Mobil sport gunung yang dikenali, sah memberi pertanda. Tentu saja orang yang membawa adalah lelaki yang sudah diduganya. “Shanum…! Bagaimana kamu bisa di sini? Apa kamu ingin mencariku?” tanya lelaki tampan itu dengan raut takjub tak percaya. “Mas Erick…,” ucap Shanumi bingung dan lunglai. Apa yang ditakuti terjadi, nama yang sempat disebut Daehan adalah milik lelaki yang tak diharap. Konyolnya, justru diri sendiri yang seperti mendatangi. “Shan, aku selalu menunggumu. Aku sangat rindu…,” keluh Erick dengan suara lirih. Tiba-tiba mendekati Shanumi dan akan merengkuh.“Eh, ngapain, Mas … tolong, jangan coba-coba seperti ini lagi padaku!” pekik Shanumi sambil mendorong dada Erick dan memundurkan kakinya. Shanumi mematung. Memandang Erick diam ditempat dengan raut yang tampak bingung dan kecewa. Lelaki tegap dan berkulit cerah yang semakin tampan itu pernah mendebarkan hati Shanumi jika berjauhan atau pun saat berdekatan. Ternyata kini tidak terlalu lagi, begitu cepat perasaannya b
Daehan yang tidak menyangka Shanumi membuat keputusan sepihak, merasa tidak terima. Lagipula perempuan itu bisa dia bawa untuk mengintimidasi Erick. Rival beratnya dalam mendapatkan Intana selama ini. Berharap agar lelaki itu tidak lagi mengganggu calon istrinya diam-diam. “Shanumi!” panggil Daehan melengking sambil terus berlari.Mengejar Shanumi yang sudah melewati pagar tanpa hambatan. Setelah Erick pergi, Agung tidak menutup pintu pagar kembali. Sambil fokus berlari, Daehan merutuki sopir pribadi yang lagi-lagi teledor dalam bertugas. Ingin ditendangnya pegawai itu jika perempuan yang sedang dia kejar tidak berhasil didapatkan.Kesal yang sempat bercabang pada Agung, membuatnya sedikit lengah. Shanumi hilang dari pandangan setelah berkelebat di balik pinus besar dan rimbunan bambu air. Daehan terengah-engah dan merutuk diri-sendiri. “Shanumi!” Masih dicobanya memanggil keras-keras. Meski tahu yang disebut nama tidak mungkin menyahut. Ada rasa puas tersendiri yang dirasa oleh Da
Mengira jika Shanumi jauh lebih lama membutuhkan waktu untuk mandi, ternyata dia sudah duduk di sofa saat Daehan juga habis mandi di belakang. Mereka sama-sama mencuci rambut dengan urusan yang berbeda. Shanumi demi menghapus jejak si ulat, sedang Daehan sebab urusan biologis.“Bagaiman keadaanmu, Shan? Ada yang sakit dan luka?” tanya Daehan sambil masuk ke dalam kamar.“Tidak sama sekali!” sahut Shanumi yakin. Tidak lama, Daehan sudah keluar lagi.“Pakai baju ini, Shan. Jangan pakai mukena! Bikin aku trauma!” serunya sambil meletak baju atasan di sofa dekat Shanumi. Meski dengan fisik berbeda, mukena yang dipakai masih sama dengan kejadian apes di hotel. “Enggak, ini aja. Aku izin mau beli baju di ruko ujung,” sahut Shanumi sambil berdiri. Menyimpan maksud tersembunyi. “Toko baju di ruko ujung bukanya habis dzuhur, pukul dua. Yang lain jauh!” ucap Daehan sambil melihat jam dinding. Pukul sebelas siang, adzan dzuhur pun belum. “Aku mau pulang, rumahku tidak jauh sangat dari sini,
