Tepat jam delapan malam, Rania baru saja sampai di rumah. Dia pun segera masuk ke rumahnya dan mengganti bajunya dengan baju kering. Biasalah, karena masih hujan dan Rania nekat untuk pulang. Akhirnya dia pun menerobos derasnya hujan untuk sampai di rumah. Mana tidak membawa payung sama sekali, dengan harapan Rania tidak akan sakit.
"Ayah ini so-- Rana kamu masih disini." Rania memekik kaget ketika melihat Rana yang masih ada di dalam rumahnya. Cepat-cepat Rania meminta maaf pada Rana karena menunggunya cukup lama. Bahkan Rania juga sempat mempersilahkan Rana untuk pulang, karena hari sudah gelap. Sudah dipastikan jika Grace akan khawatir, mengetahui jika Rana tidak pulang ke rumah. Tentu saja hal itu langsung ditolak oleh Rana. Dia akan menginap malam ini, dan kembali pulang esok pagi. Tidak mungkin juga dia pulang dengan keadaan di luaran sana masih hujan. Bukannya apa, tapi Rana malas saja jika harus keluar rumah saat hujan. Hal itu langsung membuat Rania tersenyum. Dia pun langsung menuju dapur dan nyalakan kompornya, untuk menghangatkan soto daging yang dia beli tadi. Untung saja kios penjual soto nya masih buka. Biasanya habis magrib saja soto nya sudah habis. Mungkin karena hujan, itu sebabnya kios soto nya sedikit sepi. Setelah sudah siap, Rania meminta Rana dan juga Adhitama untuk ke meja makan. Soto ini paling enak jika dinikmati selagi hangat, apalagi cuaca juga pas mendukung banget untuk menikmati semangkuk soto daging kesukaan Adhitama sejak dulu. "Aromanya udah bikin Ayah ngiler aja ini soto." kekeh Adhitama. "Ayah nggak boleh banyak-banyak ya. Nanti dimarahi Dokter lagi, Rania nya." kata Rania cemberut. Adhitama meminta Rania untuk tenang. Lagian dia makannya tidak akan banyak, hanya sedikit untuk mengatasi rasa inginnya. Dan tidak setiap hari juga Adhitama harus makan soto. Satu atau dua kali dalam seminggu saja Andhitama sudah bersyukur. Sebelum makan, Rania meminta semua orang untuk diam sejenak. Ini sudah tradisi sejak kecil, jika mau makan harus berdoa dulu barulah mereka bisa menikmati makanan mereka. Rana menyendokan soto daging itu ke mulutnya dengan sedikit. Ini pertama kalinya Raja menikmati makanan pinggiran jalan. Biasanya niam Grace tahu hal ini, dia pasti akan matah. Kadang Rana berpikir jika hidupnya terlalu banyak aturan. Dan kadang membuat Rana tidak nyaman. "Gimana Ran soto nya, enak?" tanya Adhitama yang sejak tadi memperhatikan ekspresi Rana, yang antara makan dan tidak. Rana mendongak, dia pun menggelengkan kepalanya pelan. "Enak Yah." "Syukur deh kalau kamu suka. Habisin ya Ran." Rana mengangguk perlahan. Dia pun menikmati soto nya dengan pelan. Sesekali menatap Rania yang sibuk dengan ponselnya. Ponsel itu terus saja bergetar sejak tadi, hingga membuat Rania tidak nyaman dalam makannya. Dan hal itu juga sangat mengganggu Rana saat makan. Di rumahnya, dilarang keras bermain ponsel saat makan. Sedangkan di rumah Adhitama, jangankan ponsel, televisi saja masih menyala dan hal itu terlihat sangat wajar. "Dari tadi itu hape bunyi terus. Siapa sih yang nelpon!!" cetus Rana. Dia bahkan sampai membanting sendoknya, karena merasa terganggu. "Maaf ya Rana, ini si Abri