“Mama?” celetuk Anthea dari atas ranjang. Memiringkan kepalanya sembari menatap lekat wajah Arum.
“Ini mama Ea (menyebut Anthea, karena ucapan mereka belum tepat, maka terdengar ‘ea’) juga?” Arum tersenyum, gadis mungil didepannya begitu menggemaskan.
Ke dua putri Adnan tampak kebingungan, bersamaan menoleh ke arah bibi.
“Mama Ana? (Ana yang di maksud adalah Ayanna)” kali ini si sulung bertanya, dia cukup mengerti siapa ibu yang sebenarnya. Toh selama ini Hana adalah perempuan yang mereka temui setiap hari, memberikan kasih sayang dan mengajari banyak hal.
Bibi pun terdiam, jawaban apa yang tepat untuk mereka. Anak-anak usia tiga tahun acap kali memberi pertanyaan-pertanyaan yang membuat para orang tua kelabakan.
“Ah… mama Ayanna di rumah sakit, lagi berobat.” Bibi berharap ucapannya tidak salah.
Kamar itu menjadi hening, tidak sesiapa mengeluarkan suara, meski sepatah kata.
“Kalau begitu kita sarapan saja” celetuk si bibi mengalihkan dua bocah kecil. Di anggukan oleh keduanya dengan semangat. Bungsu Anthea beranjak, bergegas mendekati kakaknya, Ayanna. Diikuti perempuan cantik yang menjadi ibu sementara ini bagi si kembar.
Arum terlihat senang memerankan karakter ibu bagi putri Adnan, tangannya tak jarang mencubit pipi Anthea dan mengusap kepala Ayanna. Juga si kembar cepat dekat dan akrab padanya. Merupakan nilai plus bagi Arum.
“Papa.”
“Papa.” Panggil gadis mungil bergantian. Semua orang di meja makan serentak menoleh. Adnan datang bersama wajah murungnya, pula rambut tak tentu arah. Mata dingin kemarin seolah hilang, Arum melihat jelas perbedaan itu.
Dua putri manis rumah itu segera turun dari kursi, Adnan berjongkok menunggu putri kesayangannya menghampiri. Si kembar memeluk erat. Pria yang berstatus suami bagi Arum tidak bisa menahan kesedihan. Dirinya terisak kecil. Sementara Arum dan bibi tidak berkata apapun - menyaksikan ayah dan anak di sana melepas rindu.
“Sayang. Papa buru-buru, kalian baik-baik ya sama bibi.” Ia lupa bahwasanya ada penghuni baru di rumah. Pernikahan tiga hari lalu seperti mimpi. Pikirannya terfokus pada kesehatan Hana. Bahkan pekerjaannya pun terbengkalai. Beberapa pasien yang membutuhkan jasanya terpaksa diganti oleh dokter lain.
Adnan mengharuskan Ayanna dan Anthea melepas pautan dari tubuhnya, melangkah menuju kamar. Tak ayal putri kembar di sini kebingungan.
“Ayo sarapannya di habiskan.” Kali ini Arum yang meminta sekaligus memapah mereka.
Di hadapan bibi, nyonya barunya juga turut membisu. Terlihat sendok di tangan hanya untuk mengaduk makanan, belum sampai menyuapkan nasi pada sang tuan.
“Masakan bibi tidak enak, ya?” bibi sengaja menganggu Arum. Apapun yang dipikir istri ke-dua Adnan ini biarlah, namun bibi akan memperlakukannya dengan baik.
“Bu-bukan, bi. Saya khawatir kondisi mbak Hana.”
‘Rupanya dia memikirkan ibu Hana’ bibi salah mengira.
“Mmm… bi. Bisakah tanya ke papa-nya mereka kondisi mbak Hana?” Arum bertanya lagi. Dirinya belum tahu memanggil apa terhadap Adnan. Tidak sopan jika hanya memanggil nama. Tetapi, menggunakan embel-embel lainnya masih begitu canggung. Mereka tidak sedekat itu.
Di jawab anggukan dari si bibi.
“Bi. Saya titip anak-a-” ucapan Adnan terpotong setelah melirik Arum. Juga langkahnya yang melambat diakhir anak tangga.