Shanumi tidak ingin menunjuk gigi dan tawa. Meski hampir tidak bisa ditahannya. Saat akan berangkat, Daehan menolak Agung menyopiri dan menyuruh untuk mengambil bonus di bawah vas dalam vila. Penuh semangat tujuh lima, Agung pergi ke dalam dan tidak lama pun keluar dengan gaya kesurupan dan histeris sekali. Bahkan sampai terkencing dan muntah. Alhasil, Daehan sendiri yang memungut ulat pinus bulu dari terlempar di lantai, lalu dia tindih batu di halaman. Blak! Daehan kembali ke mobil setelah mencuci bersih kedua tangannya. “Pakai sabukmu, Shan!” ucap Daehan setelah duduk tenang di kursi kemudi. “Dekat.” Shanumi menyahut singkat, menolak anjuran. “Apes bisa kapan saja.” Daehan mulai menghidupkan mesin dan membawa kendaraan meluncur.Tidak ingin panjang berbincang, Shanumi pun menuruti. Gelagat lelaki itu akan ngebut sudah dibacanya. Padahal tidak jauh. “Kenapa ngambil jalan muter?” Shanumi merasa heran. “Biar nyantai.” Daehan menjawab sambil melirik Shanumi dengan kaos hitam di
Jalur yang ditempuh Dion, lelaki muda sopir ibunya, tidak asing bagi Shanumi. Menuju ke kawasan Vila Songgoriti-Kota Batu. Namun, coba menepis resah sebab ibunya pun sering mendapat orderan dari kawasan yang sama.Cerita Siti Arumi di pintu kamar, ternyata Shanumi tidak memahami. Hanya sayup celoteh riang yang seolah pengantar tidur siang. Terlebih model vila antar unit hampir mirip. Dia pun tidak ingat jika vila yang didatangi Daehan adalah vila punya Erick. Bukan tidak pernah tahu. Shanumi pernah akan dibawa ke vila tetapi menolak. Hanya melewati depan pagar yang Erick bilang itu adalah miliknya. “Di mana, Yon?” tanya Shanumi meredam panik. Dion telah melewati jalan yang sejalur dengan vila Daehan dan semakin dekat. Bahkan keramaian yang sudah terlihat seperti dari villa itu. “Sudah sampai, Mbak!” sahut Dion sambil berbelok. Tanpa hambatan sudah memasuki pekarangan. Shanumi seperti kejang-kejang di tempat duduknya. Jelas sekali ini vila yang siang tadi ditinggalkan. Klek“Yon…,”
Sesi saling kenal diakhiri oleh Siti Arumi dengan undur diri. Membawa Shanumi keluar bersama dengan alasan alat katering harus mulai diberesi. Erick dengan sigap mengekori. “Sudah, kamu nggak perlu bantu ibuk. Temani Mas Erick sana, ngobrol sana.” Siti Arumi sedikit memaksa meski ekspresi Shanumi sangat kesal. “Ayo kita keluar, Shan. Nanti langsung aku antar ke rumah kamu.” Erick kembali membujuk sebab Shanumi terus saja menolak. “Maaf, Mas. Aku keberatan. Meski aku tidak bilang jika kita sudah tidak ada hubungan apa pun di dalam tadi, bukan berarti aku seiya dengan ucapanmu dan mamamu. Aku hanya menghargai kalian di depan keluarga mereka tadi. Tolong jangan memaksaku. Kita bukan jodoh.” Shanumi kembali menolak gamblang dan tegas. Erick meraup wajah cerahnya yang suntuk demi menetralkan perasaan yang lagi-lagi harus kecewa. Andai bisa, sudah dia palingkan hati dari mengharap cinta Shanumi akan kembali. "Maaf ya, Mas," ucap Shanumi tahu diri. Erick hanya menatap wajahnya dengan na
Bukan diantar taksi online pesanan, Erick juga yang akhirnya mengantar pulang. Dengan santai mengganti uang taksi dan meminta sopir berlalu saat Shanumi masih belum kembali dari toilet. Padahal, mamanya Daehan sedang menyuruh sang putra untuk memanggilkan. “Sebenarnya, apa alasan utamamu tidak bisa menerimaku, Shan? Aku bisa mengajukan mutasi divisi. Dari tugas menerbangkan, digeser ke bagian pengatur penerbangan. Aku hanya perlu standby di bandara, bukan terbang lagi. Setelah menikah, kita tinggal di perumahan dekat bandara. Kamu tidak akan pernah kutinggalkan.” Erick menjelaskan penuh harap pada gadis di sebelahnya. Berjalan lambat agar tidak sampai di tujuan dengan cepat. Tidak yakin setelah tiba di rumah, Shanumi mau diajak berbicara. “Waktu itu… Mas Erick ngajak nikah terus. Aku stress, kan aku baru tamat. Umurku dua puluh tiga lewat dikit. Terus…,” ucap Shanumi ragu-ragu. “Maafkan aku, Shan. Sebab, aku takut kamu disambar orang. Lagipula, aku butuh banget buat nikah. Jatuhn
