Dokter senior bernama Suryo berdiri di samping pasien leukemia, istri dari ponakannya mengalami sesak napas, gejala yang dialami oleh pengidapnya. Dari kejauhan Adnan dengan perasaan berdebar berlari menghampiri, mengapa pamannya berada di sana? pikiran yang takut mulai berkeliaran. Sayangnya, suami Hana belum di izinkan menjenguk, emosi Adnan dikhawatirkan bisa mempengaruhi perempuan terbaring itu.
Dari luar Adnan memegang kepala frustasi, teringat bagaimana ayah mertuanya dahulu pergi begitu saja setelah kondisi tubuh yang tiba-tiba drop (kondisi tubuh yang kelelahan karena suatu faktor bahkan pingsan).
Suryo berkata setelah memeriksa kondisi Hana, menemui Adnan, “Suhu tubuhnya naik.”
“Paman, kemarin Hana baik-baik saja. Kenapa bisa begini?” Suara Adnan terdengar kecewa.
“Nan. Kita tidak bisa memprediksinya, setiap tubuh memiliki kondisi berbeda-beda. Paman hanya dokter yang mengobati. Paman tidak bisa men
“Ayo kita mandi.” Ajak Arum dengan penuh hati. Sementara membiarkan Ayanna dan Anthea bermain air, perempuan berkerudung mengambil baju-baju yang akan dikenakan si kembar.Derap langkah tergesa-gesa menganggu konsentrasi Arum, dengan cepat ia menoleh kearah pintu. Dadanya mulai berdebar tak karuan sebelum bibi menjelaskan mengapa menangis seperti itu.“Mbak. Ibu Hana tidak tertolong lagi” lirih bibi, hingga tangisnya kembali pecah. Mengingat tuan-nya berkata dengan suara gemetar, dan tak mampu menjelaskan lebih. Seperti laki-laki diseberang sana tak sanggup menahan isakan.Tidak! Mungkin Arum salah pengertian dari perkataan bibi. Tidak tertolong? Maksudnya apa? Bergegas Arum mendatangi anak-anak yang sedang bercanda ria dengan perasaan tak tentu arah.“Bibi, pinta pak Anto menyiapkan mobil. Setelah anak-anak siap, kita kerumah sakit.” Raung Arum sembari menggendong Ayanna dan Anthea. Matanya yang panas terpaksa menahan
[Dua bulan lalu]Kumpulan Chrysanthemum biru dalam wadah cantik – digenggam Hana yang tersenyum kepada ibu mertua. Perempuan paruh baya di sana terkejut sekaligus senang, sedikit bertanya dengan kedatangan Hana yang tiba-tiba. Tubuh berumur Aryani langsung mendapatkan pelukan dari dua gadis mungil – cucunya.*Chrysanthemumadalah bunga krisan yang melambangkan sebuah harapan. Namun, di Itali bunga tersebut melambangkan kematian.Hana menyodorkan bunga biru, “Buat mama” katanya."Krisan?" Balas Aryani memandang takjub.Perempuan cantik berkerudung mengintip ke belakang ibu mertua, ternyata ada rajutan syal yang belum selesai dalam mangkuk besar dari anyaman rotan.“Hana bantu, Ma” tawar istri Adnan.“Nanti saja. Kita mengobrol di sana dulu, ya” menunjuk ruang tv. “Mama rindu sama kalian. Tunggu, mama taruh bunga ini dulu. Terima kasih, ya” tambah Aryani.
Apa yang dirasakan jika sesuatu yang asing pertama kali menyentuh? Campur aduk? Benar. Seperti gelenyar berbeda membuat jantung berdegup diluar batas wajarnya. Arumi masih terdiam di antara cahaya lampu dapur, sengaja paling redup dihidupkan. Tenggorokannya tiba-tiba kering, alhasil menghabiskan satu gelas air putih. Istri baru Adnan ini celingukan, memantau pria tanpa penjelasan memeluknya beberapa menit lalu. ‘Apa dia tidur di kamar anak-anak?’ Arumi menebak, bisa saja tebakannya meleset, bukan? Arum melewati pintu kamar, di mana Ayanna dan Anthea terlelap. Kalau digambarkan, pada lantai dua rumah Adnan ada tiga kamar, ujung paling kanan adalah kamar khusus pria itu dan istri terdahulu, Hana. Sisi paling kiri sengaja di rapikan sebelum Arum menempatinya. Dan di tengah merupakan kamar tidur si kembar, Hana berpikir mereka tak perlu jauh-jauh kalau-kalau mendengar si kembar merengek. Jadi, untuk menuju kamarnya, Arum harus melewati kamar tengah. Sesaa
“Nanti kalau Ayanna sudah besar kita ketemu mama, ya.” Adnan beralasan. Gadis mungil itu mengeratkan pelukannya, pertanyaan yang di lontar tiap hari dari kedua putri Adnan selalu Hana, di mana Hana, kapan Hana pulang. Dan pertanyaan tersebut seperti jarum yang menusuk, lelaki ini tak tahan mendengar anak-anaknya menyebut nama Hana. Jari-jari mungil Ayanna terpaut pada leher ayahnya, yang dibalas kecupan sayang dari Adnan. Pandangannya pun beranjak ke arah perempuan paruh baya yang baru datang, memberi isyarat ada tamu berkunjung. Baru saja si sulung memejamkan mata, sedikit saja Adnan bergerak bocah lucu ini sudah menggeliat – meraba tubuh besar di sebelah, khawatir akan pergi. “Mmm, Pak. Apa saya panggil mbak Arum saja untuk menjaga Ayanna?” bibi memberi saran setengah berbisik. “Tidak usah. Pinta tamu tadi tunggu sebentar.” Sebenarnya Adnan mengelak yang berhubungan dengan Arum. Pekerja rumah memang seharusnya menuruti perintah tuan, bibi un
