“Ayo kita mandi.” Ajak Arum dengan penuh hati. Sementara membiarkan Ayanna dan Anthea bermain air, perempuan berkerudung mengambil baju-baju yang akan dikenakan si kembar.
Derap langkah tergesa-gesa menganggu konsentrasi Arum, dengan cepat ia menoleh kearah pintu. Dadanya mulai berdebar tak karuan sebelum bibi menjelaskan mengapa menangis seperti itu.
“Mbak. Ibu Hana tidak tertolong lagi” lirih bibi, hingga tangisnya kembali pecah. Mengingat tuan-nya berkata dengan suara gemetar, dan tak mampu menjelaskan lebih. Seperti laki-laki diseberang sana tak sanggup menahan isakan.
Tidak! Mungkin Arum salah pengertian dari perkataan bibi. Tidak tertolong? Maksudnya apa? Bergegas Arum mendatangi anak-anak yang sedang bercanda ria dengan perasaan tak tentu arah.
“Bibi, pinta pak Anto menyiapkan mobil. Setelah anak-anak siap, kita kerumah sakit.” Raung Arum sembari menggendong Ayanna dan Anthea. Matanya yang panas terpaksa menahan
[Dua bulan lalu]Kumpulan Chrysanthemum biru dalam wadah cantik – digenggam Hana yang tersenyum kepada ibu mertua. Perempuan paruh baya di sana terkejut sekaligus senang, sedikit bertanya dengan kedatangan Hana yang tiba-tiba. Tubuh berumur Aryani langsung mendapatkan pelukan dari dua gadis mungil – cucunya.*Chrysanthemumadalah bunga krisan yang melambangkan sebuah harapan. Namun, di Itali bunga tersebut melambangkan kematian.Hana menyodorkan bunga biru, “Buat mama” katanya."Krisan?" Balas Aryani memandang takjub.Perempuan cantik berkerudung mengintip ke belakang ibu mertua, ternyata ada rajutan syal yang belum selesai dalam mangkuk besar dari anyaman rotan.“Hana bantu, Ma” tawar istri Adnan.“Nanti saja. Kita mengobrol di sana dulu, ya” menunjuk ruang tv. “Mama rindu sama kalian. Tunggu, mama taruh bunga ini dulu. Terima kasih, ya” tambah Aryani.
Apa yang dirasakan jika sesuatu yang asing pertama kali menyentuh? Campur aduk? Benar. Seperti gelenyar berbeda membuat jantung berdegup diluar batas wajarnya. Arumi masih terdiam di antara cahaya lampu dapur, sengaja paling redup dihidupkan. Tenggorokannya tiba-tiba kering, alhasil menghabiskan satu gelas air putih. Istri baru Adnan ini celingukan, memantau pria tanpa penjelasan memeluknya beberapa menit lalu. ‘Apa dia tidur di kamar anak-anak?’ Arumi menebak, bisa saja tebakannya meleset, bukan? Arum melewati pintu kamar, di mana Ayanna dan Anthea terlelap. Kalau digambarkan, pada lantai dua rumah Adnan ada tiga kamar, ujung paling kanan adalah kamar khusus pria itu dan istri terdahulu, Hana. Sisi paling kiri sengaja di rapikan sebelum Arum menempatinya. Dan di tengah merupakan kamar tidur si kembar, Hana berpikir mereka tak perlu jauh-jauh kalau-kalau mendengar si kembar merengek. Jadi, untuk menuju kamarnya, Arum harus melewati kamar tengah. Sesaa
“Nanti kalau Ayanna sudah besar kita ketemu mama, ya.” Adnan beralasan. Gadis mungil itu mengeratkan pelukannya, pertanyaan yang di lontar tiap hari dari kedua putri Adnan selalu Hana, di mana Hana, kapan Hana pulang. Dan pertanyaan tersebut seperti jarum yang menusuk, lelaki ini tak tahan mendengar anak-anaknya menyebut nama Hana. Jari-jari mungil Ayanna terpaut pada leher ayahnya, yang dibalas kecupan sayang dari Adnan. Pandangannya pun beranjak ke arah perempuan paruh baya yang baru datang, memberi isyarat ada tamu berkunjung. Baru saja si sulung memejamkan mata, sedikit saja Adnan bergerak bocah lucu ini sudah menggeliat – meraba tubuh besar di sebelah, khawatir akan pergi. “Mmm, Pak. Apa saya panggil mbak Arum saja untuk menjaga Ayanna?” bibi memberi saran setengah berbisik. “Tidak usah. Pinta tamu tadi tunggu sebentar.” Sebenarnya Adnan mengelak yang berhubungan dengan Arum. Pekerja rumah memang seharusnya menuruti perintah tuan, bibi un
