Shanumi telah meluncur ke dalam kamar yang sempat diwariskan sopir, Agung padanya. Mengemasi barang yang tidak banyak untuk rapi kembali ke dalam tas.
Perasaannya kini tidak terjabar. Antara lega dan puas, sebab dengan gaji penuh dirinya terbebas dari tugas. Juga bersit terhina sebab Daehan sama sekali tidak menganggapnya. Bukan sebagai istri, tetapi telah menolaknya sebagai pekerja. Meski burik, mungkin Daehan masih bisa menerima Shanumi terus bekerja jika tidak terhasut oleh ucapan Intana. Entah sedalam apa cintanya pada si tunangan hingga setunduk itu. Yang jelas, Intana adalah wanita bermulut madu yang beracun. Berlidah belut yang licin di mata Shanumi. Terbukti bagaimana Intana meyakinkan pada petugas jika kerusakan mobil mewahnya bernilai puluhan juta untuk biaya servis. Padahal tidak seberapa. Hanya beberapa goresan yang sama sekali tidak menyebabkan bekas cacat. Garit gores itu bisa dipoles cepat dengan dibawa ke bengkel servis mobil profesional. Namun, tetap Shanumi juga yang harus mengganti rugi lima puluh juta rupiah. Bukan kepada tukang servis, tetapi langsung pada Intana. Luka di jari-jari kaki Shanumi yang mengalir darah, serta beberapa bagian wajah yang memar merah saat itu, juga motor sahabatnya yang justru rusak, sama sekali tidak membuat hati Intana iba. Searogan itulah wanita cantik yang ternyata adalah tunangan Daehan. Geram sekali rasanya. “Baguslah, aku bisa segera merawat diri tanpa perlu tertekan pada jumlah ganti rugi. Aku bisa meminta uang banyak-banyak pada Daehan sebagai kompensasi.” Shanumi berbicara sendiri sambil melipat mukena dan menyimpan ke dalam tas. Yakin jika Daehan tidak akan lagi memanggil untuk urusan apa pun. Dirinya memilih tidak menutupi rambut dan kepala. Lelaki itu sudah pergi mengantar tunangannya ke bandara guna terbang ke luar negara. “Aku nggak perlu nyapu dan ngepel. Tadi udah. Sekarang aku akan pergi dari sini dan langsung ke klinik saja. Tubuhku demam. Ini pasti sebab memar di wajahku yang mulai meradang.” Shanumi merasa jika wajahnya mulai kaku, semakin bengkak dan ngilu. Sadar jika upaya perawatan khusus tidak bisa ditunda lagi. Bersyukur juga dirinya dipecat dan diusir. Ah, memang selalu ada jalan terbaik dan paling tepat dariNya! “Yen, jemput aku di lobi apartemen Sunset Cluster. Sekarang …,” ucap Shanumi sambil berjalan cepat. Tidak membawa apa-apa. Kecuali tas selempang kesukaan yang tadi diselip di tas besar. Semua baju dia biarkan di kamar dalam apartemen sang juragan. Toh baju-baju itu pinjaman dari Bi Rum dan sebagaian miliknya yang modelan lama. Dia kutip demi niat berpenampilan tidak menarik saat bekerja sebagai art pada Daehan. Kini dirinya tidak perlu lagi sebab semua berjalan berantakan. “Shan, kamu megang kunci?” tanya Yena sambil berkerut dahi memandang tangan Shanumi. “Iyah, gak diminta. Ngapain dibalikin, kan?” sahut Shanumi tanpa senyum. Wajahnya sakit. Karibnya sudah tiba di lobi sangat cepat. Bahkan belum sempat ditunggu. Membuatnya lupa menitip kunci pada petugas jaga apartemen di lobi. “Bosmu gak marah?” tanya Yena tidak puas. “Kuharap tidak, Yen. Tapi masa bodo. Kita langsung ke klinik terbaik paling dekat sini yuk, Yen. Mukaku sakit.” Mulut Shanumi bahkan mulai kesakitan saat berbicara. “Iya, Shan. Tadi aku dah bilangin sopir. Ah, sesakit itu…? Maaf, Shan. Gara-gara aku….” Yena tidak