Di depan sebuah kamar dimana Hana terbaring, laki-laki dengan wajah kusut sedang bersandar pada kursi ruang tunggu. Sudah di pastikan dia menunggu istrinya, Hana. Dengan rambut acak-acakan lupa akan waktu. Adnan tidak ingin meninggalkan ibu dari anaknya walau sedetikpun.
Dering telepon mengganggu lamunan suami Hana, tertulis nama ibu Dahlia pada layar ponselnya. Tentu saja bukan pemilik ponsel yang menghubungi, melainkan Bibi pekerja sekaligus pengasuh si kembar. Ibu Dahlia hanya meminjamkan benda pipih tersebut.
Perempuan paruh baya itu menghubungi melalui panggilan video. Sejujurnya Bibi tidak bisa menggunakan handphone. Pada usia yang terbilang tidak muda lagi, Bibi sudah tidak berniat belajar menggunakannya. Maka dari itu, bibi meminta tolong ke pekerja bagian mencuci pakaian. Umurnya juga lebih muda jika dibandingkan si bibi.
“Papa.”
“Papa.”
Ayanna dan Anthea bergantian memanggil sang ayah. Jangan lupakan kata terjelas gadis mungil itu hanya ke dua orang tuanya ‘Mama dan Papa.’
“Maaf, Pak. Mereka rewel manggil-manggil mama dan papanya. Bibi jadi tidak tega.” Bibi merasa tidak enakan, ia juga tahu kalau Adnan pasti lebih kalut memikirkan Hana.
“Enggak apa-apa, Bi. Mana dua kecilku?” pinta Adnan.
Layar ponsel itu pun bergerak kearah putrinya, masih tersedu dua gadis kecil kembar disana, telah menyelesaikan acara menangis bersama. Mereka cukup tertipu oleh ide bibi.
Disaat yang sama, laki-laki berambut hitam bercampur putih dan terlihat jelas dari kulitnya kalau ia tak muda lagi. Menghampiri Adnan. Jalan yang sudah tidak setegap dulu, berdiri di depan sang putra semata wayang. Dia lah ayah dari Adnan Wijaya.
Segera putra Wijaya menyalami tangan Wirahardi yang tidak perkasa lagi, punggung tangannya juga telah di hiasi urat-urat yang sedikit menonjol. Kemudian memutuskan panggilan video sesaat tadi.
“Ingat, Nan. Semua ini adalah cobaan rumah tangga kalian. Tak seharusnya kamu bersikap seolah tidak ada harapan. Kamu punya penguasa yang maha besar. Berdo’a lah. Minta yang terbaik.”
“Jaga kondisi tubuhmu. Ayanna dan Anthea butuh peran ayahnya.” Imbuh pria tua itu.
Adnan terdiam sesudah mendengar tutur Wirahardi.
Meski berat untuk beranjak, seakan ia meninggalkan Hana. Tetap saja Adnan membeli makan siang sebentar. Tubuhnya bukan terbuat dari besi, dan dia butuh asupan agar terjaga kesehatannya.
***
Hari demi hari telah terlewati, do’a seorang putra Wijaya terkabul. Hana dikatakan sudah lebih baik oleh dokter yang menangani penyakit-nya. Beberapa rangkaian kemoterapi telah dijalani dengan baik.
Hana di perbolehkan pulang, tentu saja bersama pesan-pesan dari dokter. Hal-hal yang seharusnya di hindari pasien.
Tampak tubuh istri Adnan lebih kurus dari sebelumnya, hanya saja pakaian panjang dan longgar mampu menutupi. Hana begitu bahagia bisa melihat dua gadis mungilnya kembali. Langkah Hana juga masih dibantu sang suami. Jangan tanyakan seberapa perhatian Adnan pada istrinya.
Si kembar cucu Wijaya berlari menghampiri, mengoceh menceritakan hal baru dalam kesehariannya. Meski terbata, ucapan mereka tetap bisa di mengerti Hana. Berkali-kali ibu muda ini menghujani anaknya sebuah ciuman.
Sampai Anthea minta di gendong lalu disusul rengekan Ayanna.
“Sayang. Mama butuh istirahat, jadi belum bisa mengangkat kalian” Adnan memberi pengertian.
