Daehan yang tidak menyangka Shanumi membuat keputusan sepihak, merasa tidak terima. Lagipula perempuan itu bisa dia bawa untuk mengintimidasi Erick. Rival beratnya dalam mendapatkan Intana selama ini. Berharap agar lelaki itu tidak lagi mengganggu calon istrinya diam-diam. “Shanumi!” panggil Daehan melengking sambil terus berlari.Mengejar Shanumi yang sudah melewati pagar tanpa hambatan. Setelah Erick pergi, Agung tidak menutup pintu pagar kembali. Sambil fokus berlari, Daehan merutuki sopir pribadi yang lagi-lagi teledor dalam bertugas. Ingin ditendangnya pegawai itu jika perempuan yang sedang dia kejar tidak berhasil didapatkan.Kesal yang sempat bercabang pada Agung, membuatnya sedikit lengah. Shanumi hilang dari pandangan setelah berkelebat di balik pinus besar dan rimbunan bambu air. Daehan terengah-engah dan merutuk diri-sendiri. “Shanumi!” Masih dicobanya memanggil keras-keras. Meski tahu yang disebut nama tidak mungkin menyahut. Ada rasa puas tersendiri yang dirasa oleh Da
Mengira jika Shanumi jauh lebih lama membutuhkan waktu untuk mandi, ternyata dia sudah duduk di sofa saat Daehan juga habis mandi di belakang. Mereka sama-sama mencuci rambut dengan urusan yang berbeda. Shanumi demi menghapus jejak si ulat, sedang Daehan sebab urusan biologis.“Bagaiman keadaanmu, Shan? Ada yang sakit dan luka?” tanya Daehan sambil masuk ke dalam kamar.“Tidak sama sekali!” sahut Shanumi yakin. Tidak lama, Daehan sudah keluar lagi.“Pakai baju ini, Shan. Jangan pakai mukena! Bikin aku trauma!” serunya sambil meletak baju atasan di sofa dekat Shanumi. Meski dengan fisik berbeda, mukena yang dipakai masih sama dengan kejadian apes di hotel. “Enggak, ini aja. Aku izin mau beli baju di ruko ujung,” sahut Shanumi sambil berdiri. Menyimpan maksud tersembunyi. “Toko baju di ruko ujung bukanya habis dzuhur, pukul dua. Yang lain jauh!” ucap Daehan sambil melihat jam dinding. Pukul sebelas siang, adzan dzuhur pun belum. “Aku mau pulang, rumahku tidak jauh sangat dari sini,
Shanumi tidak ingin menunjuk gigi dan tawa. Meski hampir tidak bisa ditahannya. Saat akan berangkat, Daehan menolak Agung menyopiri dan menyuruh untuk mengambil bonus di bawah vas dalam vila. Penuh semangat tujuh lima, Agung pergi ke dalam dan tidak lama pun keluar dengan gaya kesurupan dan histeris sekali. Bahkan sampai terkencing dan muntah. Alhasil, Daehan sendiri yang memungut ulat pinus bulu dari terlempar di lantai, lalu dia tindih batu di halaman. Blak! Daehan kembali ke mobil setelah mencuci bersih kedua tangannya. “Pakai sabukmu, Shan!” ucap Daehan setelah duduk tenang di kursi kemudi. “Dekat.” Shanumi menyahut singkat, menolak anjuran. “Apes bisa kapan saja.” Daehan mulai menghidupkan mesin dan membawa kendaraan meluncur.Tidak ingin panjang berbincang, Shanumi pun menuruti. Gelagat lelaki itu akan ngebut sudah dibacanya. Padahal tidak jauh. “Kenapa ngambil jalan muter?” Shanumi merasa heran. “Biar nyantai.” Daehan menjawab sambil melirik Shanumi dengan kaos hitam di
Jalur yang ditempuh Dion, lelaki muda sopir ibunya, tidak asing bagi Shanumi. Menuju ke kawasan Vila Songgoriti-Kota Batu. Namun, coba menepis resah sebab ibunya pun sering mendapat orderan dari kawasan yang sama.Cerita Siti Arumi di pintu kamar, ternyata Shanumi tidak memahami. Hanya sayup celoteh riang yang seolah pengantar tidur siang. Terlebih model vila antar unit hampir mirip. Dia pun tidak ingat jika vila yang didatangi Daehan adalah vila punya Erick. Bukan tidak pernah tahu. Shanumi pernah akan dibawa ke vila tetapi menolak. Hanya melewati depan pagar yang Erick bilang itu adalah miliknya. “Di mana, Yon?” tanya Shanumi meredam panik. Dion telah melewati jalan yang sejalur dengan vila Daehan dan semakin dekat. Bahkan keramaian yang sudah terlihat seperti dari villa itu. “Sudah sampai, Mbak!” sahut Dion sambil berbelok. Tanpa hambatan sudah memasuki pekarangan. Shanumi seperti kejang-kejang di tempat duduknya. Jelas sekali ini vila yang siang tadi ditinggalkan. Klek“Yon…,”