selesai bicara. Shanumi sudah menutup mulutnya dengan jari. Mata Yena berair merasa iba dan sangat bersalah. Menyesal yang sangat. Jika tidak sebab motor yang dititipkannya, kecelakaan tidak terjadi pada kawan karibnya. “Maaf, ya, Shan. Aku niat sumbangin meski nggak banyak, tapi kamunya nggak mau.” Yena tidak tahan tutup mulut. “Motormu jadi sampah, itu udah cukup buat rugimu.” Shanumi bicara susah payah. Mengode Yena untuk tidak bicara lagi. Makin ke sini mulut dan wajahnya kian kaku. Selip rasa waswas dan resah jika ada apa-apa dengan dirinya. Malam itu, merasa diri tidak luka serius, hanya membeli obat nyeri saja di apotik. Tanda tangan ganti rugi puluhan juta pada Intana membuat abai pada diri sendiri. Terlebih mendapat kabar jika kebetulan atasan Bi Rum mencari pengganti hari itu juga. Gaji lima belas juta sebulan hanya dengan menjadi art, membuatnya kalap dan lupa daratan. Tidak menyangka wajahnya membengkak kemudian. Hingga disangka suntik demi cantik oleh Daehan. Namun, Shanumi mengiyakan tuduhan itu tanpa bantahan. Kini semua tidak berjalan. Rencana kerja pada Daehan kurang lebih selama tiga bulan selama Bi Rum bercuti sakit, ternyata berantakan. “Shan, kafe kamu seharian ini banjir pengunjung. Semoga esok-esok kian rame. Kurasa nggak perlu ngoyo cari tambahan di tempat lain. Aku kan bilang, aku nggak usah digaji hingga lunas ganti rugi …,” ucap Yena yang tidak tahan lagi terus diam. Sambil menatap wajah Shanumi yang bengkak dan menggelap. Gadis itu hanya mengangguk dan memejamkan mata rapat. Air mata Yena kembali meleleh. Ingat secantik apa Shanumi tanpa bengkak memar di wajah mulus alaminya. Yena dan Shanumi bersahabat sejak lama dan sama-sama berasal dari kota dingin Malang. Mengambil kuliah yang sama juga di Universitas Negeri Malang. Berasal dari keluarga bukan miskin tetapi juga bukan kaya. Mereka memiliki kemauan dan kecerdasan hingga sebagian biaya pendidikan terbantu oleh beasiswa berprestasi. Namun, beda lagi masa depan. Yena sudah menikah dengan pacarnya dua tahun belakangan. Suami yang masih sebagai dosen magang, membuat ekonomi rumah tangganya belum stabil dan aman. Shanumi dengan bekal pecah asuransi almarhum sang ayah, menyusul Yena ke Kota Surabaya dan menyewa satu ruko. Mendirikan kafe dengan bekal ketrampilan memasak dari Ibu yang memiliki usaha kateringan. Pucuk dicinta ulam tiba, Yena pun bekerja gembira di kafe bersamanya satu tahun belakangan. Sepuluh hari kemudian. Seorang gadis cantik mengenakan celemek di dapur sebuah kafe terlihat gusar. Acapkali menatap layar ponsel di tangannya. “Yen, iku akan mengikuti kompetisi masak ini. Jagain kafe dulu, ya. Lusa lombanya ... tapi besok aku pergi daftar.” Gadis bercelemek yang tak lain adalah Shanumi mengulur ponsel pada Yena, sang karib. “Asal dirimu gembira aja. Suka-sukamulah, Shan. Semoga menang,” ucap Yena mengembalikan ponsel yang baru disimaknya pada Shanumi. Perempuan yang akan pergi ke depan, sebab pengunjung amat padat, tiba-tiba berbalik dengan mata melebar. “Shan, bukankah Sir Daehan adalah owner Resto dan Hotel bintang lima di jalan Pahlawan?” tanya Yena. Menatap Shanumi dengan serius. “Aku tak paham tentang itu. Tapi yang bikin kompetisi memang atas nama itu,” jelas Shanumi acuh tak acuh. Menutup rasa kejut dan degup kencang di dadanya. Benarkah yang di bilang Yena? Setajir itukah