Palidase hitam berhenti tepat di halaman rumah keluarga Pramono. Mereka terkejut, mobil siapa sebagus itu? kalau di pikir-pikir, Arum tidak pernah mengajak seorang teman yang memiliki mobil mewah – terlihat berkilau secara keseluruhan.
Laki-laki dengan pakaian rapi menghampiri pria paruh baya yang sedang berdiri di ambang pintu, raut pria paruh baya tadi terlihat heran.
Di saat pemilik mobil palidase tepat berdiri di hadapan tuan rumah, barulan ayah Arum mengenali siapa lelaki rapi tersebut. Adnan. Entah gerangan apa yang membuatnya mengunjungi keluarga Pramono, setelah lima hari kedatangan Hana.
“Assalamualaikum, Pak.” Sapa Adnan tersenyum tipis.
Lalu disambut oleh pemilik rumah, “Walaikumsalam.” Mereka saling bersalaman.
“Kamu sendirian, Nan?” pak Pramono memastikan, Ia juga tak mendapati Hana datang bersama Adnan. Dan dijawab anggukan saja oleh pria itu.
Kemudian mempersilahkan tamunya duduk.
“Ada apa ya?” imbuh pria paruh baya lagi, pertanyaan yang mengganggu pikiran sejak kedatangan Adnan.
“Pak. Saya ingin bertemu gadis yang akan menjadi calon istri saya.” Adnan merasa tidak enak menyebut nama perempuan di depan ayahnya, apalagi perempuan itu nanti bergelar sebagai istri ke-dua.
“Maksud kamu Arum? dia lagi sibuk di toko. Sebentar bapak telepon dulu” hendak beranjak.
“Tidak usah, pak. Biarkan saja. saya tidak mau menganggunya. Saya kesini cuma ingin memberitahu bahwa saya bersedia menikahi Arum, jika dia siap. Bapak juga tahu dibalik pernikahan ini bagaimana. Yang jelas, saya telah menyetujui. Kembali pada Arum, pak. Apa dia yakin?” sebenarnya pria ini merasa bersalah, sama saja ia menyakiti dua perempuan sekaligus.
Pak Pramono terdiam sesaat, pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, lelaki di hadapannya ini adalah pria baik. Bahkan sangat baik. Akan tetapi, Arum telah memilih Reyhan sebagai pasangannya kelak.
“Begini, Nan. Bapak tanya Arum dulu, ya.”
Adnan mengerti apa yang dibicarakan pak Pramono, bagaimanapun gadis itu adalah anaknya. Pasti sangat bimbang untuk menerima pernikahan konyol ini. meski negara dan agama memperbolehkan, tetap saja yang namanya manusia tidak bisa adil.
***
Waktu yang dijanjikan Hana di hari pertama kunjungannya, tiba pada hari ini. Sengaja ia mengajak dua gadis kecil yang sedari tadi mengoceh dan bertanya mau kemana. Tepat di halaman rumah keluarga Pramono, Hana yang tampak pucat menggandeng Ayanna dan Anthea di sebelah kanan dan kiri.
Dari rumah, Arum melihat istri Adnan sedang melangkah kearahnya. Terlintas di pikiran, kalau ia merasa dipermainkan. Bagaimana tidak! kemarin Adnan sendirian datang, beralasan siap menikahinya. Selang dua hari, sang istri yang berkunjung, membawa anak pula.
Sedangkan hari di mana Reyhan akan melamarnya juga semakin dekat, sungguh membuat Arum ingin lari saja dari rumah ini. kehadiran Hana dan keluarganya, seperti pengecoh perasaan dan pilihan putri Pramono.
Gadis mungil kembar begitu lucu, mulai menanyakan sesuatu pada Arum. dengan senang hati Arum meladeninya, meski ada pertanyaan membuat ia terdiam-tak bisa menjawab.
“Bagaimana, Rum?” Hana menyela disaat Arum sibuk dengan Ayanna dan Anthea.
Perempuan pemilik gingsul pun mengangkat pandangan, menatap mata sayu Hana. Terlihat cahaya wajah istri Adnan tak seterang minggu kemarin.
‘Apa kondisi mbak Hana semakin menurun?’ benak Arum.
