***
Hana dan seorang laki-laki yang di panggilnya paman sedang berbincang serius, terlihat ada perdebatan kecil setelah itu. Terdengar si Paman berulang kali mengatakan hal yang sama, tetap saja perempuan berjilbab tak mengindahkannya.
“Adnan suami kamu, Han. Bahkan dia sangat berhak untuk tahu.”
“Tidak, Paman. Aku tidak ingin menyiakan waktu seperti papa dulu. Kebersamaannya dengan kami bisa dikatakan sedikit, waktunya dihabiskan untuk kemoterapi berlanjut radioterapi sampai…” istri Adnan tak sanggup melanjutkan.
“Resepkan saja obatnya paman, setidaknya memperpanjang waktu untukku membahagiakan Mas Adnan dan anak-anak meski sebentar.”
Pria itu menghela napas, tak mengerti maksud perempuan pemilik senyum manis ini.
“Kamu masih bisa sembuh, Han. Paman yang akan langsung menanganimu.” Suryo bersikekeh.
Hana terdiam, enggan melanjutkan obrolan mereka yang ujung-ujungnya pasti berdebat. Terpaksa laki-laki dengan teleponnya meminta seorang perawat membantu mengambilkan obat.
“Kamu sangat egois, Han. Orang diluaran sana berlomba-lomba ingin sembuh. Sedangkan kamu… Paman tak habis pikir.”
Istri Adnan pun terkekeh “Setiap orang punya hak memilih jalannya paman. Toh semuanya akan tahu bukan kalau pada akhirnya ini akan semakin parah dan meninggal.”
Suryo tersenyum getir, sedikit sakit mendengar langsung dari mulut mungil Hana. Namun, ia tetap bersikap layaknya dokter pada pasien.
.
.
Terbukanya pintu utama oleh Hana secara langsung menampakkan seorang pria gagah disana.
“Mas Adnan” lirih perempuan itu. Melangkah pelan menuju sang suami. Jujur saja, Hana sedikit takut melihat Adnan yang diam menatapnya.
Diluar dugaan, lelaki tampan merentangkan tangannya setelah melihat Hana bergidik takut. Senyum yang candu menyambut, membuat sepasang mata Hana berkaca. Bukannya marah, malah Adnan memberi sebuah pelukan.
“Kamu darimana?” lelaki itu bertanya pelan.
“Aku menemui Paman. Katanya Paman rindu denganku, Mas.”
Tak semudah itu bagi Adnan percaya, ia sangat tahu jika istrinya tidak meminta izin sebelum pergi pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Beberapa kali dia mengamati gerak dan gerik sang istri. Kemungkinan besar kecurigaannya benar.
“Anak-anak sudah tidur, Mas?” Hana melepaskan pelukan.
“Sudah. Dari tadi rewel manggil mama-nya terus.”
“Aku minta maaf, Mas. Bukan tidak ingin memberitahumu, tapi…” Adnan memegang bibir istrinya, menghentikan Hana berbicara.
“Ayo istirahat. wajah kamu terlihat lelah sekali.” Adnan mengamati wajah istrinya lalu mengantar Hana kekamar.
Tidak mudah bagi Adnan menunggu si istri mengatakan yang sebenarnya, sungguh sulit untuk mengabaikan apalagi melupakan. Sangat tidak mungkin. terkadang pria ini berpikir, kalau sang istri tak mempercayainya lagi. Karena lebih memilih diam daripada berbagi masalah.
Namun, bagaimana kalau dirinya berada di posisi Hana. Bisa saja melakukan hal yang sama bukan? Pikiran itu pun menghantuinya.
Dua sisi dari jiwanya bertolak belakang. Seolah berkelahi.
“Mas. Aku mau lihat Ayanna sama Anthea dulu.” Izin Hana sebelum tidur.
Sementara perempuan tadi menemui anaknya, Adnan pun meminta pihak rumah sakit tempatnya bertugas untuk merubah jadwal pagi menjadi siang.
Sekembalinya Hana dari kamar sebelah, bergegas ia berganti baju dengan bagian lengan lebih panjang. Tingkah itu tak lepas dari pandangan pria yang seolah membaca disana. Tentu dirinya menaruh curiga. Entahlah… semenjak Hana mulai melanggar kebiasaan yang dilakukan, kecurigaan itu muncul.
“Han. Ayo sini.” Adnan menepuk sisi kasur disebelahnya, Setelah menaruh buku di atas nakas. Tanpa ragu Hana pun menghampiri. Tak lupa menyelipkan senyuman ketika melihat sang suami. Lalu berbaring memeluk tangan Pria disampingnya.