telepon terus dari tadi." jawab Rania tidak enak hati. "Si buta ngapain telepon? Ada hal penting apa? Dan dia tau nomer kamu?" Rania mengangguk sore tadi setelah memesan undangan. Abrisam memang sempat meminta nomor ponsel Rania. Katanya biar gampang dihubungi, sedangkan biasanya kalau Abrisam telepon di nomor biasanya. Rania suka lama balesnya dan juga angkatnya. Itu sebabnya Abrisam meminta nomor ponsel, yang biasa Rania pakai. Tentu saja Rania langsung memberikan nomor ponselnya pada Abrisam tanpa berpikir dua kali. Jika nomor ponsel yang Abrisam simpan sampai saat ini itu nomor Rana yang asli bukan Rania. "Astaga … bego banget sih jadi orang. Udah tau lagi gantiin aku, kenapa malah dikasih!" omel Rana panik. Buru-buru Rana memblokir nomor ponsel Abrisam dan juga akun sosial Abrisam lainnya. "Jangan sampai itu bodyguard juga telepon aku karena Abrisam!!" gerutu Rana. “Maaf Rana, aku lupa.” kata Rania polos. “Udah lah nggak usah dibahas, nanti aku pikirin alasannya kayak apa.” dumel Rana dan melanjutkan makan soto nya. Sedangkan Rania sendiri, memelas meminta maaf pada Rana atas kecerobohannya tadi sore. Dia lupa jika selama mereka belum menikah, semua urusan harus melewati Rana. Dan dengan bodohnya, Rania malah memberikan nomor ponselnya pada Abrisam tanpa berpikir dua kali. “Rana … .” rengek Rania. “Udah!! Nggak usah merengek!! Kamu lebih tua dariku, dan berhenti menjadi bayi. Cepat selesaikan makanmu, dan kita bahas masalah Abri.” cetus Rana dan membuat Abrisam diam.Keesokan harinya, Rana pun memilih untuk pulang. Grace terus saja menelponnya sejak setengah jam yang lalu. Dan nyatanya, Rana paling malas jika harus menerima panggilan itu, dan mendengar omelan Grace. Semalam, Rania menceritakan apa saja yang mereka lakukan. Termasuk menurunkan Rania di depan rumah Rana. Dimana Abrisam mengajak Rania ke sebuah butik untuk memesan gaun pernikahan mereka. Dan juga pergi membuat undangan sesuai apa yang Rania inginkan. Katanya, semua sesuai keinginan Rania. Itu sebabnya Rana meminta Rania bercerita dengan sedetail mungkin. "Yaudah aku pulang. Nanti kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin aku. Apalagi Abrisam sekarang udah punya nomer kamu. Yang jelas dia nggak akan telepon aku lagi." kata Rana. Rania mengangguk. "Iya. Kalau dia telepon aku, nanti aku langsung ngabarin kamu." Rana bergumam dia pun langsung mengambil kunci minimnya, dan memilih pergi. Dia harus pulang cepat dan mengurus semuanya. Setelah Rania menikah dengan Abrisam, dia harus segera p
Memasuki makan siang, Rania pun melepas celemek di tubuhnya. Dia pun memilih membeli roti panggang yang berada di seberang jalan. Entah kenapa akhir-akhir ini Rania ingin makan sekali roti panggang. Bahkan Rania juga lupa kapan terakhir dia membeli roti panggang untuk dirinya dan juga ayahnya.“Mau kemana Ran, kok buru-buru.” kata Vano, ketika menyadari jika Rania ingin pergi dari cafe. Ya selama ini Rania bekerja di salah satu cafe di ibukota. Cafe ini hampir setiap hari ramai pengunjung. Entah anak muda, ibu-ibu arisan atau bahkan beberapa orang pebisnis yang menyewa ruang privasi. “Beli roti panggang Mas. Kenapa? Mau titip?”Vano menggeleng. “Nggak lah. Cuma mau tanya aja.”Rania menunjukkan wajah cemberutnya, dia pun memilih cepat pergi dari cafe ini sebelum roti panggang depan itu tutup. Maklum saja toko itu buka dari jam tujuh pagi sampai jam dua belas siang, lalu buka kembali jam empat sore sampai jam sepuluh malam. Dan jika Rania belinya malam, sudah dipastikan jika dia tida