“Apanya, Mbak?” spontan Arum menjawab, mungkin terlupa masalah pernikahan itu.
“Menikah dengan mas Adnan.” Hana memperjelas.
Sepasang mata putri Pramono bergantian menatap si kembar dan ibunya. Dirinya kembali berbicara dengan diri sendiri, berkutat dalam pikiran.
‘Bukankah mbak Hana mendahului tuhan? Kenapa dia yakin sekali ingin menikahiku dengan suaminya, apa dia juga yakin tidak bisa sembuh? Tetapi, penyakit itu hanya kecil kemungkinan sembuh total. Atau memang aku membaca artikel yang salah.’ raut Arum tampak linglung. Pula dirinya merasa kasihan jika benar-benar Ayanna dan Anthea kehilangan kasih sayang seorang ibu.
Keraguan yang tampak, tak lepas dari sorot mata hitam Hana. Ia tahu kalau gadis cantik ini belum yakin. Setidaknya ia telah berusaha, mungkin tuhan memberikan jalan yang terbaik meski berbeda.
“Arum pikir dulu ya, mbak. Beri Arum waktu seminggu lagi.” Istri Adnan mengiyakan, mungkin waktu yang diberikan kemarin belum cukup. Tidak mudah mengambil keputusan sulit dalam jangka waktu tujuh hari.
“Baiklah. Mbak minggu depan ke sini lagi. Mbak harap mendengar kabar baik.”
.
.
Selepas Hana dan anaknya berkunjung dari rumah keluarga Pramono, malamnya Arum menerima telepon dari perempuan yang meminta dipanggil ‘bibi’ saja. Arum tidak tahu pasti siapa dia. Bibi memberitahukan kalau majikannya kembali dirawat, tubuh sakit itu begitu lelah, meski sudah beristirahat.
Si bibi dibuat bingung, hubungan perempuan yang ia telepon dengan sang majikan. Ia hanya melakukannya sesuai pesan Hana sebelum ke rumah sakit.
Arum dan keluarganya berencana esok hari menjenguk Hana, sekarang sudah larut malam. Disana juga tidak mungkin Hana sendirian, pasti Adnan bersamanya. Apalagi mereka mendengar bahwa pihak rumah sakit menyegani keluarga Wijaya.
‘Semoga keputusanku sudah benar’ Arum berulang kali mengucapkan kalimat itu dalam hati.
Sebelum langit memperlihatkan kecerahannya, Arum sama sekali tidak bisa memejamkan mata. perasaan yang dipenuhi rasa bimbang, selalu mengusik. Apa ia harus menerima lamaran Hana? Bukannya Adnan juga menyetujui ini? mengingat kebahagiaan si kembar bersama sang ibu. Apa ia tega membiarkan anak kecil kehilangan kasih sayang? Hana memilihnya bukan tanpa alasan, pasti sudah memikirkannya dengan masak. Tetapi ia belum pernah mengenal sosok calon suaminya.
‘Karena ayah menerima lamaran mbak Hana, mungkin ini yang terbaik buatku. Ayah tidak akan membiarkan anaknya sakit, bukan? Apa aku terima saja pernikahan ini? aku tidak boleh egois juga. Bagaimana aku bisa bahagia bersama Reyhan, kalau ada anak kecil malang di depan mataku. Anak kecil belum memahami kehidupan yang sebenarnya.’
Arum telah memberi keputusan, ternyata tak perlu waktu satu minggu. Kambuhnya penyakit istri Adnan berhasil menyentuh nurani putri Pramono. Ia tidak ingin menjadi perempuan egois, mengutamakan kebahagiannya sendiri, lalu menelantarkan sosok gadis mungil yang masih sangat membutuhkan perhatian. Ditambah Hana sangat mempercayainya.
Ketika pagi menyambut, Arum mencari keberadaan sang ayah, ia teringat kalau hari ini orang tuanya akan menjenguk Hana di rumah sakit. Sedikit tergesa Arum melangkah. Dirinya harus memberitahukan - ia menerima lamaran tersebut.
Tampak laki-laki di teras rumah tengah menikmati teh hijau, ditemani koran pagi yang baru diantar seperti biasanya.
