“Ayah anak-anak sudah pulang ya, bi?” raut gembira Arum sembari menuruni tangga. Dijawab anggukan dari perempuan pekerja.
Sebelumnya samar-samar suara Adnan terdengar mengobrol dengan bibi menanyakan anak-anak, kemudian diminta menyiapkan teh hangat.
Terlihat dari kejauhan bahu lebar Adnan bergerak menuju sofa terdekat, sepertinya pria itu hendak membuka sepatu. Sang istri mendekat, bermaksud meminta untuk membawakan tas kerja Adnan – lumayan kaku Arum mengulurkan tangan – lelaki di depan pun termangu sesaat. Ragu-ragu pria tersebut menuruti.
Pula tampak gemetar tangan laki-laki yang dikenal jahil ini ingin mendaratkannya ke kepala Arumi, sekedar mengusap atau semacamnya. Perempuan itu sontak mengangkat pandangan, dengan salah tingkah Arum izin dari hadapan Adnan.
‘Ah, aku hampir lupa.’ “Mas, mau aku buatkan minum?” istri menawarkan.
“Tidak usah. Tadi bibi sudah membuatkannya” tersenyum da
“Nan. Ponselmu dari tadi berbunyi, Arum menelepon” ini dokter Dika. Dia berlarian mencari temannya, sebelumnya laki-laki keturunan china itu santai berbaring di ruang kerja Adnan seperti biasa. “Kau tau darimana?” Adnan menatap tak bersahabat. “Bukannya ada nama di layar itu?” dokter Dika heran. Adnan diam, ekspresinya berubah seakan berbicara ‘iya juga ya.’ Dengan cepat pria dengan jas dokter menyambar handphone tersebut dari tangan Dika. (Ada apa, Rum?) pertanyaan Adnan melalui telepon. (Emm, mas. Boleh aku ajak anak-anak ke toko kue?) (Tidak masalah. Tapi… nanti kamu kerepotan) (Enggak apa-apa kok, di rumah mereka nanti cari mamanya) pria yang memegang ponsel menjadi hening. (Mas? Boleh?) suara lembut Arum mengagetkan. (Ah, oke tidak masalah) begitulah, laki-laki payah hanya bicara seperlunya. “Memangnya Arum ada perlu apa?” tanpa malu dokter indo-china bertanya. Dia belum tahu kalau gadis yang ia bic
_Izinkan aku menjalankan peranku sebagai istri yang melayani suaminya. Membantu segala keperluan, mulai dari pergi bekerja hingga pulang_ kalimat penganggu pikiran Adnan. Dia kembali sendirian di ruang tamu, dengan kepala bertumpu pada tangan kanan, menatap kosong ke depan. Perkataan ayahnya tidak ada yang salah, dan dia juga mulai egois, entah sejak kapan. Apa yang terjadi kalau Arum pergi dari kehidupannya dan anak-anak? Tetapi ia juga tidak bisa langsung memiliki rasa untuk perempuan manis itu. . . ‘Aku belum mendengar suara anak-anak dari tadi. Rumah juga tampak sepi’ tuan rumah ternyata baru terjaga dari lamunan. Kemudian dia beranjak kearah dapur, siapa lagi kalau bukan bibi yang ia cari. “Bi. Anak-anak kemana?” terlihat si bibi pekerja sedang mengiris bahan makanan. “Mereka ke toko sama mbak Arum, pak” bibi terpaksa melepaskan pisaunya dulu. “Mbak Arum tidak kasih tahu bapak, ya?” (tumben mbak Arum tidak kasih tahu sebelumnya) b
“Kenapa pulangnya kemalaman?” Arum belum menjawab. “Eh, bukan bermaksud apa-apa. Aku hanya bertanya, bukannya kamu ada dua karyawan ya?” Adnan jadi salah tingkah, ia takut menyinggung. Atau Arum merasa dia marah karena membawa anak-anak sampai jam malam. “Maaf.” “Eh. Kenapa minta maaf? A-aku hanya bertanya” Adnan kelagapan. ‘Adnan, Adnan. Kau memang payah, benar kata Dika’ keluhnya sendiri. . . Laki-laki bangun tidur yang berpakaian sangat santai, celana katun panjang dan baju kaus longgar, menuruni tangga dengan menguap beberapa kali. Matanya terlihat lebih kecil, mungkin karena dia masih mengantuk. Langkah pelan Adnan tiba di depan lemari dapur, membuka bagian atas, mengambil kopi sachet-an untuk diseduh. Pria sedang bermalasan itu pun mendengar samar-samar ocehan televisi. “Hmm…” Adnan menghirup wangi kopi latte dari asap yang beterbangan. Bermodal segelas kopi, tuan rumah kembali melangkah menuju ruang meno
“Reyhan? Kamu ada di sini sedang apa?” mata sipit dokter Indo-China melirik curiga. “Aku kebetulan melihatnya, berniat membantu. Ternyata dia mahasiswi di kampusku” Reyhan sedikit memperjelas, pak dosen takut ada kesalahpahaman. Reyhan tahu bagaimana sifat teman Adnan ini. Rani melangkah menyamping perlahan-lahan, mendekati dokter Dika. Gadis itu seperti mati kutu di depan Reyhan. ‘Kenapa dia terlihat seperti gadis yang polos.’ batin Dika berkata heran. “Terima kasih Rey sudah berniat baik pada Rani, kau tidak perlu melakukannya. Biar aku yang urus mobil itu,” Rani bersyukur mendengar penjelasan teman Adnan. “Kau bisa menolongnya mengantar ke kampus saja, tidak masalah, kan?” tambah dokter Dika, membuat gadis berlagak lugu membulatkan mata dengan sempurna. 'Padahal lagaknya tadi seolah menolak' kesal gadis di sebelah. Rani tertawa canggung, “Ti-tidak usah (mengayunkan tangan sebagai penolakan) sa-saya bisa pergi sendiri kok.”