[Rumah sakit tempat Adnan bertugas] Baru selangkah dokter bedah umum melewati batas pintu utama, bising dan riuh setiap orang dan masing-masing pekerja rumah sakit mulai terdengar. Tangisan anak remaja laki-laki yang mengiringi stretcher, masih mengenakan seragam putih biru – mengalihkan pandangan Adnan. Dadanya terasa sesak melihat perempuan terbaring lemah dan dingin ditutupi kain. Bisa ditebak perempuan itu ibu dari remaja yang menangis tadi. Sesak berangsur hilang ketika tiba di ruang kerjanya. (Stretcher alat bantu yang digunakan untuk membawa pasien dari suatu tempat ke tempat lainnya dalam posisi tidur) Satu minggu lamanya Adnan mengurung diri, meski Arum berusaha membuatnya hidup kembali, bersama putri-putri kecilnya yang sering mengganggu. Dan hari ini, dokter hebat itu memberanikan diri menginjak tempat seharusnya dia berada. Memainkan pisau bedah dengan lihai, memberi orang-orang harapan untuk hidup. Walau dirinya entah seperti apa
“Ayah anak-anak sudah pulang ya, bi?” raut gembira Arum sembari menuruni tangga. Dijawab anggukan dari perempuan pekerja.Sebelumnya samar-samar suara Adnan terdengar mengobrol dengan bibi menanyakan anak-anak, kemudian diminta menyiapkan teh hangat.Terlihat dari kejauhan bahu lebar Adnan bergerak menuju sofa terdekat, sepertinya pria itu hendak membuka sepatu. Sang istri mendekat, bermaksud meminta untuk membawakan tas kerja Adnan – lumayan kaku Arum mengulurkan tangan – lelaki di depan pun termangu sesaat. Ragu-ragu pria tersebut menuruti.Pula tampak gemetar tangan laki-laki yang dikenal jahil ini ingin mendaratkannya ke kepala Arumi, sekedar mengusap atau semacamnya. Perempuan itu sontak mengangkat pandangan, dengan salah tingkah Arum izin dari hadapan Adnan.‘Ah, aku hampir lupa.’ “Mas, mau aku buatkan minum?” istri menawarkan.“Tidak usah. Tadi bibi sudah membuatkannya” tersenyum da
“Nan. Ponselmu dari tadi berbunyi, Arum menelepon” ini dokter Dika. Dia berlarian mencari temannya, sebelumnya laki-laki keturunan china itu santai berbaring di ruang kerja Adnan seperti biasa. “Kau tau darimana?” Adnan menatap tak bersahabat. “Bukannya ada nama di layar itu?” dokter Dika heran. Adnan diam, ekspresinya berubah seakan berbicara ‘iya juga ya.’ Dengan cepat pria dengan jas dokter menyambar handphone tersebut dari tangan Dika. (Ada apa, Rum?) pertanyaan Adnan melalui telepon. (Emm, mas. Boleh aku ajak anak-anak ke toko kue?) (Tidak masalah. Tapi… nanti kamu kerepotan) (Enggak apa-apa kok, di rumah mereka nanti cari mamanya) pria yang memegang ponsel menjadi hening. (Mas? Boleh?) suara lembut Arum mengagetkan. (Ah, oke tidak masalah) begitulah, laki-laki payah hanya bicara seperlunya. “Memangnya Arum ada perlu apa?” tanpa malu dokter indo-china bertanya. Dia belum tahu kalau gadis yang ia bic
