***
Disaat pintu kamar tidur terbuka, Adnan mengalihkan pandangan, Melihat perempuan disana berjalan mendekati meja rias. Melucuti jilbab bermotif dari merk tertentu.
Adnan memberi senyum kepada istrinya, sambil melangkah kearah tempat tidur. Terdengar helaan napas kasar dari sisi meja rias, Hana sedang gugup rupanya. Ada sesuatu yang harus ia bicarakan pada Adnan. Sedangkan pria itu masih terduduk pada sisi kasur, memainkan ponsel sebelum ia tidur.
Hana mendekat “Mas. Ada yang ingin aku bahas denganmu. Tapi sebelumnya aku memiliki alasan kuat untuk ini” Adnan beralih menatap istrinya dengan raut penuh tanya.
Perempuan yang sudah tak berpenutup kepala lagi terdiam sesaat. Kembali mencerna sesuatu yang dituju. Benarkah keputusannya? Yang pasti, Hana harus mencoba terlebih dahulu. Bisa saja spekulasinya salah - berupa penolakan dari Adnan.
“Apa perlu… aku mencarikan perempuan baik untukmu?” cicit Hana, tidak berani mengangkat wajah, apalagi menatap netra hitam Adnan.
Lelaki didepannya termenung, memikirkan kata ‘perempuan baik’ yang barusan ia dengar.
“Perempuan, untukku?” Adnan memperjelas. “Maksud kamu?”
Hana memberanikan diri mengangkat pandangan.
“Sepertinya aku tidak bisa merawat anak-anak sampai dewasa, Mas. Kamu pun tidak mungkin dirumah terus-menerus, kamu seharian bekerja-”
“Han. Kamu bicara apa sih! Siapa yang mengataimu tidak bisa merawat anak-anak? Paman? Iya?” Adnan meninggikan suara. Menuduh sembarang orang. Ia tahu kemana arah pembicaraan Hana. Perempuan itu sedikit bergidik. Tak pernah ia melihat suaminya semarah ini.
“Mas. Bukan begitu-”
“Mungkin kamu kelelahan. Aku mau tidur.” Pria itu beranjak. Mengalihkan pembicaraan. Tepatnya tidak ingin membahas hal yang tidak akan terjadi.
Adnan telah bergelung di balik selimut, memunggungi istrinya. Ucapan kosong belaka ketika ia ingin tertidur. Laki-laki tersebut masih bergelut dengan pikirannya sendiri. Apakah yang ia pahami selaras dengan maksud perkataan Hana tadi?
Dalam ruangan besar itu terdapat dua orang saling diam. Pula Hana kekeh pada pendiriannya. Benak nya bertanya-tanya, bagaimana meluluhkan hati seorang Adnan. Mungkin kalau membutuhkan waktu lebih lama, tubuh lemahnya tak bisa melakukan apapun. Membayangkan dua gadis mungilnya tanpa perawatan dan kasih sayang sosok ibu. Begitu sakit jika hal itu benar-benar terjadi.
Lelah dengan pikiran mereka masing-masing, akhirnya Adnan dan Hana mengalah seusai melawan kantuk, memejamkan mata. Dalam jam berikutnya, satu suara mengusik pria itu. membuatnya terjaga.
“Mas” gumam perempuan di samping.
Berulang kali kata itu terlontar. Membuat Adnan memangkas jarak dengan cepat, mendekati sang istri. Dahi Hana yang di hiasi rambut halus berkeringat, menambah kecemasan seorang Adnan Wijaya.
“Panas” Adnan bergumam pelan setelah memegang dahi Hana.
Bergegas ia mengambil obat yang tersedia dalam laci paling atas sebuah nakas terdekat. Mencomot plester modern penurun panas dewasa, untuk penanganan darurat. Jiwa yang dipenuhi rasa takut sekaligus khawatir, Adnan menyambar ponsel disamping. Menelepon Suryo.
Tanpa pikir panjang, pria itu menggendong Hana menuju mobil. Membangunkan pekerja rumah, dengan raungannya. Meminta untuk memegangi Hana di kursi penumpang bagian belakang. Mereka akan segera ke rumah sakit. Hana tentu sangat membutuhkan penanganan khusus. Terlihat dari tubuh putih Hana yang menggigil.
Selama satu bulan, istri Adnan sudah dua kali terbaring lemah dalam ruangan intensif.
.
.
Tengah malam Adnan kembali di suguhkan ruangan ber-dominan warna putih. Pikirannya kalut, tak bisa memikirkan apapun selain Hana didalam sana. Netra hitam itu tak di biarkannya terpejam.
‘Hebat sekali, Han. Kamu berhasil menutupi penyakit ini dariku. Atau aku saja yang bodoh!’ menatap kosong sambil meremas ke dua tangannya.