‘Astaga. Aku hampir melupakannya.’
Sekilas pandangan Adnan dan Arum bertemu, dengan cepat Arum memutuskan. Ia berpura-pura memberikan lauk pada Ayanna.
“Maaf, pak. Kondisi ibu bagaimana?” sela bibi selepas membaca situasi berbeda disini. Sangat kentara ada batas antara Adnan dan Arum.
“Aku belum bisa memberitahu, bibi. Tolong do’a kan Hana cepat sembuh.”
“Oh iya, tolong rawat anak-anak ya, bi.” Tambahnya.
Laki-laki itu kembali melangkah, tepat di depan Arum ia berhenti, memaksakan seulas senyuman.
“Tolong jaga Ayanna dan Anthea ya, Rum.” ternyata Adnan tidak lupa menghargai perempuan cantik itu. Arum mengangguk dengan senyuman juga, membalas apa yang pria itu berikan.
Penampilan ayah si kembar tidak sekusut ketika pulang, tas tangan lumayan besar yang dia bawa menjadi jawaban bagi Arum. Wadah untuk membawa keperluan-keperluan Hana atau pun Adnan di rumah sakit nanti.
Bibi sangat bersyukur, hingga sore tiba Ayanna dan adiknya tidak rewel. Mereka menjalani hari seperti biasa, seolah tak ada yang dikhawatirkan. Mungkin ada Arum di sana, setidaknya dia bisa mengisi kekosongan dari sosok Hana.
.
.
Hana mendapatkan suntikan kemoterapi pertama semenjak diputuskan oleh Suryo untuk rawat inap. Barulah ia dipindahkan ke ruangan isolasi, bertujuan menghindari penularan penyakit lain dari luar.
Dari dinding kaca Hana bisa melihat jelas laki-laki tampan dibalik masker berjalan. Membuka pintu menghampirinya. Siapa lagi kalau bukan Adnan. Ia tampak senang Adnan datang dengan penampilan menyegarkan.
Laki-laki yang lengkap dengan perlindungan sesuai standar kesehatan rumah sakit duduk disamping Hana. Sayang sekali, Hana tidak bisa melihat senyum terbaik dari suaminya, masker tersebut menjadi penghalang utama.
“Bagaimana Arum?” celetuk perempuan diatas hospital bed, setengah bersandar. Jangan lupakan infus yang menggelayut dengan selangnya tertancap di tangan Hana. Entah kapan benda itu dilepaskan.
“Baik. Seperti biasa.” Ia menjawab asal untuk tidak menambah pikiran istrinya saja. keadaan sebenarnya Arum seperti apa ia tidak tahu pasti.
Adnan mendapat angin segar, kondisi Hana dirasakan membaik semenjak dipindahkan ke ruangan khusus ini. Hana bercerita, mengatakan hal-hal tentang suaminya. Tak jarang kebiasaan Adnan ia masukkan dalam kisah tersebut. Termasuk lupa menaruh kunci mobil. Padahal dia lah yang menaruh di sembarang tempat.
“Ya-ya aku ceroboh” dengus ayah si kembar. Hana terkekeh jadinya. Pria di depan sangat menggemaskan. Sangat mirip Anthea kalau sedang merengut.
Tangan Adnan tidak pernah melepaskan pegangannya untuk Hana, layaknya kaitan inersia (sifat yang cenderung mempertahankan posisinya). Menatap seksama wajah pucat sang istri. Dalam setiap do’a ia selalu meminta kesembuhan untuk perempuan itu.
“Mau sampai kapan meninggalkan pasien-pasien yang membutuhkan peranmu?” Hana bertanya kemudian. Sontak membuat Adnan mengangkat pandangan.
Seminggu lamanya, mulai dari persiapan pernikahan hingga Hana dirawat, Adnan belum pernah kembali ke ruangan operasi, menugaskan kembali pisau-pisau bedah sesuai fungsinya.
“Tidak usah pikirkan yang lain. Pikirkan kesembuhan kamu dulu, ya.”
Hana membalas cepat “Aku baik-baik saja.” Artian sebenarnya, dia tidak ingin Adnan melihat ketika dirinya merasa sakit, atau pun menggigil.