_Izinkan aku menjalankan peranku sebagai istri yang melayani suaminya. Membantu segala keperluan, mulai dari pergi bekerja hingga pulang_ kalimat penganggu pikiran Adnan. Dia kembali sendirian di ruang tamu, dengan kepala bertumpu pada tangan kanan, menatap kosong ke depan. Perkataan ayahnya tidak ada yang salah, dan dia juga mulai egois, entah sejak kapan. Apa yang terjadi kalau Arum pergi dari kehidupannya dan anak-anak? Tetapi ia juga tidak bisa langsung memiliki rasa untuk perempuan manis itu. . . ‘Aku belum mendengar suara anak-anak dari tadi. Rumah juga tampak sepi’ tuan rumah ternyata baru terjaga dari lamunan. Kemudian dia beranjak kearah dapur, siapa lagi kalau bukan bibi yang ia cari. “Bi. Anak-anak kemana?” terlihat si bibi pekerja sedang mengiris bahan makanan. “Mereka ke toko sama mbak Arum, pak” bibi terpaksa melepaskan pisaunya dulu. “Mbak Arum tidak kasih tahu bapak, ya?” (tumben mbak Arum tidak kasih tahu sebelumnya) b
“Kenapa pulangnya kemalaman?” Arum belum menjawab. “Eh, bukan bermaksud apa-apa. Aku hanya bertanya, bukannya kamu ada dua karyawan ya?” Adnan jadi salah tingkah, ia takut menyinggung. Atau Arum merasa dia marah karena membawa anak-anak sampai jam malam. “Maaf.” “Eh. Kenapa minta maaf? A-aku hanya bertanya” Adnan kelagapan. ‘Adnan, Adnan. Kau memang payah, benar kata Dika’ keluhnya sendiri. . . Laki-laki bangun tidur yang berpakaian sangat santai, celana katun panjang dan baju kaus longgar, menuruni tangga dengan menguap beberapa kali. Matanya terlihat lebih kecil, mungkin karena dia masih mengantuk. Langkah pelan Adnan tiba di depan lemari dapur, membuka bagian atas, mengambil kopi sachet-an untuk diseduh. Pria sedang bermalasan itu pun mendengar samar-samar ocehan televisi. “Hmm…” Adnan menghirup wangi kopi latte dari asap yang beterbangan. Bermodal segelas kopi, tuan rumah kembali melangkah menuju ruang meno
Dua makhluk kecil mengintip kemudian menyelinap melalui pintu. Si bungsu Anthea memberikan isyarat pada saudaranya. “Ssttt…” seiring Anthea menaruh telunjuk di depan mulut. Mereka bermaksud mengejutkan ayahnya. Adnan yang sedang mengikat dasi – bersiap akan bekerja – mendengar langkah pelan yang menapak bergantian. Perlahan pria itu menoleh, benar saja putri kembarnya sudah mengendap-endap mendekati. Berikutnya Adnan pula memberikan isyarat agar dua makhluk kecil ini tidak berisik. Persis apa yang dilakukan si bungsu tadi. “Mama lagi sakit.” Sembari menunjuk perempuan terlelap di tempat tidur. Arum terlihat menikmati dunia istirahatnya, seolah tenang. Bahkan pagi ini Adnan lebih dulu terbangun dan sudah bersiap-siap. Ucapan Adnan hanya berlaku beberapa saat saja, tak lama setelah itu si kembar mulai mengusik mamanya. Mereka juga saling menjahili di sebelah tubuh Arum yang masih memejamkan mata. “Thea, kamu jangan belisik.” Ayanna mengingatkan si bungsu, padahal suaranyalah sebag
Berulang kali Adnan membuat matanya terbuka lalu tertutup, ia sedang mengusahakan agar mengikuti lelapnya si kecil Ayanna. Tak ayal selama tiga puluh menit mata itu memperhatikan gerakan jarum jam dinding, benda yang berbentuk lucu bagi anak-anak.Pada akhirnya Adnan memilih ke dapur setelah merasa tenggorokannya kering. Ia menyesalkan dirinya yang tidak bisa tidur, sebab esok waktunya akan dikuras sedari pagi, mungkin sarapanpun bisa tertinggal seperti kala itu. Tak apalah kalau Arum menyiapkan bekal kembali, toh ia harus membiasakan diri dengan perhatian-perhatian kecil tersebut.Pria itu menoleh cepat setelah ada suara grasah-grusuh dan pekikan kecil dari luar. Samar-samar ia mendengar layaknya suara seorang perempuan.Ketika Adnan berdiri di ambang pintu, ia mendapati Arum tengah melompat-lompat hendak mengambil sesuatu. Rambut panjang sang istri tertiup angin memperlihatkan anting cantik tersemat di telinga. Hidung mancungnya terlilhat jelas dari samping.
