“Bisa saya membantu bapak memilih kue?” salah satu karyawan toko kue milik Arumi menawarkan pada laki-laki yang baru tiba, sosok itu seperti tidak mengerti dengan makanan tersebut.
“Apa saya bisa bertemu pemilik toko kue ini?”
“Maaf, pak. Pemilik toko sangat jarang berkunjung, mungkin hanya sekali dalam dua minggu.”
“Bisakah kamu telepon? Saya ada beberapa urusan, katakan padanya kalau saya temannya.” Pinta Reyhan.
Pria itu sendirian mengunjungi toko kue yang dia cari-cari cukup lama, pernah menanyakan perihal ini kepada ayah Pramono, dan tentu saja hasilnya tidak ada.
Mengingat masa pertemuan Reyhan dan perempuan penakluknya, di saat akhir pekan selalu dia sempatkan mengunjungi Arum dengan penuh senyuman. Gadis pertama yang bisa membuat dosen muda luluh lantah. Toko kue di desa Arum adalah tempat mereka bersama, meski si gadis tidak tahu maksud kedatangan laki-laki ini tiap minggu, dia selalu menyambut ramah.
Pria itu selalu duduk pad
beri dukungan author dengan memberi bintang 5 dan permata ^^
Tumpukan buku medis ber-cover bagian-bagian tubuh manusia yang akan membelenggu seorang dokter bedah. Secangkir kopi sepertinya hampir habis, lain pula kacamata bertengger setia untuk mata pria itu. Kabarnya besok Adnan akan melakukan pengoperasian pada seorang anak laki-laki, sekitar umur Sembilan tahun. Dia beranjak dari kursinya hanya ketika ke kamar mandi kemudian melakukan aktivitas yang sama kembali. Setelah ucapan yang berbau ejekan dari teman-temannya, terselip bayangan wajah Arum kala tersenyum di saat menonton acara favoritenya. Yang tak lain acara mingguan seorang akademisi. Mungkin gadis itu telah memutuskan pengabdiannya pada laki-laki pemilik tawa yang menundukkan. Hanya saja, kata per kata dari seorang dosen muda tak bisa lenyap sembarangan. Dokter yang di benamkan oleh buku-buku medis menyampaikan kekalahannya, dia sudah ambruk tertidur. Adnan terlelap sambil duduk, sampai tak menyadari ada orang lain menghampiri. Arum tampak bingung, pasti su
Berulang kali Adnan membuat matanya terbuka lalu tertutup, ia sedang mengusahakan agar mengikuti lelapnya si kecil Ayanna. Tak ayal selama tiga puluh menit mata itu memperhatikan gerakan jarum jam dinding, benda yang berbentuk lucu bagi anak-anak.Pada akhirnya Adnan memilih ke dapur setelah merasa tenggorokannya kering. Ia menyesalkan dirinya yang tidak bisa tidur, sebab esok waktunya akan dikuras sedari pagi, mungkin sarapanpun bisa tertinggal seperti kala itu. Tak apalah kalau Arum menyiapkan bekal kembali, toh ia harus membiasakan diri dengan perhatian-perhatian kecil tersebut.Pria itu menoleh cepat setelah ada suara grasah-grusuh dan pekikan kecil dari luar. Samar-samar ia mendengar layaknya suara seorang perempuan.Ketika Adnan berdiri di ambang pintu, ia mendapati Arum tengah melompat-lompat hendak mengambil sesuatu. Rambut panjang sang istri tertiup angin memperlihatkan anting cantik tersemat di telinga. Hidung mancungnya terlilhat jelas dari samping.
Dua makhluk kecil mengintip kemudian menyelinap melalui pintu. Si bungsu Anthea memberikan isyarat pada saudaranya. “Ssttt…” seiring Anthea menaruh telunjuk di depan mulut. Mereka bermaksud mengejutkan ayahnya. Adnan yang sedang mengikat dasi – bersiap akan bekerja – mendengar langkah pelan yang menapak bergantian. Perlahan pria itu menoleh, benar saja putri kembarnya sudah mengendap-endap mendekati. Berikutnya Adnan pula memberikan isyarat agar dua makhluk kecil ini tidak berisik. Persis apa yang dilakukan si bungsu tadi. “Mama lagi sakit.” Sembari menunjuk perempuan terlelap di tempat tidur. Arum terlihat menikmati dunia istirahatnya, seolah tenang. Bahkan pagi ini Adnan lebih dulu terbangun dan sudah bersiap-siap. Ucapan Adnan hanya berlaku beberapa saat saja, tak lama setelah itu si kembar mulai mengusik mamanya. Mereka juga saling menjahili di sebelah tubuh Arum yang masih memejamkan mata. “Thea, kamu jangan belisik.” Ayanna mengingatkan si bungsu, padahal suaranyalah sebag