“Tidak sampai kamu benar-benar pulih dan pulang ke rumah” Adnan bersikekeh. “Istriku lebih penting.” Tambahnya.
“Setidaknya lakukan tugasmu, Mas. Bagi mereka peran dokter sepertimu sangat penting.” Perempuan itu berkata lembut, Adnan tak tega menatap langsung wajah Hana yang masih cantik baginya.
Laki-laki di depan Hana terdiam.
“Kamu kan masih bisa melihatku di sini. Aku tidak akan kemana-mana. Aku di sini masih memililki paman Suryo, dia pasti rutin mengecek kondisiku. Paman kan dokter terbaik.” Hana berkata seperti anak kecil kepada ayahnya, cukup membuat Adnan terhibur. Dia begitu pandai membujuk Adnan.
“Baiklah, Aku akan mengoperasi lagi.”
“Tidak ada yang harus aku tangani sampai besok. Dika menggantikanku sampai lusa.” Dika teman sejawat selama bekerja di rumah sakit.
Adnan melangkah tergesa-gesa di koridor rumah sakit, siapapun tahu kemana tujuan lelaki tampan itu selain ruang perawatan Hana. Ruang kerja dokter Dika. Dia terpaksa mengembangkan senyum setiap menerima sapaan dari perawat yang kebetulan bertemu.“Adnan! Kau tidak bisa membuka pintu pelan-pelan, ya?!” dokter Dika dikejutkan oleh kelakuan putra Wijaya. Dia yang awalnya baru menikmati kesantaian, hendak bersandar pada kursi kerja.Tanpa menghiraukan ucapan Dika, Adnan langsung berbaring di atas sofa yang tersedia. Berada tak jauh dari meja kerja dokter Dika.Dika menggeleng pelan “Ada apa?” mendekati laki-laki di sana, yang menutupi sebagian wajahnya dengan lengan.“Hana lagi?” dokter Dika tahu permasalahan Adnan. Selama seminggu ia menggantikan jadwal temannya ini.“Bagaimana pekerjaanku?” tanya Adnan. Dokter Dika pun mengerutkan dahi, masih belum mengerti. Bukankah dirinya bertanya tentang Hana? Bagai
“Kenapa perempuan tadi sendirian duduk di sana?” dokter Dika bertanya. Raut laki-laki di depannya sedikit tersentak, dia mengira Arum ke toilet barang sebentar.“Tolong jaga mereka (Ayanna dan Anthea) sebentar. Aku mau menyuapi makan siang Hana.” Adnan berdalih.Ayah si kembar bergegas menyeterilkan tubuhnya, mencuci tangan, berganti pakaian sesuai peraturan yang tertera. Tak bisa dibohongi, pikiran Adnan masih tertuju pada perkataan Dika. Perempuan yang di maksud pasti Arumi.Barulah dia membuka pintu ruang perawatan, senyuman Adnan juga tak kunjung hilang, demi menunjukkan pada Hana bahwa dia baik-baik saja.Meski dokter Dika merengut, tingkah lucu si kembar memaksa tawa renyahnya terbit. Sesekali Anthea menunjukkan sikap yang di warisi Adnan – berlaku semaunya. Membuat Dika kesal saja***Seiring Adnan melayani Hana, putri kembar di luar ruangan menguap bergantian. Mungkin benar jika ilmuan mengatakan kalau m
Dokter senior bernama Suryo berdiri di samping pasien leukemia, istri dari ponakannya mengalami sesak napas, gejala yang dialami oleh pengidapnya. Dari kejauhan Adnan dengan perasaan berdebar berlari menghampiri, mengapa pamannya berada di sana? pikiran yang takut mulai berkeliaran. Sayangnya, suami Hana belum di izinkan menjenguk, emosi Adnan dikhawatirkan bisa mempengaruhi perempuan terbaring itu.Dari luar Adnan memegang kepala frustasi, teringat bagaimana ayah mertuanya dahulu pergi begitu saja setelah kondisi tubuh yang tiba-tiba drop (kondisi tubuh yang kelelahan karena suatu faktor bahkan pingsan).Suryo berkata setelah memeriksa kondisi Hana, menemui Adnan, “Suhu tubuhnya naik.”“Paman, kemarin Hana baik-baik saja. Kenapa bisa begini?” Suara Adnan terdengar kecewa.“Nan. Kita tidak bisa memprediksinya, setiap tubuh memiliki kondisi berbeda-beda. Paman hanya dokter yang mengobati. Paman tidak bisa men