Tumpukan buku medis ber-cover bagian-bagian tubuh manusia yang akan membelenggu seorang dokter bedah. Secangkir kopi sepertinya hampir habis, lain pula kacamata bertengger setia untuk mata pria itu. Kabarnya besok Adnan akan melakukan pengoperasian pada seorang anak laki-laki, sekitar umur Sembilan tahun. Dia beranjak dari kursinya hanya ketika ke kamar mandi kemudian melakukan aktivitas yang sama kembali. Setelah ucapan yang berbau ejekan dari teman-temannya, terselip bayangan wajah Arum kala tersenyum di saat menonton acara favoritenya. Yang tak lain acara mingguan seorang akademisi. Mungkin gadis itu telah memutuskan pengabdiannya pada laki-laki pemilik tawa yang menundukkan. Hanya saja, kata per kata dari seorang dosen muda tak bisa lenyap sembarangan. Dokter yang di benamkan oleh buku-buku medis menyampaikan kekalahannya, dia sudah ambruk tertidur. Adnan terlelap sambil duduk, sampai tak menyadari ada orang lain menghampiri. Arum tampak bingung, pasti su
“Bisa saya membantu bapak memilih kue?” salah satu karyawan toko kue milik Arumi menawarkan pada laki-laki yang baru tiba, sosok itu seperti tidak mengerti dengan makanan tersebut. “Apa saya bisa bertemu pemilik toko kue ini?” “Maaf, pak. Pemilik toko sangat jarang berkunjung, mungkin hanya sekali dalam dua minggu.” “Bisakah kamu telepon? Saya ada beberapa urusan, katakan padanya kalau saya temannya.” Pinta Reyhan. Pria itu sendirian mengunjungi toko kue yang dia cari-cari cukup lama, pernah menanyakan perihal ini kepada ayah Pramono, dan tentu saja hasilnya tidak ada. Mengingat masa pertemuan Reyhan dan perempuan penakluknya, di saat akhir pekan selalu dia sempatkan mengunjungi Arum dengan penuh senyuman. Gadis pertama yang bisa membuat dosen muda luluh lantah. Toko kue di desa Arum adalah tempat mereka bersama, meski si gadis tidak tahu maksud kedatangan laki-laki ini tiap minggu, dia selalu menyambut ramah. Pria itu selalu duduk pad
“Papa juga tidur di sini, ya.” Ajak Ayanna melihat ayahnya baru muncul. Sorot mata Arum lalu beralih kearah pintu, menangkap laki-laki berkaos putih longgar. Sepertinya itu baju kesukaan Adnan, hampir tiap malam si istri memperhatikan. Raut tampan lelaki di sana kebingungan, dia harus mengiyakan atau menolak. “Papa ada kerjaan, sayang.” Alasan klasik demi menghalau kecanggungan terhadap Arumi. Adnan berbalik cepat. “Ana, sama mama saja, Anthea juga di sini kok.” Perempuan tersebut mengerti gerak-gerik pria itu. Ayah anak-anak masih mendengar ucapan si istri, tanpa arah di terus melangkah lalu menuju ruang keluarga – menyalakan televisi untuk mengusir kesunyian. Dia mengganti-ganti channel satu ke channel lainnya demi menghilangkan kebosanan. Adnan juga terkaget ketika melihat Arum bersama si kembar. Tuan rumah berbaring di atas sofa sambil mendengar ocehan televisi, berusaha menutup mata, ada sedikit rasa mengantuk rupanya. Kemudian ia
