Malang tak dapat ditolak, apalagi diprediksi. Seperti halnya kali ini. Petugas sidak kukuh memberi sanksi pada para penghuni kamar yang dilabel sedang mesum. Tidak kecuali dengan Daehan dan Umi.
Wajah lelaki tampan itu memerah dan tegang. Tidak menyangka niatan berteduh jadi sesialan seperti ini. Umi menatap cemas pada petugas sidak yang barusan mendekati Daehan dan merraba tubuh besar itu tanpa segan. Meski pemilik badan mengibas kasar, para petugas abai dan semakin berwajah sinis setelahnya. “Alibi kalian sama sekali tidak masuk akal. Bisa jadi juga disertai ancaman dan kekerasan. Melihatmu yang tidak berpakaian dalam dan wajah wanita ini seperti habis dianiya, kalian masuk ke dalam daftar pasangan haram yang disanksi.” Petugas sidak berbicara tegas dan tajam. “Jangan menuduh. Sudah aku tegaskan, dia pekerjaku. Tidak ada kamar lagi. Aku kasihan sebab tadi kehujanan. Dia perempuan, tidak mungkin aku biarkan di luaran! Mukanya bengkak sebab suntik cantik, bukan tanganku yang bikin!” sembur Daehan geram. "Tanyalah sana pada orang hotel. Jangan suka-suka memfitnah dan menghukum!" ucap Daehan kembali. "Pihak hotel tidak akan bertanggung jawab. Mutlak salah kalian. Apa tidak pernah belajar agama? Lelaki dan wanita bukan muhrim dilarang khalwatan. Tidak boleh berduaan." Petugas kembali menegaskan hal yang beberapa kali sudah dikatakan. Daehan sungguh bosan dan semakin kesal. Namun, tidak ada guna protesnya. Petugas catat terus beraksi dengan meminta identitas, petugas lain juga banyak mengambil foto. Wajah Daehan memerah menahan amarah. Umi kebingungan dengan segala keadaan buruk yang tiba-tiba menimpa. Para petugas data dan sidak telah keluar bertukar dengan tiga petugas lain yang siap membawa pasangan tertuduh asusila itu keluar. Namun, Daehan menerobos keluar dan mengejar para penyidak. Coba akan menggunakan trik suap demi selamat dari sanksi. Tidak lama masuk lagi ke dalam kamar dengan menendang sofa single hingga tergeser. Jelas sekali jika upayanya bertemu jalur buntu. “Aku nggak mau nikah cepat, Pak!” celutuk Umi tak bisa tenang. “Aku pun ogah nikah samamu, Um!” bentak Daehan keras tambah geram. Umi mengkerut. Kesal bukan main. Rasa-rasanya ingin menabok muka Umi yang bengkak sebab filler. Sok cakep, padahal bengap. Buat apa juga ditambal-tambal. “Lalu… kita bakal dilepas, Pak?” tanya Umi cemas. Daehan tidak menjawab, justru kembali menendang kuat kursi tadi. Sepatunya memang mahal, jadi kuantitas buat nendang jangan tanya. “Nikah, Um. Nikah saja. Lebih baik akur biar cepat beres.” Mendadak Daehan berbalik dan berbicara serius. “Apa, Pak?!” seru Umi kaget bukan main. “Kamu sudah janda, kan, Um? Apa susahnya? Ini hanya nikah-nikahan… setelahnya lupakan,” ucap Daehan serius. “Tapi, saya…,” “Akan kubayar mahal, Um. Dua jam lagi aku harus sampai di kotaku. Akan ribet jika menolak sanksi mereka. Harus menghadirkan banyak saksi pembebas dari pihakku dan pihakmu. Itu memalukan dan makan waktu. Sedang dua jam lagi adalah masa depanku. Paham?!” jelas Daehan cepat. “Lah itu masa depanmu saja, Pak?! Lha masa depanku, hancur dong!” Umi memrotes keras. Daehan menatap wajah Umi yang lebam dan bengkak, terutama di bibir, pipi dan matanya membiru. Kembali kesal dengan wanita yang