“Ayo kita mandi.” Ajak Arum dengan penuh hati. Sementara membiarkan Ayanna dan Anthea bermain air, perempuan berkerudung mengambil baju-baju yang akan dikenakan si kembar.Derap langkah tergesa-gesa menganggu konsentrasi Arum, dengan cepat ia menoleh kearah pintu. Dadanya mulai berdebar tak karuan sebelum bibi menjelaskan mengapa menangis seperti itu.“Mbak. Ibu Hana tidak tertolong lagi” lirih bibi, hingga tangisnya kembali pecah. Mengingat tuan-nya berkata dengan suara gemetar, dan tak mampu menjelaskan lebih. Seperti laki-laki diseberang sana tak sanggup menahan isakan.Tidak! Mungkin Arum salah pengertian dari perkataan bibi. Tidak tertolong? Maksudnya apa? Bergegas Arum mendatangi anak-anak yang sedang bercanda ria dengan perasaan tak tentu arah.“Bibi, pinta pak Anto menyiapkan mobil. Setelah anak-anak siap, kita kerumah sakit.” Raung Arum sembari menggendong Ayanna dan Anthea. Matanya yang panas terpaksa menahan
[Dua bulan lalu]Kumpulan Chrysanthemum biru dalam wadah cantik – digenggam Hana yang tersenyum kepada ibu mertua. Perempuan paruh baya di sana terkejut sekaligus senang, sedikit bertanya dengan kedatangan Hana yang tiba-tiba. Tubuh berumur Aryani langsung mendapatkan pelukan dari dua gadis mungil – cucunya.*Chrysanthemumadalah bunga krisan yang melambangkan sebuah harapan. Namun, di Itali bunga tersebut melambangkan kematian.Hana menyodorkan bunga biru, “Buat mama” katanya."Krisan?" Balas Aryani memandang takjub.Perempuan cantik berkerudung mengintip ke belakang ibu mertua, ternyata ada rajutan syal yang belum selesai dalam mangkuk besar dari anyaman rotan.“Hana bantu, Ma” tawar istri Adnan.“Nanti saja. Kita mengobrol di sana dulu, ya” menunjuk ruang tv. “Mama rindu sama kalian. Tunggu, mama taruh bunga ini dulu. Terima kasih, ya” tambah Aryani.
Apa yang dirasakan jika sesuatu yang asing pertama kali menyentuh? Campur aduk? Benar. Seperti gelenyar berbeda membuat jantung berdegup diluar batas wajarnya. Arumi masih terdiam di antara cahaya lampu dapur, sengaja paling redup dihidupkan. Tenggorokannya tiba-tiba kering, alhasil menghabiskan satu gelas air putih. Istri baru Adnan ini celingukan, memantau pria tanpa penjelasan memeluknya beberapa menit lalu. ‘Apa dia tidur di kamar anak-anak?’ Arumi menebak, bisa saja tebakannya meleset, bukan? Arum melewati pintu kamar, di mana Ayanna dan Anthea terlelap. Kalau digambarkan, pada lantai dua rumah Adnan ada tiga kamar, ujung paling kanan adalah kamar khusus pria itu dan istri terdahulu, Hana. Sisi paling kiri sengaja di rapikan sebelum Arum menempatinya. Dan di tengah merupakan kamar tidur si kembar, Hana berpikir mereka tak perlu jauh-jauh kalau-kalau mendengar si kembar merengek. Jadi, untuk menuju kamarnya, Arum harus melewati kamar tengah. Sesaa
“Nanti kalau Ayanna sudah besar kita ketemu mama, ya.” Adnan beralasan. Gadis mungil itu mengeratkan pelukannya, pertanyaan yang di lontar tiap hari dari kedua putri Adnan selalu Hana, di mana Hana, kapan Hana pulang. Dan pertanyaan tersebut seperti jarum yang menusuk, lelaki ini tak tahan mendengar anak-anaknya menyebut nama Hana. Jari-jari mungil Ayanna terpaut pada leher ayahnya, yang dibalas kecupan sayang dari Adnan. Pandangannya pun beranjak ke arah perempuan paruh baya yang baru datang, memberi isyarat ada tamu berkunjung. Baru saja si sulung memejamkan mata, sedikit saja Adnan bergerak bocah lucu ini sudah menggeliat – meraba tubuh besar di sebelah, khawatir akan pergi. “Mmm, Pak. Apa saya panggil mbak Arum saja untuk menjaga Ayanna?” bibi memberi saran setengah berbisik. “Tidak usah. Pinta tamu tadi tunggu sebentar.” Sebenarnya Adnan mengelak yang berhubungan dengan Arum. Pekerja rumah memang seharusnya menuruti perintah tuan, bibi un