“Papa.” Suara kecil mampu membangunkan pria yang tak sengaja tertidur pada sisi hospital bed. “Sayang, mau minum? Atau Ayanna mau yang lain? Badan Ana (Ayanna) ada yang sakit?” Si kecil Adnan menyingkirkan selimut tebal dari tubuhnya, “Gerah, Pa. Ana gak mau pakai selimut.” Masih terdengar jelas ucapan lemah dari putri sulungnya. “Ana mau duduk.” Permintaan gadis mungil, dia terlihat sulit bergerak. Dengan sigap seorang ayah memindahkan anaknya untuk bersandar pada kepala ranjang, lalu secara otomatis bed electric tersebut perlahan bergerak melengkung, agar gadis kecil itu merasa nyaman. Ayanna menatap ruangan yang hanya di isi benda-benda dan fasilitas lainnya, seolah mata sayu putri Adnan mencari seseorang. “Mama?” bocah di atas ranjang bertanya, lekat memandang mata yang mirip dengannya, netra Adnan. “Papa panggil mama dulu, ya.” Dijawab anggukan singkat sang anak. Selang satu menit, lelaki tadi datang ber
Tok. Tok. Tok.Istri Adnan mendatangi kamar utama. Pria di sana sama sekali tidak keluar dari kamar sejak tadi. Dia mengelak bertemu sepupu bandel, Rani. Gadis itu berlaku seenaknya, seperti teman seusia terhadap Adnan yang lebih dewasa, ditambah adik sepupunya selalu mendapat kesempatan menyentuh, baik bagian tangan maupun merangkul. Dilihat dari bagaimana hati-hatinya Adnan menjaga jarak pada lawan jenis, menjadikannya tidak nyaman dengan perlakan Rani. Sebuah pengajaran yang terus ditanam oleh Wirahardi.“Siapa?” raung laki-laki itu dari kamar utama. Dia seolah waspada pada Rani.“A-arum.”Derap langkah mampu didengar perempuan di depan pintu, sedang menuju kearahnya. Sesaat kemudian pintu itu terbuka, menampakkan pria gagah yang masih memiliki rambut acak-acakan. Adnan sepertinya habis membersihkan tubuh atau mandi.“Rani sudah pulang?” tanya lelaki berkaos oblong coklat.“Sudah.”&l
“Reyhan? Kamu ada di sini sedang apa?” mata sipit dokter Indo-China melirik curiga. “Aku kebetulan melihatnya, berniat membantu. Ternyata dia mahasiswi di kampusku” Reyhan sedikit memperjelas, pak dosen takut ada kesalahpahaman. Reyhan tahu bagaimana sifat teman Adnan ini. Rani melangkah menyamping perlahan-lahan, mendekati dokter Dika. Gadis itu seperti mati kutu di depan Reyhan. ‘Kenapa dia terlihat seperti gadis yang polos.’ batin Dika berkata heran. “Terima kasih Rey sudah berniat baik pada Rani, kau tidak perlu melakukannya. Biar aku yang urus mobil itu,” Rani bersyukur mendengar penjelasan teman Adnan. “Kau bisa menolongnya mengantar ke kampus saja, tidak masalah, kan?” tambah dokter Dika, membuat gadis berlagak lugu membulatkan mata dengan sempurna. 'Padahal lagaknya tadi seolah menolak' kesal gadis di sebelah. Rani tertawa canggung, “Ti-tidak usah (mengayunkan tangan sebagai penolakan) sa-saya bisa pergi sendiri kok.”
“Kenapa pulangnya kemalaman?” Arum belum menjawab. “Eh, bukan bermaksud apa-apa. Aku hanya bertanya, bukannya kamu ada dua karyawan ya?” Adnan jadi salah tingkah, ia takut menyinggung. Atau Arum merasa dia marah karena membawa anak-anak sampai jam malam. “Maaf.” “Eh. Kenapa minta maaf? A-aku hanya bertanya” Adnan kelagapan. ‘Adnan, Adnan. Kau memang payah, benar kata Dika’ keluhnya sendiri. . . Laki-laki bangun tidur yang berpakaian sangat santai, celana katun panjang dan baju kaus longgar, menuruni tangga dengan menguap beberapa kali. Matanya terlihat lebih kecil, mungkin karena dia masih mengantuk. Langkah pelan Adnan tiba di depan lemari dapur, membuka bagian atas, mengambil kopi sachet-an untuk diseduh. Pria sedang bermalasan itu pun mendengar samar-samar ocehan televisi. “Hmm…” Adnan menghirup wangi kopi latte dari asap yang beterbangan. Bermodal segelas kopi, tuan rumah kembali melangkah menuju ruang meno