang singkat. Semua sudah diatur dan seluruh saksi juga wali bukan dari pihak keluarga satu pun. Di sini status Umi sudah tidak memiliki ayah lagi. “Setelah semua beres, tugasmu kasih bintang satu pada hotel ini, Um. Bikin jebakan betmen saja, hotel pedusta…,” ucap Daehan pada perempuan yang duduk di sebelah dan masih mengenakan mukena atasan. “Enggak mau. Bagus saja sih, Pak. Ada razia, akunya aja yang apes,” sahut Umi menolak ide sang atasan. “Aku yang paling apes, Um! Kamu pikir aku tidak malu apa, kedapatan sekamar dan harus nikahin janda buntal kayak kamu! Bayar mahal pulak!” umpat Daehan yang terasa masih terus tidak ikhlas. Umi tidak sempat merespon, sudah tiba giliran mereka dipanggil untuk maju ke hadapan Pak Penghulu. “Setelah menikah, khusus kalian, kami akan memantau. Mengingat pihak wanita sempat mendapat penganiayaan. Anak gadis orang, sudah cantik-cantik, dibuat bengkak kayak gini.” Pak Naib sempat berkomentar. Daehan ingin memprotes bahwa Umi adalah janda yang sangat tidak cantik. Terutama bengkak wajahnya sebab suntik bukan aniaya. Tetapi, Pak Naib langsung menyuruhnya siap-siap. Berhubung Daehan sudah sering menghadiri acara nikahan teman, maka ucapan pernikahan bukan lagi sandungan. Sudah dihapalnya di luar kepala tanpa beban. Maka bibirnya pun lancar mengucap. Hanya…. “Nama pasangan sendiri saja tidak betul. Bukan nama panggilan, tetapi nama lengkap ya Mas, yaaa…,” ucap penghulu sambil menyodorkan kartu Id milik Umi pada calon suaminya. Daehan hanya menyimak status calon istri tanpa ingat melihat foto Umi pada E KTP di tangannya. Wajah tampan yang sudah berpeci hitam itu tampak bingung. “Um, bener nama kamu Sazleen Shanumi?” tanya Daehan pada Umi dengan menunjuk kartu Id. Yang ditanya hanya mengangguk dan menunduk, rupanya sedang menangis. Membuat perasaan Daehan sempat serba salah. “Um, kenapa status kamu gadis…?” tanya Daehan kian bingung. Namun, Umi justru kian tersedu-sedu. “Ok, aku paham. Kamu dulu dinikahi siri saja oleh lelakimu.” Daehan coba memahami dengan ide jawaban di kepalanya sendiri. Pak Naib alias penghulu sudah mendesak untuk mengulang ijab kabul kembali. Daehan mengulangi ikrar ijab dengan merendahkan hati dan posisi. Rela seperti hilang wibawa, harga diri dan segala harta yang dimiliki seakan tiada arti di depan Pak Naib. Dirinya lelaki sukses dan punya kuasa, nyatanya tetap juga dipaksa-paksa. Demi kelancaran urusan dan segalanya selesai dengan cepat. Sempat sambil menyesali akan gangguan pada mobilnya saat hujan dan macet. Juga merutuk pada petugas hotel yang dinilainya berdusta akan jadwal sidak demi untung semata. Serta sesal akan baiknya pada Umi yang dia bawa dalam satu kamar. Sah! Sah! Sah! Sah! Sah! Daehan menoleh pada wanita yang kian terisak-isak menangis. Antara lega sebab beres urusan dan perasaan yang hampa. Dengan pendengaran yang diisi doa oleh asisten penghulu pada pasangan pengantin baru bernama Daehan Ahmad Rasyid dengan Sazleen Shanumi yang berisi harapan-harapan kebaikan. Daehan termenung-menung kosong tanpa merasa perlu mengaminkan doa-doa baik pernikahan. Baginya, ingin kesialan dan acara penuh paksaan ini segera diakhiri! 