Share

Chapter-04

Sebuah nomor ponsel tak dikenal menelpon Rania beberapa kali. Dia pun menatap nomor ponsel itu dengan aneh. Pasalnya nomor itu telah menelpon Rania sebanyak lima kali. Karena penasaran Rania pun langsung kembali menelpon nomor ponsel itu, siapa tahu saja ada yang penting sampai nomor itu menelponnya sebanyak lima kali.

"Hallo … " sapa Rania ketika teleponnya tersambung.

"Rana … ini aku Abrisam. Bisa kita ketemu? Aku ingin mengenal kamu jauh lebih dalam lagi."

Rania menatap Adhitama dengan nanar, jika dia meninggalkan Adhitama lalu siapa yang akan menjaga ayahnya?

Wanita itu hendak menolak, karena dia harus menjaga ayahnya. Tapi ketika melihat pintu rumah sakit di bila begitu lebar, dan masuklah Rana. Tentu saja Rania langsung mengatakan iya pada Abrisam. Dia bisa menemui Abrisam saat ini juga, dan meminta Abrisam untuk menyebutkan tempatnya.

Masalah pernikahannya itu, Adhitama menolaknya. Dia tidak setuju jika Rania harus menggantikan posisi Rana. Tapi Rania mencoba membuat Adhitama mengerti, jika bukan karena Rana. Mungkin ayahnya itu tidak bisa di operasi. Bukannya berterima kasih, Adhitama harus memilih mati jika harus menatap putri kecilnya menderita. Memangnya menjadi istri pengganti itu enak? Tidak ada yang enak sama sekali, apalagi Rania menikah dengan orang buta. Walaupun kaya, tapi tetap saja Adhitama tidak suka. Itu tandanya Rania akan menjadi tulang punggung pria itu. Padahal Adhitama menginginkan menantu yang sempurna, yang bisa menjaga dan juga melindungi Rania. Bisa membuat Putri kecilnya itu bahagia lahir dan batin. Namun … hal itu harus ditelan mentah-mentah oleh Adhitama ketika mendengar ciri-ciri pria yang akan menikah dengannya. Tapi tidak masalah, jika Rania mampu menjalani hidupnya dengan baik. Apapun keputusan wanita itu Adhitama akan mendukungnya.

"Rana titip Ayah ya. Aku harus nemuin Abrisam dulu." kata Rania.

"Hmm, cepet!!"

Rania mengangguk kecil, dia akan cepat menyelesaikan tugasnya untuk bertemu dengan Abrisam. Setelah itu kembali ke rumah sakit dan menjaga Ayahnya. Mengendarai taksi online, Rania pun duduk dengan gugup. Rana tidak mengatakan apapun pada Rania untuk apa Abrisam mengajaknya bertemu. Dia hanya takut salah bicara, dan membuat Abrisam menyadari jika yang menikah dengan dirinya bukanlah Rana melainkan Rabia.

Membutuhkan waktu lima belas menit, Rania pun sampai di sebuah cafe pinggiran kota. Wanita itu segera masuk dan mencari keberadaan Abrisam, yang ternyata duduk di kursi seorang diri. Ah tidak!! Disana juga ada Bagas hanya saja jarak duduk mereka cukup jauh. Jadi Bagas itu cuma mengawasi Abrisam saja, tidak membutuhkan seauatu kata Abrisam. Pria itu hanya perlu mengangkat jari kelingkingnya, dan Bagas akan tahu apa yang diinginkan Abrisam.

"Mas Abri maaf terlambat, tadi agak macet." kata Rania ketika sampai di depan Abrisam.

Pria itu mengangkat satu tangannya untuk mencari keberadaan Rania. Tentu saja Rania langsung mengulurkan tangannya ke arah Abrisam, dan duduk di depan pria itu.

"Maaf ya Mas."

"Nggak papa kok. Aku juga baru datang tadi." jawab Abrisam.

Dengan mengangguk kecil, Rania pun menggulung rambutnya. Toh, Abrisam juga tidak akan tahu apa yang dilakukan Rania. Dan pria itu juga tidak akan tahu, apa yang dipakai oleh Rania. Baju lusuh miliknya, yang menurut Rania sangat bagus.

"Mas Abri udah pesen sesuatu?"

Abrisam menggeleng. Dia belum memesan apapun sejak dia datang. Karena Abrisam tengah menunggu Rania dalam lebih dulu, barulah Abrisam baru memesan makan. Lagian Abrisam juga tidak tahu, makanan kesukaan Rania. Itu sebabnya dia lebih baik menunggu Rania datang daripada salah memesan makanan.

"Kalau aku orangnya nggak suka makanan yang terlalu pedas. Kalau Mas Abri sukanya apa?" ucap Rania dan mengembalikan buku menu, ketika sudah memesan sesuatu.

"Aku … apapun aku makan. Aku suka semua makanan, kecuali yang berbau santan."

Rania memesan beberapa menu makanan, yang tidak bersantan dan juga pedas. Selama menunggu, Rania juga sesekali membenarkan cepolan rambutnya yang sedikit berantakan.

"Mas Abri kenapa sih ngajakin aku ke sini? Kayaknya nggak cuma buat kenalan aja kan?" tanya Rania.

Sejak berangkat dari rumah sakit, itu yang dia pikirkan di dalam otaknya. Jika Abrisam tidak mungkin mengajak Rania bertemu, hanya untuk berkenalan saja. Sedangkan sejauh ini hubungan yang dilandasi kebohongan, berjalan begitu lancar sesuai kemauan Rana.

Abrisam sendiri langsung menggunakan jari kelingkingnya, sehingga membuat Bagas segera datang dengan banyak kotak di tangannya. Tentu saja hal itu langsung membuat Rania bingung seketika.

"Aku ngajakin kamu kesini, buat ukur cincin pernikahan kita. Aku nggak tau ukuran jari kamu, dan juga model apa yang kamu suka. Makanya aku minta kamu datang, buat nentuin pilihan cincin pernikahan kita. Kamu tahu sendiri kan kalau aku … "

"Iya aku tahu." sela Rania cepat sebelum Abrisam melanjutkan ucapannya. Dia tidak ingin mendengar apapun, tentang Abrisam dan segala kekurangannya. Jika Rania sudah menyetujui apa yang dia mulai, maka dia akan menerima apapun konsekuensinya dan juga keadaannya.

"Iya kamu pilih ya, sesuai kesukaan kamu aja."

Rania tersenyum kecil, dia pun menatap banyak model cincin di hadapannya. Terlihat sangat mewah, mahal dan elegan. Sayangnya, pilihan Rania jatuh pada satu cincin berwarna putih dengan lempengan yang tidak begitu besar, cincin yang memiliki satu mata biru yang terlihat sangat cantik. Cincin yang paling sederhana diantara banyak cincin.

Dengan senyum manisnya, Rania menatap cincin itu dengan memuja. "Aku pilih ini. Cincinnya cantik, ada warna birunya." ucap Rania mengusap permata cincinnya. Biru adalah warna kesukaan Rania. Yang baginya, apapun masalahnya, apapun rintangannya, selalu ada cahaya terang di setiap langkahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status