kurang bersyukur segalanya seperti Umi. “Kamu ini sudah janda, Um. Apa salahnya janda-jandaan sekali lagi?! Aku aja yang lajang dan siap-siap menduda pun biasa aja!” sahut Daehan menahan geram. “Tapi, Pak. Masalahnya saya ini belum…,” “Belum puas jadi janda?! Ya bentar aja nikahnya, habis itu jadilah janda lagi. Apa susahnya…?” Daehan menahan kesal. Merasa jika Umi hanya memperkeruh keadaan. “Masalahnya, saya tidak mau jadi janda. Sebab sa…,” “Kubayar ma-halll!! Hingga wajahmu dan seluruh bodimu bisa kamu bawa operasi besar-besaran di Korea Utara sana, Umi!” sambar Daehan merasa sangat kesal. “Ish, tempat o pe bukan di Utara, Pak! Tapi di Selatan! Di utara yang ada aku malah didor sama Kim Un!” sambar Umi meralat keras. “Terserah, Um. Mau ke Timur Tengah pun silahkan. Tugasku hanya membayarmu. Lekaslah, mereka sudah tidak sabar,” ucap Daehan berusaha damai. “Benar-benar mimpi buruk. Disuruh nikahin janda burik. Aku pulak yang bujuk, bayar lagi!” Daehan mengumpat, mengira jika Umi yang sedang berjalan sambil bingung tidak mendengar. “Pak, emang mau bayar berapa? Saya ogah kalo murah.” Umi berbalik dan bicara ketus. Berhenti berjalan, tidak peduli dengan ekspresi para petugas yang kesal. “Lima belas juta.” Daehan menyahut asal. Padahal niatnya bukan sesedikit itu. “Ish, itu kan gajiku jadi asistenmu pengganti Bik Rum. Ini… kerja besar. Nikah paksa, terus dijandain… berat, tahu!” protes Umi tajam. Daehan tertawa masam. “Emang kamunya saja yang terpaksa?! Sok jual mahal!” rutuk Daehan sangat geram pada janda belagu di depannya. Umi diam… memilih pasrah, mengingat betapa diri sedang sangat butuh uang. Kesempatan, sepertinya Daehan bisa dia peras di saat sempit sebegini. Lagipula, juga tidak ingin masalah ini jadi kian kepanjangan. Badan Umi meriang dan rasa di wajah sungguh nyut-nyutan. Ingin sekali cepat-cepat istirahat dan rebahan. Mereka berdua terus berdiskusi seru. Abai akan perhatian petugas yang justru senyum-senyum melihat debat keduanya. Namun, kejelasan hubungan Umi dan Daehan yang seperti bukan pasangan barusan mesum, tidak menggerakkan hati untuk membantu. Merasa jika itu bukan ranah tugas mereka. Juga tidak ingin mempersulit diri sendiri. Umi dan Daehan sudah mendapat mufakat. Pembicaraan mereka jadi berbisik. Hingga para petugas tidak mampu lagi menguping. Mereka dibawa ke sebuah ruang luas menyerupai aula. Bukan juga sebuah mushola. Ternyata, tiga pasangan dengan nasib sama yang terduga mesum sudah berjajar duduk di sana. Menunggu giliran dinikahkan. Benar-benar proses yang singkat. Semua sudah diatur dan seluruh saksi juga wali bukan dari pihak keluarga satu pun. Di sini status Umi sudah tidak memiliki ayah lagi. “Setelah semua beres, tugasmu kasih bintang satu pada hotel ini, Um. Bikin jebakan betmen saja, hotel pedusta…,” ucap Daehan pada perempuan yang duduk di sebelah dan masih mengenakan mukena atasan. “Enggak mau. Bagus saja sih, Pak. Ada razia, akunya aja yang apes,” sahut Umi menolak ide sang atasan. “Aku yang paling apes, Um! Kamu pikir aku tidak malu apa, kedapatan sekamar dan harus nikahin janda buntal kayak kamu! Bayar mahal pulak!” umpat Daehan yang terasa masih terus tidak ikhlas. Umi tidak sempat merespon, sudah tiba giliran mereka dipanggil