🍓Dalam penelurusan singkat melalui Kartu Tanda Penduduk yang terhubung pada Kartu Keluarga, Umi dan Daehan adalah lajang yang bukan saudara mara dan kerabat. Memiliki alamat serta tempat tinggal berjauhan. Itu adalah faktor utama mereka wajib disatukan. Tanda tangan di berkas sah nikah yang bukan buku nikah baru saja selesai oleh keduanya saat satu panggilan masuk untuk Daehan. Maka lelaki itu pergi meninggalkan ruangan dengan dalih bertelepon. Umi menyusul setelah meladeni beberapa pertanyaan petugas sendirian. Di sana Umi bicara jujur segalanya dan Daehan sama sekali tidak mengetahui. Juga masih ada dua pasang lagi yang bernasib sama untuk dinikahkan dengan mudah. Tentu saja sangat mudah, hanya bermodal KTP, janji mahar, ijab kabul dan dua mempelai itu sendiri. Tanpa bersusah payah dengan syarat ribet pernikahan biasanya pun mereka sudah sah. Bahkan beberapa kali, para petugas mengingatkan pada para pengantin hasil sidak untuk lebih baik bersyukur. Umi dan Daehan sendiri sangat
Tidak sia-sia Umi masak soto sedikit banyak yang tidak habis untuk satu orang. Sebab hujan masih turun deras, kuliner langganan Daehan sudah tutup lebih awal. Tunangan cantiknya kelaparan, masakan perdana Umi pun jadi. Tidak menyangka masakan janda burik itu enak sekali. Bahkan Intana sangat suka. Lupa dengan hinaan jorok yang tadi dilontarkan. Jika tidak ingat bahwa yang masak pun sedang lapar, mungkin Daehan sanggup menghabiskan. “Niat masak buat dinikmati sendiri, malah dapat sisanya doang, dikit lagi,” ucap Shanumi menggerutu sambil berjibaku dengan barang pecah belah di wastafel.“Nggak sopan banget, gini amat nasib istri sah.” Shanumi mengeluh kesal. Tetapi juga menyimpan tawa. Merasa konyol dengan ucapan sendiri yang menyebut diri istri sah.“Udah masak buat orang … eh, panci-pancinya pun kena nyuci sendiri. Sabar ya, Shan … Ini demi dapat uang tambahan lebih cepat!” ucap Shanumi yang kali ini agak keras. Bersaing dengan suara air kran dan panci yang beradu.“Um, kamu ini ngg
Shanumi telah meluncur ke dalam kamar yang sempat diwariskan sopir, Agung padanya. Mengemasi barang yang tidak banyak untuk rapi kembali ke dalam tas. Perasaannya kini tidak terjabar. Antara lega dan puas, sebab dengan gaji penuh dirinya terbebas dari tugas. Juga bersit terhina sebab Daehan sama sekali tidak menganggapnya. Bukan sebagai istri, tetapi telah menolaknya sebagai pekerja. Meski burik, mungkin Daehan masih bisa menerima Shanumi terus bekerja jika tidak terhasut oleh ucapan Intana. Entah sedalam apa cintanya pada si tunangan hingga setunduk itu.Yang jelas, Intana adalah wanita bermulut madu yang beracun. Berlidah belut yang licin di mata Shanumi. Terbukti bagaimana Intana meyakinkan pada petugas jika kerusakan mobil mewahnya bernilai puluhan juta untuk biaya servis. Padahal tidak seberapa. Hanya beberapa goresan yang sama sekali tidak menyebabkan bekas cacat. Garit gores itu bisa dipoles cepat dengan dibawa ke bengkel servis mobil profesional. Namun, tetap Shanumi juga y
Celana abu muda menggantung di mata kaki berpadu atasan blouse putih, membuat penampilan Shanumi terlihat segar, elegant dan cerah. Rambutnya diikat tinggi dengan wajah berpoles tipis menarik. Meski kesan bengkak masih menyisa, kecantikan raganya tidak bisa ditutupi. “Sudah minum suplemenmu, Shan?” Yena menghampiri Shanumi di kursi dapur. “Sudah, barusan. Thanks, Yen.” Shanumi yang barusan berbincang dengan pegawai dapur, mendekat dan duduk di dekat Yena. Menerima segelas lemon madu hangat dari sang karib dan meminumnya hingga tandas. “Meski wajahmu belum pulih, cantikmu mulai kembali, Shan. Semangat, ya. Jika nggak menang dan wanita itu datang minta uang, pakai aja duit kafe. Sisanya kita kejar…,” ucap Yena membujuk. Iba jika Shanumi sebenarnya tertekan dan banyak yang dipikir. “Jangan, aku nggak mau ngusik dana kafe. Takut tiba-tiba sepi dan ngaruh ke gaji mereka. Pasti ada dana dari pintu lain. Kamu jangan risau, Yen.” Shanumi berkata sambil meletak gelas kosong di meja sebela