Lelaki itu membelai rambut Hana yang lembut, sesekali ia hirup wanginya. Belaian Adnan membuat pemilik rambut terhanyut, mata-nya tak sanggup lagi terjaga. Dan pada bagian akhir, Hana tertidur.
Demi menjawab kecurigaannya, ayah dari si kembar menyingsingkan lengan baju sang istri. Melihat ada memar pada bagian dekat siku. Karena kulit putih Hana, benar terlihat jelas bentuk lingkaran yang tidak sempurna. Sedikit kebiruan.
Tidak hanya pada satu tempat, Adnan menemukan beberapa lebam di bagian bahu depan. Kurang puas dengan apa yang ia lihat, ia membuka kerah baju Hana sampai menampakkan lebam-lebam yang lain.
Adnan tidak bisa membiarkan ini, sebagai dokter bedah ia memiliki kecurigaan pada kondisi dan keadaan yang di alami Hana. Namun, hati-nya terus berdo’a agar pendapat ini salah.
Memakan waktu jika menunggu besok menemui sang Paman, seorang dokter Onkologi yaitu spesialis dalam menangani kanker.
Laki-laki itu pun melangkah perlahan keluar, membawa ponsel untuk menghubungi pria yang ia panggil Paman. Terdengar Adnan membentak pria di seberang sana, meminta penjelasan sedetail mungkin. Sepertinya setelah Paman Suryo memberitahu kondisi Hana, Adnan tak dapat mengontrol emosinya.
Malam ini suami Hana langsung mengambil cuti selama tiga hari kedepan. Ia juga telah menelepon pihak rumah sakit.
Adnan tak dapat memejamkan matanya seperti biasa, pikirannya berkecamuk sambil berharap dan berdo’a untuk kesembuhan Hana. Pria berlatar dari keluarga yang tinggi akan agama, segera mengambil air sembahyang. Ia ingin sholat malam dan memohon untuk kesembuhan sang istri.
Sepenggal kisah Adnan. Dia di besarkan dari keluarga berada, ibu dan ayahnya begitu taat pada ajaran agama. Tak terkecuali Adnan. Menikahi Hana pun atas perjodohan ke-dua orang tua mereka. Sejak pertama kali mereka dipertemukan, Adnan langsung menaruh rasa ketertarikan pada senyum lembut meneduhkan gadis cantik bernama Hana.
Akhirnya, lelaki itu tertidur juga. Ternyata mengantuk memenangkan pertarungan dengan kekhawatiran. Ia memeluk sang istri begitu erat, seolah tak ingin waktu berlalu.
.
Waktu pagi menyambut sepasang suami istri di kediaman keluarga Adnan Wijaya. Posisinya masih memeluk pinggang Hana.
‘Tumben dia tidak bangun pagi seperti biasa’ pikir Adnan.
“Sayang. Kamu masih tertidur?” pertanyaan bodoh macam apa itu, Adnan merutuki mulutnya. Tentu saja Hana masih pulas kalau tubuh mungilnya belum beranjak.
Terlihat pergerakan kecil dari tangan Hana, segera pria itu membalikkan tubuh istrinya agar menghadap.
“Hana!” pekik Adnan cemas melihat darah keluar dari hidung sang istri. Detik berikutnya, mata sayu Hana berkedip lemah. Menuju arah pingsan.
Dengan cepat laki-laki ini menggendong Hana menuju mobil. Sembari membopong istrinya, Adnan meminta Bibi mengurus Ayanna dan Anthea. Bibi sangat terkejut dengan apa yang ia saksikan, tubuhnya melemas, matanya berkaca. Tak tega melihat majikan terbaiknya terkulai seperti tadi. Senyum ceria Hana seolah sirna.
Sesampainya dirumah sakit, Paman yang di telepon Adnan sebelum berangkat dari rumah dengan cepat mengambil alih perawatan ponakannya.
Terbaring pucat tubuh Hana di ruangan sana, tak kuasa Adnan menahan isakan. Dunianya seakan runtuh melihat semua ini. Bahkan dia lupa dengan putri-putri kecilnya.
Sebuah tangan menepuk bahu ayah si kembar, segera ia menoleh.
“Ayo, Nan. Ada yang ingin paman bicarakan.” Ajak paman Suryo.
Suami Hana di persilahkan duduk, mereka telah tiba di ruangan kerja Suryo. Disinilah dia menjelaskan penyakit yang di derita Hana. Adnan telah mendapatkan detail yang ia inginkan.
“Ada satu hal…” imbuh Paman Suryo. Menghela napas.
“Hana tidak mau di rawat seperti yang kamu ucapkan, Nan. Dia ingin memberi banyak waktu untuk kalian bertiga. Kemarin dia dari sini meminta obat Pereda sakit dan penghambat penyebaran kanker. Mungkin kalau kau yang membujuknya, dia akan berubah pikiran.”