Berpapasan dengan ibu yang membawa baki berisi cangkir kopi di tatakan. Shanumi ke dapur untuk minum air hangat seperti biasa kala bangun tidur. “Ngapain dia ke sini, Buk?” tanya Shanumi. Ibunya gagal pergi, mundur lagi dan duduk manis di kursi, meletak baki sejenak di meja. “Lha itu, kurang tahu. Tadi waktu aku matiin lampu luar, pas dia datang. Dia bilang nganter uang tambahan katering, mamanya puas banget, dikata masakan kita enak-enak dan ludes. Tapi habis itu nggak pamit. Malah izin mau ketemu kamu. Katanya udah kirim pesan ke hape-mu. Aku tawarin kopi, mau…,” ucap Siti Arumi bingung. “Eh, Shan. Dia kirim pesen ke kamu, dari siapa dapat nomormu? Kalian sudah ngobrol?” Ibunya kian bingung. Tidak mungkin Daehan dapat nomor dari mamanya, sebab si bestie mana tahu-menahu nomor anak gadisnya. “Iya, Buk. Semalam kami ngobrol bareng.” Shanumi tidak ingin ibunya pening untuk hal yang seharusnya tidak penting. “Erick nggak marah, Daehan kamu kasih nomor?” ibunya kian kepo. “Nggak.
Shanumi yang dipeluk erat Daehan merasa janggal. Meski baru beberapa kali tidur seranjang bersama suami, tetapi mudah diendus jika gelagatnya seperti menyimpan sesuatu. Pandangannya sesekali terlihat jauh. “Ada apa? Kayak gelisah …,” tanya Shanumi sambil menowel lengan Daehan yang melingkar di perutnya. Daehan tidak membuka mulut. Justru mengubah posisi tangan dari memeluk pinggang bergeser ke dadda.“Mas … jangan mulai lagi, please. Tidur dulu, sambung besok aja habis mandi dan subuhan.” Shanumi menahan tangan Daehan yang kembali ingin nakal, merasa kali ini tidak nyaman. Tiba-tiba ponsel Daehan berbunyi kembali. Itu bukan pesan di aplikasi, melainkan sebuah panggilan. Lagi-lagi musik yang mengalun membuatnya frustasi. Lagu panggilan masuk spesial dan indah saat itu, kini membuatnya ingin muntah. “Nggak diangkat?” usik Shanumi yang merasa jika Daehan begitu tegang selama panggilan masuk berbunyi. “Nggak perlu.” Daehan menyahut kaku. Ada kesan marah yang bahkan wajahnya terlihat
Daehan sudah memakai tshirt saat Shanumi selesai berwudhu dan keluar dari kamar mandi. Berusaha keras untuk tidak banyak kali memandang. Buru-buru dipakainya mukena dan pura-pura tidak perhatian. Lelaki yang sudah berbaju santai dan tidak lagi berkemeja atau berkostum formal itu justru terlihat keren di kamarnya. Sedang bermain ponsel dengan merebah santai di pembaringan. Rasanya luar biasa. Setelah berpuluh tahun usianya menghuni kamar tanpa orang. Kini ada teman tiba-tiba, bahkan lelaki yang disuka dan sudah sah suaminya. Ah, indah sekali rasa hidup di dunia! Shanumi menambah satu sujud sebelum melepas mukena. Tak habis beryukur akan takdir luar biasa yang tidak disangka tetapi sangat indah di hidupnya. Semoga jodohnya adalah kekal untuk di dunia dan kelak di jannahnya. “Cepat sedikit dong, Shan, ah!” seru Daehan mengejutkan. Membuat jantung Shanumi berdetak kencang dan lebih cepat. “Iya, ish! Ini dah selesai!” Buru-buru Shanumi melihat mukena dan meletakkan di meja semula. Sus