[Rumah sakit tempat Adnan bertugas] Baru selangkah dokter bedah umum melewati batas pintu utama, bising dan riuh setiap orang dan masing-masing pekerja rumah sakit mulai terdengar. Tangisan anak remaja laki-laki yang mengiringi stretcher, masih mengenakan seragam putih biru – mengalihkan pandangan Adnan. Dadanya terasa sesak melihat perempuan terbaring lemah dan dingin ditutupi kain. Bisa ditebak perempuan itu ibu dari remaja yang menangis tadi. Sesak berangsur hilang ketika tiba di ruang kerjanya. (Stretcher alat bantu yang digunakan untuk membawa pasien dari suatu tempat ke tempat lainnya dalam posisi tidur) Satu minggu lamanya Adnan mengurung diri, meski Arum berusaha membuatnya hidup kembali, bersama putri-putri kecilnya yang sering mengganggu. Dan hari ini, dokter hebat itu memberanikan diri menginjak tempat seharusnya dia berada. Memainkan pisau bedah dengan lihai, memberi orang-orang harapan untuk hidup. Walau dirinya entah seperti apa
Dua makhluk kecil mengintip kemudian menyelinap melalui pintu. Si bungsu Anthea memberikan isyarat pada saudaranya. “Ssttt…” seiring Anthea menaruh telunjuk di depan mulut. Mereka bermaksud mengejutkan ayahnya. Adnan yang sedang mengikat dasi – bersiap akan bekerja – mendengar langkah pelan yang menapak bergantian. Perlahan pria itu menoleh, benar saja putri kembarnya sudah mengendap-endap mendekati. Berikutnya Adnan pula memberikan isyarat agar dua makhluk kecil ini tidak berisik. Persis apa yang dilakukan si bungsu tadi. “Mama lagi sakit.” Sembari menunjuk perempuan terlelap di tempat tidur. Arum terlihat menikmati dunia istirahatnya, seolah tenang. Bahkan pagi ini Adnan lebih dulu terbangun dan sudah bersiap-siap. Ucapan Adnan hanya berlaku beberapa saat saja, tak lama setelah itu si kembar mulai mengusik mamanya. Mereka juga saling menjahili di sebelah tubuh Arum yang masih memejamkan mata. “Thea, kamu jangan belisik.” Ayanna mengingatkan si bungsu, padahal suaranyalah sebag
Berulang kali Adnan membuat matanya terbuka lalu tertutup, ia sedang mengusahakan agar mengikuti lelapnya si kecil Ayanna. Tak ayal selama tiga puluh menit mata itu memperhatikan gerakan jarum jam dinding, benda yang berbentuk lucu bagi anak-anak.Pada akhirnya Adnan memilih ke dapur setelah merasa tenggorokannya kering. Ia menyesalkan dirinya yang tidak bisa tidur, sebab esok waktunya akan dikuras sedari pagi, mungkin sarapanpun bisa tertinggal seperti kala itu. Tak apalah kalau Arum menyiapkan bekal kembali, toh ia harus membiasakan diri dengan perhatian-perhatian kecil tersebut.Pria itu menoleh cepat setelah ada suara grasah-grusuh dan pekikan kecil dari luar. Samar-samar ia mendengar layaknya suara seorang perempuan.Ketika Adnan berdiri di ambang pintu, ia mendapati Arum tengah melompat-lompat hendak mengambil sesuatu. Rambut panjang sang istri tertiup angin memperlihatkan anting cantik tersemat di telinga. Hidung mancungnya terlilhat jelas dari samping.