Adnan tertunduk lesu, tak banyak kata yang terlontar dari mulut kaku-nya. Ia bahkan tidak sanggup membuka mulut.
Di depan sebuah kamar dimana Hana terbaring, laki-laki dengan wajah kusut sedang bersandar pada kursi ruang tunggu. Sudah di pastikan dia menunggu istrinya, Hana. Dengan rambut acak-acakan lupa akan waktu. Adnan tidak ingin meninggalkan ibu dari anaknya walau sedetikpun.Dering telepon mengganggu lamunan suami Hana, tertulis nama ibu Dahlia pada layar ponselnya. Tentu saja bukan pemilik ponsel yang menghubungi, melainkan Bibi pekerja sekaligus pengasuh si kembar. Ibu Dahlia hanya meminjamkan benda pipih tersebut.Perempuan paruh baya itu menghubungi melalui panggilan video. Sejujurnya Bibi tidak bisa menggunakan handphone. Pada usia yang terbilang tidak muda lagi, Bibi sudah tidak berniat belajar menggunakannya. Maka dari itu, bibi meminta tolong ke pekerja bagian mencuci pakaian. Umurnya juga lebih muda jika dibandingkan si bibi.“Papa.”“Papa.”Ayanna dan Anthea bergantian memanggil sang ayah. Jangan lupakan kata terjelas
*** Disaat pintu kamar tidur terbuka, Adnan mengalihkan pandangan, Melihat perempuan disana berjalan mendekati meja rias. Melucuti jilbab bermotif dari merk tertentu.Adnan memberi senyum kepada istrinya, sambil melangkah kearah tempat tidur. Terdengar helaan napas kasar dari sisi meja rias, Hana sedang gugup rupanya. Ada sesuatu yang harus ia bicarakan pada Adnan. Sedangkan pria itu masih terduduk pada sisi kasur, memainkan ponsel sebelum ia tidur.Hana mendekat “Mas. Ada yang ingin aku bahas denganmu. Tapi sebelumnya aku memiliki alasan kuat untuk ini” Adnan beralih menatap istrinya dengan raut penuh tanya.Perempuan yang sudah tak berpenutup kepala lagi terdiam sesaat. Kembali mencerna sesuatu yang dituju. Benarkah keputusannya? Yang pasti, Hana harus mencoba terlebih dahulu. Bisa saja spekulasinya salah - berupa penolakan dari Adnan.“Apa perlu… aku mencarikan perempuan baik untukmu?” cicit Hana, tida
“Mbak, saya ambil minum dulu.” Arum meninggalkan istri Adnan sendirian di ruang tamu. Tampak mata Hana menyapu ruangan rumah pak Pramono. Satu foto zaman dulu berbingkai kayu sederhana, terdapat salah satu pria yang ia kenali. Dalam foto tersebut ada dua laki-laki ber-usia dua puluhan. Setelan celana pendek khas di zaman-nya, sekitar tahun 80-an, dan baju kaos yang terlihat kusam. “Bagaimana kabarnya, Hana?” sapaan dari pak Pramono. di iringi kedatangan Arum yang membawa air putih. Hana pun tersenyum, ia bisa merasakan bahwa keluarga ini sangat menghargai orang lain. ayah Arum yang begitu lembut memulai obrolan. “Baik, Pakde.” “Maaf, mbak. Cuma air putih. Aku takut kalau minuman lain mbak nggak bisa” Arum khawatir menghidangkan minuman yang salah. Sedikit banyak ia tahu bahwa penyakit Hana tidak boleh sembarang makanan atau pun minuman di konsumsi. Pak Pramono cukup terkejut dengan kedatangan Hana secara tiba-tiba. Jujur saja, sedari t
Palidase hitam berhenti tepat di halaman rumah keluarga Pramono. Mereka terkejut, mobil siapa sebagus itu? kalau di pikir-pikir, Arum tidak pernah mengajak seorang teman yang memiliki mobil mewah – terlihat berkilau secara keseluruhan.Laki-laki dengan pakaian rapi menghampiri pria paruh baya yang sedang berdiri di ambang pintu, raut pria paruh baya tadi terlihat heran.Di saat pemilik mobil palidase tepat berdiri di hadapan tuan rumah, barulan ayah Arum mengenali siapa lelaki rapi tersebut. Adnan. Entah gerangan apa yang membuatnya mengunjungi keluarga Pramono, setelah lima hari kedatangan Hana.“Assalamualaikum, Pak.” Sapa Adnan tersenyum tipis. Lalu disambut oleh pemilik rumah, “Walaikumsalam.” Mereka saling bersalaman.“Kamu sendirian, Nan?” pak Pramono memastikan, Ia juga tak mendapati Hana datang bersama Adnan. Dan dijawab anggukan saja oleh pria itu.Kemudian mempersil