“Maaf, Pak. Bagaimana lagi… kamarnya tinggal satu. Kalo soal razia, tenang saja. Hotel kami hanya mendapat sidak di akhir bulan. Ini masih tanggal tiga, nih, Pak … tanggal muda….”Daehan, pria gagah yang dipanggil Pak oleh resepsionis manis dan genit itu kian mengatup bibir. Menatap gusar pada Umi, art baru yang dia bawa. Wajahnya menebal dengan bibir yang kian membiru. Jiwa sosial Daehan sebagai lelaki gagal membatu. “Kamu dengar sendiri apa katanya barusan. Terserah, jika keberatan, kamu duduk saja di lobi hingga orangku datang, Um,” ujar Daehan pada wanita berkerudung dan berbaju tebal tetapi basah kuyup. “Enggak, Pak. Saya nggak keberatan. Tidak sanggup lagi di luaran, bisa beku…,” sahut Umi cepat. Meski dengan melawan gemelutukan gigi di mulutnya yang serasa amat kaku. Sangat kedinginan. Daehan agak terkejut, meski juga merasa lega. Jika ada apa-apa dengan asisten rumah yang baru dia jemput itu, dirinya juga yang kena. Kesal sekali dengan sopir pribadi yang sedang bercuti. Mo
Celana abu muda menggantung di mata kaki berpadu atasan blouse putih, membuat penampilan Shanumi terlihat segar, elegant dan cerah. Rambutnya diikat tinggi dengan wajah berpoles tipis menarik. Meski kesan bengkak masih menyisa, kecantikan raganya tidak bisa ditutupi. “Sudah minum suplemenmu, Shan?” Yena menghampiri Shanumi di kursi dapur. “Sudah, barusan. Thanks, Yen.” Shanumi yang barusan berbincang dengan pegawai dapur, mendekat dan duduk di dekat Yena. Menerima segelas lemon madu hangat dari sang karib dan meminumnya hingga tandas. “Meski wajahmu belum pulih, cantikmu mulai kembali, Shan. Semangat, ya. Jika nggak menang dan wanita itu datang minta uang, pakai aja duit kafe. Sisanya kita kejar…,” ucap Yena membujuk. Iba jika Shanumi sebenarnya tertekan dan banyak yang dipikir. “Jangan, aku nggak mau ngusik dana kafe. Takut tiba-tiba sepi dan ngaruh ke gaji mereka. Pasti ada dana dari pintu lain. Kamu jangan risau, Yen.” Shanumi berkata sambil meletak gelas kosong di meja sebela
Shanumi telah meluncur ke dalam kamar yang sempat diwariskan sopir, Agung padanya. Mengemasi barang yang tidak banyak untuk rapi kembali ke dalam tas. Perasaannya kini tidak terjabar. Antara lega dan puas, sebab dengan gaji penuh dirinya terbebas dari tugas. Juga bersit terhina sebab Daehan sama sekali tidak menganggapnya. Bukan sebagai istri, tetapi telah menolaknya sebagai pekerja. Meski burik, mungkin Daehan masih bisa menerima Shanumi terus bekerja jika tidak terhasut oleh ucapan Intana. Entah sedalam apa cintanya pada si tunangan hingga setunduk itu.Yang jelas, Intana adalah wanita bermulut madu yang beracun. Berlidah belut yang licin di mata Shanumi. Terbukti bagaimana Intana meyakinkan pada petugas jika kerusakan mobil mewahnya bernilai puluhan juta untuk biaya servis. Padahal tidak seberapa. Hanya beberapa goresan yang sama sekali tidak menyebabkan bekas cacat. Garit gores itu bisa dipoles cepat dengan dibawa ke bengkel servis mobil profesional. Namun, tetap Shanumi juga y
