Di tengah jalan, hujan tiba-tiba turun. Bahkan ketika masuk ke dalam butik yang dimaksud Rana tadi, Rania harus basah kuyup dulu. Menepuk bajunya yang basah dan juga membenarkan rambutnya, Rania mengintip Abrisam yang ternyata sudah berada di dalam butik. Kalau begini caranya, Rania sendiri yang akan malu ketika bertemu dengan orang banyak. Dia sudah seperti tikus kecemplung selokan.
"Sisirnya mana sih, kok nggak ada!" gumam Rania mengacak isi tasnya. Dan nyatanya sisir kecil yang selalu dia bawa pun tidak ada. Dia baru ingat, jika sisir itu berada di tempat ke kerjanya beberapa hari yang lalu. Lebih tepatnya, disaat Cinta meminjam sisir itu, dan Rania lupa memasukkan kembali sisirnya ke dalam tas. "Rana … " Panggilan itu membuat Rania menoleh. Dia pun menatap Bagus yang keluar dari pintu butik. "Bagas … ada apa?" tanya Rania layaknya orang bodoh. Tentu saja pria itu datang untuk menjemput Rania, dan meminta wanita itu untuk masuk ke dalam. Tapi keadaan Rania yang basah kuyup, membuat wanita itu enggan untuk masuk. Selain basah, dia juga takut jika butik ini akan kotor. Yang ada Bagas akan membayar butik ini jika Bagas mau. "Udah masuk aja nggak papa. Nanti kalau kotor butiknya, biar di beli sama Abri." kata Bagas. Rania tertawa kecil sesekali menyisir rambutnya dengan tangannya. Rania pun masuk, dia bahkan sempat meminta maaf sama pemilik atau pegawai butik, jika baju dan sandalnya basah dan motor. Sehingga lantai yang awal ya bersih, harus ada cap sandal yang Rania pakai. "Tidak apa-apa Nona. Biar nanti pegawai saya yang bersihkan." kata Mbak-mbak yang mengenakan baju hitam. "Terima kasih." ucap Rania canggung. Mendengar kata basah dan kotor, Abrisam meminta pas Bagas untuk mengambilkan satu baju, untuk menggantikan baju basah Rania. Dia juga tidak ingin jika wanita itu sakit, karena terkena hujan. Padahal mah, Rania sudah terbiasa terkena air hujan dan dia juga percaya jika Rania tidak akan sakit. Tapi mau bagaimana lagi, Rania juga tidak bisa menolak jika Abrisam sudah memaksakan kehendaknya. Dia ini hanya dibayar oleh Raja, dan tugas dia hanya satu, menurut pada Abrisam dan apapun yang Rana katakan. Menerima dress sederhana berdatangan peach, Rania pun segera mencari lamar pas. Setidaknya tubuhnya tidak akan terasa dingin lagi, karena ruangan ini sangat dingin. "Terus baju aku taruh mana?" tanya Rania bingung, sambil menenteng bajunya. Bagas mengambil satu paper bag, lalu dia berikan pada Rania. Paper bag itu berguna untuk menyimpan baju kotor Rania. Dan Bagas pun juga mengambil price tag, yang masih menggantung di belakang baju Rania. Jangan sampai ketika dia pulang, yang ada price tag itu masih nyantol di bajunya. "Sekarang kamu pilih baju mana yang menurutmu bagus. Megan udah nyiapin empat gaun buat kita katanya." kata Abrisam. Rania mengangguk dan mengusap dagunya. Selain model bajunya bagus, tapi baju ini cukup panjang. Yang ada pernikahannya dengan Abrisam akan semakin ribet. Bukannya apa, Abrisam itu buta, dan jika Ranka memilih baju yang panjang yang menyapu lantai, bisa jadi Rania jatuh terlilit gaunnya. "Mbak, ini bajunya yang agak pendek nggak ada ya? Itu bagian belakang panjang banget, takut jatuh." kata