Kemudian ibu Adnan menyuguhkan pelukan kepada menantunya, mengucapkan selamat datang di rumah kecil mereka. Mata itu terlihat berkaca dan di iringi senyum bahagia.
.
Telah dua minggu semenjak Hana melakukan kemoterapi, akhir-akhir ini tak jarang istri Adnan melihat beberapa helai rambutnya menempel di kerudung. Terlebih jika dia mengenakan kerudung berwarna terang.
Depan cermin Hana berdiam diri sambil memegang kain penutup kepala segi empat, sejenis scarf.
“Ada apa, Han?” tegur suaminya.
Setelah kepulangan Hana pasca kemoterapi, Adnan selalu pulang lebih awal. Bahkan sebelum magrib menjemput. Dia meminta di kurangi dari jadwal sebelumnya.
Pria itu melirik kain yang di genggam Hana, jelas sekali rambut-rambut saling tindih.
“Itu efek samping dari kemo, Han. Hal itu normal-normal saja. kamu tidak usah terlalu memikirkannya.”
Perempuan yang sudah membiarkan rambutnya terurai, langsung memeluk Adnan. Menenggelamkan wajahnya di dada nyaman lelaki tersebut. Pelupuk mata pun menjadi lembab.
Adnan membuat Hana melepaskan pelukannya, menatap lekat wajah sedikit lebih tirus sang istri. Lalu tersenyum dan mengecup dahi cukup lama.
“Kenapa sekarang jadi cengeng?” Adnan melemparkan candaan setengah mengejek.
“Enggak tuh!” Perempuan itu seketika cemberut, enak saja laki-laki di hadapan mengatainya cengeng.
Lelaki tampan putra Wijaya tertawa renyah melihat kekesalan sang istri.
“Ya sudah. Aku mau mandi sebentar, setelah itu baru menidurimu.”
Sontak Hana membalas “Meniduri?” maksud yang ia tangkap sedikit ambigu.
Suara tawa pun kembali memenuhi kamar mereka, Adnan benar-benar tak pecaya kalau istrinya bisa berpikiran seperti itu.
“Maksudnya. Aku akan memelukmu hingga tertidur, biarkan dada ini memberi kenyamanan penuh” tunjuk pria ini bangga. Berhasil membuat Hana tersenyum lebar.
“Tapi kalau kamu tidak marah, aku bisa meminta lebih dari sekedar pelukan.” Dengan kata nakalnya yang di iringi kedipan satu mata menambah rona merah pada pipi sang istri.
“Cepat mandi sana!” kata terakhir yang mampu mengurangi rasa malu dari diri seorang perempuan.
Beberapa menit telah menyelesaikan ritual pembersihan Adnan, wangi sabun menyeruak dari kamar mandi. Rambutnya yang basah sedikit meneteskan air ke lantai. Dengan santainya, lelaki tersebut melangkah mendekati Hana. Berniat menggoda si istri.
“Sayang, kamu sudah tidur?” ia mendapati Hana berbaring menyamping menutup mata. Akhirnya Adnan berganti haluan, menuju lemari pakaian.
‘Maaf, Mas. Aku tidak bisa menjadi istri sepenuhnya lagi buat kamu’ hati Hana bersuara. Dirinya tidak benar-benar tidur, hanya saja mengelak supaya mereka tidak melakukan hubungan suami isteri. Serta tubuh itu tidak seperti biasanya yang mampu.
Hana sangat paham, jika seorang pria membutuhkan hal itu. Dan pikirannya kembali terusik, rasa bersalah semakin membesar.
Seketika Hana merasakan tempat tidurnya bergerak, secepat mungkin ia kembali terpejam. Ternyata Adnan yang telah selesai berpakaian. Laki-laki itupun menipiskan jarak, mengeratkan pelukan terhadap istrinya.
Mengecup dahi sang istri sebagai bentuk pengantar tidur. Akan tetapi ia teralihkan sesuatu di bawah hidung. Sudah lama ia tak merasakan lembutnya benda tersebut. dengan singkat Adnan mengecupnya.
‘Ini yang terakhir.’
Sial sekali, ia menjadi ketagihan. Pada tahap ke-dua pria itu sedikit lebih lama hingga memberi tekanan kecil.