Lega, dengan bantuan Sazlina, pernikahan rahasia dengan Daehan telah sampai di telinga ibunya. Meski sempat diwarnai drama serta ada ucapan dan kalimat tidak enak, wanita agung itu mau juga memahami dan menerima fakta statusnya yang sudah dinikahi oleh anak orang secara diam-diam. Bisa jadi sebab lelakinya adalah Daehan yang bukan orang sembarangan. Jika bukan, mungkin drama ibunya akan lebih panjang dan berliku. Kini Shanumi hanya penuh rasa syukur, akhirnya berjodoh dengan lelaki yang dikirimkan oleh-Nya melalui jalur musibah kala itu. “Jam berapa datang, Nok?” tanya kakaknya yang sudah rapi dan baru mandi. Mereka berada di dapur. “Katanya sore, Mbak. Ini kan sudah lama lewat ashar…,” jawab Shanumi galau.“Ya sudah, kamu mandi dulu saja. Nanti kelewat maghrib, tetapi mereka nggak datang juga!” seru Sazlina sambil menyambar tudung saji. “Iyalah, Mbak. Tungguin ya, nggak papa, kan?” tanya Shanumi sambil memandang saksama kakaknya. Bagaimanapun merasa tidak enak terus sebab mendahu
Menjelang subuh yang dingin menggigit hingga tembus menusuk ke tulang, dua insan bergelung saling peluk di bawah selimut tebal dan lebar. Daehan terpaksa menyingkap selimut dan bangun sebab bunyi alarm yang terus bising meminta perhatian penuh paksaan. “Mas, jangan lagi, nggak sanggup. Lemes aku, laper,” ujar Shanumi saat Daehan menyelip diri kembali ke dalam selimut dengan tangan nakalnya yang mulai kembali berulah. “Masih sakit?” tanya Daehan tersenyum. Kini memeluk hangat istrinya dari belakang dan diam. Shanumi tidak menyahut, juga memeluk tangan Daehan yang anteng di dadanya. “Aku nggak ikut ke Surabaya dulu, ya. Gak papa, kan? Nggak enak sama ibuku… tahu-tahu aku pergi lama dengan lelaki tanpa izin langsung. Meskipun dengan suami, tetapi kita belum benar-benar dapat restu darinya.” Shanumi berbicara sedih saat bayang ibunya berkelebat. Daehan lama tidak menyahut. “Orang tuaku siang ini akan sampai di bandara, lepas ashar akan datang ke rumahmu.” Daehan mencium kepala Shanumi
Agung tidak juga pergi meski Daehan sudah menyelip lembaran merah cukup banyak di tangannya. Kang sopir memandang bingung dan segan pada dua insan dengan ekspresi yang susah dijabarkan. Sebab ini malam-malam dan mereka berdua tanpa ikatan sedang dirinya justru disuruh pergi keluar oleh sang tuan. “Sana, Gung, keluar. Kopimu pun sudah habis, kan?! Di samping garasi ada kamar jika kamu malas mencari penginapan.” Daehan susah payah menahan kesal. Shanumi telah pergi ke dapur membawa dua cangkir kopi yang sudah sangat kosong. “Kenapa, kamu mau protes? Aku tahu apa yang ada dalam kepalamu. Kamu pikir aku dan Shanumi mau kumpul kebo?" rutuk Daehan sangat kesal. "Kali ini terpaksa aku tunjukkan ke kamu. Aku memang wajib juga ngasih tahu kamu…,’" omel Daehan lagi sambil pergi ke kamar. Lelaki itu mengambil sesuatu dari dalam tas kerja dan dibawa pada Agung di ruang depan kembali. “Nih, lihat. Baca baik-baik hingga tamat dan ingat!” ucap Daehan.Telah menghempas keras badan besarnya ke s
Menuruti ingin hati, terus saling peluk hingga lama dan puas. Apa daya, ada Bik Rum di antara mereka yang perlu dijaga hati dan harus dihargai. Daehan dan Shanum buru-buru saling merenggang dan melepas pelukan untuk kembali menjauh. “Dari mana, badan dan bajumu dingin banget?” tanya Shanumi demi menghempas rasa kikuk. Daehan terus tersenyum memandangnya. “Ketemu teman, rumahnya lebih di atas. Dia ngajak joinan,” ucap Daehan tanpa berkedip dari Shanumi. “Join apa?” Shanumi memutus pandangan Daehan dengan berbalik dan melangkah lambat. Bik Rum telah menegur dan menyuruh duduk di sofa. Daehan mengikuti di belakang mereka. “Teman ingin bikin penginapan di daerah sekitar sini. Aku ditawarin tanam modal. Masih kupikir, sebab aku pun sangat sibuk,” jawabnya.Daehan duduk di depan Shanumi di ruang perapian. Berposisi lebih dekat nyala api sebab tubuhnya serasa kaku dan beku. Dirinya yang berhabitat di Kota Surabaya, sedikit susah untuk beradaptasi di tanah tinggi kota Batu. Meski aktualn