Selama ini, keseharian Hana baik-baik saja, membuat Adnan menepiskan kekhawatiran. Pikirnya pengobatan yang dilakukan Suryo berhasil, sehingga kondisi Hana berangsur membaik.
Jika kondisi tersebut di alami pasien dengan penyakit biasa, Adnan tak akan se-gila ini.
Usaha yang dilakukan seorang dokter onkologi terasa sia-sia. Hana tetap pada ego-nya. Kondisi emosi pasien berperan penting pada setiap langkah pengobatan yang di laksanakan.
Suryo berdiri di depan Adnan, menatap sedih pria itu. Biasanya keponakan nakal ini menjadi penyelamat bagi orang lain karena perannya sebagai dokter bedah. Sekarang berbeda, Adnan seolah tak memiliki gairah. Sesekali air matanya turun ketika membayangkan hal buruk pada sang istri.
“Nan. Paman bukan ingin merubah rencana tuhan ataupun takdir. Untuk penyembuhan Hana sangat sulit. Ditambah istrimu tak mau melakukan perawatan lainnya. Dengan alasan-” paman Suryo tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
“Paman. Aku mengerti” Adnan membalas tanpa melihat lawan bicara. Ia tetap menunduk melihat lantai.
“Ketika Hana datang menemui paman. Dia sepertinya memiliki keinginan. Tapi paman tidak tahu…” sontak ponakannya mendongak. Laki-laki yang mengenakan white coat pun menepuk bahu Adnan.
“Pikirkan baik-baik.” Ungkapan terakhir dari Suryo.
***
Tiada bulan tanpa berganti dengan matahari, begitu juga malam yang berganti dengan siang. Serta manusia mengalami perubahan dalam hidupnya – dan itu pasti.
Ternyata sudah satu minggu lamanya, Hana telah kembali ke rumah, selepas pertengkaran kecil bersama sang paman. Perihal menjaga kondisi tubuhnya, yang menjadi langganan rumah sakit.
Perempuan itu tengah duduk sendirian di ruang keluarga, membiarkan dua gadis kecil bermain piano mini mereka.
Terdengar bunyi notifikasi pesan dari ponsel. Sontak Hana menyambar benda pintar di sebelahnya.
_Ada apa, Hana? Pakde ada dirumah sekarang_
Seulas senyum menghiasi wajah ayu Hana. Keinginannya mungkin akan tercapai dengan segera. Melangkah sedikit cepat ia menuju kamar tidur, berganti pakaian yang lebih layak dan sopan.
Sedangkan bibi pekerja rumah ini ikut tergesa-gesa setelah mendengar namanya dipanggil sang majikan.
“Bi. Jaga Ayanna dan Anthea sebentar ya.” Kata Hana.
“Tapi, ibu mau kemana?” bibi tak ingin dijanjikan cepat pulang seperti saat itu. kali ini ia harus bertanya. Meski Adnan tidak marah, tetapi raut pria pemilik rumah kentara sekali menekuk.
“Hana mau ke rumah pakde di desa, bi. Mas Adnan pulang cepat hari ini. Nanti bibi beritahu saja.”
Tanpa beban istri Adnan berjalan melewati batas pintu. Kali ini ia harus mewujudkannya. Dari sudut pandang orang diluaran sana, mungkin yang ia lakukan terlihat begitu bodoh. Bahkan gunjingan dari keluarga bisa saja terjadi.
Masa bodoh dengan hal-hal tersebut, Hana enggan memikirkannya. Terpenting dua gadis mungilnya dipenuhi kasih sayang dari sosok ibu selain dia. Egois? Benar. Hana egois, tidak memikirkan bagaimana perasaan seorang gadis bernama Arum.
Hana mengunjungi rumah pak Pramono, dalam kondisi tubuh tak terlalu baik, ia menyiapkan senyum terhangat. Ketika Hana membuka pintu mobil, gadis berjilbab lebih muda darinya menyambut. Menampakkan gingsul manisnya.
“Mbak Hana” tegur gadis bernama Arum. “Saya anak pak Pramono. Tadi di minta menjemput mbak. Takutnya salah alamat.”
‘Cantik sekali’ benak Hana.
“Apa perlu saya bantu mbak kesana dengan kursi roda agar tidak terlalu lelah?” Arum menawarkan. Berdasarkan info dari ayahnya, Hana tidak begitu sehat.
Hana pun menggeleng “Enggak usah, Rum. Mbak tidak apa-apa.”
“Mbak tahu nama saya?” ia sedikit terkejut.
“Tentu saja. ayah kamu sudah memberitahu” istri Adnan terkekeh.
Dua perempuan itu lebih cepat akrab dari yang di perkirakan, Hana berkali-kali mengucap syukur dalam hati. Gadis pilihannya memang benar-benar baik. Apalagi perilaku dan keramahan Arum membuat Hana bahagia.