“Mas!” Ucap Hana. Sedari tadi dirinya diam dan menahan agar tak bergerak.
Sontak Adnan memegang tengkuk Hana dan memperdalam kegiatannya tadi. Putra Wijaya sudah kehilangan kendali.
“Mas Adnan” perempuan itu berkata di sela Adnan melepas pagut-an nya.
Seolah tersadar kembali, pria ini memberhentikan aktifitasnya, menatap sendu wajah cantik Hana.
“Mas. Aku-”
“Sssttt. Aku yang salah. Jangan pernah kamu berpikir untuk menyalahkan diri sendiri lagi.” Adnan memotong perkataan istrinya.
“Mas. Aku benar-benar minta maaf.” Hana tak sanggup membendung air mata lagi. Ia terisak dalam pelukan Adnan.
“Aku minta maaf.” lirih Hana.
Putra Wijaya tidak bisa membalas ucapan Hana, dia terdiam sambil memeluk erat. Dirinya sangat tahu bahwa perempuan cantik ini tertekan. Dan sangat paham bagaimana Hana selalu menyalahkan diri sendiri terhadap kekurangan yang di miliki.
“Sayang. aku tidak bermaksud membuatmu bersedih. Aku sungguh menerima kamu apa adanya. Tidak ada tuntutan sama sekali” Adnan bergumam kecil.
*** Disaat pintu kamar tidur terbuka, Adnan mengalihkan pandangan, Melihat perempuan disana berjalan mendekati meja rias. Melucuti jilbab bermotif dari merk tertentu.Adnan memberi senyum kepada istrinya, sambil melangkah kearah tempat tidur. Terdengar helaan napas kasar dari sisi meja rias, Hana sedang gugup rupanya. Ada sesuatu yang harus ia bicarakan pada Adnan. Sedangkan pria itu masih terduduk pada sisi kasur, memainkan ponsel sebelum ia tidur.Hana mendekat “Mas. Ada yang ingin aku bahas denganmu. Tapi sebelumnya aku memiliki alasan kuat untuk ini” Adnan beralih menatap istrinya dengan raut penuh tanya.Perempuan yang sudah tak berpenutup kepala lagi terdiam sesaat. Kembali mencerna sesuatu yang dituju. Benarkah keputusannya? Yang pasti, Hana harus mencoba terlebih dahulu. Bisa saja spekulasinya salah - berupa penolakan dari Adnan.“Apa perlu… aku mencarikan perempuan baik untukmu?” cicit Hana, tida
“Mbak, saya ambil minum dulu.” Arum meninggalkan istri Adnan sendirian di ruang tamu. Tampak mata Hana menyapu ruangan rumah pak Pramono. Satu foto zaman dulu berbingkai kayu sederhana, terdapat salah satu pria yang ia kenali. Dalam foto tersebut ada dua laki-laki ber-usia dua puluhan. Setelan celana pendek khas di zaman-nya, sekitar tahun 80-an, dan baju kaos yang terlihat kusam. “Bagaimana kabarnya, Hana?” sapaan dari pak Pramono. di iringi kedatangan Arum yang membawa air putih. Hana pun tersenyum, ia bisa merasakan bahwa keluarga ini sangat menghargai orang lain. ayah Arum yang begitu lembut memulai obrolan. “Baik, Pakde.” “Maaf, mbak. Cuma air putih. Aku takut kalau minuman lain mbak nggak bisa” Arum khawatir menghidangkan minuman yang salah. Sedikit banyak ia tahu bahwa penyakit Hana tidak boleh sembarang makanan atau pun minuman di konsumsi. Pak Pramono cukup terkejut dengan kedatangan Hana secara tiba-tiba. Jujur saja, sedari t