Daehan? “Doain aku dapet hoki, Yen. Kalo menang, hadiahnya kelewat lumayan. Tiga kosong jeti …,” ujar Shanumi dengan raut mengharap. Tapi sadar juga dengan para saingan yang pasti bukanlah kaleng-kalenģ. “Iya, dong, Shan! Biar cepetan lunas tanggungan kita. Terus ... emmh, Sir Daehan itu tampan bukan main, Shan!" Yena tersenyum lebar, lalu menengadah tangan sejenak dan meraupkan tangan ke wajah. Shanumi pun meniru mendoa dengan cara sama persis. Namun, hanya demi mendapat hoki kemenangan. Ingat jika Intana akan kembali ke Indonesia tidak lama lagi. Pasti dirinya akan gencar dikejar agar segera melunasi ganti rugi! 🍓 Koment dan Sub agar penulis semangat, yaa. Terima kasihCelana abu muda menggantung di mata kaki berpadu atasan blouse putih, membuat penampilan Shanumi terlihat segar, elegant dan cerah. Rambutnya diikat tinggi dengan wajah berpoles tipis menarik. Meski kesan bengkak masih menyisa, kecantikan raganya tidak bisa ditutupi. “Sudah minum suplemenmu, Shan?” Yena menghampiri Shanumi di kursi dapur. “Sudah, barusan. Thanks, Yen.” Shanumi yang barusan berbincang dengan pegawai dapur, mendekat dan duduk di dekat Yena. Menerima segelas lemon madu hangat dari sang karib dan meminumnya hingga tandas. “Meski wajahmu belum pulih, cantikmu mulai kembali, Shan. Semangat, ya. Jika nggak menang dan wanita itu datang minta uang, pakai aja duit kafe. Sisanya kita kejar…,” ucap Yena membujuk. Iba jika Shanumi sebenarnya tertekan dan banyak yang dipikir. “Jangan, aku nggak mau ngusik dana kafe. Takut tiba-tiba sepi dan ngaruh ke gaji mereka. Pasti ada dana dari pintu lain. Kamu jangan risau, Yen.” Shanumi berkata sambil meletak gelas kosong di meja sebela
Shanumi melambat langkah dan segera memutar lewat pintu belakang ruko. Dadanya kembali tidak aman dengan degub jantung lebih kencang. Bagaimana tidak… Daehan terlihat duduk makan dengan santai di kafenya! Meski sadar sebab dibawa Intana, rasa teruja tetap ada. Seorang pembesar hotel berbintang datang ke kafe sekecil ini. Bahkan disinyalir oleh Yena, lelaki tampan itulah pemiliknya. Yena jauh lebih lama dari Shanumi tinggal di Surabaya. Apalagi letak kafe ini cukup dekat dengan Hotel Rasyid di jalan yang sama, Jalan Pahlawan. Pasti ucapan Yena bukanlah asal dan karangan. Fakta …?!Bersit serakah, peluang dalam kesempitan dan pemerasan pada Daehan kembali berkelebat di kepala Shanumi yang memang tidak berkerudung. Bukan salahnya, tetapi sebab Intana yang arrogant dan janji lelaki itu terhadapnya. Jadi, tidak salah jika ini adalah kesempatan emas yang musti diambil. “Shan… tolongin, Shan. Lemes akunya…!” seru Yena saat sampai di lantai atas. Dia sempat melihat Shanumi datang lewat pin
Dari peserta paling ujung sebelah kiri, bergiliran membawa baki berisi semangkuk kecil masakan ke meja Daehan. Lalu berdiri di hadapan sampai pria terhormat itu puas mencicipi dan kemudian menyuruh pergi. Hingga kini tiba giliran Shanumi. “Terima kasih sudah diberi kesempatan, Pak. Semoga berkenan dan harap dipertimbangkan hasil olah tangan saya.” Shanumi mundur dan bicara setelah meletak mangkuk sotonya di hadapan Daehan. Lalu melangkah ke belakang lagi dan berdiri menunggu tanpa melirikkan mata pada Intana. Terlihat tenang, padahal dalam dada jumpalitan. Daehan seperti tersedak, tetapi tidak mampu menghentikan suapan soto yang terasa nikmat dan segar itu sampai di tetes terakhir. Sempat memandang gadis cantik di depannya dan merasa heran. Kenapa tidak tampak terkejut atau menunjuk perilaku pernah melihat Daehan sebelumnya? Tidak mungkin gadis itu lupa bahwa dirinya, owner Hotel Rasyid adalah kekasih Intana yang selalu bersikap tidak ramah padanya. Daehan menilai jika Shanumi a