untuk maju ke hadapan Pak Penghulu. “Setelah menikah, khusus kalian, kami akan memantau. Mengingat pihak wanita sempat mendapat penganiayaan. Anak gadis orang, sudah cantik-cantik, dibuat bengkak kayak gini.” Pak Naib sempat berkomentar. Daehan ingin memprotes bahwa Umi adalah janda yang sangat tidak cantik. Terutama bengkak wajahnya sebab suntik bukan aniaya. Tetapi, Pak Naib langsung menyuruhnya siap-siap. Berhubung Daehan sudah sering menghadiri acara nikahan teman, maka ucapan pernikahan bukan lagi sandungan. Sudah dihapalnya di luar kepala tanpa beban. Maka bibirnya pun lancar mengucap. Hanya…. “Nama pasangan sendiri saja tidak betul. Bukan nama panggilan, tetapi nama lengkap ya Mas, yaaa…,” ucap penghulu sambil menyodorkan kartu Id milik Umi pada calon suaminya. Daehan hanya menyimak status calon istri tanpa ingat melihat foto Umi pada E KTP di tangannya. Wajah tampan yang sudah berpeci hitam itu tampak bingung. “Um, bener nama kamu Sazleen Shanumi?” tanya Daehan pada Umi dengan menunjuk kartu Id. Yang ditanya hanya mengangguk dan menunduk, rupanya sedang menangis. Membuat perasaan Daehan sempat serba salah. “Um, kenapa status kamu gadis…?” tanya Daehan kian bingung. Namun, Umi justru kian tersedu-sedu. “Ok, aku paham. Kamu dulu dinikahi siri saja oleh lelakimu.” Daehan coba memahami dengan ide jawaban di kepalanya sendiri. Pak Naib alias penghulu sudah mendesak untuk mengulang ijab kabul kembali. Daehan mengulangi ikrar ijab dengan merendahkan hati dan posisi. Rela seperti hilang wibawa, harga diri dan segala harta yang dimiliki seakan tiada arti di depan Pak Naib. Dirinya lelaki sukses dan punya kuasa, nyatanya tetap juga dipaksa-paksa. Demi kelancaran urusan dan segalanya selesai dengan cepat. Sempat sambil menyesali akan gangguan pada mobilnya saat hujan dan macet. Juga merutuk pada petugas hotel yang dinilainya berdusta akan jadwal sidak demi untung semata. Serta sesal akan baiknya pada Umi yang dia bawa dalam satu kamar. Sah! Sah! Sah! Sah! Sah! Daehan menoleh pada wanita yang kian terisak-isak menangis. Antara lega sebab beres urusan dan perasaan yang hampa. Dengan pendengaran yang diisi doa oleh asisten penghulu pada pasangan pengantin baru bernama Daehan Ahmad Rasyid dengan Sazleen Shanumi yang berisi harapan-harapan kebaikan. Daehan termenung-menung kosong tanpa merasa perlu mengaminkan doa-doa baik pernikahan. Baginya, ingin kesialan dan acara penuh paksaan ini segera diakhiri! 🍓Dalam penelurusan singkat melalui Kartu Tanda Penduduk yang terhubung pada Kartu Keluarga, Umi dan Daehan adalah lajang yang bukan saudara mara dan kerabat. Memiliki alamat serta tempat tinggal berjauhan. Itu adalah faktor utama mereka wajib disatukan. Tanda tangan di berkas sah nikah yang bukan buku nikah baru saja selesai oleh keduanya saat satu panggilan masuk untuk Daehan. Maka lelaki itu pergi meninggalkan ruangan dengan dalih bertelepon. Umi menyusul setelah meladeni beberapa pertanyaan petugas sendirian. Di sana Umi bicara jujur segalanya dan Daehan sama sekali tidak mengetahui. Juga masih ada dua pasang lagi yang bernasib sama untuk dinikahkan dengan mudah. Tentu saja sangat mudah, hanya bermodal KTP, janji mahar, ijab kabul dan dua mempelai itu sendiri. Tanpa bersusah payah dengan syarat ribet pernikahan biasanya pun mereka sudah sah. Bahkan beberapa kali, para petugas mengingatkan pada para pengantin hasil sidak untuk lebih baik bersyukur. Umi dan Daehan sendiri sangat
