Celana abu muda menggantung di mata kaki berpadu atasan blouse putih, membuat penampilan Shanumi terlihat segar, elegant dan cerah.
Rambutnya diikat tinggi dengan wajah berpoles tipis menarik. Meski kesan bengkak masih menyisa, kecantikan raganya tidak bisa ditutupi. “Sudah minum suplemenmu, Shan?” Yena menghampiri Shanumi di kursi dapur. “Sudah, barusan. Thanks, Yen.” Shanumi yang barusan berbincang dengan pegawai dapur, mendekat dan duduk di dekat Yena. Menerima segelas lemon madu hangat dari sang karib dan meminumnya hingga tandas. “Meski wajahmu belum pulih, cantikmu mulai kembali, Shan. Semangat, ya. Jika nggak menang dan wanita itu datang minta uang, pakai aja duit kafe. Sisanya kita kejar…,” ucap Yena membujuk. Iba jika Shanumi sebenarnya tertekan dan banyak yang dipikir. “Jangan, aku nggak mau ngusik dana kafe. Takut tiba-tiba sepi dan ngaruh ke gaji mereka. Pasti ada dana dari pintu lain. Kamu jangan risau, Yen.” Shanumi berkata sambil meletak gelas kosong di meja sebelahnya. Seorang pegawai berkemas datang dan menyambar untuk dicuci di belakang. Setelah lanjut berbincang sejenak, Shanumi pamit pergi dengan menaiki tangga untuk mengambil tas ke lantai dua di ruko atas. Tempat menginap pribadinya. Namun, para pegawai juga diizinkan ke atas untuk melepas lelah saat istirahat. Ada dua kamar tidur dan satu kamar mandi di atas. Satu kamar khusus untuknya, satu lagi untuk pegawai gunakan bergiliran. Kebetulan, orang kafe semua perempuan. Gedung Tunjungan Plaza Surabaya masih sepi saat Shanumi tiba di sana. Hanya segelintir orang hilir mudik dan petugas cleaning servis yang bekerja. Seorang sekuriti menyapa Shanumi yang terlihat bimbang. Kemudian membawa gadis semampai itu menaiki eskalator menuju lantai empat. Menghampiri sebuah pintu yang menerangkan ruang informasi, pelayanan dan pemasaran khusus perhotelan di dalamnya. Petugas itu mengetuk pintu. Seorang wanita muda dari tim operasional menyambut dan membawa masuk ke dalam. Rupanya ruang luas berisi banyak kursi yang sudah diisi orang-orang. Mereka semua adalah peserta kompetisi masak pada babak penyisihan yang sehari sebelumnya sudah pengajuan daftar via online. “Ini adalah ujian seleksi singkat akan kemahiran saudara semua di bidang rempah dan kuliner. Dari sekian banyak, yakni dua puluh lima peserta, kami hanya mengambil sembilan peserta untuk mengikuti tahapan seleksi berikutnya.” Wanita tadi telah membuka acara, beramah tamah sebentar dan langsung ke acara. Sarana seleksi cukup gampang. Menggunakan aplikasi pada notebook di setiap meja peserta yang sudah siaga dan menyala. Dengan hitungan start serentak, mereka diminta menuliskan sebanyak mungkin ragam rempah terpendam beserta warna dan rasa. Tentu dengan waktu dibatasi secara bersamaan juga. Tidak lupa berdoa, Shanumi berusaha tenang dan cepat saat menuliskan ragam rempah terpendam mulai dari jahe, kunyit, kencur, laos dan lain-lain. Juga tidak ada kesulitan saat mendevinisi rasa dan warna di setiap jenis bumbu yang dia tuliskan. Hingga waktu berakhir dan notebook terkunci otomatis lagi di masing-masing meja peserta. Tim juri mengambil dari yang menyebut paling banyak, kemudian pada ketepatan warna dan devinisi rasa. Shanumi tidak berhenti berdoa agar dirinya berkesempatan menjadi peserta seleksi terpilih untuk maju di tahap berikutnya. Betapa berdebar hati di dada, juri sedang bersiap menyebut sembilan nama sebagai pengumuman. Andai nama tak ada pun iklas, tetapi jika nama disebut lebih merasa puas! Sangat lega dan masih juga terkejut saat nama Shanum pun disebut, bahkan