Shanumi yang mendapat hantaman keras dan mengira jika dirinya akan terjengkang, ternyata tidak. Daehan telah menangkap cepat punggungnya. Harum wangi dari badan besar dan tinggi telah melenakan sesaat. Dua badan beda gender itu terlihat seperti saling peluk sebelum sama-sama menjauhkan diri tergesa. Shanumi benar-benar merasa degub kencang dan gugup. “Anda ini kenapa?” tanya Shanumi ketus tetapi salah tingkah. Lelaki itu menatapnya tenang seperti tidak terkejut. “Aku lupa membawa dompetku… tetapi kamu tiba-tiba berbalik. Jalanmu cepat nggak lihat haluan. Aku nggak sempat menghindarimu.” Daehan bicara tenang sambil bergeser mendekat ke meja dan menarik laci. “Ini kartu namaku. Daripada kamu nyesel nggak nyimpan nomorku,” ucap Daehan sambil mengulurkan selembar kartu nama. Shanumi menerima tanpa kata. Pria itu kembali berlalu meninggalkannya. Seperti tidak ada dompet yang diambil Daehan dari laci, hanya mengambil selembar kartu yang kini digenggamnya. “Memang. Dia pengertian juga…
Shanumi pergi ke kamar dan merebah lelah. Kaki sudah dia cuci pada air kran di luar sebelum masuk. Untuk shalat isya yang masih tertanggung sedang direncana agak belakangan. Yang penting baginya pasti kontan. “Padahal kelakuan Intana keterlaluan, tapi Daehan muji-mujinya padaku kelewatan. Hemmm, berwawasan dan berpendidikan konon. Tapi selingkuh…,” ucap Shanumi dengan pandang menerawang di plavon kamar.Jadi agak merasa iba pada Daehan. Pria yang terlihat sempurna dengan kesuksesan dunia, ternyata tega dikhianati wanita yang dicinta. Apa kecurangan Intana sama sekali tidak terendus? Begitu sibukkah Daehan, hingga Intana merasa kesepian? Tapi mereka belum menikah, jika sudah bersedia harusnya memahami. Padahal juga sering terlihat berduaan, masih saja merasa kurang perhatian. Harusnya Intana paham jika Daehan sangat sibuk. Ah, itu alasan Intana saja. Bukankah Erick sebagai seorang pilot pasti jauh lebih sibuk juga? Kesibukan dan keminiman waktu yang dimiliki Ericklah satu penyebab
Mata tajam bak elang itu tengah menatap dalam di wajah Shanumi. “Anda… sudah tahu bahwa saya adalah …,” ucap Shanumi tercekat. Meski sudah menduga, tetapi saat Daehan bicara menyindir, rasanya terkejut. “Shazleen Shanumi, kamu pikir aku sudah pikun? Bahkan namamu pun sudah membuatku seperti trauma.” Daehan berdiri dan merendahkan pandangannya pada Shanumi. “Jika saya bikin Anda trauma, tapi kenapa justru diminta di sini? Kenapa tidak didish saja dari sebelum lomba kemarin? Malah juara, meski sudah dicurangi…,” ucap Shanumi tahu diri. Tidak lupa jika Daehan memang tidak ingin melihat sosoknya lagi. “Aku tidak sebrutal itu. Bukan salahmu. Lagipula kamu berhak dengan pendidikanmu yang cukup tinggi. Sayang jika seorang sarjana hanya jadi kasir di kafe kecil. Kasihan ortumu.” Daehan bicara tenang. Tidak sinis dan tidak terlihat kesal. “Lah, yang penting kan halal, bukan jual diri. Sekarang, saya malah jadi pelayan orang. Demi uang…,” ucap Shanumi iseng, bukan tak paham maksud Daehan.