“Ayah belum berangkat menjenguk mbak Hana?” dari belakang Pramono Arum bertanya. Pria itu menoleh sesaat.
“Sebentar lagi, setelah teh ayah habis.” Ayah Arum belum tahu maksud basa-basi anaknya, lalu kembali membaca.
Kelihatan sekali gadis cantik berkerudung ini sedang ragu, bibirnya kelu. Hanya menyampaikan persetujuannya saja terasa sulit. Arum menghela napas, mengendalikan kegugupannya.
“Arum menyetujuinya” singkat si gadis, sontak Pramono memalingkan pandangan dari koran yang di pegang.
“Maksud kamu?” Pramono belum paham, pikirnya tidak mungkin kalau Arum memberikan jawaban dalam satu malam.
“Menerima lamaran mbak Hana.” Cicit Arum menunduk. Entah dari mana datangnya rasa malu putri Pramono.
‘Apa aku terlihat perempuan gampangan? Menerima pinangan dari istri calon suamiku kelak?’ pikir Arum.
Kabar gembira sudah tersampaikan ke telinga Hana, juga keluarga Adnan. Bagaimana keluarga Wijaya bisa menyetujui pernikahan ini? di balik itu semua, ada perbincangan yang hanya diketahui pihak mertua dan menantu. Entah sejak kapan, pastinya Adnan tidak tahu.Satu bulan lamanya, kondisi istri Adnan belum menunjukkan perubahan yang benar-benar menyatakan bahwa tubuh itu pulih. Namun, ia memaksa untuk ikut hadir dan melihat langsung pernikahan Arum dan sang suami.Polesan lipstick bisa menutupi bibir pucatnya.“Han. Kamu tidak masalah?” istri Wirahardi menatap lembut Hana, dirinya tampak tidak tega melihat perempuan baik sebagai menantunya ini.“Aku baik-baik saja, Ma.” Sahut Hana menenangkan, kentara senyum palsu yang tercetak pada wajah putih itu.Hana sangat tahu keluarga dari Adnan begitu menghargai dan menyayanginya, terlebih Wirahardi yang lembut ketika berbicara, menganggap layaknya Hana memang putri kandung keluarga mer
Obrolan pertama Adnan dan Arum yang terkesan kaku, cukup sebagai langkah awal mereka menjadi seorang teman, mungkin. Mengingat bagaimana Hana bisa memilih perempuan pemilik gingsul itu.Sebelum Hana mengunjungi kediaman keluarga Pramono, terlebih dahulu ia melihat Arum dan ayah Pramono sedang berbincang seru. Sekitar satu bulan yang lalu.Kala itu Adnan hendak mengajak keluarga kecilnya jalan-jalan mengitari kota. Mengunjungi spot wisata malam atau sekedar makan di resto. Disana pasti banyak lampu berkelip dan cantik. Adnan bermaksud menyenangkan suasana hati perempuan tercantik – istrinya.Adnan teringat perkataan Paman Suryo saat pertemuan mereka di rumah sakit kala Hana dirawat. Kalau dirinya perlu memperbaiki kondisi hati si istri. Dia tipe perempuan yang selalu beranggapan kesalahan dan terkait Adnan serta si kembar adalah dirinya.“Kamu cantik sekali” Adnan melihat sang istri selesai berdandan. Hana bersemu merah jadinya. Bocah kec
“Mama?” celetuk Anthea dari atas ranjang. Memiringkan kepalanya sembari menatap lekat wajah Arum.“Ini mama Ea (menyebut Anthea, karena ucapan mereka belum tepat, maka terdengar ‘ea’) juga?” Arum tersenyum, gadis mungil didepannya begitu menggemaskan.Ke dua putri Adnan tampak kebingungan, bersamaan menoleh ke arah bibi.“Mama Ana? (Ana yang di maksud adalah Ayanna)” kali ini si sulung bertanya, dia cukup mengerti siapa ibu yang sebenarnya. Toh selama ini Hana adalah perempuan yang mereka temui setiap hari, memberikan kasih sayang dan mengajari banyak hal.Bibi pun terdiam, jawaban apa yang tepat untuk mereka. Anak-anak usia tiga tahun acap kali memberi pertanyaan-pertanyaan yang membuat para orang tua kelabakan.“Ah… mama Ayanna di rumah sakit, lagi berobat.” Bibi berharap ucapannya tidak salah.Kamar itu menjadi hening, tidak sesiapa mengeluarkan suara, meski sepatah kata.