Jarak jalan dan rumah pak Pramono lumayan menguras tenaga. Bagi kondisi tubuh sehat, sebenarnya bukan hal berat. Namun, Hana sampai ngos-ngosan. Arum pun begitu khawatir.
“Mbak saya ambil minum dulu.” Arum.
“Mbak, saya ambil minum dulu.” Arum meninggalkan istri Adnan sendirian di ruang tamu. Tampak mata Hana menyapu ruangan rumah pak Pramono. Satu foto zaman dulu berbingkai kayu sederhana, terdapat salah satu pria yang ia kenali. Dalam foto tersebut ada dua laki-laki ber-usia dua puluhan. Setelan celana pendek khas di zaman-nya, sekitar tahun 80-an, dan baju kaos yang terlihat kusam. “Bagaimana kabarnya, Hana?” sapaan dari pak Pramono. di iringi kedatangan Arum yang membawa air putih. Hana pun tersenyum, ia bisa merasakan bahwa keluarga ini sangat menghargai orang lain. ayah Arum yang begitu lembut memulai obrolan. “Baik, Pakde.” “Maaf, mbak. Cuma air putih. Aku takut kalau minuman lain mbak nggak bisa” Arum khawatir menghidangkan minuman yang salah. Sedikit banyak ia tahu bahwa penyakit Hana tidak boleh sembarang makanan atau pun minuman di konsumsi. Pak Pramono cukup terkejut dengan kedatangan Hana secara tiba-tiba. Jujur saja, sedari t
Palidase hitam berhenti tepat di halaman rumah keluarga Pramono. Mereka terkejut, mobil siapa sebagus itu? kalau di pikir-pikir, Arum tidak pernah mengajak seorang teman yang memiliki mobil mewah – terlihat berkilau secara keseluruhan.Laki-laki dengan pakaian rapi menghampiri pria paruh baya yang sedang berdiri di ambang pintu, raut pria paruh baya tadi terlihat heran.Di saat pemilik mobil palidase tepat berdiri di hadapan tuan rumah, barulan ayah Arum mengenali siapa lelaki rapi tersebut. Adnan. Entah gerangan apa yang membuatnya mengunjungi keluarga Pramono, setelah lima hari kedatangan Hana.“Assalamualaikum, Pak.” Sapa Adnan tersenyum tipis. Lalu disambut oleh pemilik rumah, “Walaikumsalam.” Mereka saling bersalaman.“Kamu sendirian, Nan?” pak Pramono memastikan, Ia juga tak mendapati Hana datang bersama Adnan. Dan dijawab anggukan saja oleh pria itu.Kemudian mempersil
Kabar gembira sudah tersampaikan ke telinga Hana, juga keluarga Adnan. Bagaimana keluarga Wijaya bisa menyetujui pernikahan ini? di balik itu semua, ada perbincangan yang hanya diketahui pihak mertua dan menantu. Entah sejak kapan, pastinya Adnan tidak tahu.Satu bulan lamanya, kondisi istri Adnan belum menunjukkan perubahan yang benar-benar menyatakan bahwa tubuh itu pulih. Namun, ia memaksa untuk ikut hadir dan melihat langsung pernikahan Arum dan sang suami.Polesan lipstick bisa menutupi bibir pucatnya.“Han. Kamu tidak masalah?” istri Wirahardi menatap lembut Hana, dirinya tampak tidak tega melihat perempuan baik sebagai menantunya ini.“Aku baik-baik saja, Ma.” Sahut Hana menenangkan, kentara senyum palsu yang tercetak pada wajah putih itu.Hana sangat tahu keluarga dari Adnan begitu menghargai dan menyayanginya, terlebih Wirahardi yang lembut ketika berbicara, menganggap layaknya Hana memang putri kandung keluarga mer
Obrolan pertama Adnan dan Arum yang terkesan kaku, cukup sebagai langkah awal mereka menjadi seorang teman, mungkin. Mengingat bagaimana Hana bisa memilih perempuan pemilik gingsul itu.Sebelum Hana mengunjungi kediaman keluarga Pramono, terlebih dahulu ia melihat Arum dan ayah Pramono sedang berbincang seru. Sekitar satu bulan yang lalu.Kala itu Adnan hendak mengajak keluarga kecilnya jalan-jalan mengitari kota. Mengunjungi spot wisata malam atau sekedar makan di resto. Disana pasti banyak lampu berkelip dan cantik. Adnan bermaksud menyenangkan suasana hati perempuan tercantik – istrinya.Adnan teringat perkataan Paman Suryo saat pertemuan mereka di rumah sakit kala Hana dirawat. Kalau dirinya perlu memperbaiki kondisi hati si istri. Dia tipe perempuan yang selalu beranggapan kesalahan dan terkait Adnan serta si kembar adalah dirinya.“Kamu cantik sekali” Adnan melihat sang istri selesai berdandan. Hana bersemu merah jadinya. Bocah kec
“Mama?” celetuk Anthea dari atas ranjang. Memiringkan kepalanya sembari menatap lekat wajah Arum.“Ini mama Ea (menyebut Anthea, karena ucapan mereka belum tepat, maka terdengar ‘ea’) juga?” Arum tersenyum, gadis mungil didepannya begitu menggemaskan.Ke dua putri Adnan tampak kebingungan, bersamaan menoleh ke arah bibi.“Mama Ana? (Ana yang di maksud adalah Ayanna)” kali ini si sulung bertanya, dia cukup mengerti siapa ibu yang sebenarnya. Toh selama ini Hana adalah perempuan yang mereka temui setiap hari, memberikan kasih sayang dan mengajari banyak hal.Bibi pun terdiam, jawaban apa yang tepat untuk mereka. Anak-anak usia tiga tahun acap kali memberi pertanyaan-pertanyaan yang membuat para orang tua kelabakan.“Ah… mama Ayanna di rumah sakit, lagi berobat.” Bibi berharap ucapannya tidak salah.Kamar itu menjadi hening, tidak sesiapa mengeluarkan suara, meski sepatah kata.