Palidase hitam berhenti tepat di halaman rumah keluarga Pramono. Mereka terkejut, mobil siapa sebagus itu? kalau di pikir-pikir, Arum tidak pernah mengajak seorang teman yang memiliki mobil mewah – terlihat berkilau secara keseluruhan.Laki-laki dengan pakaian rapi menghampiri pria paruh baya yang sedang berdiri di ambang pintu, raut pria paruh baya tadi terlihat heran.Di saat pemilik mobil palidase tepat berdiri di hadapan tuan rumah, barulan ayah Arum mengenali siapa lelaki rapi tersebut. Adnan. Entah gerangan apa yang membuatnya mengunjungi keluarga Pramono, setelah lima hari kedatangan Hana.“Assalamualaikum, Pak.” Sapa Adnan tersenyum tipis. Lalu disambut oleh pemilik rumah, “Walaikumsalam.” Mereka saling bersalaman.“Kamu sendirian, Nan?” pak Pramono memastikan, Ia juga tak mendapati Hana datang bersama Adnan. Dan dijawab anggukan saja oleh pria itu.Kemudian mempersil
Kabar gembira sudah tersampaikan ke telinga Hana, juga keluarga Adnan. Bagaimana keluarga Wijaya bisa menyetujui pernikahan ini? di balik itu semua, ada perbincangan yang hanya diketahui pihak mertua dan menantu. Entah sejak kapan, pastinya Adnan tidak tahu.Satu bulan lamanya, kondisi istri Adnan belum menunjukkan perubahan yang benar-benar menyatakan bahwa tubuh itu pulih. Namun, ia memaksa untuk ikut hadir dan melihat langsung pernikahan Arum dan sang suami.Polesan lipstick bisa menutupi bibir pucatnya.“Han. Kamu tidak masalah?” istri Wirahardi menatap lembut Hana, dirinya tampak tidak tega melihat perempuan baik sebagai menantunya ini.“Aku baik-baik saja, Ma.” Sahut Hana menenangkan, kentara senyum palsu yang tercetak pada wajah putih itu.Hana sangat tahu keluarga dari Adnan begitu menghargai dan menyayanginya, terlebih Wirahardi yang lembut ketika berbicara, menganggap layaknya Hana memang putri kandung keluarga mer
Obrolan pertama Adnan dan Arum yang terkesan kaku, cukup sebagai langkah awal mereka menjadi seorang teman, mungkin. Mengingat bagaimana Hana bisa memilih perempuan pemilik gingsul itu.Sebelum Hana mengunjungi kediaman keluarga Pramono, terlebih dahulu ia melihat Arum dan ayah Pramono sedang berbincang seru. Sekitar satu bulan yang lalu.Kala itu Adnan hendak mengajak keluarga kecilnya jalan-jalan mengitari kota. Mengunjungi spot wisata malam atau sekedar makan di resto. Disana pasti banyak lampu berkelip dan cantik. Adnan bermaksud menyenangkan suasana hati perempuan tercantik – istrinya.Adnan teringat perkataan Paman Suryo saat pertemuan mereka di rumah sakit kala Hana dirawat. Kalau dirinya perlu memperbaiki kondisi hati si istri. Dia tipe perempuan yang selalu beranggapan kesalahan dan terkait Adnan serta si kembar adalah dirinya.“Kamu cantik sekali” Adnan melihat sang istri selesai berdandan. Hana bersemu merah jadinya. Bocah kec
“Mama?” celetuk Anthea dari atas ranjang. Memiringkan kepalanya sembari menatap lekat wajah Arum.“Ini mama Ea (menyebut Anthea, karena ucapan mereka belum tepat, maka terdengar ‘ea’) juga?” Arum tersenyum, gadis mungil didepannya begitu menggemaskan.Ke dua putri Adnan tampak kebingungan, bersamaan menoleh ke arah bibi.“Mama Ana? (Ana yang di maksud adalah Ayanna)” kali ini si sulung bertanya, dia cukup mengerti siapa ibu yang sebenarnya. Toh selama ini Hana adalah perempuan yang mereka temui setiap hari, memberikan kasih sayang dan mengajari banyak hal.Bibi pun terdiam, jawaban apa yang tepat untuk mereka. Anak-anak usia tiga tahun acap kali memberi pertanyaan-pertanyaan yang membuat para orang tua kelabakan.“Ah… mama Ayanna di rumah sakit, lagi berobat.” Bibi berharap ucapannya tidak salah.Kamar itu menjadi hening, tidak sesiapa mengeluarkan suara, meski sepatah kata.