Sesi saling kenal diakhiri oleh Siti Arumi dengan undur diri. Membawa Shanumi keluar bersama dengan alasan alat katering harus mulai diberesi. Erick dengan sigap mengekori. “Sudah, kamu nggak perlu bantu ibuk. Temani Mas Erick sana, ngobrol sana.” Siti Arumi sedikit memaksa meski ekspresi Shanumi sangat kesal. “Ayo kita keluar, Shan. Nanti langsung aku antar ke rumah kamu.” Erick kembali membujuk sebab Shanumi terus saja menolak. “Maaf, Mas. Aku keberatan. Meski aku tidak bilang jika kita sudah tidak ada hubungan apa pun di dalam tadi, bukan berarti aku seiya dengan ucapanmu dan mamamu. Aku hanya menghargai kalian di depan keluarga mereka tadi. Tolong jangan memaksaku. Kita bukan jodoh.” Shanumi kembali menolak gamblang dan tegas. Erick meraup wajah cerahnya yang suntuk demi menetralkan perasaan yang lagi-lagi harus kecewa. Andai bisa, sudah dia palingkan hati dari mengharap cinta Shanumi akan kembali. "Maaf ya, Mas," ucap Shanumi tahu diri. Erick hanya menatap wajahnya dengan na
Bukan diantar taksi online pesanan, Erick juga yang akhirnya mengantar pulang. Dengan santai mengganti uang taksi dan meminta sopir berlalu saat Shanumi masih belum kembali dari toilet. Padahal, mamanya Daehan sedang menyuruh sang putra untuk memanggilkan. “Sebenarnya, apa alasan utamamu tidak bisa menerimaku, Shan? Aku bisa mengajukan mutasi divisi. Dari tugas menerbangkan, digeser ke bagian pengatur penerbangan. Aku hanya perlu standby di bandara, bukan terbang lagi. Setelah menikah, kita tinggal di perumahan dekat bandara. Kamu tidak akan pernah kutinggalkan.” Erick menjelaskan penuh harap pada gadis di sebelahnya. Berjalan lambat agar tidak sampai di tujuan dengan cepat. Tidak yakin setelah tiba di rumah, Shanumi mau diajak berbicara. “Waktu itu… Mas Erick ngajak nikah terus. Aku stress, kan aku baru tamat. Umurku dua puluh tiga lewat dikit. Terus…,” ucap Shanumi ragu-ragu. “Maafkan aku, Shan. Sebab, aku takut kamu disambar orang. Lagipula, aku butuh banget buat nikah. Jatuhn
Berpapasan dengan ibu yang membawa baki berisi cangkir kopi di tatakan. Shanumi ke dapur untuk minum air hangat seperti biasa kala bangun tidur. “Ngapain dia ke sini, Buk?” tanya Shanumi. Ibunya gagal pergi, mundur lagi dan duduk manis di kursi, meletak baki sejenak di meja. “Lha itu, kurang tahu. Tadi waktu aku matiin lampu luar, pas dia datang. Dia bilang nganter uang tambahan katering, mamanya puas banget, dikata masakan kita enak-enak dan ludes. Tapi habis itu nggak pamit. Malah izin mau ketemu kamu. Katanya udah kirim pesan ke hape-mu. Aku tawarin kopi, mau…,” ucap Siti Arumi bingung. “Eh, Shan. Dia kirim pesen ke kamu, dari siapa dapat nomormu? Kalian sudah ngobrol?” Ibunya kian bingung. Tidak mungkin Daehan dapat nomor dari mamanya, sebab si bestie mana tahu-menahu nomor anak gadisnya. “Iya, Buk. Semalam kami ngobrol bareng.” Shanumi tidak ingin ibunya pening untuk hal yang seharusnya tidak penting. “Erick nggak marah, Daehan kamu kasih nomor?” ibunya kian kepo. “Nggak.