pada urutan yang pertama. Sebagai penyebut paling banyak dengan devinisi rasa dan warna yang hampir sempurna. Sangat tidak sia-sia sang Ibu menanam beragam toga dan rempah di belakang rumah. Sedang menyiram dan merawat adalah tugas Shanumi. Tentu saja sambil memanen dan menggunakannya selang seling. Tak terasa jadi hapal di luar kepalanya. “Bagi sembilan nama yang lolos, silahkan menuju Hotel Rasyid di Jalan Pahlawan hingga tujuh jam ke depan. Semua mendapat fasilitas kamar masing-masing hingga tiba lomba. Bukan keharusan untuk menggunakan. Yang terpenting adalah, semua ada tepat waktu saat kompetisi dimulai pukul enam lepas maghrib.” Wanita pembicara tadi kembali menerangkan. Shanumi memilih kembali ke kafe dan tidak tertarik mengambil peluang kamar gratis di Hotel Rasyid. Menduga jika nama hotel itu ada hubungan dengan Daehan seperti yang dibilang Yena. Tidak berharap bertemu dengan orangnya, tetapi amat mengharap dapat uangnya. Bisa jadi selama kompetisi, pria itu sama sekali tidak usah unjuk gigi. Seorang owner bisanya sekedar bayang di balik layar, bukan terjun langsung dalam pagar. Itulah harapannya. “Ah!” jerit Shanumi kaget. “Matamu di mana? Hah… kamu…?!” sambar wanita cantik yang terbelalak pada Shanumi. “Kamu sudah kembali…,” ucap Shanumi lebih terkejut lagi saat sadar bahwa perempuan yang tak sengaja dia tabrak adalah Intana. Uh, kenapa juga nabrak dia lagi.... “Kamu memang bawa sial. Terus saja tabrak aku. Naik ganti rugi, tujuh puluh juta! Kamunya mampu nggak…?!” sembur Intana sinis dan mengejek. “Ada apa, Tan?” Seorang lelaki yang baru muncul dari pintu di lorong bertanya. Shanumi kembali terkejut. Namun, menduga jika Daehan kini tidak lagi mengenal dirinya, maka memilih pura-pura abai dan memandang sekilas. Coba bertenang dengan mengambil napas dalam-dalam. “Ini cewek, ceroboh minta ampun. Jalan sembarangan. Hari itu mobilku ditabraknya dengan motor dan ganti rugi nggak kelar-kelar, sekarang perutku ditabrak yang aku hampir terjengkang!” ucap Intana berapi-api. “Sudah kubilang, aku nggak sengaja!” sambar Shanumi emosi pada Intana. Bagaimana bisa sesama manusia sangat minim rasa maaf. “Sengaja nggak sengaja, kelakuanmu merugikanku. Makanya, jangan ngelamun sembarangan di jalan!” ucap Intana kasar. “Aku minta maaf kali ini. Tapi jangan kian memerasku dengan naikin ganti rugi.” Shanumi bicara tegas. Matanya yang bening menatap tajam Intana. Juga sekilas pada Daehan yang sedang berkerut dahi memandangnya. “Aku akan menghubungimu nanti, Intana. Permisi ....” Shanumi bicara pada Intana. Namun, menyapa sopan dan sedikit mengangguk pada Daehan sebelum buru-buru berlalu. Yakin jika lelaki itu kini muncul, pasti bakalan turun juga di kompetisi malam nanti. Tidak ingin meninggalkan kesan buruk jika Daehan ingat pernah melihat Shanumi di sini malam nanti. "Hei, kamu!" Seruan ini menghentikan langkah Shanumi. Daehan sedang menudingnya saat berbalik. "Saya, Mas?!" respon Shanumi ragu. Lelaki itu mengangguk. "Apa urusan kamu di sini?" tanya Daehan sambil menurunkan tangannya yang tadi menunjuk. Dia sangat hapal jika gadis itu bukan pegawai di kantor ini. "Saya ikut seleksi lomba masak, Mas." Shanumi menjawab sopan. Namun, berlagak tidak tahu jika lelaki itu adalah Daehan sang owner kompetisi. Maka lebih memilih memanggil Mas. "Hasilnya...?" tanya Daehan lagi dengan suara berat yang khas. "Alhamdulillah. Saya lolos seleksi sembilan orang, Mas," sahut Shanumi tanpa beban. Memberikan ekspresi cerah dan gembira. Senyum tipisnya sangat manis. "Ayoklah, Mas. Cepet dikit. Aku sudah