Rania. "Kamu nggak suka?" sahut Abrisam heran. Setahu dia, yang namanya bagi pengantin pasti memilih yang bagus dan mewah. Dan menurut Bagas baju yang dipilihkan itu sudah termasuk bagus dan mewah. Banyak diamond dan juga pernak-pernik di gaun pengantin mereka. Bukannya tidak suka, tapi kan Rania juga harus berpikir panjang masalah gaun. Selain bisa melilit lakinya ketika jalan. Rania juga tidak ingin mempermalukan Abrisam ketika di altar. Abrisam tertawa. "Itu nggak akan terjadi. Tapi kalau kamu nggak suka, kamu bisa pilih baju apa yang kamu pengen." Rania mengangguk kecil. Dia pun meminta satu gaun simple yang dipakai tidak ribet. Yang dibuat jalan juga tidak melilit di kaki Rania. Lagian itu hanya dipakai beberapa jam saja. Dan menurut Rania jika empat gaun yang dipamerkan Megan itu terbilang cukup mewah dan juga ribet. Selain panjang, Rania juga yakin jika gaunnya berat. "Yang ringan saja ya, jangan banyak full begini biar nggak berat." ucap Rania menunjuk payet dalam gaun pilihan Megan. Megan pun mengangguk, dia pun mulai menguji badan Rania dengan teliti. Lalu meminta wanita itu menjelaskan gaun apa yang diinginkan Rania. Dengan bangganya Rania meminta baju yang simple, boleh panjang tapi jangan sampai menyapu lantai. Lengan nya yang panjang sampai di siku, dan menutup dadanya. Bahkan Rania juga meminta mahkota kecil untuk gaunnya nanti. Entah kenapa gaun model princes adalah gaun kesukaan Rania sejak dulu. Dengan tertawa kecil, Men pun menunjukan lukisan gaunnya pada Rania. Gaun ini dibuat untuk lelang bulan depan. Tapi, jika Rania menginginkan gaun ini bisa saja Megan membuatkan dalam waktu dua minggu kedepan. "Ini juga bagus. Aku mau yang ini saja. Jangan terlalu ramai ya Mbak." ucap Rania dan membuat Megan tersenyum. Setelah memilih gaun untuknya. Rania pun mengambil satu setelan jas berwarna biru dongker dan juga putih. Setelah ini sangat bagus, sebagus harganya. Langsung saja Rania melepaskan tangannya, yang menyentuh jas itu. Dia juga lupa berapa harga gaun yang dia pesan tadi. Tapi tidak masalah semua harga sewanya tidak mahal, seperti harga beli. "Kamu suka jas itu?" tanya Abrisam ketika mendekati Rania. Rania menoleh. "Iya. Tapi takut Mas Abri nggak suka." Mana mungkin Abrisam tidak suka. Dia pun langsung meminta Bagas untuk membungkus dua jas itu. Jika satu jas untuk ke gereja, satunya lagi bisa digunakan untuk resepsi bukan? Melihat sikap Abrisam, Rania hanya mampu geleng kepala. Dia meminta Abrisam untuk menyebutkan hal apa yang dia suka. Warna baju apa yang dia suka. Bukan berarti, jika Rania suka berarti Abrisam langsung membelinya. "Nggak papa. Aku juga pasti suka." kata Abrisam. "Tapi Mas … " "Udah ayo pergi. Kita harus ke tempat undangan." potong Abrisam hingga membuat Rania mengalah.Tepat jam delapan malam, Rania baru saja sampai di rumah. Dia pun segera masuk ke rumahnya dan mengganti bajunya dengan baju kering. Biasalah, karena masih hujan dan Rania nekat untuk pulang. Akhirnya dia pun menerobos derasnya hujan untuk sampai di rumah. Mana tidak membawa payung sama sekali, dengan harapan Rania tidak akan sakit. "Ayah ini so-- Rana kamu masih disini." Rania memekik kaget ketika melihat Rana yang masih ada di