Tok. Tok. Tok.Istri Adnan mendatangi kamar utama. Pria di sana sama sekali tidak keluar dari kamar sejak tadi. Dia mengelak bertemu sepupu bandel, Rani. Gadis itu berlaku seenaknya, seperti teman seusia terhadap Adnan yang lebih dewasa, ditambah adik sepupunya selalu mendapat kesempatan menyentuh, baik bagian tangan maupun merangkul. Dilihat dari bagaimana hati-hatinya Adnan menjaga jarak pada lawan jenis, menjadikannya tidak nyaman dengan perlakan Rani. Sebuah pengajaran yang terus ditanam oleh Wirahardi.“Siapa?” raung laki-laki itu dari kamar utama. Dia seolah waspada pada Rani.“A-arum.”Derap langkah mampu didengar perempuan di depan pintu, sedang menuju kearahnya. Sesaat kemudian pintu itu terbuka, menampakkan pria gagah yang masih memiliki rambut acak-acakan. Adnan sepertinya habis membersihkan tubuh atau mandi.“Rani sudah pulang?” tanya lelaki berkaos oblong coklat.“Sudah.”&l
“Papa.” Suara kecil mampu membangunkan pria yang tak sengaja tertidur pada sisi hospital bed. “Sayang, mau minum? Atau Ayanna mau yang lain? Badan Ana (Ayanna) ada yang sakit?” Si kecil Adnan menyingkirkan selimut tebal dari tubuhnya, “Gerah, Pa. Ana gak mau pakai selimut.” Masih terdengar jelas ucapan lemah dari putri sulungnya. “Ana mau duduk.” Permintaan gadis mungil, dia terlihat sulit bergerak. Dengan sigap seorang ayah memindahkan anaknya untuk bersandar pada kepala ranjang, lalu secara otomatis bed electric tersebut perlahan bergerak melengkung, agar gadis kecil itu merasa nyaman. Ayanna menatap ruangan yang hanya di isi benda-benda dan fasilitas lainnya, seolah mata sayu putri Adnan mencari seseorang. “Mama?” bocah di atas ranjang bertanya, lekat memandang mata yang mirip dengannya, netra Adnan. “Papa panggil mama dulu, ya.” Dijawab anggukan singkat sang anak. Selang satu menit, lelaki tadi datang ber
“Papa juga tidur di sini, ya.” Ajak Ayanna melihat ayahnya baru muncul. Sorot mata Arum lalu beralih kearah pintu, menangkap laki-laki berkaos putih longgar. Sepertinya itu baju kesukaan Adnan, hampir tiap malam si istri memperhatikan. Raut tampan lelaki di sana kebingungan, dia harus mengiyakan atau menolak. “Papa ada kerjaan, sayang.” Alasan klasik demi menghalau kecanggungan terhadap Arumi. Adnan berbalik cepat. “Ana, sama mama saja, Anthea juga di sini kok.” Perempuan tersebut mengerti gerak-gerik pria itu. Ayah anak-anak masih mendengar ucapan si istri, tanpa arah di terus melangkah lalu menuju ruang keluarga – menyalakan televisi untuk mengusir kesunyian. Dia mengganti-ganti channel satu ke channel lainnya demi menghilangkan kebosanan. Adnan juga terkaget ketika melihat Arum bersama si kembar. Tuan rumah berbaring di atas sofa sambil mendengar ocehan televisi, berusaha menutup mata, ada sedikit rasa mengantuk rupanya. Kemudian ia
“Bisa saya membantu bapak memilih kue?” salah satu karyawan toko kue milik Arumi menawarkan pada laki-laki yang baru tiba, sosok itu seperti tidak mengerti dengan makanan tersebut. “Apa saya bisa bertemu pemilik toko kue ini?” “Maaf, pak. Pemilik toko sangat jarang berkunjung, mungkin hanya sekali dalam dua minggu.” “Bisakah kamu telepon? Saya ada beberapa urusan, katakan padanya kalau saya temannya.” Pinta Reyhan. Pria itu sendirian mengunjungi toko kue yang dia cari-cari cukup lama, pernah menanyakan perihal ini kepada ayah Pramono, dan tentu saja hasilnya tidak ada. Mengingat masa pertemuan Reyhan dan perempuan penakluknya, di saat akhir pekan selalu dia sempatkan mengunjungi Arum dengan penuh senyuman. Gadis pertama yang bisa membuat dosen muda luluh lantah. Toko kue di desa Arum adalah tempat mereka bersama, meski si gadis tidak tahu maksud kedatangan laki-laki ini tiap minggu, dia selalu menyambut ramah. Pria itu selalu duduk pad