sangat lapar!" Intana menarik tangan Daehan sambil melirik tajam pada Shanumi. "Kamu berharap menang buat ganti rugi, ya? Kasihan amat hidupmu!" Intana sempat bicara pada Shanumi sebelum pergi. "Jangan terlalu tidak sopan, Tan." Daehan menegur sambil terus berjalan. Suaranya kian berat dan membahana. Meninggalkan Shanumi yang mengambil arah pintu berlawanan. Mungkin sepasang tunangan itu akan mencari makanan dalam plaza. "Jika aku jahat, mungkin tidak terlalu sulit merebut calon suami kamu, Intana...," ucap Shanumi sambil menggigit telunjuk dan memperlambat jalan. Rasa kesal dengan sikap Intana yang sombong, membuat otak gadis itu sejenak jadi oleng. Amarah dan terhina bisa membuat seseorang berubah sikap dan haluan. 🍓 Tinggalin jejak agar penulis semangat! 😘Shanumi melambat langkah dan segera memutar lewat pintu belakang ruko. Dadanya kembali tidak aman dengan degub jantung lebih kencang. Bagaimana tidak… Daehan terlihat duduk makan dengan santai di kafenya! Meski sadar sebab dibawa Intana, rasa teruja tetap ada. Seorang pembesar hotel berbintang datang ke kafe sekecil ini. Bahkan disinyalir oleh Yena, lelaki tampan itulah pemiliknya. Yena jauh lebih lama dari Shanumi tinggal di Surabaya. Apalagi letak kafe ini cukup dekat dengan Hotel Rasyid di jalan yang sama, Jalan Pahlawan. Pasti ucapan Yena bukanlah asal dan karangan. Fakta …?!Bersit serakah, peluang dalam kesempitan dan pemerasan pada Daehan kembali berkelebat di kepala Shanumi yang memang tidak berkerudung. Bukan salahnya, tetapi sebab Intana yang arrogant dan janji lelaki itu terhadapnya. Jadi, tidak salah jika ini adalah kesempatan emas yang musti diambil. “Shan… tolongin, Shan. Lemes akunya…!” seru Yena saat sampai di lantai atas. Dia sempat melihat Shanumi datang lewat pin
Dari peserta paling ujung sebelah kiri, bergiliran membawa baki berisi semangkuk kecil masakan ke meja Daehan. Lalu berdiri di hadapan sampai pria terhormat itu puas mencicipi dan kemudian menyuruh pergi. Hingga kini tiba giliran Shanumi. “Terima kasih sudah diberi kesempatan, Pak. Semoga berkenan dan harap dipertimbangkan hasil olah tangan saya.” Shanumi mundur dan bicara setelah meletak mangkuk sotonya di hadapan Daehan. Lalu melangkah ke belakang lagi dan berdiri menunggu tanpa melirikkan mata pada Intana. Terlihat tenang, padahal dalam dada jumpalitan. Daehan seperti tersedak, tetapi tidak mampu menghentikan suapan soto yang terasa nikmat dan segar itu sampai di tetes terakhir. Sempat memandang gadis cantik di depannya dan merasa heran. Kenapa tidak tampak terkejut atau menunjuk perilaku pernah melihat Daehan sebelumnya? Tidak mungkin gadis itu lupa bahwa dirinya, owner Hotel Rasyid adalah kekasih Intana yang selalu bersikap tidak ramah padanya. Daehan menilai jika Shanumi a
Shanumi yang mendapat hantaman keras dan mengira jika dirinya akan terjengkang, ternyata tidak. Daehan telah menangkap cepat punggungnya. Harum wangi dari badan besar dan tinggi telah melenakan sesaat. Dua badan beda gender itu terlihat seperti saling peluk sebelum sama-sama menjauhkan diri tergesa. Shanumi benar-benar merasa degub kencang dan gugup. “Anda ini kenapa?” tanya Shanumi ketus tetapi salah tingkah. Lelaki itu menatapnya tenang seperti tidak terkejut. “Aku lupa membawa dompetku… tetapi kamu tiba-tiba berbalik. Jalanmu cepat nggak lihat haluan. Aku nggak sempat menghindarimu.” Daehan bicara tenang sambil bergeser mendekat ke meja dan menarik laci. “Ini kartu namaku. Daripada kamu nyesel nggak nyimpan nomorku,” ucap Daehan sambil mengulurkan selembar kartu nama. Shanumi menerima tanpa kata. Pria itu kembali berlalu meninggalkannya. Seperti tidak ada dompet yang diambil Daehan dari laci, hanya mengambil selembar kartu yang kini digenggamnya. “Memang. Dia pengertian juga…