Rania mendadak gugup ketika dia bertemu dengan Selena, Ibu Abrisam. Siang ini Rania mendapat telepon dari Bagas. Jika Selena ingin bertemu dengan Rania. Ralat!! Sebenarnya ingin bertemu dengan Rana, karena Rania yang menggantikannya. Itu sebabnya dia datang, sedangkan Rana tentu saja wanita itu pergi entah kemana. Agar Grace tidak curiga dan marah padanya. Seperti saat ini Selena yang mengundang Rania untuk makan siang bersamanya, dan juga membahas tentang pernikahan mereka. Selena juga memuji Rania yang pandai masak, dan rasa masakannya sangat enak. Selena berani bertaruh, jika wanita itu membuka usaha catering atau makanan ringan sudah dipastikan akan laku keras. "Tante bisa aja." ucap Rania malu. "Serius loh. Tadi sambal cumi kamu enak banget. Abri aja sampai nambah." goda Selena. Rania tersipu malu, dia pun menyimpan sambal cumi yang ada di dalam lemari pendingin. Sambal cumi ini bisa bertahan dua minggu jika berada di lemari pendingin.Kalau begini ceritanya, Selena juga beta
Rania sampai dirumah pukul enam sore. Untuk saja cuaca hari ini cerah dan tidak turun hujan. Dia tidak harus drama lagi, karena hujan turun dan membuat kepala Rania pusing. Bahkan tidak hanya itu, Rania juga dikejutkan oleh kedatangan Rana yang ternyata seharian ini menemani ayahnya di rumah. Meskipun rumahnya harus menjadi kapal pecah karena ulah Rana. "Yang bayar tagihan AC siapa, Rana. Itu listriknya pasti mahal banget." kata Rania, menyodorkan satu kotak roti pandan pada ayah dan juga Rana. Wanita itu menoleh cepat menatap Rania dan juga pendingin ruangan di kamarnya secara bergantian. "Calon istrinya Abrisam bayar listrik aja nggak mampu!!" "Rana--" "Aku yang bayar, kalau Kakak nggak mampu!" Sebenarnya bukan tidak mampu. Rania itu mampu membelinya. Tapi kamu Rania hingga harus memikirkan biaya hidupnya selanjutnya setelah membeli barang seperti itu. Nyatanya kipas angin yang ada di kamar Rania saja tidak pernah menyala, apalagi ini pendingin ruangan yang dipakai atau tidak t
Rania Paramitha terlihat sangat panik setelah mendapat telepon dari Gaby tetangganya. Wanita itu memberitahu Rania jika ayahnya pingsan di rumah, dan langsung dilarikan di rumah sakit. Gaby juga memberitahu Rania jika obat yang dikonsumsi ayahnya telah habis. Mungkin itu yang membuat ayah Rania pingsan. Katanya setelah berpisah, ayah Rania tidak menikah kembali dan lebih fokus mengurus Rania. Memberikan kehidupan yang layak dan juga pendidikan yang bagus. Walaupun hanya sebatas lulusan SMA. Sedangkan ibu Rania, dia sudah menikah kembali dan memiliki anak bersama dengan suami sambungnya. Ditambah lagi masalah anak, karena waktu itu ayah dan ibu Rania memiliki anak kembar dan perempuan semua. Rania ikut dengan ayahnya, dan saudara kembarnya Rana ikut bersama dengan ibunya. Kehidupan mereka juga sangat bertolak belakang. Dimana Rania serba kekurangan, sedangkan Rana hidup dalam bergelimang harta. Semenjak lulus sekolah Rania yang menggantikan ayahnya mencari uang. Apalagi saat tahu ji