Meski galau tidak berpamit pada ibu, tetapi support Sazlina yang menggebu, Shanumi pergi juga malam itu. Agung standby dalam mobil meski sempat susah dibangunkan. Kini melaju aman menuju Batu perbukitan. “Seneng betul ya, Mbak, tinggal di Kota Batu. Bisa cuci mata terus tiap waktu.” Agung berkomentar. Sambil fokus, matanya juga terus lirik ke kiri dan ke kanan. Melihat pemandangan elok yang sayang dilewatkan. “Iya kalo yang jarang ke sini, merasa bagus, Mas. Untuk kami, penduduk sini sih biasa saja.” Shanumi menanggapi. Sengaja duduk di depan untuk mengusir suntuk di perjalanan. Selain pandangan tak terhalang, bisa juga dengan Agung membuat bermacam obrolan. “Setidaknya ada yang indah alami untuk dipandang, Mbak. Kalo di Surabaya… hadeh, ngerti sendirilah, Mbak!” ucap Agung mengeluh sambil berdecak.“Iya juga sih, Mas!” sahut Shanumi merespon membenarkan. Tentu saja, pemandangan Kota Batu jauh beda dengan tampilan di Kota Surabaya. Di jalan tanjakan menuju kawasan tanah tinggi, ge
Ibunya mulai mengantuk saat Shanum sudah di puncak rasa suntuk. Perlahan bergeser turun dan menyandarkan Ibu dengan bantal tersusun tinggi di belakang punggung. Posisi tidur kesukaan Siti Arumi pasca kecelakaan yang menimpa. “Mau ke mana, Shan?” Mata yang setengah tidur, masih terjaga saat Shanumi hendak pergi. “Eh, anu, Buk. Ke kamarku, tadi belum shalat isya.” Shanumi diam di tempat dan berbicara tercekat. Daster ungu selutut yang terlihat cantik di tubuh cerahnya, sedang dipegang ujung bawah oleh Ibu dan menarik mundur kembali mendekat.“Ambilkan obat dan air dulu, Shan. Kakiku mulai ngilu dan sakit. Telat minum obat …,” keluh ibunya setengah merintih. Shanumi menghirup napas dan menghempasnya cepat. Coba membuang sisa kesal. Menyadari memang dirinya lalai mengulur obat petang ini. Juga ingat jika merawat orang tua dengan segala kondisi penuh sabar, penuh cobaan dan ikhlas lahir batin, maka hadiahnya kelak adalah surga. Apalagi yang surga di bawah telapak ibu, cepat diambilnya o
Seperti penembak jitu yang sedang membidik target, demikian kelakuan Shanumi sekarang. Mengintip hendap di balik pintu yang bercelah dan tidak ditutup merapat. Sayang sekali, usahanya sia-sia sebab orang di dalam sama sekali tidak bisa dilihat. Hanya segaris lurus meja lampu di samping tempat tidur yang tampak dan selebihnya tidak sama sekali. Namun, sudah jelas jika suara lelaki di dalam adalah milik si Daehan! Tidak ingin tenggelam sebab penasaran, pintu kamar didorong perlahan ke dalam hingga terbuka lebar-lebar. Napas terbaru nya seperti menggantung di ujung hidung. Semua kini melihat padanya. Ibu yang duduk menyandar ranjang dengan arah ke pintu, Sazlina yang berdiri di samping kaki ranjang telah berbalik melihatnya, juga… Daehan! Kini membalik punggung dan menatapnya dengan senyum yang samar.Tulang sendi Shanumi seolah aus hingga terasa berat dan tak bisa digerakkan. Diam, tegang dan kaku di tempat tanpa ingat melempar salam sapa pada Daehan. “Hei, Shanumi…." Daehan justru