Beberapa hari ini Shanumi ingin menghubungi sang ibu. Namun, selalu gagal sambung yang membuatnya resah dan galau. Terlebih, ada hal penting yang harus dia sampaikan secepat mungkin. “Assalamu'alaikum, Buk!” seru Shanumi lega saat dial-nya tersambung kali ini, di hari yang ke empat. “Aku baik-baik saja. Ibuk bagaimana? Kenapa jaringan mati terus? Habis baterai atau di luar? Kenapa nggak isi data?!” tanya Shanumi bertubi pada sang ibu di seberang di Kota Batu. Ternyata ada masalah pada sambungan wifi rumah sebab angin kencang yang mengguncang kawasan Batu dan Malang beberapa hari belakangan. Sedang ibunya tidak ingat membeli kuota paket data. Shanumi pun lalai tidak mengisikan. Pulsa biasa pun, mereka sedang sama-sama tidak punya. Hanya kuota data yang Shanumi ada. “Buk, ada hal penting… aku nggak jadi ingin ketemu Mas Erick. Jangan jadi bilang di mana alamatku, ya. Bilang terus kalo aku belum ngasih alamatku. Ya, Buk…,” ucap Shanumi resah. Gadis itu berjalan mondar mandir di ruang
Nama Erick mana yang disebut Daehan dalam perbincangan? Benarkan pilot tampan yang pernah dekat dengannya sekaligus selingkuhan Intana? Lalu apa urusan dengan Daehan yang membuat mereka berhubungan? Bisniskah? Namun, fakta jika nama Erick sangat melimpah di seluruh Indonesia Raya, membuat perasaan Shanumi sedikit lebih tenang. “Tumben gak make up, Shan,” tegur temannya yang masuk pukul tujuh saat papasan di pintu masuk dapur.“Iya, buru-buru. Tadi aku datang pukul enam lebih. Suruh ikut ke Batu sama Pak Bos.” Shanumi menyambar panci dan mengisi air, kemudian merebusnya dengan api level membara. “Tapi kamu seger aja nggak pake bedak. Coba aku, bukan muka bantal aja, sekalian muka kasur, guling dan selimut nya…,” keluh Dian, nama teman Shanumi sambil menyimpan tas dalam almari. “Ish, lebay amat. Itu sama aja, perasaan aku pun muka kartun. Nggak enak, nggak nyaman, Yan …!” Shanumi mengaduk kopi yang sudah diseduh sambil tertawa pada Dian yang mendekat. “Eh, dengar-dengar Pak Bos mau
Mereka yang di sofa terlihat tegang. Apalagi Osara dan Daishin sama-sama tidak bersuara. Sepertinya sangat keberatan jika Clara dibawa Mama Hana ke Surabaya. Padahal ingin damai menyingkir jauh dengan pulang ke negara seberang. Sedang Daishin pun ingin merintis usaha baru di kota yang sama. Sangat tidak ingin melihat juga mendengar nama Clara di kehidupan masa depan. “Baiklah, jadikan ini saksi. Anggap lah kita semua setuju dengan keinginan Mama Hana yang akan bertanggung jawab dan membawa Clara ke Surabaya. Kita kasih kesempatan satu kali. Aku akan ikut memantau. Jika dia sekali lagi berbuat jahat. Aku yang akan menyerahkan dia ke polisi. Bagaimana, apa semua setuju? Osara juga Daishin, bagaimana? Mengingat kondisi Mama Hana seperti itu…,” ucap Erick tegas dan mendesak.. “Merasa tidak sabar dengan masalah yang tanpa ujung. Meski ini memang tidak adil bagi Osara, tetapi demi memeluk sekeluarga, kuharap … terutama Osara dan Daishin, kalian semua bisa rela. Jangan khawatir, aku akan i
Mereka bertiga memasuki rumah megah bercat putih bersih bak kastil modern dengan langkah cepat. Mobil sewa baru saja berlalu setelah mendapatkan upah jasa dari Erick yang membuat wajah driver tersenyum sangat cerah. Daishin melangkah panjang memasuki pintu rumah dan melewati taman menuju ruang utama. Telah duduk banyak orang yang menyebar di beberapa set sofa ruang tamu. Sekilas melihat SazLina duduk bersebelahan dengan Khaisan. Papa Samuel duduk berdampinban dengan Daehan. Di lain sofa, ada Shanumi yang duduk sendirian sambil melihat ponselnya. Satu lagi perempuan yang sepertinya seorang perawat. Memakai baju putih khas seragam divisinya. Mereka langsung berdiri serentak dan menyongsong kedatangan Osara, Daishin dan Erick. “Assalamu'alaikum. Bagaimana keadaan Mama, Pa?” Daishin tampak benar-benar panik meski yang dia tanyakan hanyalah berstatus mama asuh. “Wa'alaikumsalam!”“Wa'alaikumsalam!”“Wa'alaikumsalam!”“Wa'alaikumsalam!”“Wa'alaikumsalam!”Semua menjawab bersahutan dan m