Karena membutuhkan banyak biaya untuk ayahnya, Rania pun akhirnya menyetujui ucapan Rana. Dia menerima tawaran Rana yang akan menikah dengan Abrisam, pria kaya raya yang buta itu. Selama menikah, Rana akan pergi keluar negeri untuk mengasingkan diri. Sedangkan nanti yang akan tinggal bersama dengan Abrisam adalah Rania. Semua ini dia lakukan untuk ayahnya, agar ayahnya sembuh dari penyakitnya dan mampu menemani rania hingga hari bahagianya nanti. Setelah bertemu dengan Rana, dan wanita itu meminta Rania bertemu dengan Abrisam di taman kota. Sayangnya, Rania sudah muter-muter taman ini selama setengah jam, dan Rania tidak bertemu dengan Abrisam sedikitpun. Dia melihat banyak orang yang datang dari ibu-ibu, bapak-ibu, anak-anak dan masih banyak lai. Tapi Rania tidak melihat orang buta yang masuk ke dalam taman ini. Rania memutuskan untuk pulang, hari ini Adhitama harus di operasi pencangkokan jantung. Dia tidak tega jika harus meninggalkan Adhitama sendirian di rumah sakit. Walaupun Ra
"Rana … gimana keadaan Ayah?" tanya Rania khawatir. Rana yang sibuk dengan cat kukunya pun menatap Rania malas. Jika dilihat secara penampilan pun mereka sangat berbeda. Tidak perlu dijelaskan, karena semua orang tahu jika Rana hidup dengan harta. Sedangkan Rania yang hidup jauh dari kata harta. "Baik. Seperti yang kamu lihat!!" jawab Rana cuek. "Operasinya?" Rana menghela nafasnya berat, dia pun menutup botol kecil cat kukunya dan menatap Rania sekali lagi. Saudara kembarnya itu sangat cerewet, dan tidak bisa diam. Seharusnya tanpa bertanya dia tahu, jika ayahnya itu baik-baik saja. Operasinya berjalan dengan lancar, karena Rania pergi cukup lama bersama dengan Abrisam. Tapi tidak masalah yang penting Rana akan terbebas dari pria buta yang sama sekali tidak dia inginkan. Wanita itu bangkit dari duduknya dan memilih pergi. Dia juga sempat meninggalkan beberapa lembar uang, dan juga kontrak perjanjian kerja sama mereka. Jika Rana akan membiayai pengobatan Adhitama hingga sembuh
Sebuah nomor ponsel tak dikenal menelpon Rania beberapa kali. Dia pun menatap nomor ponsel itu dengan aneh. Pasalnya nomor itu telah menelpon Rania sebanyak lima kali. Karena penasaran Rania pun langsung kembali menelpon nomor ponsel itu, siapa tahu saja ada yang penting sampai nomor itu menelponnya sebanyak lima kali. "Hallo … " sapa Rania ketika teleponnya tersambung. "Rana … ini aku Abrisam. Bisa kita ketemu? Aku ingin mengenal kamu jauh lebih dalam lagi." Rania menatap Adhitama dengan nanar, jika dia meninggalkan Adhitama lalu siapa yang akan menjaga ayahnya? Wanita itu hendak menolak, karena dia harus menjaga ayahnya. Tapi ketika melihat pintu rumah sakit di bila begitu lebar, dan masuklah Rana. Tentu saja Rania langsung mengatakan iya pada Abrisam. Dia bisa menemui Abrisam saat ini juga, dan meminta Abrisam untuk menyebutkan tempatnya. Masalah pernikahannya itu, Adhitama menolaknya. Dia tidak setuju jika Rania harus menggantikan posisi Rana. Tapi Rania mencoba membuat Ad