Adnan melangkah tergesa-gesa di koridor rumah sakit, siapapun tahu kemana tujuan lelaki tampan itu selain ruang perawatan Hana. Ruang kerja dokter Dika. Dia terpaksa mengembangkan senyum setiap menerima sapaan dari perawat yang kebetulan bertemu.“Adnan! Kau tidak bisa membuka pintu pelan-pelan, ya?!” dokter Dika dikejutkan oleh kelakuan putra Wijaya. Dia yang awalnya baru menikmati kesantaian, hendak bersandar pada kursi kerja.Tanpa menghiraukan ucapan Dika, Adnan langsung berbaring di atas sofa yang tersedia. Berada tak jauh dari meja kerja dokter Dika.Dika menggeleng pelan “Ada apa?” mendekati laki-laki di sana, yang menutupi sebagian wajahnya dengan lengan.“Hana lagi?” dokter Dika tahu permasalahan Adnan. Selama seminggu ia menggantikan jadwal temannya ini.“Bagaimana pekerjaanku?” tanya Adnan. Dokter Dika pun mengerutkan dahi, masih belum mengerti. Bukankah dirinya bertanya tentang Hana? Bagai
“Kenapa perempuan tadi sendirian duduk di sana?” dokter Dika bertanya. Raut laki-laki di depannya sedikit tersentak, dia mengira Arum ke toilet barang sebentar.“Tolong jaga mereka (Ayanna dan Anthea) sebentar. Aku mau menyuapi makan siang Hana.” Adnan berdalih.Ayah si kembar bergegas menyeterilkan tubuhnya, mencuci tangan, berganti pakaian sesuai peraturan yang tertera. Tak bisa dibohongi, pikiran Adnan masih tertuju pada perkataan Dika. Perempuan yang di maksud pasti Arumi.Barulah dia membuka pintu ruang perawatan, senyuman Adnan juga tak kunjung hilang, demi menunjukkan pada Hana bahwa dia baik-baik saja.Meski dokter Dika merengut, tingkah lucu si kembar memaksa tawa renyahnya terbit. Sesekali Anthea menunjukkan sikap yang di warisi Adnan – berlaku semaunya. Membuat Dika kesal saja***Seiring Adnan melayani Hana, putri kembar di luar ruangan menguap bergantian. Mungkin benar jika ilmuan mengatakan kalau m
Dokter senior bernama Suryo berdiri di samping pasien leukemia, istri dari ponakannya mengalami sesak napas, gejala yang dialami oleh pengidapnya. Dari kejauhan Adnan dengan perasaan berdebar berlari menghampiri, mengapa pamannya berada di sana? pikiran yang takut mulai berkeliaran. Sayangnya, suami Hana belum di izinkan menjenguk, emosi Adnan dikhawatirkan bisa mempengaruhi perempuan terbaring itu.Dari luar Adnan memegang kepala frustasi, teringat bagaimana ayah mertuanya dahulu pergi begitu saja setelah kondisi tubuh yang tiba-tiba drop (kondisi tubuh yang kelelahan karena suatu faktor bahkan pingsan).Suryo berkata setelah memeriksa kondisi Hana, menemui Adnan, “Suhu tubuhnya naik.”“Paman, kemarin Hana baik-baik saja. Kenapa bisa begini?” Suara Adnan terdengar kecewa.“Nan. Kita tidak bisa memprediksinya, setiap tubuh memiliki kondisi berbeda-beda. Paman hanya dokter yang mengobati. Paman tidak bisa men
“Ayo kita mandi.” Ajak Arum dengan penuh hati. Sementara membiarkan Ayanna dan Anthea bermain air, perempuan berkerudung mengambil baju-baju yang akan dikenakan si kembar.Derap langkah tergesa-gesa menganggu konsentrasi Arum, dengan cepat ia menoleh kearah pintu. Dadanya mulai berdebar tak karuan sebelum bibi menjelaskan mengapa menangis seperti itu.“Mbak. Ibu Hana tidak tertolong lagi” lirih bibi, hingga tangisnya kembali pecah. Mengingat tuan-nya berkata dengan suara gemetar, dan tak mampu menjelaskan lebih. Seperti laki-laki diseberang sana tak sanggup menahan isakan.Tidak! Mungkin Arum salah pengertian dari perkataan bibi. Tidak tertolong? Maksudnya apa? Bergegas Arum mendatangi anak-anak yang sedang bercanda ria dengan perasaan tak tentu arah.“Bibi, pinta pak Anto menyiapkan mobil. Setelah anak-anak siap, kita kerumah sakit.” Raung Arum sembari menggendong Ayanna dan Anthea. Matanya yang panas terpaksa menahan