Tidak sia-sia Umi masak soto sedikit banyak yang tidak habis untuk satu orang. Sebab hujan masih turun deras, kuliner langganan Daehan sudah tutup lebih awal. Tunangan cantiknya kelaparan, masakan perdana Umi pun jadi. Tidak menyangka masakan janda burik itu enak sekali. Bahkan Intana sangat suka. Lupa dengan hinaan jorok yang tadi dilontarkan. Jika tidak ingat bahwa yang masak pun sedang lapar, mungkin Daehan sanggup menghabiskan. “Niat masak buat dinikmati sendiri, malah dapat sisanya doang, dikit lagi,” ucap Shanumi menggerutu sambil berjibaku dengan barang pecah belah di wastafel.“Nggak sopan banget, gini amat nasib istri sah.” Shanumi mengeluh kesal. Tetapi juga menyimpan tawa. Merasa konyol dengan ucapan sendiri yang menyebut diri istri sah.“Udah masak buat orang … eh, panci-pancinya pun kena nyuci sendiri. Sabar ya, Shan … Ini demi dapat uang tambahan lebih cepat!” ucap Shanumi yang kali ini agak keras. Bersaing dengan suara air kran dan panci yang beradu.“Um, kamu ini ngg
Shanumi telah meluncur ke dalam kamar yang sempat diwariskan sopir, Agung padanya. Mengemasi barang yang tidak banyak untuk rapi kembali ke dalam tas. Perasaannya kini tidak terjabar. Antara lega dan puas, sebab dengan gaji penuh dirinya terbebas dari tugas. Juga bersit terhina sebab Daehan sama sekali tidak menganggapnya. Bukan sebagai istri, tetapi telah menolaknya sebagai pekerja. Meski burik, mungkin Daehan masih bisa menerima Shanumi terus bekerja jika tidak terhasut oleh ucapan Intana. Entah sedalam apa cintanya pada si tunangan hingga setunduk itu.Yang jelas, Intana adalah wanita bermulut madu yang beracun. Berlidah belut yang licin di mata Shanumi. Terbukti bagaimana Intana meyakinkan pada petugas jika kerusakan mobil mewahnya bernilai puluhan juta untuk biaya servis. Padahal tidak seberapa. Hanya beberapa goresan yang sama sekali tidak menyebabkan bekas cacat. Garit gores itu bisa dipoles cepat dengan dibawa ke bengkel servis mobil profesional. Namun, tetap Shanumi juga y
Celana abu muda menggantung di mata kaki berpadu atasan blouse putih, membuat penampilan Shanumi terlihat segar, elegant dan cerah. Rambutnya diikat tinggi dengan wajah berpoles tipis menarik. Meski kesan bengkak masih menyisa, kecantikan raganya tidak bisa ditutupi. “Sudah minum suplemenmu, Shan?” Yena menghampiri Shanumi di kursi dapur. “Sudah, barusan. Thanks, Yen.” Shanumi yang barusan berbincang dengan pegawai dapur, mendekat dan duduk di dekat Yena. Menerima segelas lemon madu hangat dari sang karib dan meminumnya hingga tandas. “Meski wajahmu belum pulih, cantikmu mulai kembali, Shan. Semangat, ya. Jika nggak menang dan wanita itu datang minta uang, pakai aja duit kafe. Sisanya kita kejar…,” ucap Yena membujuk. Iba jika Shanumi sebenarnya tertekan dan banyak yang dipikir. “Jangan, aku nggak mau ngusik dana kafe. Takut tiba-tiba sepi dan ngaruh ke gaji mereka. Pasti ada dana dari pintu lain. Kamu jangan risau, Yen.” Shanumi berkata sambil meletak gelas kosong di meja sebela