Tumpukan buku medis ber-cover bagian-bagian tubuh manusia yang akan membelenggu seorang dokter bedah. Secangkir kopi sepertinya hampir habis, lain pula kacamata bertengger setia untuk mata pria itu. Kabarnya besok Adnan akan melakukan pengoperasian pada seorang anak laki-laki, sekitar umur Sembilan tahun. Dia beranjak dari kursinya hanya ketika ke kamar mandi kemudian melakukan aktivitas yang sama kembali. Setelah ucapan yang berbau ejekan dari teman-temannya, terselip bayangan wajah Arum kala tersenyum di saat menonton acara favoritenya. Yang tak lain acara mingguan seorang akademisi. Mungkin gadis itu telah memutuskan pengabdiannya pada laki-laki pemilik tawa yang menundukkan. Hanya saja, kata per kata dari seorang dosen muda tak bisa lenyap sembarangan. Dokter yang di benamkan oleh buku-buku medis menyampaikan kekalahannya, dia sudah ambruk tertidur. Adnan terlelap sambil duduk, sampai tak menyadari ada orang lain menghampiri. Arum tampak bingung, pasti su
“Bisa saya membantu bapak memilih kue?” salah satu karyawan toko kue milik Arumi menawarkan pada laki-laki yang baru tiba, sosok itu seperti tidak mengerti dengan makanan tersebut. “Apa saya bisa bertemu pemilik toko kue ini?” “Maaf, pak. Pemilik toko sangat jarang berkunjung, mungkin hanya sekali dalam dua minggu.” “Bisakah kamu telepon? Saya ada beberapa urusan, katakan padanya kalau saya temannya.” Pinta Reyhan. Pria itu sendirian mengunjungi toko kue yang dia cari-cari cukup lama, pernah menanyakan perihal ini kepada ayah Pramono, dan tentu saja hasilnya tidak ada. Mengingat masa pertemuan Reyhan dan perempuan penakluknya, di saat akhir pekan selalu dia sempatkan mengunjungi Arum dengan penuh senyuman. Gadis pertama yang bisa membuat dosen muda luluh lantah. Toko kue di desa Arum adalah tempat mereka bersama, meski si gadis tidak tahu maksud kedatangan laki-laki ini tiap minggu, dia selalu menyambut ramah. Pria itu selalu duduk pad
“Papa juga tidur di sini, ya.” Ajak Ayanna melihat ayahnya baru muncul. Sorot mata Arum lalu beralih kearah pintu, menangkap laki-laki berkaos putih longgar. Sepertinya itu baju kesukaan Adnan, hampir tiap malam si istri memperhatikan. Raut tampan lelaki di sana kebingungan, dia harus mengiyakan atau menolak. “Papa ada kerjaan, sayang.” Alasan klasik demi menghalau kecanggungan terhadap Arumi. Adnan berbalik cepat. “Ana, sama mama saja, Anthea juga di sini kok.” Perempuan tersebut mengerti gerak-gerik pria itu. Ayah anak-anak masih mendengar ucapan si istri, tanpa arah di terus melangkah lalu menuju ruang keluarga – menyalakan televisi untuk mengusir kesunyian. Dia mengganti-ganti channel satu ke channel lainnya demi menghilangkan kebosanan. Adnan juga terkaget ketika melihat Arum bersama si kembar. Tuan rumah berbaring di atas sofa sambil mendengar ocehan televisi, berusaha menutup mata, ada sedikit rasa mengantuk rupanya. Kemudian ia