Senyum sipu di wajah cantik itu terus terlihat selama melipat rapi dan menyimpan kain-kain hibah dari mantan bestie ibunya di alamari. Meski hanya berupa pakaian dalam atas dan bawah serta lingerie dua set, Shanumi tahu harga totalnya hingga jutaan rupiah sebab label brand-nya yang tertera. Pukul lima pagi tepat, Shanumi keluar dari kamar. Berpenampilan rapi dengan tas di pundak. Menuju dapur yang sudah ada ibunya menunggu di meja makan.“Ini, sudah tak ambilkan nasi, hampir dingin, Shan.” sambut ibunya sambil menyodorkan sepiring nasi putih.“Tahun ini, Mbak Hanum nggak pulang, Buk?” tanya Shanumi sambil mengisi lauk dan sayur ke piring.“Nggak tahu. Takut tak carikan suami kayaknya, Shan.” Siti Arumi memandang Shanumi sambil tersenyum kecut.“Kamu, kalo mau nikah, nikah saja. Mbakmu nggak bisa ditunggu. Nggak ingat pulang. Udah lima tahun … nggak kangen apa sama kita,” keluh ibunya lagi. Kini wajah menuju senja tetapi masih menarik itu berubah sedih.“Masih trauma, Buk. Jangan diom
Dengan bungkam, Sazlina mengambil gamis dan kerudung dari ransel. Berniat membawa masuk ke dalam kamar mandi di pojok ruang. Melewati Khaisan yang duduk di ranjang sambil terus melihatnya. “Kenapa bawa baju ke dalam? Itu kan ribet, Saz. Lagipula kamar ini cukup luas hanya untuk menampungmu bertukar baju,” tegur Khaisan menahan gelisah dan kesal. Sazlina benar-benar terus menghemat suaranya. Sial lagi, sejak terungkap hal besar bahwa sang istri adalah penyelamat di masa lalu, membuat perasaannya canggung dan segan. Khaisan seperti mati kutu dengan tatapan dingin Sazlina. Menjadikannya serba salah. Perempuan yang ditegur tidak menyahut. Terus berjalan hingga tenggelam di balik pintu kayu kamar mandi yang mengkilat berpelitur. “Ck…!” Khaisan bedecak keras sebab merasa suntuk. Tidak terima dengan sikap Sazlina yang berubah acuh tak acuh dan mengabaikan. Namun, sesuatu yang teronggok di atas karpet membuatnya tersenyum dan berdiri dengan cepat. Itu adalah barang pribadi milik Sazlina
Sazlina tidak sengaja memandang Khaisan yang ternyata juga tengah menolehnya. Mereka saling menatap sejenak dengan pikiran yang sama-sama berputar. Ekspresi mereka tegang dan tanpa senyuman. “Tunjuklah, kamu yang mana, Sazlina?” tegur Khaisan kemudian tanpa berpaling pandang. “Ini sebenarnya kalian kegiatan apa sih di foto itu? Kok ternyata kalian gak saling tahu?” tanya Shanumi heran dan tidak sabar juga. “Lokasi foto itu adalah di pemandian air panas di Cangar, Shan dan itu bukan kegiatan,” ucap Sazlina lirih tetapi yakin. “Kamu yang mana, Sazlina?” tegur Khaisan lagi. Merasa tidak sabar dengan Sazlina yang tidak juga menunjukkan fotonya yang mana. “Aku… yang berdiri di samping Bapak Tentara ini. Pake kerudung warna pink.” Sazlina menjawab yakin sambil menatap foto dan Khaisan bergantian. “Jadi, kamu benar-benar yang itu?” tanya Khaisan sambil menunjuk foto dengan ekor mata. Gadis polos belia berkerudung warna pink yang imut dan manis. Terlihat lebih mencolok dari para perempu
Bukan taksi yang membawa Khaisan dan Sazlina dari stasiun menuju rumah Oma di Osaka. Tetapi Daehan sendiri dengan mobil sang nenek yang hanya sentiasa terparkir di garasi sebagai pajangan selama ini, amat sangat jarang digunakan. Apalagi setelah suami tiada beberapa bulan lalu. Sopirnya pun sudah dipensiunkan. Hanya kadang akan mencari sopir sewa atau menaiki taksi saja untuk bepergian. Itu pun sangat jarang, mengingat kondisi Oma yang menghalangi untuk membuat perjalanan jauh. “Kamu yakin, Oma baik-baik saja di rumah?” tanya Khaisan dengan nada gusar. Menatap Daehan yang mengemudi di sebelahnya. Sazlina dibiarkannya duduk sendiri di belakang. “Soal itu… dia barusan kritis, mana bisa yakin. Shanumi dan perawat sedang jaga di rumah. Selama mereka gak ngasih kabar buruk, anggap saja Oma lagi aman. Lagipula sambil beliin dia resep Kampo.” Daehan menjelaskan sambil fokus mengemudi. Terlihat santai yang jauh dari panik. Khaisan terdiam, merasa sedikit lega akan kondisi lumayan omanya.