Adnan melangkah tergesa-gesa di koridor rumah sakit, siapapun tahu kemana tujuan lelaki tampan itu selain ruang perawatan Hana. Ruang kerja dokter Dika. Dia terpaksa mengembangkan senyum setiap menerima sapaan dari perawat yang kebetulan bertemu.“Adnan! Kau tidak bisa membuka pintu pelan-pelan, ya?!” dokter Dika dikejutkan oleh kelakuan putra Wijaya. Dia yang awalnya baru menikmati kesantaian, hendak bersandar pada kursi kerja.Tanpa menghiraukan ucapan Dika, Adnan langsung berbaring di atas sofa yang tersedia. Berada tak jauh dari meja kerja dokter Dika.Dika menggeleng pelan “Ada apa?” mendekati laki-laki di sana, yang menutupi sebagian wajahnya dengan lengan.“Hana lagi?” dokter Dika tahu permasalahan Adnan. Selama seminggu ia menggantikan jadwal temannya ini.“Bagaimana pekerjaanku?” tanya Adnan. Dokter Dika pun mengerutkan dahi, masih belum mengerti. Bukankah dirinya bertanya tentang Hana? Bagai
“Kenapa perempuan tadi sendirian duduk di sana?” dokter Dika bertanya. Raut laki-laki di depannya sedikit tersentak, dia mengira Arum ke toilet barang sebentar.“Tolong jaga mereka (Ayanna dan Anthea) sebentar. Aku mau menyuapi makan siang Hana.” Adnan berdalih.Ayah si kembar bergegas menyeterilkan tubuhnya, mencuci tangan, berganti pakaian sesuai peraturan yang tertera. Tak bisa dibohongi, pikiran Adnan masih tertuju pada perkataan Dika. Perempuan yang di maksud pasti Arumi.Barulah dia membuka pintu ruang perawatan, senyuman Adnan juga tak kunjung hilang, demi menunjukkan pada Hana bahwa dia baik-baik saja.Meski dokter Dika merengut, tingkah lucu si kembar memaksa tawa renyahnya terbit. Sesekali Anthea menunjukkan sikap yang di warisi Adnan – berlaku semaunya. Membuat Dika kesal saja***Seiring Adnan melayani Hana, putri kembar di luar ruangan menguap bergantian. Mungkin benar jika ilmuan mengatakan kalau m
Dua makhluk kecil mengintip kemudian menyelinap melalui pintu. Si bungsu Anthea memberikan isyarat pada saudaranya. “Ssttt…” seiring Anthea menaruh telunjuk di depan mulut. Mereka bermaksud mengejutkan ayahnya. Adnan yang sedang mengikat dasi – bersiap akan bekerja – mendengar langkah pelan yang menapak bergantian. Perlahan pria itu menoleh, benar saja putri kembarnya sudah mengendap-endap mendekati. Berikutnya Adnan pula memberikan isyarat agar dua makhluk kecil ini tidak berisik. Persis apa yang dilakukan si bungsu tadi. “Mama lagi sakit.” Sembari menunjuk perempuan terlelap di tempat tidur. Arum terlihat menikmati dunia istirahatnya, seolah tenang. Bahkan pagi ini Adnan lebih dulu terbangun dan sudah bersiap-siap. Ucapan Adnan hanya berlaku beberapa saat saja, tak lama setelah itu si kembar mulai mengusik mamanya. Mereka juga saling menjahili di sebelah tubuh Arum yang masih memejamkan mata. “Thea, kamu jangan belisik.” Ayanna mengingatkan si bungsu, padahal suaranyalah sebag
Berulang kali Adnan membuat matanya terbuka lalu tertutup, ia sedang mengusahakan agar mengikuti lelapnya si kecil Ayanna. Tak ayal selama tiga puluh menit mata itu memperhatikan gerakan jarum jam dinding, benda yang berbentuk lucu bagi anak-anak.Pada akhirnya Adnan memilih ke dapur setelah merasa tenggorokannya kering. Ia menyesalkan dirinya yang tidak bisa tidur, sebab esok waktunya akan dikuras sedari pagi, mungkin sarapanpun bisa tertinggal seperti kala itu. Tak apalah kalau Arum menyiapkan bekal kembali, toh ia harus membiasakan diri dengan perhatian-perhatian kecil tersebut.Pria itu menoleh cepat setelah ada suara grasah-grusuh dan pekikan kecil dari luar. Samar-samar ia mendengar layaknya suara seorang perempuan.Ketika Adnan berdiri di ambang pintu, ia mendapati Arum tengah melompat-lompat hendak mengambil sesuatu. Rambut panjang sang istri tertiup angin memperlihatkan anting cantik tersemat di telinga. Hidung mancungnya terlilhat jelas dari samping.