Shanumi pergi ke kamar dan merebah lelah. Kaki sudah dia cuci pada air kran di luar sebelum masuk. Untuk shalat isya yang masih tertanggung sedang direncana agak belakangan. Yang penting baginya pasti kontan. “Padahal kelakuan Intana keterlaluan, tapi Daehan muji-mujinya padaku kelewatan. Hemmm, berwawasan dan berpendidikan konon. Tapi selingkuh…,” ucap Shanumi dengan pandang menerawang di plavon kamar.Jadi agak merasa iba pada Daehan. Pria yang terlihat sempurna dengan kesuksesan dunia, ternyata tega dikhianati wanita yang dicinta. Apa kecurangan Intana sama sekali tidak terendus? Begitu sibukkah Daehan, hingga Intana merasa kesepian? Tapi mereka belum menikah, jika sudah bersedia harusnya memahami. Padahal juga sering terlihat berduaan, masih saja merasa kurang perhatian. Harusnya Intana paham jika Daehan sangat sibuk. Ah, itu alasan Intana saja. Bukankah Erick sebagai seorang pilot pasti jauh lebih sibuk juga? Kesibukan dan keminiman waktu yang dimiliki Ericklah satu penyebab
Mata tajam bak elang itu tengah menatap dalam di wajah Shanumi. “Anda… sudah tahu bahwa saya adalah …,” ucap Shanumi tercekat. Meski sudah menduga, tetapi saat Daehan bicara menyindir, rasanya terkejut. “Shazleen Shanumi, kamu pikir aku sudah pikun? Bahkan namamu pun sudah membuatku seperti trauma.” Daehan berdiri dan merendahkan pandangannya pada Shanumi. “Jika saya bikin Anda trauma, tapi kenapa justru diminta di sini? Kenapa tidak didish saja dari sebelum lomba kemarin? Malah juara, meski sudah dicurangi…,” ucap Shanumi tahu diri. Tidak lupa jika Daehan memang tidak ingin melihat sosoknya lagi. “Aku tidak sebrutal itu. Bukan salahmu. Lagipula kamu berhak dengan pendidikanmu yang cukup tinggi. Sayang jika seorang sarjana hanya jadi kasir di kafe kecil. Kasihan ortumu.” Daehan bicara tenang. Tidak sinis dan tidak terlihat kesal. “Lah, yang penting kan halal, bukan jual diri. Sekarang, saya malah jadi pelayan orang. Demi uang…,” ucap Shanumi iseng, bukan tak paham maksud Daehan.
Beberapa hari ini Shanumi ingin menghubungi sang ibu. Namun, selalu gagal sambung yang membuatnya resah dan galau. Terlebih, ada hal penting yang harus dia sampaikan secepat mungkin. “Assalamu'alaikum, Buk!” seru Shanumi lega saat dial-nya tersambung kali ini, di hari yang ke empat. “Aku baik-baik saja. Ibuk bagaimana? Kenapa jaringan mati terus? Habis baterai atau di luar? Kenapa nggak isi data?!” tanya Shanumi bertubi pada sang ibu di seberang di Kota Batu. Ternyata ada masalah pada sambungan wifi rumah sebab angin kencang yang mengguncang kawasan Batu dan Malang beberapa hari belakangan. Sedang ibunya tidak ingat membeli kuota paket data. Shanumi pun lalai tidak mengisikan. Pulsa biasa pun, mereka sedang sama-sama tidak punya. Hanya kuota data yang Shanumi ada. “Buk, ada hal penting… aku nggak jadi ingin ketemu Mas Erick. Jangan jadi bilang di mana alamatku, ya. Bilang terus kalo aku belum ngasih alamatku. Ya, Buk…,” ucap Shanumi resah. Gadis itu berjalan mondar mandir di ruang