dalam rumahnya. Cepat-cepat Rania meminta maaf pada Rana karena menunggunya cukup lama. Bahkan Rania juga sempat mempersilahkan Rana untuk pulang, karena hari sudah gelap. Sudah dipastikan jika Grace akan khawatir, mengetahui jika Rana tidak pulang ke rumah. Tentu saja hal itu langsung ditolak oleh Rana. Dia akan menginap malam ini, dan kembali pulang esok pagi. Tidak mungkin juga dia pulang dengan keadaan di luaran sana masih hujan. Bukannya apa, tapi Rana malas saja jika harus keluar rumah saat hujan.Hal itu langsung membuat Rania tersenyum. Dia pun lan
Keesokan harinya, Rana pun memilih untuk pulang. Grace terus saja menelponnya sejak setengah jam yang lalu. Dan nyatanya, Rana paling malas jika harus menerima panggilan itu, dan mendengar omelan Grace. Semalam, Rania menceritakan apa saja yang mereka lakukan. Termasuk menurunkan Rania di depan rumah Rana. Dimana Abrisam mengajak Rania ke sebuah butik untuk memesan gaun pernikahan mereka. Dan juga pergi membuat undangan sesuai apa yang Rania inginkan. Katanya, semua sesuai keinginan Rania. Itu sebabnya Rana meminta Rania bercerita dengan sedetail mungkin. "Yaudah aku pulang. Nanti kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin aku. Apalagi Abrisam sekarang udah punya nomer kamu. Yang jelas dia nggak akan telepon aku lagi." kata Rana. Rania mengangguk. "Iya. Kalau dia telepon aku, nanti aku langsung ngabarin kamu." Rana bergumam dia pun langsung mengambil kunci minimnya, dan memilih pergi. Dia harus pulang cepat dan mengurus semuanya. Setelah Rania menikah dengan Abrisam, dia harus segera p
Memasuki makan siang, Rania pun melepas celemek di tubuhnya. Dia pun memilih membeli roti panggang yang berada di seberang jalan. Entah kenapa akhir-akhir ini Rania ingin makan sekali roti panggang. Bahkan Rania juga lupa kapan terakhir dia membeli roti panggang untuk dirinya dan juga ayahnya.“Mau kemana Ran, kok buru-buru.” kata Vano, ketika menyadari jika Rania ingin pergi dari cafe. Ya selama ini Rania bekerja di salah satu cafe di ibukota. Cafe ini hampir setiap hari ramai pengunjung. Entah anak muda, ibu-ibu arisan atau bahkan beberapa orang pebisnis yang menyewa ruang privasi. “Beli roti panggang Mas. Kenapa? Mau titip?”Vano menggeleng. “Nggak lah. Cuma mau tanya aja.”Rania menunjukkan wajah cemberutnya, dia pun memilih cepat pergi dari cafe ini sebelum roti panggang depan itu tutup. Maklum saja toko itu buka dari jam tujuh pagi sampai jam dua belas siang, lalu buka kembali jam empat sore sampai jam sepuluh malam. Dan jika Rania belinya malam, sudah dipastikan jika dia tida
Rania mendadak gugup ketika dia bertemu dengan Selena, Ibu Abrisam. Siang ini Rania mendapat telepon dari Bagas. Jika Selena ingin bertemu dengan Rania. Ralat!! Sebenarnya ingin bertemu dengan Rana, karena Rania yang menggantikannya. Itu sebabnya dia datang, sedangkan Rana tentu saja wanita itu pergi entah kemana. Agar Grace tidak curiga dan marah padanya. Seperti saat ini Selena yang mengundang Rania untuk makan siang bersamanya, dan juga membahas tentang pernikahan mereka. Selena juga memuji Rania yang pandai masak, dan rasa masakannya sangat enak. Selena berani bertaruh, jika wanita itu membuka usaha catering atau makanan ringan sudah dipastikan akan laku keras. "Tante bisa aja." ucap Rania malu. "Serius loh. Tadi sambal cumi kamu enak banget. Abri aja sampai nambah." goda Selena. Rania tersipu malu, dia pun menyimpan sambal cumi yang ada di dalam lemari pendingin. Sambal cumi ini bisa bertahan dua minggu jika berada di lemari pendingin.Kalau begini ceritanya, Selena juga beta