Shanumi melambat langkah dan segera memutar lewat pintu belakang ruko. Dadanya kembali tidak aman dengan degub jantung lebih kencang. Bagaimana tidak… Daehan terlihat duduk makan dengan santai di kafenya! Meski sadar sebab dibawa Intana, rasa teruja tetap ada. Seorang pembesar hotel berbintang datang ke kafe sekecil ini. Bahkan disinyalir oleh Yena, lelaki tampan itulah pemiliknya. Yena jauh lebih lama dari Shanumi tinggal di Surabaya. Apalagi letak kafe ini cukup dekat dengan Hotel Rasyid di jalan yang sama, Jalan Pahlawan. Pasti ucapan Yena bukanlah asal dan karangan. Fakta …?!Bersit serakah, peluang dalam kesempitan dan pemerasan pada Daehan kembali berkelebat di kepala Shanumi yang memang tidak berkerudung. Bukan salahnya, tetapi sebab Intana yang arrogant dan janji lelaki itu terhadapnya. Jadi, tidak salah jika ini adalah kesempatan emas yang musti diambil. “Shan… tolongin, Shan. Lemes akunya…!” seru Yena saat sampai di lantai atas. Dia sempat melihat Shanumi datang lewat pin
Dari peserta paling ujung sebelah kiri, bergiliran membawa baki berisi semangkuk kecil masakan ke meja Daehan. Lalu berdiri di hadapan sampai pria terhormat itu puas mencicipi dan kemudian menyuruh pergi. Hingga kini tiba giliran Shanumi. “Terima kasih sudah diberi kesempatan, Pak. Semoga berkenan dan harap dipertimbangkan hasil olah tangan saya.” Shanumi mundur dan bicara setelah meletak mangkuk sotonya di hadapan Daehan. Lalu melangkah ke belakang lagi dan berdiri menunggu tanpa melirikkan mata pada Intana. Terlihat tenang, padahal dalam dada jumpalitan. Daehan seperti tersedak, tetapi tidak mampu menghentikan suapan soto yang terasa nikmat dan segar itu sampai di tetes terakhir. Sempat memandang gadis cantik di depannya dan merasa heran. Kenapa tidak tampak terkejut atau menunjuk perilaku pernah melihat Daehan sebelumnya? Tidak mungkin gadis itu lupa bahwa dirinya, owner Hotel Rasyid adalah kekasih Intana yang selalu bersikap tidak ramah padanya. Daehan menilai jika Shanumi a
Shanumi yang mendapat hantaman keras dan mengira jika dirinya akan terjengkang, ternyata tidak. Daehan telah menangkap cepat punggungnya. Harum wangi dari badan besar dan tinggi telah melenakan sesaat. Dua badan beda gender itu terlihat seperti saling peluk sebelum sama-sama menjauhkan diri tergesa. Shanumi benar-benar merasa degub kencang dan gugup. “Anda ini kenapa?” tanya Shanumi ketus tetapi salah tingkah. Lelaki itu menatapnya tenang seperti tidak terkejut. “Aku lupa membawa dompetku… tetapi kamu tiba-tiba berbalik. Jalanmu cepat nggak lihat haluan. Aku nggak sempat menghindarimu.” Daehan bicara tenang sambil bergeser mendekat ke meja dan menarik laci. “Ini kartu namaku. Daripada kamu nyesel nggak nyimpan nomorku,” ucap Daehan sambil mengulurkan selembar kartu nama. Shanumi menerima tanpa kata. Pria itu kembali berlalu meninggalkannya. Seperti tidak ada dompet yang diambil Daehan dari laci, hanya mengambil selembar kartu yang kini digenggamnya. “Memang. Dia pengertian juga…