Nama Erick mana yang disebut Daehan dalam perbincangan? Benarkan pilot tampan yang pernah dekat dengannya sekaligus selingkuhan Intana? Lalu apa urusan dengan Daehan yang membuat mereka berhubungan? Bisniskah? Namun, fakta jika nama Erick sangat melimpah di seluruh Indonesia Raya, membuat perasaan Shanumi sedikit lebih tenang. “Tumben gak make up, Shan,” tegur temannya yang masuk pukul tujuh saat papasan di pintu masuk dapur.“Iya, buru-buru. Tadi aku datang pukul enam lebih. Suruh ikut ke Batu sama Pak Bos.” Shanumi menyambar panci dan mengisi air, kemudian merebusnya dengan api level membara. “Tapi kamu seger aja nggak pake bedak. Coba aku, bukan muka bantal aja, sekalian muka kasur, guling dan selimut nya…,” keluh Dian, nama teman Shanumi sambil menyimpan tas dalam almari. “Ish, lebay amat. Itu sama aja, perasaan aku pun muka kartun. Nggak enak, nggak nyaman, Yan …!” Shanumi mengaduk kopi yang sudah diseduh sambil tertawa pada Dian yang mendekat. “Eh, dengar-dengar Pak Bos mau
Mobil sport gunung yang dikenali, sah memberi pertanda. Tentu saja orang yang membawa adalah lelaki yang sudah diduganya. “Shanum…! Bagaimana kamu bisa di sini? Apa kamu ingin mencariku?” tanya lelaki tampan itu dengan raut takjub tak percaya. “Mas Erick…,” ucap Shanumi bingung dan lunglai. Apa yang ditakuti terjadi, nama yang sempat disebut Daehan adalah milik lelaki yang tak diharap. Konyolnya, justru diri sendiri yang seperti mendatangi. “Shan, aku selalu menunggumu. Aku sangat rindu…,” keluh Erick dengan suara lirih. Tiba-tiba mendekati Shanumi dan akan merengkuh.“Eh, ngapain, Mas … tolong, jangan coba-coba seperti ini lagi padaku!” pekik Shanumi sambil mendorong dada Erick dan memundurkan kakinya. Shanumi mematung. Memandang Erick diam ditempat dengan raut yang tampak bingung dan kecewa. Lelaki tegap dan berkulit cerah yang semakin tampan itu pernah mendebarkan hati Shanumi jika berjauhan atau pun saat berdekatan. Ternyata kini tidak terlalu lagi, begitu cepat perasaannya b
Seperti penembak jitu yang sedang membidik target, demikian kelakuan Shanumi sekarang. Mengintip hendap di balik pintu yang bercelah dan tidak ditutup merapat. Sayang sekali, usahanya sia-sia sebab orang di dalam sama sekali tidak bisa dilihat. Hanya segaris lurus meja lampu di samping tempat tidur yang tampak dan selebihnya tidak sama sekali. Namun, sudah jelas jika suara lelaki di dalam adalah milik si Daehan! Tidak ingin tenggelam sebab penasaran, pintu kamar didorong perlahan ke dalam hingga terbuka lebar-lebar. Napas terbaru nya seperti menggantung di ujung hidung. Semua kini melihat padanya. Ibu yang duduk menyandar ranjang dengan arah ke pintu, Sazlina yang berdiri di samping kaki ranjang telah berbalik melihatnya, juga… Daehan! Kini membalik punggung dan menatapnya dengan senyum yang samar.Tulang sendi Shanumi seolah aus hingga terasa berat dan tak bisa digerakkan. Diam, tegang dan kaku di tempat tanpa ingat melempar salam sapa pada Daehan. “Hei, Shanumi…." Daehan justru
Dua perempuan sedarah dari kandungan wanita yang sama, sedang bercerita seru sambil makan malam. Saling mencurah sebagian kisah yang menimpa selama dua saudara itu mengalami perpisahan. Namun, tentu tidak sedetail seperti kenyataan. “Jadi, Mbak Sazlin nggak ingin adaptasi dengan habitat aslinya, gitu?” tanya Shanumi dengan perasaan amat gemas. Kakaknya kukuh tidak ingin mengubah penampilan. Hanya bulu mata palsu dan stoking gelap saja yang sudah diliburkan kala malam. Sedang behel, softlens dan tiga tindik giok, tidak juga dihempaskan. Meski behel memang selalunya ada di dua deret gigi putihnya yang ars dan bawah. “Biar saja, aku dah biasa dan nyaman seperti ini. Terserah kata orang. Tapi kamu dan Ibuk percaya saja, aku nggak berubah,” Sazlina menjawab agak ketus. Tetapi shanumi sudah tahu, dibalik kebaikannya, watak sang kakak sangat tegas dan keras. Mewarisi garis sifat ayah dan ibu. Sama juga dengan Shanumi sendiri, tetapi sikap lembutnya lebih mendominasi. “Kenapa sedih?” tan