Tumpukan buku medis ber-cover bagian-bagian tubuh manusia yang akan membelenggu seorang dokter bedah. Secangkir kopi sepertinya hampir habis, lain pula kacamata bertengger setia untuk mata pria itu. Kabarnya besok Adnan akan melakukan pengoperasian pada seorang anak laki-laki, sekitar umur Sembilan tahun. Dia beranjak dari kursinya hanya ketika ke kamar mandi kemudian melakukan aktivitas yang sama kembali. Setelah ucapan yang berbau ejekan dari teman-temannya, terselip bayangan wajah Arum kala tersenyum di saat menonton acara favoritenya. Yang tak lain acara mingguan seorang akademisi. Mungkin gadis itu telah memutuskan pengabdiannya pada laki-laki pemilik tawa yang menundukkan. Hanya saja, kata per kata dari seorang dosen muda tak bisa lenyap sembarangan. Dokter yang di benamkan oleh buku-buku medis menyampaikan kekalahannya, dia sudah ambruk tertidur. Adnan terlelap sambil duduk, sampai tak menyadari ada orang lain menghampiri. Arum tampak bingung, pasti su
“Bisa saya membantu bapak memilih kue?” salah satu karyawan toko kue milik Arumi menawarkan pada laki-laki yang baru tiba, sosok itu seperti tidak mengerti dengan makanan tersebut. “Apa saya bisa bertemu pemilik toko kue ini?” “Maaf, pak. Pemilik toko sangat jarang berkunjung, mungkin hanya sekali dalam dua minggu.” “Bisakah kamu telepon? Saya ada beberapa urusan, katakan padanya kalau saya temannya.” Pinta Reyhan. Pria itu sendirian mengunjungi toko kue yang dia cari-cari cukup lama, pernah menanyakan perihal ini kepada ayah Pramono, dan tentu saja hasilnya tidak ada. Mengingat masa pertemuan Reyhan dan perempuan penakluknya, di saat akhir pekan selalu dia sempatkan mengunjungi Arum dengan penuh senyuman. Gadis pertama yang bisa membuat dosen muda luluh lantah. Toko kue di desa Arum adalah tempat mereka bersama, meski si gadis tidak tahu maksud kedatangan laki-laki ini tiap minggu, dia selalu menyambut ramah. Pria itu selalu duduk pad
“Papa juga tidur di sini, ya.” Ajak Ayanna melihat ayahnya baru muncul. Sorot mata Arum lalu beralih kearah pintu, menangkap laki-laki berkaos putih longgar. Sepertinya itu baju kesukaan Adnan, hampir tiap malam si istri memperhatikan. Raut tampan lelaki di sana kebingungan, dia harus mengiyakan atau menolak. “Papa ada kerjaan, sayang.” Alasan klasik demi menghalau kecanggungan terhadap Arumi. Adnan berbalik cepat. “Ana, sama mama saja, Anthea juga di sini kok.” Perempuan tersebut mengerti gerak-gerik pria itu. Ayah anak-anak masih mendengar ucapan si istri, tanpa arah di terus melangkah lalu menuju ruang keluarga – menyalakan televisi untuk mengusir kesunyian. Dia mengganti-ganti channel satu ke channel lainnya demi menghilangkan kebosanan. Adnan juga terkaget ketika melihat Arum bersama si kembar. Tuan rumah berbaring di atas sofa sambil mendengar ocehan televisi, berusaha menutup mata, ada sedikit rasa mengantuk rupanya. Kemudian ia