Kabar gembira sudah tersampaikan ke telinga Hana, juga keluarga Adnan. Bagaimana keluarga Wijaya bisa menyetujui pernikahan ini? di balik itu semua, ada perbincangan yang hanya diketahui pihak mertua dan menantu. Entah sejak kapan, pastinya Adnan tidak tahu.Satu bulan lamanya, kondisi istri Adnan belum menunjukkan perubahan yang benar-benar menyatakan bahwa tubuh itu pulih. Namun, ia memaksa untuk ikut hadir dan melihat langsung pernikahan Arum dan sang suami.Polesan lipstick bisa menutupi bibir pucatnya.“Han. Kamu tidak masalah?” istri Wirahardi menatap lembut Hana, dirinya tampak tidak tega melihat perempuan baik sebagai menantunya ini.“Aku baik-baik saja, Ma.” Sahut Hana menenangkan, kentara senyum palsu yang tercetak pada wajah putih itu.Hana sangat tahu keluarga dari Adnan begitu menghargai dan menyayanginya, terlebih Wirahardi yang lembut ketika berbicara, menganggap layaknya Hana memang putri kandung keluarga mer
Obrolan pertama Adnan dan Arum yang terkesan kaku, cukup sebagai langkah awal mereka menjadi seorang teman, mungkin. Mengingat bagaimana Hana bisa memilih perempuan pemilik gingsul itu.Sebelum Hana mengunjungi kediaman keluarga Pramono, terlebih dahulu ia melihat Arum dan ayah Pramono sedang berbincang seru. Sekitar satu bulan yang lalu.Kala itu Adnan hendak mengajak keluarga kecilnya jalan-jalan mengitari kota. Mengunjungi spot wisata malam atau sekedar makan di resto. Disana pasti banyak lampu berkelip dan cantik. Adnan bermaksud menyenangkan suasana hati perempuan tercantik – istrinya.Adnan teringat perkataan Paman Suryo saat pertemuan mereka di rumah sakit kala Hana dirawat. Kalau dirinya perlu memperbaiki kondisi hati si istri. Dia tipe perempuan yang selalu beranggapan kesalahan dan terkait Adnan serta si kembar adalah dirinya.“Kamu cantik sekali” Adnan melihat sang istri selesai berdandan. Hana bersemu merah jadinya. Bocah kec
“Mama?” celetuk Anthea dari atas ranjang. Memiringkan kepalanya sembari menatap lekat wajah Arum.“Ini mama Ea (menyebut Anthea, karena ucapan mereka belum tepat, maka terdengar ‘ea’) juga?” Arum tersenyum, gadis mungil didepannya begitu menggemaskan.Ke dua putri Adnan tampak kebingungan, bersamaan menoleh ke arah bibi.“Mama Ana? (Ana yang di maksud adalah Ayanna)” kali ini si sulung bertanya, dia cukup mengerti siapa ibu yang sebenarnya. Toh selama ini Hana adalah perempuan yang mereka temui setiap hari, memberikan kasih sayang dan mengajari banyak hal.Bibi pun terdiam, jawaban apa yang tepat untuk mereka. Anak-anak usia tiga tahun acap kali memberi pertanyaan-pertanyaan yang membuat para orang tua kelabakan.“Ah… mama Ayanna di rumah sakit, lagi berobat.” Bibi berharap ucapannya tidak salah.Kamar itu menjadi hening, tidak sesiapa mengeluarkan suara, meski sepatah kata.
Adnan melangkah tergesa-gesa di koridor rumah sakit, siapapun tahu kemana tujuan lelaki tampan itu selain ruang perawatan Hana. Ruang kerja dokter Dika. Dia terpaksa mengembangkan senyum setiap menerima sapaan dari perawat yang kebetulan bertemu.“Adnan! Kau tidak bisa membuka pintu pelan-pelan, ya?!” dokter Dika dikejutkan oleh kelakuan putra Wijaya. Dia yang awalnya baru menikmati kesantaian, hendak bersandar pada kursi kerja.Tanpa menghiraukan ucapan Dika, Adnan langsung berbaring di atas sofa yang tersedia. Berada tak jauh dari meja kerja dokter Dika.Dika menggeleng pelan “Ada apa?” mendekati laki-laki di sana, yang menutupi sebagian wajahnya dengan lengan.“Hana lagi?” dokter Dika tahu permasalahan Adnan. Selama seminggu ia menggantikan jadwal temannya ini.“Bagaimana pekerjaanku?” tanya Adnan. Dokter Dika pun mengerutkan dahi, masih belum mengerti. Bukankah dirinya bertanya tentang Hana? Bagai