Hana dan Daishin telah selesai berbicara. Meski tidak lama, lumayan menyampaikan segala masalah mengganjal pada keduanya. Hana berniat meninggalkan ruang pantry. “Matikan airnya, Shin.” Hana menegur Daishin yang membiarkan air dari kran di wastafel terus mengalir. Lelaki itu terus menadah tangan di bawahnya dengan bungkam dan mematung. Mungkin omongan Hana barusan cukup mengena dalam di perasannya kali ini. “Mama akan turun. Kamu cepat istirahat. Jika kondisimu bagus, kita juga nyusul ke Osaka besok saja. Semoga kondisi ibu mertua lekas membaik. Hmm… apa kereta tercepat masih ada malam-malam begini?” Hana berbicara lagi setelah Daishin mematikan kran hingga airnya mati total. Nada suara yang biasa dan seolah tidak ada hal mengganjal apa-apa lagi di hatinya. Hana teringat pada Sazlina dan Khaisan yang seharusnya sudah siap meluncur ke Osaka. Jika siang akan mudah dengan menaiki kereta cepat Nozomi Shinsaken. Namun, jika malam begini, adakah? Sedang jam operasi maksimal untuk stasi
Pantry yang tidak luas itu terasa lebih lapang sebab lengang. Meski auranya panas dan penuh bara api. Sazlina hingga menahan napas dan tegang. Menduga jika Khaisan sedang sangat marah. Bersyukur dirinya tidak mengeluh berlebihan. Bukan dirinya yang dipikirkan, tetapi Daishin yang akan mendapat murka dari suaminya. “Ulangi tadi apa yang kamu bilang pada istriku, Daishin…!” Khaisan memecah hening dari kebungkaman mereka yang lama. Suaranya tajam dan keras. Cukup menggema di sekitaran ruang pantry dan penjuru lantai dua. Daishin mungkin sudah menduga, tetapi gerakan tangan dari mengaduk sup di mangkuk terjeda. Seolah sedang berpikir apa yang akan dia ucapkan. Lalu memutar kursi dan berhadapan pandang langsung dengan Khaisan. “Maaf, Mas. Mungkin aku lancang kali ini. Tetapi aku sudah tidak bisa menahan diri. Jujur, aku pernah suka dengan Sazlina saat di agensi. Tetapi dia terus menolak dan tiba-tiba pulang ke Indonesia. Sekarang tiba-tiba bertemu dan tiap hari melihat, perasaan itu da
Ada satu handuk baju di dalam kamar mandi. Mungkin Khaisan sengaja menyisakan untuk di pakai oleh Sazlina. Lelaki itu lebih memilih selembar kecil handuk untuk dililitkan di tubuh saat sudah keluar dari kamar mandi. “Untuk apa baju basah itu dibawa-bawa?” tegur Khaisan. Merasa tidak suka melihat Sazlina menenteng baju kotornya yang basah. “Kubawa ke kamarku, akan kucuci dan kujemur.” Sazlina sambil salah tingkah, bingung dengan tetesan air dari baju basah di tangannya ke lantai. “Letak kembali di dalam, biar diurus Mijhe. Lekas ganti baju, nanti kamu masuk angin,” ucap Khaisan pelan. Paham jika Sazlina merasa segan. Sazlina yang galau tidak membantah, segera masuk kembali ke kamar mandi dan meletak seluruh baju basahnya di sudut. Berpikir Mijhe akan maklum sebab sudah tahu tentang pernikahannya. Kemudian keluar lagi dengan perasaan berdebar. “Aku akan ke kamarku, tukar baju.” Kata Sazlina sambil tergesa menuju pintu. “Ada banyak baju di almari!” seru Khaisan bermaksud menahan.