Setelah bermalam di rumah sakit kurang lebih sepuluh hari, akhirnya Siti Rumiyah, nama yang tertera sebagai penanggung jawab pasien atas nama Siti Arumi, dibolehkan membawa pulang adiknya. Shanumi merasa lega dan penuh syukur tak terkata padaNya. Hal berat itu sudah banyak berlalu, hanya tinggal pemulihan kondisi sang ibu. Dengan bekal pen tertanam di betis kaki kiri, gibs tertempel di atas tumit kaki kanan. Fraktur alias patah tulang ibunya masuk dalam golongan serius dan berat. “Nok, nanti aku pulang dulu, yo. Lihat rumah, kalo nggak dipantau, tikusnya bisa nguasai seluruh rumah.” Bik Rum berbicara dengan wajah cerah. “Iya, Bi. Nggak popo, tapi ke sini lagi, ya…,” ucap Shanumi. Paham jika bibinya tidak pernah pulang sama sekali. Pasti bahagia bisa melihat kembali rumahnya. Meski tidak punya keluarga dan hidup sendirian, kerinduan akan isi rumah pada setiap insan tentunya sama saja. Mungkin dengan persentasi yang berbeda. Tetangga yang part time mengurus rumah Bik Rum tiba-tiba
Shanumi dan bibinya merasa lega penuh syukur tak terkata, Siti Arumi pulih kesadaran di hari kedua setelah kemalangan. Dokter kata, ketahanan fisik si pasien sangatlah luar biasa. Dengan kondisi fatal yang satu kaki patah, kaki sebelah pun retak, juga benturan keras di kepala. Bahkan sebagian rambut di kepala ibunya harus dihilangkan demi penanganan, tetapi puncak kesakitan itu mampu dilewati tanpa merenggut nyawa. Juga tidak mempengaruhi segala fungsi kerja saraf di otaknya. Ibunya masih tidak ingin berbicara. Mengangguk dan menggeleng samar adalah jawaban dari setiap pertanyaan. Meski beberapa dokter pendamping menyarankan untuk melatih bersuara. Bukan tidak mampu berbicara, mungkin kejadian naas tak disangka yang menimpa ini adalah guncangan luar biasa untuk jiwa dan raganya. Shanumi tidak henti mengucap syukur bahwa ibu masih diberi panjang umur. Tidak terbayang betapa menyesal dan sakit yang akan dia tanggung andai ibu dijemput Yang Kuasa saat dirinya tidak siap. Sedang luka d
Adzan subuh tengah mengudara dan Shanumi sudah duduk di ranjang dengan mata setengah dibuka, setengah menutup. Ingin sangat rebah saja, tetapi adzan masih lama berkumandang. Ustadz kajian bilang, jika sengaja tidur saat mendengar alun adzan, kala mati jenazahnya sungguh berat. Petuah yang membuat Shanumi terus terngiang dan ingat. Merasa kasihan dan tidak enak hati pada para pengusung jenazah yang rela membawanya kelak. Bunyi panggilan yang tiba-tiba mengusik pun tidak membuatnya terkejut. Diabaikan hingga lama dan mati sendiri habis masa. Berulangkali hingga panggilan ke tiga barulah diangkatnya dengan lambat.Sesaat kemudian, mata berat mengantuk itu membuka lebar-lebar dengan wajah sangat shock! Menyusul jerit tanyanya membahana. “Ap …apa?! Bagaimana keadaannya sekarang?!” tanya Shanumi dalam pekiknya. Mungkin sebuah kabar dari seberang, telah membuat terkejut dan kalang kabut. Bukan duduk di ranjang lagi, tetap telah menggelosor di lantai. Sepertinya kabar yang didengar di te