Shanumi pergi ke kamar dan merebah lelah. Kaki sudah dia cuci pada air kran di luar sebelum masuk. Untuk shalat isya yang masih tertanggung sedang direncana agak belakangan. Yang penting baginya pasti kontan. “Padahal kelakuan Intana keterlaluan, tapi Daehan muji-mujinya padaku kelewatan. Hemmm, berwawasan dan berpendidikan konon. Tapi selingkuh…,” ucap Shanumi dengan pandang menerawang di plavon kamar.Jadi agak merasa iba pada Daehan. Pria yang terlihat sempurna dengan kesuksesan dunia, ternyata tega dikhianati wanita yang dicinta. Apa kecurangan Intana sama sekali tidak terendus? Begitu sibukkah Daehan, hingga Intana merasa kesepian? Tapi mereka belum menikah, jika sudah bersedia harusnya memahami. Padahal juga sering terlihat berduaan, masih saja merasa kurang perhatian. Harusnya Intana paham jika Daehan sangat sibuk. Ah, itu alasan Intana saja. Bukankah Erick sebagai seorang pilot pasti jauh lebih sibuk juga? Kesibukan dan keminiman waktu yang dimiliki Ericklah satu penyebab
Bukan taksi yang membawa Khaisan dan Sazlina dari stasiun menuju rumah Oma di Osaka. Tetapi Daehan sendiri dengan mobil sang nenek yang hanya sentiasa terparkir di garasi sebagai pajangan selama ini, amat sangat jarang digunakan. Apalagi setelah suami tiada beberapa bulan lalu. Sopirnya pun sudah dipensiunkan. Hanya kadang akan mencari sopir sewa atau menaiki taksi saja untuk bepergian. Itu pun sangat jarang, mengingat kondisi Oma yang menghalangi untuk membuat perjalanan jauh. “Kamu yakin, Oma baik-baik saja di rumah?” tanya Khaisan dengan nada gusar. Menatap Daehan yang mengemudi di sebelahnya. Sazlina dibiarkannya duduk sendiri di belakang. “Soal itu… dia barusan kritis, mana bisa yakin. Shanumi dan perawat sedang jaga di rumah. Selama mereka gak ngasih kabar buruk, anggap saja Oma lagi aman. Lagipula sambil beliin dia resep Kampo.” Daehan menjelaskan sambil fokus mengemudi. Terlihat santai yang jauh dari panik. Khaisan terdiam, merasa sedikit lega akan kondisi lumayan omanya.
Hana dan Daishin telah selesai berbicara. Meski tidak lama, lumayan menyampaikan segala masalah mengganjal pada keduanya. Hana berniat meninggalkan ruang pantry. “Matikan airnya, Shin.” Hana menegur Daishin yang membiarkan air dari kran di wastafel terus mengalir. Lelaki itu terus menadah tangan di bawahnya dengan bungkam dan mematung. Mungkin omongan Hana barusan cukup mengena dalam di perasannya kali ini. “Mama akan turun. Kamu cepat istirahat. Jika kondisimu bagus, kita juga nyusul ke Osaka besok saja. Semoga kondisi ibu mertua lekas membaik. Hmm… apa kereta tercepat masih ada malam-malam begini?” Hana berbicara lagi setelah Daishin mematikan kran hingga airnya mati total. Nada suara yang biasa dan seolah tidak ada hal mengganjal apa-apa lagi di hatinya. Hana teringat pada Sazlina dan Khaisan yang seharusnya sudah siap meluncur ke Osaka. Jika siang akan mudah dengan menaiki kereta cepat Nozomi Shinsaken. Namun, jika malam begini, adakah? Sedang jam operasi maksimal untuk stasi
Pantry yang tidak luas itu terasa lebih lapang sebab lengang. Meski auranya panas dan penuh bara api. Sazlina hingga menahan napas dan tegang. Menduga jika Khaisan sedang sangat marah. Bersyukur dirinya tidak mengeluh berlebihan. Bukan dirinya yang dipikirkan, tetapi Daishin yang akan mendapat murka dari suaminya. “Ulangi tadi apa yang kamu bilang pada istriku, Daishin…!” Khaisan memecah hening dari kebungkaman mereka yang lama. Suaranya tajam dan keras. Cukup menggema di sekitaran ruang pantry