[Rumah sakit tempat Adnan bertugas] Baru selangkah dokter bedah umum melewati batas pintu utama, bising dan riuh setiap orang dan masing-masing pekerja rumah sakit mulai terdengar. Tangisan anak remaja laki-laki yang mengiringi stretcher, masih mengenakan seragam putih biru – mengalihkan pandangan Adnan. Dadanya terasa sesak melihat perempuan terbaring lemah dan dingin ditutupi kain. Bisa ditebak perempuan itu ibu dari remaja yang menangis tadi. Sesak berangsur hilang ketika tiba di ruang kerjanya. (Stretcher alat bantu yang digunakan untuk membawa pasien dari suatu tempat ke tempat lainnya dalam posisi tidur) Satu minggu lamanya Adnan mengurung diri, meski Arum berusaha membuatnya hidup kembali, bersama putri-putri kecilnya yang sering mengganggu. Dan hari ini, dokter hebat itu memberanikan diri menginjak tempat seharusnya dia berada. Memainkan pisau bedah dengan lihai, memberi orang-orang harapan untuk hidup. Walau dirinya entah seperti apa
“Ayah anak-anak sudah pulang ya, bi?” raut gembira Arum sembari menuruni tangga. Dijawab anggukan dari perempuan pekerja.Sebelumnya samar-samar suara Adnan terdengar mengobrol dengan bibi menanyakan anak-anak, kemudian diminta menyiapkan teh hangat.Terlihat dari kejauhan bahu lebar Adnan bergerak menuju sofa terdekat, sepertinya pria itu hendak membuka sepatu. Sang istri mendekat, bermaksud meminta untuk membawakan tas kerja Adnan – lumayan kaku Arum mengulurkan tangan – lelaki di depan pun termangu sesaat. Ragu-ragu pria tersebut menuruti.Pula tampak gemetar tangan laki-laki yang dikenal jahil ini ingin mendaratkannya ke kepala Arumi, sekedar mengusap atau semacamnya. Perempuan itu sontak mengangkat pandangan, dengan salah tingkah Arum izin dari hadapan Adnan.‘Ah, aku hampir lupa.’ “Mas, mau aku buatkan minum?” istri menawarkan.“Tidak usah. Tadi bibi sudah membuatkannya” tersenyum da
“Nan. Ponselmu dari tadi berbunyi, Arum menelepon” ini dokter Dika. Dia berlarian mencari temannya, sebelumnya laki-laki keturunan china itu santai berbaring di ruang kerja Adnan seperti biasa. “Kau tau darimana?” Adnan menatap tak bersahabat. “Bukannya ada nama di layar itu?” dokter Dika heran. Adnan diam, ekspresinya berubah seakan berbicara ‘iya juga ya.’ Dengan cepat pria dengan jas dokter menyambar handphone tersebut dari tangan Dika. (Ada apa, Rum?) pertanyaan Adnan melalui telepon. (Emm, mas. Boleh aku ajak anak-anak ke toko kue?) (Tidak masalah. Tapi… nanti kamu kerepotan) (Enggak apa-apa kok, di rumah mereka nanti cari mamanya) pria yang memegang ponsel menjadi hening. (Mas? Boleh?) suara lembut Arum mengagetkan. (Ah, oke tidak masalah) begitulah, laki-laki payah hanya bicara seperlunya. “Memangnya Arum ada perlu apa?” tanpa malu dokter indo-china bertanya. Dia belum tahu kalau gadis yang ia bic
_Izinkan aku menjalankan peranku sebagai istri yang melayani suaminya. Membantu segala keperluan, mulai dari pergi bekerja hingga pulang_ kalimat penganggu pikiran Adnan. Dia kembali sendirian di ruang tamu, dengan kepala bertumpu pada tangan kanan, menatap kosong ke depan. Perkataan ayahnya tidak ada yang salah, dan dia juga mulai egois, entah sejak kapan. Apa yang terjadi kalau Arum pergi dari kehidupannya dan anak-anak? Tetapi ia juga tidak bisa langsung memiliki rasa untuk perempuan manis itu. . . ‘Aku belum mendengar suara anak-anak dari tadi. Rumah juga tampak sepi’ tuan rumah ternyata baru terjaga dari lamunan. Kemudian dia beranjak kearah dapur, siapa lagi kalau bukan bibi yang ia cari. “Bi. Anak-anak kemana?” terlihat si bibi pekerja sedang mengiris bahan makanan. “Mereka ke toko sama mbak Arum, pak” bibi terpaksa melepaskan pisaunya dulu. “Mbak Arum tidak kasih tahu bapak, ya?” (tumben mbak Arum tidak kasih tahu sebelumnya) b