“Andai kita bertemu lebih cepat, banyak waktu untuk kita, Shan.” Daehan mengatakan hal yang terpikir olehnya. “Apa maksudnya? Kalo lebih cepat emang ngapain?” tanya Shanumi sambil mendongak. Memandang wajah tampan Daehan di temaram. Mereka masih di posisi semula, saling peluk. “Banyak waktu untuk membicarakan langkah apa yang aku ambil.” Daehan mencium rambut wangi Shanumi. “Sebenarnya, untuk apa mempertahankan pernikahan naas kita ini?” tanya Shanumi sambil memberanikan diri memegang rahang di wajah Daehan. Lelaki itu tidak menyahut. Coba menatap lekat wajah Shanumi dalam samar malam. “Dulu, aku ingin memerasmu, ingin mendapat banyak uang darimu. Aku juga minta lima permintaan. Tetapi, ternyata aku tidak bisa. Kamu lelaki baik bagiku. Aku rela menjadi jandamu tanpa mendapat hartamu. Tetapi, sudah kuberi peluang pun, kamu tidak memberiku talak. Kenapa kamu memilih yang susah?” tanya Shanumi. “Kenapa kamu pun membuang peluang bagus? Ambillah, masih kutunggu genap permintaanmu,” k
Daehan sempat menatap kosong pada mamanya Intana yang terlihat samar punggungnya di balik pintu kaca. Perlahan hilang di remang latar parkir kala malam. Kini berpaling pandang pada Intana sekilas kemudian kembali pada Shanumi. “Yang mana yang bagus?” tanya Shanumi merasa kikuk. Daehan lekat menatapnya. “Semua bagus kamu pakai.” Daehan menyahut penuh maksud. Melirik kembali Intana yang terus pulas sekilas. Lalu pada beberapa orang yang berdiri tidak jauh dengannya. “Aku bukan membeli, hanya menyewa tiga gaun. Satu yang pertama dipakai Intana, dua lagi yang dicoba asistenku sebelum gaun yang dipakai ini. Semua sewa cash atas namaku.” Daehan memutuskan dengan cepat. Keraguan dan bingung seperti saat Shanumi mencoba gaun di depannya telah melayang tak berbekas.“Baiklah, akan kami siapkan catatan transaksi dan fakturnya. Mohon ditunggu.” Wanita pengelola butik hendak berbalik tetapi Shanumi menegurnya. “Diletak di mana bajuku, aku tidak menemukannya. Aku ingin menggantinya, Kak.” Shan
Sebab Intana terus makan dan tidak peduli dengan bujukan orang-orang sedang ibunya sangat mendesak, dengan simalakama permintaan mereka dipenuhi. Shanumi dibawa ke ruang ganti dan kini dijadikan model pengganti. Wanita pengelola butik beralasan jika perbedaan postur tubuh Shanumi dan Intana tidak terlalu mencolok. Meski terlihat nyata jika tubuh Intana jauh lebih kurus daripada tubuh Shanumi. “Apa calon pengantin prianya tidak mencoba baju?” tanya Shanumi pada salah seorang pegawai butik yang ikut memakaikan baju ribet itu padanya. “Mencoba, Kak. Namun, dia akan menentukan dulu gaun mana yang cocok pada calon pengantin wanita. Setelah itu, baru dia coba baju pria yang setara dengan baju wanita. Sebab, untuk baju Pengantin pria tidak detail dan bersifat fleksibel.” Perempuan itu menjelaskan dengan terus semangat meski kini sudah malam. “Apa hal lumrah, mencoba baju pengantin diwakili orang lain?” tanya Shanumi. Benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana mamanya Intana dan Intana send
Shanumi tidak lagi bertanya, memahami jika Daehan sedang ada yang banyak dipikirkan. Merasa kasihan, menjelang pernikahan yang harusnya penuh tawa dan suka, justru mendung muram yang tampak. “Shan. Kamu dapat uang banyak dari mana?” tanya Daehan memecah hening. “Eh, apa, Pak Han?” Shanumi yang sedang melamun tidak terlalu mendengar maksud pertanyaan lelaki di sebelahnya barusan. “Kamu bayar hutangmu padaku terlalu cepat. Uang dari siapa?” Ulang Daehan bertanya.Shanumi mengatup bibir. Sudah sekian lama dirinya membayar hutang, baru kali ini dibahas. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin? Namun, merasa lega juga, dipikir Daehan tidak membaca. Dirinya pun niat bilang tetapi lupa-lupa. “Itu, aku pinjam dari kakakku.” Shanumi menyahut pelan. “Kenapa buru-buru dikembalikan dan pinjam sama orang?” tanya Daehan agak sengit. “Ya… aku nggak enak dong sama Pak Daehan kalo kelamaan. Lagian yang pinjemin bukan orang, dia kakak perempuan kandungku sendiri,” ucap Shanumi semangat menjelaskan. Sek