dan penjuru lantai dua. Daishin mungkin sudah menduga, tetapi gerakan tangan dari mengaduk sup di mangkuk terjeda. Seolah sedang berpikir apa yang akan dia ucapkan. Lalu memutar kursi dan berhadapan pandang langsung dengan Khaisan. “Maaf, Mas. Mungkin aku lancang kali ini. Tetapi aku sudah tidak bisa menahan diri. Jujur, aku pernah suka dengan Sazlina saat di agensi. Tetapi dia terus menolak dan tiba-tiba pulang ke Indonesia. Sekarang tiba-tiba bertemu dan tiap hari melihat, perasaan itu da
Ada satu handuk baju di dalam kamar mandi. Mungkin Khaisan sengaja menyisakan untuk di pakai oleh Sazlina. Lelaki itu lebih memilih selembar kecil handuk untuk dililitkan di tubuh saat sudah keluar dari kamar mandi. “Untuk apa baju basah itu dibawa-bawa?” tegur Khaisan. Merasa tidak suka melihat Sazlina menenteng baju kotornya yang basah. “Kubawa ke kamarku, akan kucuci dan kujemur.” Sazlina sambil salah tingkah, bingung dengan tetesan air dari baju basah di tangannya ke lantai. “Letak kembali di dalam, biar diurus Mijhe. Lekas ganti baju, nanti kamu masuk angin,” ucap Khaisan pelan. Paham jika Sazlina merasa segan. Sazlina yang galau tidak membantah, segera masuk kembali ke kamar mandi dan meletak seluruh baju basahnya di sudut. Berpikir Mijhe akan maklum sebab sudah tahu tentang pernikahannya. Kemudian keluar lagi dengan perasaan berdebar. “Aku akan ke kamarku, tukar baju.” Kata Sazlina sambil tergesa menuju pintu. “Ada banyak baju di almari!” seru Khaisan bermaksud menahan.
Setelah meladeni wawancara heboh dari mamanya, juga beberapa pertanyaan dari papanya, serta dilepas oleh pandangan masam dari Clara, Khaisan membawa Sazlina naik tangga ke lantai dua. "Mas Daishin ke mana...," gumam Sazlina lirih sambil mengikuti Khaisan. "Dia sudah besar. Tidak usah dicari-cari." Khaisan yang mendengar pun menyahut datar. Kemudian menghentak tangan kecil yang terasa halus di genggamannya. “Aku…,” ucap Sazlina tercekat saat Khaisan menyeretnya menepi ke arah kamar miliknya. Perasaannya berdebar dengan apa yang bakal terjadi kemudian. Pikiran nakal di kepalanya seketika menggoda. “Kenapa, keberatan? Siapa yang ngotot ingin dibawa ke kamarku?” tanya Khaisan sambil membuka pintu kamar yang tidak dikuncinya. “Aku … tidak. Tapi, kamu tidak akan berbuat hal jahat, kan?” tanya Sazlina asal. Hatinya semakin berdebar. “Bagaimana jika iya?” tanya Khaisan. Senyum samarnya terlihat dalam remang. Lampu lorong balkon selalu dimatikan Mijhe selepas waktu isya. Hanya sorot bula
Sazlina yang sangat terkejut dan takut, merasa itu semua ternyata sangatlah sia-sia. Khaisan hanya menariknya menuju mobil yang telah dibawa driver mendekat. Bukan ke mana-mana atau menganiaya seperti sangkanya. “Kamu pikir aku psikopat?” tanya Khaisan saat mereka sudah duduk di dalam dan Sazlina berkata akan luah rasa leganya. “Kupikir kamu sangat marah…,” sahut Sazlina yang terdengar engah pada suaranya. Sisa paniknya barusan mesih melekat. “Aku tidak berbuat melampaui batas, bukan bermakna aku tidak marah. Jangan merasa senang dulu.” Khaisan menegur dengan ekspresi tidak ramah. Kendaraan berjalan pelan meninggalkan area Kingnyo di Roppongi. “Apapun perasaanmu, aku sudah minta maaf. Aku merasa senang, kamu seperti sangat peduli padaku. Tiba-tiba aku menyesal kenapa tidak menikah sedari dulu. Ada seseorang yang peduli padaku di tempat jauh, rasanya jadi haru.” Sazlina berbicara jujur dengan yang sedang dirasa. “Kamu ingin menikah dari dulu? Siapa yang kamu harap menikahimu?” tan