Gadis kecil kembar yang sangat cantik mengenakan gaun putihnya. Usia mereka tiga tahun. Dua putri dari laki-laki tampan bernama Adnan Wijaya sedang bermain bersama sang Mama, yaitu perempuan berstatus istri bagi Adnan. Sedangkan lelaki itu tengah bersiap-siap untuk pernikahannya. Lalu duduk pada tepian tempat tidur. Terlihat kesedihan bercampur rasa marah pada wajah yang terus menatap Hana. Hana pun enggan memandang Adnan disana, ia takut tidak bisa menahan air mata. Senyum palsu merekah ketika meladeni kedua putrinya yang mengoceh bertanya. “Han. Apa kamu sudah memikirkannya lagi?” Adnan membuka suara. Ia masih tak habis pikir. Ide gila macam apa ini! dirinya tahu bagaimana sakitnya di madu. Hana menoleh sesaat, kemudian mendekat. Duduk disamping Adnan yang sudah mengenakan pakaian pernikahan. Memegang tangan suaminya. “Mas. Aku baik-baik saja. pernikahan ini sudah aku pikirkan sejak lama. sebelum anak kita genap tiga tahun. Dan sesuai janjik
Sepulang dari tugasnya sebagai dokter, Adnan dengan penuh gembira membawa hadiah kecil untuk putri kembarnya. Disambut senyum hangat sang istri sembari mengambil dan membawa tas kerja yang ia bawa.“Sayang. Muka kamu pucat. Kamu sakit? Ayo aku periksa sebentar.” pria itu sedikit khawatir.“Tidak usah, Mas. Ini Cuma kecapek-an, nanti bisa sembuh sendiri sehabis istirahat.”Adnan meng-iyakan dan tak ambil pusing pada kondisi si istri. Mungkin benar hanya letih biasa. Kemudian ia melangkah menuju kamar dan langsung membersihkan diri. Bau obat masih melekat pada bajunya. Barulah dua bocah kembar menghampiri ayahnya yang sedang berganti pakaian. Memeluk kaki Adnan pada masing-masing sisi, meminta di gendong.“Anak Papa sudah bisa minta ini itu, ya?” ia berjongkok lalu mengecupi pipi anaknya gemas.“Ayo kita temui Mama dibawah.”Dari kejauhan Adnan melihat istrinya sedang menyiapkan makan malam, soso
***Hana dan seorang laki-laki yang di panggilnya paman sedang berbincang serius, terlihat ada perdebatan kecil setelah itu. Terdengar si Paman berulang kali mengatakan hal yang sama, tetap saja perempuan berjilbab tak mengindahkannya.“Adnan suami kamu, Han. Bahkan dia sangat berhak untuk tahu.”“Tidak, Paman. Aku tidak ingin menyiakan waktu seperti papa dulu. Kebersamaannya dengan kami bisa dikatakan sedikit, waktunya dihabiskan untuk kemoterapi berlanjut radioterapi sampai…” istri Adnan tak sanggup melanjutkan.“Resepkan saja obatnya paman, setidaknya memperpanjang waktu untukku membahagiakan Mas Adnan dan anak-anak meski sebentar.”Pria itu menghela napas, tak mengerti maksud perempuan pemilik senyum manis ini.“Kamu masih bisa sembuh, Han. Paman yang akan langsung menanganimu.” Suryo bersikekeh.Hana terdiam, enggan melanjutkan obrolan mereka yang ujung-ujungnya pasti berdeba
Di depan sebuah kamar dimana Hana terbaring, laki-laki dengan wajah kusut sedang bersandar pada kursi ruang tunggu. Sudah di pastikan dia menunggu istrinya, Hana. Dengan rambut acak-acakan lupa akan waktu. Adnan tidak ingin meninggalkan ibu dari anaknya walau sedetikpun.Dering telepon mengganggu lamunan suami Hana, tertulis nama ibu Dahlia pada layar ponselnya. Tentu saja bukan pemilik ponsel yang menghubungi, melainkan Bibi pekerja sekaligus pengasuh si kembar. Ibu Dahlia hanya meminjamkan benda pipih tersebut.Perempuan paruh baya itu menghubungi melalui panggilan video. Sejujurnya Bibi tidak bisa menggunakan handphone. Pada usia yang terbilang tidak muda lagi, Bibi sudah tidak berniat belajar menggunakannya. Maka dari itu, bibi meminta tolong ke pekerja bagian mencuci pakaian. Umurnya juga lebih muda jika dibandingkan si bibi.“Papa.”“Papa.”Ayanna dan Anthea bergantian memanggil sang ayah. Jangan lupakan kata terjelas
*** Disaat pintu kamar tidur terbuka, Adnan mengalihkan pandangan, Melihat perempuan disana berjalan mendekati meja rias. Melucuti jilbab bermotif dari merk tertentu.Adnan memberi senyum kepada istrinya, sambil melangkah kearah tempat tidur. Terdengar helaan napas kasar dari sisi meja rias, Hana sedang gugup rupanya. Ada sesuatu yang harus ia bicarakan pada Adnan. Sedangkan pria itu masih terduduk pada sisi kasur, memainkan ponsel sebelum ia tidur.Hana mendekat “Mas. Ada yang ingin aku bahas denganmu. Tapi sebelumnya aku memiliki alasan kuat untuk ini” Adnan beralih menatap istrinya dengan raut penuh tanya.Perempuan yang sudah tak berpenutup kepala lagi terdiam sesaat. Kembali mencerna sesuatu yang dituju. Benarkah keputusannya? Yang pasti, Hana harus mencoba terlebih dahulu. Bisa saja spekulasinya salah - berupa penolakan dari Adnan.“Apa perlu… aku mencarikan perempuan baik untukmu?” cicit Hana, tida