Setelah meladeni wawancara heboh dari mamanya, juga beberapa pertanyaan dari papanya, serta dilepas oleh pandangan masam dari Clara, Khaisan membawa Sazlina naik tangga ke lantai dua. "Mas Daishin ke mana...," gumam Sazlina lirih sambil mengikuti Khaisan. "Dia sudah besar. Tidak usah dicari-cari." Khaisan yang mendengar pun menyahut datar. Kemudian menghentak tangan kecil yang terasa halus di genggamannya. “Aku…,” ucap Sazlina tercekat saat Khaisan menyeretnya menepi ke arah kamar miliknya. Perasaannya berdebar dengan apa yang bakal terjadi kemudian. Pikiran nakal di kepalanya seketika menggoda. “Kenapa, keberatan? Siapa yang ngotot ingin dibawa ke kamarku?” tanya Khaisan sambil membuka pintu kamar yang tidak dikuncinya. “Aku … tidak. Tapi, kamu tidak akan berbuat hal jahat, kan?” tanya Sazlina asal. Hatinya semakin berdebar. “Bagaimana jika iya?” tanya Khaisan. Senyum samarnya terlihat dalam remang. Lampu lorong balkon selalu dimatikan Mijhe selepas waktu isya. Hanya sorot bula
Sazlina yang sangat terkejut dan takut, merasa itu semua ternyata sangatlah sia-sia. Khaisan hanya menariknya menuju mobil yang telah dibawa driver mendekat. Bukan ke mana-mana atau menganiaya seperti sangkanya. “Kamu pikir aku psikopat?” tanya Khaisan saat mereka sudah duduk di dalam dan Sazlina berkata akan luah rasa leganya. “Kupikir kamu sangat marah…,” sahut Sazlina yang terdengar engah pada suaranya. Sisa paniknya barusan mesih melekat. “Aku tidak berbuat melampaui batas, bukan bermakna aku tidak marah. Jangan merasa senang dulu.” Khaisan menegur dengan ekspresi tidak ramah. Kendaraan berjalan pelan meninggalkan area Kingnyo di Roppongi. “Apapun perasaanmu, aku sudah minta maaf. Aku merasa senang, kamu seperti sangat peduli padaku. Tiba-tiba aku menyesal kenapa tidak menikah sedari dulu. Ada seseorang yang peduli padaku di tempat jauh, rasanya jadi haru.” Sazlina berbicara jujur dengan yang sedang dirasa. “Kamu ingin menikah dari dulu? Siapa yang kamu harap menikahimu?” tan
Khaisan membanting pintu hingga menghempas dinding dan berbunyi keras. Namun pintu yang terpental itu kembali menutup sendiri dengan perlahan. Seolah sangat rela akan perlakuan sang tuan padanya.Pria penguasa kamar menyambar dua power bank sekaligus dari laci. Tidak ingin kejadian habis baterai terulang kembali di saat yang tidak diinginkan. Lalu dibawanya ke sofa dan menghempas diri kasar di sana. Sambil menyalakan ponsel, matanya menyapu seluruh sudut kamar dengan nuansa tampak baru. Sangat segar, rapi dan bersih lebih dari sebelumnya. Sayang sekali perempuan yang ingin dibawanya dengan tidak sabar malam ini telah membuatnya marah dan sangat kecewa. Beberapa pesan yang di antaranya dari Sazlina telah dibaca segera. Hanya memberi tahu tentang perginya menemani pelancong dari Thailand dan juga ada kalimat minta maaf. “Di mana posisi mereka terakhir?” Khaisan sedang menghubungi driver yang bertugas membawa pelancong dan Sazlina. Lelaki itu sudah memberi laporan akan tugasnya sejak