[Dua bulan lalu]Kumpulan Chrysanthemum biru dalam wadah cantik – digenggam Hana yang tersenyum kepada ibu mertua. Perempuan paruh baya di sana terkejut sekaligus senang, sedikit bertanya dengan kedatangan Hana yang tiba-tiba. Tubuh berumur Aryani langsung mendapatkan pelukan dari dua gadis mungil – cucunya.*Chrysanthemumadalah bunga krisan yang melambangkan sebuah harapan. Namun, di Itali bunga tersebut melambangkan kematian.Hana menyodorkan bunga biru, “Buat mama” katanya."Krisan?" Balas Aryani memandang takjub.Perempuan cantik berkerudung mengintip ke belakang ibu mertua, ternyata ada rajutan syal yang belum selesai dalam mangkuk besar dari anyaman rotan.“Hana bantu, Ma” tawar istri Adnan.“Nanti saja. Kita mengobrol di sana dulu, ya” menunjuk ruang tv. “Mama rindu sama kalian. Tunggu, mama taruh bunga ini dulu. Terima kasih, ya” tambah Aryani.
Dua makhluk kecil mengintip kemudian menyelinap melalui pintu. Si bungsu Anthea memberikan isyarat pada saudaranya. “Ssttt…” seiring Anthea menaruh telunjuk di depan mulut. Mereka bermaksud mengejutkan ayahnya. Adnan yang sedang mengikat dasi – bersiap akan bekerja – mendengar langkah pelan yang menapak bergantian. Perlahan pria itu menoleh, benar saja putri kembarnya sudah mengendap-endap mendekati. Berikutnya Adnan pula memberikan isyarat agar dua makhluk kecil ini tidak berisik. Persis apa yang dilakukan si bungsu tadi. “Mama lagi sakit.” Sembari menunjuk perempuan terlelap di tempat tidur. Arum terlihat menikmati dunia istirahatnya, seolah tenang. Bahkan pagi ini Adnan lebih dulu terbangun dan sudah bersiap-siap. Ucapan Adnan hanya berlaku beberapa saat saja, tak lama setelah itu si kembar mulai mengusik mamanya. Mereka juga saling menjahili di sebelah tubuh Arum yang masih memejamkan mata. “Thea, kamu jangan belisik.” Ayanna mengingatkan si bungsu, padahal suaranyalah sebag
Berulang kali Adnan membuat matanya terbuka lalu tertutup, ia sedang mengusahakan agar mengikuti lelapnya si kecil Ayanna. Tak ayal selama tiga puluh menit mata itu memperhatikan gerakan jarum jam dinding, benda yang berbentuk lucu bagi anak-anak.Pada akhirnya Adnan memilih ke dapur setelah merasa tenggorokannya kering. Ia menyesalkan dirinya yang tidak bisa tidur, sebab esok waktunya akan dikuras sedari pagi, mungkin sarapanpun bisa tertinggal seperti kala itu. Tak apalah kalau Arum menyiapkan bekal kembali, toh ia harus membiasakan diri dengan perhatian-perhatian kecil tersebut.Pria itu menoleh cepat setelah ada suara grasah-grusuh dan pekikan kecil dari luar. Samar-samar ia mendengar layaknya suara seorang perempuan.Ketika Adnan berdiri di ambang pintu, ia mendapati Arum tengah melompat-lompat hendak mengambil sesuatu. Rambut panjang sang istri tertiup angin memperlihatkan anting cantik tersemat di telinga. Hidung mancungnya terlilhat jelas dari samping.