“Papa.” Suara kecil mampu membangunkan pria yang tak sengaja tertidur pada sisi hospital bed. “Sayang, mau minum? Atau Ayanna mau yang lain? Badan Ana (Ayanna) ada yang sakit?” Si kecil Adnan menyingkirkan selimut tebal dari tubuhnya, “Gerah, Pa. Ana gak mau pakai selimut.” Masih terdengar jelas ucapan lemah dari putri sulungnya. “Ana mau duduk.” Permintaan gadis mungil, dia terlihat sulit bergerak. Dengan sigap seorang ayah memindahkan anaknya untuk bersandar pada kepala ranjang, lalu secara otomatis bed electric tersebut perlahan bergerak melengkung, agar gadis kecil itu merasa nyaman. Ayanna menatap ruangan yang hanya di isi benda-benda dan fasilitas lainnya, seolah mata sayu putri Adnan mencari seseorang. “Mama?” bocah di atas ranjang bertanya, lekat memandang mata yang mirip dengannya, netra Adnan. “Papa panggil mama dulu, ya.” Dijawab anggukan singkat sang anak. Selang satu menit, lelaki tadi datang ber
Tok. Tok. Tok.Istri Adnan mendatangi kamar utama. Pria di sana sama sekali tidak keluar dari kamar sejak tadi. Dia mengelak bertemu sepupu bandel, Rani. Gadis itu berlaku seenaknya, seperti teman seusia terhadap Adnan yang lebih dewasa, ditambah adik sepupunya selalu mendapat kesempatan menyentuh, baik bagian tangan maupun merangkul. Dilihat dari bagaimana hati-hatinya Adnan menjaga jarak pada lawan jenis, menjadikannya tidak nyaman dengan perlakan Rani. Sebuah pengajaran yang terus ditanam oleh Wirahardi.“Siapa?” raung laki-laki itu dari kamar utama. Dia seolah waspada pada Rani.“A-arum.”Derap langkah mampu didengar perempuan di depan pintu, sedang menuju kearahnya. Sesaat kemudian pintu itu terbuka, menampakkan pria gagah yang masih memiliki rambut acak-acakan. Adnan sepertinya habis membersihkan tubuh atau mandi.“Rani sudah pulang?” tanya lelaki berkaos oblong coklat.“Sudah.”&l
“Reyhan? Kamu ada di sini sedang apa?” mata sipit dokter Indo-China melirik curiga. “Aku kebetulan melihatnya, berniat membantu. Ternyata dia mahasiswi di kampusku” Reyhan sedikit memperjelas, pak dosen takut ada kesalahpahaman. Reyhan tahu bagaimana sifat teman Adnan ini. Rani melangkah menyamping perlahan-lahan, mendekati dokter Dika. Gadis itu seperti mati kutu di depan Reyhan. ‘Kenapa dia terlihat seperti gadis yang polos.’ batin Dika berkata heran. “Terima kasih Rey sudah berniat baik pada Rani, kau tidak perlu melakukannya. Biar aku yang urus mobil itu,” Rani bersyukur mendengar penjelasan teman Adnan. “Kau bisa menolongnya mengantar ke kampus saja, tidak masalah, kan?” tambah dokter Dika, membuat gadis berlagak lugu membulatkan mata dengan sempurna. 'Padahal lagaknya tadi seolah menolak' kesal gadis di sebelah. Rani tertawa canggung, “Ti-tidak usah (mengayunkan tangan sebagai penolakan) sa-saya bisa pergi sendiri kok.”
“Kenapa pulangnya kemalaman?” Arum belum menjawab. “Eh, bukan bermaksud apa-apa. Aku hanya bertanya, bukannya kamu ada dua karyawan ya?” Adnan jadi salah tingkah, ia takut menyinggung. Atau Arum merasa dia marah karena membawa anak-anak sampai jam malam. “Maaf.” “Eh. Kenapa minta maaf? A-aku hanya bertanya” Adnan kelagapan. ‘Adnan, Adnan. Kau memang payah, benar kata Dika’ keluhnya sendiri. . . Laki-laki bangun tidur yang berpakaian sangat santai, celana katun panjang dan baju kaus longgar, menuruni tangga dengan menguap beberapa kali. Matanya terlihat lebih kecil, mungkin karena dia masih mengantuk. Langkah pelan Adnan tiba di depan lemari dapur, membuka bagian atas, mengambil kopi sachet-an untuk diseduh. Pria sedang bermalasan itu pun mendengar samar-samar ocehan televisi. “Hmm…” Adnan menghirup wangi kopi latte dari asap yang beterbangan. Bermodal segelas kopi, tuan rumah kembali melangkah menuju ruang meno