Adnan melangkah tergesa-gesa di koridor rumah sakit, siapapun tahu kemana tujuan lelaki tampan itu selain ruang perawatan Hana. Ruang kerja dokter Dika. Dia terpaksa mengembangkan senyum setiap menerima sapaan dari perawat yang kebetulan bertemu.“Adnan! Kau tidak bisa membuka pintu pelan-pelan, ya?!” dokter Dika dikejutkan oleh kelakuan putra Wijaya. Dia yang awalnya baru menikmati kesantaian, hendak bersandar pada kursi kerja.Tanpa menghiraukan ucapan Dika, Adnan langsung berbaring di atas sofa yang tersedia. Berada tak jauh dari meja kerja dokter Dika.Dika menggeleng pelan “Ada apa?” mendekati laki-laki di sana, yang menutupi sebagian wajahnya dengan lengan.“Hana lagi?” dokter Dika tahu permasalahan Adnan. Selama seminggu ia menggantikan jadwal temannya ini.“Bagaimana pekerjaanku?” tanya Adnan. Dokter Dika pun mengerutkan dahi, masih belum mengerti. Bukankah dirinya bertanya tentang Hana? Bagai
“Kenapa perempuan tadi sendirian duduk di sana?” dokter Dika bertanya. Raut laki-laki di depannya sedikit tersentak, dia mengira Arum ke toilet barang sebentar.“Tolong jaga mereka (Ayanna dan Anthea) sebentar. Aku mau menyuapi makan siang Hana.” Adnan berdalih.Ayah si kembar bergegas menyeterilkan tubuhnya, mencuci tangan, berganti pakaian sesuai peraturan yang tertera. Tak bisa dibohongi, pikiran Adnan masih tertuju pada perkataan Dika. Perempuan yang di maksud pasti Arumi.Barulah dia membuka pintu ruang perawatan, senyuman Adnan juga tak kunjung hilang, demi menunjukkan pada Hana bahwa dia baik-baik saja.Meski dokter Dika merengut, tingkah lucu si kembar memaksa tawa renyahnya terbit. Sesekali Anthea menunjukkan sikap yang di warisi Adnan – berlaku semaunya. Membuat Dika kesal saja***Seiring Adnan melayani Hana, putri kembar di luar ruangan menguap bergantian. Mungkin benar jika ilmuan mengatakan kalau m
Dokter senior bernama Suryo berdiri di samping pasien leukemia, istri dari ponakannya mengalami sesak napas, gejala yang dialami oleh pengidapnya. Dari kejauhan Adnan dengan perasaan berdebar berlari menghampiri, mengapa pamannya berada di sana? pikiran yang takut mulai berkeliaran. Sayangnya, suami Hana belum di izinkan menjenguk, emosi Adnan dikhawatirkan bisa mempengaruhi perempuan terbaring itu.Dari luar Adnan memegang kepala frustasi, teringat bagaimana ayah mertuanya dahulu pergi begitu saja setelah kondisi tubuh yang tiba-tiba drop (kondisi tubuh yang kelelahan karena suatu faktor bahkan pingsan).Suryo berkata setelah memeriksa kondisi Hana, menemui Adnan, “Suhu tubuhnya naik.”“Paman, kemarin Hana baik-baik saja. Kenapa bisa begini?” Suara Adnan terdengar kecewa.“Nan. Kita tidak bisa memprediksinya, setiap tubuh memiliki kondisi berbeda-beda. Paman hanya dokter yang mengobati. Paman tidak bisa men