Perjalanan turun dari kaki Fuji terasa jauh lebih cepat daripada kala berangkat. Padahal juga terasa singkat saat menaiki mobil Rashid bersama dua algojonya. Bedanya saat itu terasa singkat sebab rasa waswas dan rasa takut yang sangat. Kali ini terasa cepat sebab sangat menyenangkan dengan perasaan yang nyaman. Bersama para lelaki baik terutama suami yang duduk di sebelahnya. Mentari pagi semakin memperjelas pemandangan memukau di sepanjang sisi jalan. Dari padang rumput yang menghampar indah dengan warna hijau terang yang tenang. Menyambung bangunan kuil-kuil megah yang terlihat amat rumit dan indah. Serta bangunan kokoh Pagoda yang menakjubkan dan unik. Kini bergeser pada hutan lebat serta pepohonan raksasa di sepanjang tepian jalan. Serasa sedang berasa di alam dunia lain. Kemudian disambut beberapa genangan air super luas yang tak lain adalah danau-danau. Luar biasa mempesona dengan memantulkan bayangan Gunung Fuji. Mendadak Osara sangat ingin berhenti. Andai singgah seben
Pengatur suhu telah bekerja sangat baik dalam ruangan. Meski hawa di luaran lereng Fuji sangat lah membekukan, tetapi terasa dingin yang nyaman dalam kamar. Begitu pun dengan kamar yang semula di sewa oleh lelaki single dan sekarang bertukar isi oleh pasangan suami istri yang baru menikah. Mungkin adanya mereka membuat pengatur suhu bekerja lebih berat dan merasa jadi lelah. Sebentar memanas, lalu mereda, sebentar hangat yang kemudian kembali memanas. Mereka sedang tenggelam dalam percummbuan hebat saat ponsel menerbitkan alarm adzan tiba-tiba. Sesaat mereka abai tetapi sama-sama mematung kemudian. “Adzan, Shin….” Osara berkata sambil terengah. Wajahnya sudah memerah karena alir di darahnya berubah kencang sebab hasrat. “Hanya alarm…,” ucap Daishin berkilah. Tetapi juga mematung tidak lagi berulah. Wajahnya pun tidak kalah merah dari Osara. “Kalo hanya alarm, dimatikan saja, kan…,” ucap Osara memancing dengan napas yang masih terasa berat. Daishin menatapnya penuh bimbang.
Daishin sedikit menjauh saat merasa wanita yang dipeluk sudah terengah dan susah bernapas. Diri sedang merasa bersalah sebab jawabannya mungkin akan membuat sang istri kecewa. “Bagaimana, Shin? Apa Clara sudah dibawa ke polisi untuk proses penyelidikan. Sudah jelas kan, bahwa di CCTV memang mereka pelakunya?” Osara mengusik lagi sebab merasa tidak puas dengan kebungkaman suaminya. “Clara sudah dibawa ke rumah Mas Khaisan. Mama Hana dan Papa Samuel sedang menahannya. Pagi-pagi kita turun dan kembali ke Tokyo, mereka menunggu kita, terutama kamu ... untuk korban dan saksi menyidang Clara. Entah nanti keputusannya bagaimana.”Daishin menjelaskan dengan berat. Merasa bersalah pada Osara yang seharusnya Clara diserahkan saja kepada Polisi. Tetapi bagaimana, Mama Hana keberatan dan meminta ditahan sementara dalam rumah. Daishin pun merasa tidak kuat hati melawan keinginan mamanya. . Osara terdiam. Jika keputusan ditangannya dan kemungkinan berhadapan dengan Mama Hana yang bisa jadi cende