Khaisan membanting pintu hingga menghempas dinding dan berbunyi keras. Namun pintu yang terpental itu kembali menutup sendiri dengan perlahan. Seolah sangat rela akan perlakuan sang tuan padanya.Pria penguasa kamar menyambar dua power bank sekaligus dari laci. Tidak ingin kejadian habis baterai terulang kembali di saat yang tidak diinginkan. Lalu dibawanya ke sofa dan menghempas diri kasar di sana. Sambil menyalakan ponsel, matanya menyapu seluruh sudut kamar dengan nuansa tampak baru. Sangat segar, rapi dan bersih lebih dari sebelumnya. Sayang sekali perempuan yang ingin dibawanya dengan tidak sabar malam ini telah membuatnya marah dan sangat kecewa. Beberapa pesan yang di antaranya dari Sazlina telah dibaca segera. Hanya memberi tahu tentang perginya menemani pelancong dari Thailand dan juga ada kalimat minta maaf. “Di mana posisi mereka terakhir?” Khaisan sedang menghubungi driver yang bertugas membawa pelancong dan Sazlina. Lelaki itu sudah memberi laporan akan tugasnya sejak
Sazlina tidak jadi menutup pintu saat namanya dipanggil. Ternyata Daishin yang sudah sampai di depan kamar. “Ada apa, Mas?” Sazlina membuka pintu lebih lebar. Mereka baru selesai sarapan pagi. “Orang dari Thailand mempercepat penerbangan, mereka sudah check-in pukul enam pagi tadi, emailnya baru masuk. Tengah hari kita harus sudah standby di Bandara Narita. Kamu sudah siap?” tanya Daishin serius. “Benarkah, syukur tidak jadi malam…,” sambut Sazlina setengah mengeluh. Ekspresi lega teebaca jelas di wajah eloknya. “Untuk sementara mereka hingga sore saja di Tokyo. Mereka ingin ditemani olehmu, maksudku, guide dari Indonesia dengan bahasa mereka hanya saat di Ueno, Saz. Selebihnya kita lepas.” Daishin menjelaskan buru-buru. Ada galau di wajah Sazlina. Khawatir jika gadis itu tiba-tiba membatalkan. Tidak ada ikatan kerja pada Sazlina kali ini. Sedang agensi dengan pengunjung dari Thailand, lebih dari sekadar perjanjian tulis. Akan tercoreng nama agensi andai Sazlina berubah
Sazlina akan keluar kamar saat Shanumi datang menjemput. Adiknya terlihat rapi dan cantik dengan gamis modis serta hijab yang menutup di kepala. Mengajak makan pagi ber sama-sama di ruang makan lantai satu. “Mbak, matamu kayak bengkak…,” ucap Shanumi sambil memandang mata kakaknya. Mereka di depan pintu dengan Sazlina yang menutup. “Iya, Nok.” Sazlina mengakui. Bersiap jujur andai Shanumi bertanya detail. “Hari ke dua dan ke tiga haidmu, ya?” tanya Shanumi menebak. Sazlina menghembuskan napas panjang. “Kamu dah hapal ya, Nok.” Sazlina sambil tersenyum. Niat ingin cerita semua pada adiknya pun urung. “Mana lupa, wajah suka bengap saat bangun tidur waktu haid. Malah yang kita sama itu, suka demam pas menjelang datang harinya, Mbak.” Shanumi tiba-tiba meraba dahi Sazlina. “Kali ini aku sehat aja sih, Nok.” Sazlina sambil tersenyum.“Alhamdulillah, Mbak. Nggak demam, ya.” Shanumi menurunkan tangannya dari dahi Sazlina yang kemudian mengangguk. “Kamu mau keluar, Nok?” tanya Sazlina