Tumpukan buku medis ber-cover bagian-bagian tubuh manusia yang akan membelenggu seorang dokter bedah. Secangkir kopi sepertinya hampir habis, lain pula kacamata bertengger setia untuk mata pria itu. Kabarnya besok Adnan akan melakukan pengoperasian pada seorang anak laki-laki, sekitar umur Sembilan tahun. Dia beranjak dari kursinya hanya ketika ke kamar mandi kemudian melakukan aktivitas yang sama kembali. Setelah ucapan yang berbau ejekan dari teman-temannya, terselip bayangan wajah Arum kala tersenyum di saat menonton acara favoritenya. Yang tak lain acara mingguan seorang akademisi. Mungkin gadis itu telah memutuskan pengabdiannya pada laki-laki pemilik tawa yang menundukkan. Hanya saja, kata per kata dari seorang dosen muda tak bisa lenyap sembarangan. Dokter yang di benamkan oleh buku-buku medis menyampaikan kekalahannya, dia sudah ambruk tertidur. Adnan terlelap sambil duduk, sampai tak menyadari ada orang lain menghampiri. Arum tampak bingung, pasti su
“Bisa saya membantu bapak memilih kue?” salah satu karyawan toko kue milik Arumi menawarkan pada laki-laki yang baru tiba, sosok itu seperti tidak mengerti dengan makanan tersebut. “Apa saya bisa bertemu pemilik toko kue ini?” “Maaf, pak. Pemilik toko sangat jarang berkunjung, mungkin hanya sekali dalam dua minggu.” “Bisakah kamu telepon? Saya ada beberapa urusan, katakan padanya kalau saya temannya.” Pinta Reyhan. Pria itu sendirian mengunjungi toko kue yang dia cari-cari cukup lama, pernah menanyakan perihal ini kepada ayah Pramono, dan tentu saja hasilnya tidak ada. Mengingat masa pertemuan Reyhan dan perempuan penakluknya, di saat akhir pekan selalu dia sempatkan mengunjungi Arum dengan penuh senyuman. Gadis pertama yang bisa membuat dosen muda luluh lantah. Toko kue di desa Arum adalah tempat mereka bersama, meski si gadis tidak tahu maksud kedatangan laki-laki ini tiap minggu, dia selalu menyambut ramah. Pria itu selalu duduk pad
“Papa juga tidur di sini, ya.” Ajak Ayanna melihat ayahnya baru muncul. Sorot mata Arum lalu beralih kearah pintu, menangkap laki-laki berkaos putih longgar. Sepertinya itu baju kesukaan Adnan, hampir tiap malam si istri memperhatikan. Raut tampan lelaki di sana kebingungan, dia harus mengiyakan atau menolak. “Papa ada kerjaan, sayang.” Alasan klasik demi menghalau kecanggungan terhadap Arumi. Adnan berbalik cepat. “Ana, sama mama saja, Anthea juga di sini kok.” Perempuan tersebut mengerti gerak-gerik pria itu. Ayah anak-anak masih mendengar ucapan si istri, tanpa arah di terus melangkah lalu menuju ruang keluarga – menyalakan televisi untuk mengusir kesunyian. Dia mengganti-ganti channel satu ke channel lainnya demi menghilangkan kebosanan. Adnan juga terkaget ketika melihat Arum bersama si kembar. Tuan rumah berbaring di atas sofa sambil mendengar ocehan televisi, berusaha menutup mata, ada sedikit rasa mengantuk rupanya. Kemudian ia