Osara terbangun oleh alarm yang berbunyi nyaring di atas kepalanya. Sekilas sadar jika dirinya masih berada di kamar yang sama. Namun, ini siapa?! Erick-kah?! Terkejut sekali Osara! Lelaki yang sedang merapat di belakangnya tidak terlihat oleh selimut tebal yang menutupi hingga di kepala. Hanya paham jika badannya yang besar dan berat dengan bulu yang terasa di tangan juga di kaki sedang menempel memeluknya. Osara berdebar keras menahan sikap agar tidak berlebihan bergerak. Takut mendapat respon tidak baik dari lelaki asing itu jika terbangun. Namun…. Lelaki itu terkesiap bangun sebab bunyi alarm yang lambat direspon sendiri olehnya. Dia mengambil ponsel dan mematikan alarm. Lalu mengembalikan posisi dengan setengah melempar ponselnya itu ke tempat semula. Kemudin…. “Shin…” sebut Osara setengah lega dan setengah terkejut. Tidak menyangka Daishin sudah di sampingnya dan ini seperti sebuah mimpi! “Ugh, Osara … kamu sudah bangun?” Respon Daishin sambil menggeliat. Lalu menarik O
Erick merasa heran dengan pemikiran Osara. Sudah jelas dia katakan jika Daishin dalam perjalanan menuju ke titik mereka berada. Kenapa perempuan itu tidak mau menunggu? “Aku ingin keluar dan naik taksi. Kurasa Rashid masih tidur pulas dan para algojonya juga tidak mencari. Aku akan turun ke Tokyo ssekarang ini. Permisi, Pak Erick.” Osara berbicara tegas tetapi bukan keras. Hatinya berdebar, rasa waswas dan takut kembali hadir. Khawatir jika lelaki dingin pemilik kamar menahannya dan ternyata memiliki maksud tidak terpuji yang disembunyikan. “Kamu ini nekat atau kurang waras?” tanya Erick yang kali ini menunjukkan ekspresi kesalnya. Glek. Osara susah payah menelan ludah, sakit sekali dibilang kurang waras. Apanya yang salah? “Kenapa tidak waras? Aku memang nekat, tapi …,” ucap Osara dengan suara tercekat. “Kamu sudah selamat. Suami kamu akan datang, hanya masih ada halangan sebab musibah di jalanan bawah. Untuk apa suamimu menyusul ke sini jika kamu pergi dan melewatinya?
Lelaki gagah dan atletis yang hampir seperawakan dengan Daishin, hanya kulit Erick lebih gelap sedikit, sebab kulit suami Osara memang putih, tidak menyahut ucapannya. Terus mengeringkan rambut yang sebentar menunduk dan sebentar juga mendongak. “Aku ingin menjual perhiasanku ini padamu. Terserah berapa, asal cukup untuk bekalki pergi ke Surabaya. Lagipula, kamu sudah menolongku, beli saja berapa pun.” Osara berbicara sebab Erick tidak menanggapi. “Kudengar, akan membangun bisnis jual beli perhiasan kan? Ini semua baru dibelikan Rashid tadi malam di galeri butik itu. Di sana branded, bergaransi dan diakui. Bahkan kamu pun mendatangi sebagai referensi calon usahamu. Jika membeli perhiasanku ini, bisa jugalah jadi barang daganganmu. Hitung-hitung sebagai modal awal. Ambil saja untung yang banyak” Osara berbicara sambil tergesa melepasi dua cincin dari jarinya dan gelang emas dari lengannya. Juga mengeluarkan tiga lembar surat perhiasan mahal itu dari kantung dress selututnya. “Seper
Sempat menahan napas dengan jantung berdetak kencang, Osara melewati pintu pelan-pelan dan secepat kilat keluar kamar. Mata nanar, hati berdebar memandang sekeliling dan waswas. Lengang… di mana dua algojo siaga tersebut? Sama sekali tidak ada kelebat dan suaranya! Kesempatan emas bukan datang dua kali. Mereka tidak ada dan ke mana, tidak perlu dipeduli. Hanya rasa syukur kepadaNya yang terus menggema tanpa henti! Bergegas mengambil arah lorong menuju lift, Osara tidak lupa di mana arah datang. Meski jalan benar terbentang lebar, dadanya terus berdebar kencang yang cemas. Terlihat lift yang sedang dicarinya, Lagi-lagi lengang tanpa orang. Ah, semoga teruslah tanpa siapa pun. Dua algojo… pingsanlah kalian jauh-jauh! Ting Degh. Dua algojo telah muncul tiba-tiba dari dalam lift! Reflek Osara menepi. Kebetulan ada dinding cekung dan berongga yang ternyata tempat menyimpan tabung-tabung pemadam kebakaran. Untung dirinya tidak gemuk yang bisa menyelip dengan aman. Berharap algojo