“Papa.” Suara kecil mampu membangunkan pria yang tak sengaja tertidur pada sisi hospital bed. “Sayang, mau minum? Atau Ayanna mau yang lain? Badan Ana (Ayanna) ada yang sakit?” Si kecil Adnan menyingkirkan selimut tebal dari tubuhnya, “Gerah, Pa. Ana gak mau pakai selimut.” Masih terdengar jelas ucapan lemah dari putri sulungnya. “Ana mau duduk.” Permintaan gadis mungil, dia terlihat sulit bergerak. Dengan sigap seorang ayah memindahkan anaknya untuk bersandar pada kepala ranjang, lalu secara otomatis bed electric tersebut perlahan bergerak melengkung, agar gadis kecil itu merasa nyaman. Ayanna menatap ruangan yang hanya di isi benda-benda dan fasilitas lainnya, seolah mata sayu putri Adnan mencari seseorang. “Mama?” bocah di atas ranjang bertanya, lekat memandang mata yang mirip dengannya, netra Adnan. “Papa panggil mama dulu, ya.” Dijawab anggukan singkat sang anak. Selang satu menit, lelaki tadi datang ber
Tok. Tok. Tok.Istri Adnan mendatangi kamar utama. Pria di sana sama sekali tidak keluar dari kamar sejak tadi. Dia mengelak bertemu sepupu bandel, Rani. Gadis itu berlaku seenaknya, seperti teman seusia terhadap Adnan yang lebih dewasa, ditambah adik sepupunya selalu mendapat kesempatan menyentuh, baik bagian tangan maupun merangkul. Dilihat dari bagaimana hati-hatinya Adnan menjaga jarak pada lawan jenis, menjadikannya tidak nyaman dengan perlakan Rani. Sebuah pengajaran yang terus ditanam oleh Wirahardi.“Siapa?” raung laki-laki itu dari kamar utama. Dia seolah waspada pada Rani.“A-arum.”Derap langkah mampu didengar perempuan di depan pintu, sedang menuju kearahnya. Sesaat kemudian pintu itu terbuka, menampakkan pria gagah yang masih memiliki rambut acak-acakan. Adnan sepertinya habis membersihkan tubuh atau mandi.“Rani sudah pulang?” tanya lelaki berkaos oblong coklat.“Sudah.”&l
“Reyhan? Kamu ada di sini sedang apa?” mata sipit dokter Indo-China melirik curiga. “Aku kebetulan melihatnya, berniat membantu. Ternyata dia mahasiswi di kampusku” Reyhan sedikit memperjelas, pak dosen takut ada kesalahpahaman. Reyhan tahu bagaimana sifat teman Adnan ini. Rani melangkah menyamping perlahan-lahan, mendekati dokter Dika. Gadis itu seperti mati kutu di depan Reyhan. ‘Kenapa dia terlihat seperti gadis yang polos.’ batin Dika berkata heran. “Terima kasih Rey sudah berniat baik pada Rani, kau tidak perlu melakukannya. Biar aku yang urus mobil itu,” Rani bersyukur mendengar penjelasan teman Adnan. “Kau bisa menolongnya mengantar ke kampus saja, tidak masalah, kan?” tambah dokter Dika, membuat gadis berlagak lugu membulatkan mata dengan sempurna. 'Padahal lagaknya tadi seolah menolak' kesal gadis di sebelah. Rani tertawa canggung, “Ti-tidak usah (mengayunkan tangan sebagai penolakan) sa-saya bisa pergi sendiri kok.”
“Kenapa pulangnya kemalaman?” Arum belum menjawab. “Eh, bukan bermaksud apa-apa. Aku hanya bertanya, bukannya kamu ada dua karyawan ya?” Adnan jadi salah tingkah, ia takut menyinggung. Atau Arum merasa dia marah karena membawa anak-anak sampai jam malam. “Maaf.” “Eh. Kenapa minta maaf? A-aku hanya bertanya” Adnan kelagapan. ‘Adnan, Adnan. Kau memang payah, benar kata Dika’ keluhnya sendiri. . . Laki-laki bangun tidur yang berpakaian sangat santai, celana katun panjang dan baju kaus longgar, menuruni tangga dengan menguap beberapa kali. Matanya terlihat lebih kecil, mungkin karena dia masih mengantuk. Langkah pelan Adnan tiba di depan lemari dapur, membuka bagian atas, mengambil kopi sachet-an untuk diseduh. Pria sedang bermalasan itu pun mendengar samar-samar ocehan televisi. “Hmm…” Adnan menghirup wangi kopi latte dari asap yang beterbangan. Bermodal segelas kopi, tuan rumah kembali melangkah menuju ruang meno