“Papa.” Suara kecil mampu membangunkan pria yang tak sengaja tertidur pada sisi hospital bed. “Sayang, mau minum? Atau Ayanna mau yang lain? Badan Ana (Ayanna) ada yang sakit?” Si kecil Adnan menyingkirkan selimut tebal dari tubuhnya, “Gerah, Pa. Ana gak mau pakai selimut.” Masih terdengar jelas ucapan lemah dari putri sulungnya. “Ana mau duduk.” Permintaan gadis mungil, dia terlihat sulit bergerak. Dengan sigap seorang ayah memindahkan anaknya untuk bersandar pada kepala ranjang, lalu secara otomatis bed electric tersebut perlahan bergerak melengkung, agar gadis kecil itu merasa nyaman. Ayanna menatap ruangan yang hanya di isi benda-benda dan fasilitas lainnya, seolah mata sayu putri Adnan mencari seseorang. “Mama?” bocah di atas ranjang bertanya, lekat memandang mata yang mirip dengannya, netra Adnan. “Papa panggil mama dulu, ya.” Dijawab anggukan singkat sang anak. Selang satu menit, lelaki tadi datang ber
Tok. Tok. Tok.Istri Adnan mendatangi kamar utama. Pria di sana sama sekali tidak keluar dari kamar sejak tadi. Dia mengelak bertemu sepupu bandel, Rani. Gadis itu berlaku seenaknya, seperti teman seusia terhadap Adnan yang lebih dewasa, ditambah adik sepupunya selalu mendapat kesempatan menyentuh, baik bagian tangan maupun merangkul. Dilihat dari bagaimana hati-hatinya Adnan menjaga jarak pada lawan jenis, menjadikannya tidak nyaman dengan perlakan Rani. Sebuah pengajaran yang terus ditanam oleh Wirahardi.“Siapa?” raung laki-laki itu dari kamar utama. Dia seolah waspada pada Rani.“A-arum.”Derap langkah mampu didengar perempuan di depan pintu, sedang menuju kearahnya. Sesaat kemudian pintu itu terbuka, menampakkan pria gagah yang masih memiliki rambut acak-acakan. Adnan sepertinya habis membersihkan tubuh atau mandi.“Rani sudah pulang?” tanya lelaki berkaos oblong coklat.“Sudah.”&l
“Reyhan? Kamu ada di sini sedang apa?” mata sipit dokter Indo-China melirik curiga. “Aku kebetulan melihatnya, berniat membantu. Ternyata dia mahasiswi di kampusku” Reyhan sedikit memperjelas, pak dosen takut ada kesalahpahaman. Reyhan tahu bagaimana sifat teman Adnan ini. Rani melangkah menyamping perlahan-lahan, mendekati dokter Dika. Gadis itu seperti mati kutu di depan Reyhan. ‘Kenapa dia terlihat seperti gadis yang polos.’ batin Dika berkata heran. “Terima kasih Rey sudah berniat baik pada Rani, kau tidak perlu melakukannya. Biar aku yang urus mobil itu,” Rani bersyukur mendengar penjelasan teman Adnan. “Kau bisa menolongnya mengantar ke kampus saja, tidak masalah, kan?” tambah dokter Dika, membuat gadis berlagak lugu membulatkan mata dengan sempurna. 'Padahal lagaknya tadi seolah menolak' kesal gadis di sebelah. Rani tertawa canggung, “Ti-tidak usah (mengayunkan tangan sebagai penolakan) sa-saya bisa pergi sendiri kok.”
“Kenapa pulangnya kemalaman?” Arum belum menjawab. “Eh, bukan bermaksud apa-apa. Aku hanya bertanya, bukannya kamu ada dua karyawan ya?” Adnan jadi salah tingkah, ia takut menyinggung. Atau Arum merasa dia marah karena membawa anak-anak sampai jam malam. “Maaf.” “Eh. Kenapa minta maaf? A-aku hanya bertanya” Adnan kelagapan. ‘Adnan, Adnan. Kau memang payah, benar kata Dika’ keluhnya sendiri. . . Laki-laki bangun tidur yang berpakaian sangat santai, celana katun panjang dan baju kaus longgar, menuruni tangga dengan menguap beberapa kali. Matanya terlihat lebih kecil, mungkin karena dia masih mengantuk. Langkah pelan Adnan tiba di depan lemari dapur, membuka bagian atas, mengambil kopi sachet-an untuk diseduh. Pria sedang bermalasan itu pun mendengar samar-samar ocehan televisi. “Hmm…” Adnan menghirup wangi kopi latte dari asap yang beterbangan. Bermodal segelas kopi, tuan rumah kembali melangkah menuju ruang meno