Tidak sia-sia Umi masak soto sedikit banyak yang tidak habis untuk satu orang. Sebab hujan masih turun deras, kuliner langganan Daehan sudah tutup lebih awal. Tunangan cantiknya kelaparan, masakan perdana Umi pun jadi. Tidak menyangka masakan janda burik itu enak sekali. Bahkan Intana sangat suka. Lupa dengan hinaan jorok yang tadi dilontarkan. Jika tidak ingat bahwa yang masak pun sedang lapar, mungkin Daehan sanggup menghabiskan. “Niat masak buat dinikmati sendiri, malah dapat sisanya doang, dikit lagi,” ucap Shanumi menggerutu sambil berjibaku dengan barang pecah belah di wastafel.“Nggak sopan banget, gini amat nasib istri sah.” Shanumi mengeluh kesal. Tetapi juga menyimpan tawa. Merasa konyol dengan ucapan sendiri yang menyebut diri istri sah.“Udah masak buat orang … eh, panci-pancinya pun kena nyuci sendiri. Sabar ya, Shan … Ini demi dapat uang tambahan lebih cepat!” ucap Shanumi yang kali ini agak keras. Bersaing dengan suara air kran dan panci yang beradu.“Um, kamu ini ngg
Dalam penelurusan singkat melalui Kartu Tanda Penduduk yang terhubung pada Kartu Keluarga, Umi dan Daehan adalah lajang yang bukan saudara mara dan kerabat. Memiliki alamat serta tempat tinggal berjauhan. Itu adalah faktor utama mereka wajib disatukan. Tanda tangan di berkas sah nikah yang bukan buku nikah baru saja selesai oleh keduanya saat satu panggilan masuk untuk Daehan. Maka lelaki itu pergi meninggalkan ruangan dengan dalih bertelepon. Umi menyusul setelah meladeni beberapa pertanyaan petugas sendirian. Di sana Umi bicara jujur segalanya dan Daehan sama sekali tidak mengetahui. Juga masih ada dua pasang lagi yang bernasib sama untuk dinikahkan dengan mudah. Tentu saja sangat mudah, hanya bermodal KTP, janji mahar, ijab kabul dan dua mempelai itu sendiri. Tanpa bersusah payah dengan syarat ribet pernikahan biasanya pun mereka sudah sah. Bahkan beberapa kali, para petugas mengingatkan pada para pengantin hasil sidak untuk lebih baik bersyukur. Umi dan Daehan sendiri sangat
Malang tak dapat ditolak, apalagi diprediksi. Seperti halnya kali ini. Petugas sidak kukuh memberi sanksi pada para penghuni kamar yang dilabel sedang mesum. Tidak kecuali dengan Daehan dan Umi. Wajah lelaki tampan itu memerah dan tegang. Tidak menyangka niatan berteduh jadi sesialan seperti ini. Umi menatap cemas pada petugas sidak yang barusan mendekati Daehan dan merraba tubuh besar itu tanpa segan. Meski pemilik badan mengibas kasar, para petugas abai dan semakin berwajah sinis setelahnya.“Alibi kalian sama sekali tidak masuk akal. Bisa jadi juga disertai ancaman dan kekerasan. Melihatmu yang tidak berpakaian dalam dan wajah wanita ini seperti habis dianiya, kalian masuk ke dalam daftar pasangan haram yang disanksi.” Petugas sidak berbicara tegas dan tajam.“Jangan menuduh. Sudah aku tegaskan, dia pekerjaku. Tidak ada kamar lagi. Aku kasihan sebab tadi kehujanan. Dia perempuan, tidak mungkin aku biarkan di luaran! Mukanya bengkak sebab suntik cantik, bukan tanganku yang bikin!”
“Maaf, Pak. Bagaimana lagi… kamarnya tinggal satu. Kalo soal razia, tenang saja. Hotel kami hanya mendapat sidak di akhir bulan. Ini masih tanggal tiga, nih, Pak … tanggal muda….”Daehan, pria gagah yang dipanggil Pak oleh resepsionis manis dan genit itu kian mengatup bibir. Menatap gusar pada Umi, art baru yang dia bawa. Wajahnya menebal dengan bibir yang kian membiru. Jiwa sosial Daehan sebagai lelaki gagal membatu. “Kamu dengar sendiri apa katanya barusan. Terserah, jika keberatan, kamu duduk saja di lobi hingga orangku datang, Um,” ujar Daehan pada wanita berkerudung dan berbaju tebal tetapi basah kuyup. “Enggak, Pak. Saya nggak keberatan. Tidak sanggup lagi di luaran, bisa beku…,” sahut Umi cepat. Meski dengan melawan gemelutukan gigi di mulutnya yang serasa amat kaku. Sangat kedinginan. Daehan agak terkejut, meski juga merasa lega. Jika ada apa-apa dengan asisten rumah yang baru dia jemput itu, dirinya juga yang kena. Kesal sekali dengan sopir pribadi yang sedang bercuti. Mo