Rania sampai dirumah pukul enam sore. Untuk saja cuaca hari ini cerah dan tidak turun hujan. Dia tidak harus drama lagi, karena hujan turun dan membuat kepala Rania pusing. Bahkan tidak hanya itu, Rania juga dikejutkan oleh kedatangan Rana yang ternyata seharian ini menemani ayahnya di rumah. Meskipun rumahnya harus menjadi kapal pecah karena ulah Rana. "Yang bayar tagihan AC siapa, Rana. Itu listriknya pasti mahal banget." kata Rania, menyodorkan satu kotak roti pandan pada ayah dan juga Rana. Wanita itu menoleh cepat menatap Rania dan juga pendingin ruangan di kamarnya secara bergantian. "Calon istrinya Abrisam bayar listrik aja nggak mampu!!" "Rana--" "Aku yang bayar, kalau Kakak nggak mampu!" Sebenarnya bukan tidak mampu. Rania itu mampu membelinya. Tapi kamu Rania hingga harus memikirkan biaya hidupnya selanjutnya setelah membeli barang seperti itu. Nyatanya kipas angin yang ada di kamar Rania saja tidak pernah menyala, apalagi ini pendingin ruangan yang dipakai atau tidak t
Rania Paramitha terlihat sangat panik setelah mendapat telepon dari Gaby tetangganya. Wanita itu memberitahu Rania jika ayahnya pingsan di rumah, dan langsung dilarikan di rumah sakit. Gaby juga memberitahu Rania jika obat yang dikonsumsi ayahnya telah habis. Mungkin itu yang membuat ayah Rania pingsan. Katanya setelah berpisah, ayah Rania tidak menikah kembali dan lebih fokus mengurus Rania. Memberikan kehidupan yang layak dan juga pendidikan yang bagus. Walaupun hanya sebatas lulusan SMA. Sedangkan ibu Rania, dia sudah menikah kembali dan memiliki anak bersama dengan suami sambungnya. Ditambah lagi masalah anak, karena waktu itu ayah dan ibu Rania memiliki anak kembar dan perempuan semua. Rania ikut dengan ayahnya, dan saudara kembarnya Rana ikut bersama dengan ibunya. Kehidupan mereka juga sangat bertolak belakang. Dimana Rania serba kekurangan, sedangkan Rana hidup dalam bergelimang harta. Semenjak lulus sekolah Rania yang menggantikan ayahnya mencari uang. Apalagi saat tahu ji
Karena membutuhkan banyak biaya untuk ayahnya, Rania pun akhirnya menyetujui ucapan Rana. Dia menerima tawaran Rana yang akan menikah dengan Abrisam, pria kaya raya yang buta itu. Selama menikah, Rana akan pergi keluar negeri untuk mengasingkan diri. Sedangkan nanti yang akan tinggal bersama dengan Abrisam adalah Rania. Semua ini dia lakukan untuk ayahnya, agar ayahnya sembuh dari penyakitnya dan mampu menemani rania hingga hari bahagianya nanti. Setelah bertemu dengan Rana, dan wanita itu meminta Rania bertemu dengan Abrisam di taman kota. Sayangnya, Rania sudah muter-muter taman ini selama setengah jam, dan Rania tidak bertemu dengan Abrisam sedikitpun. Dia melihat banyak orang yang datang dari ibu-ibu, bapak-ibu, anak-anak dan masih banyak lai. Tapi Rania tidak melihat orang buta yang masuk ke dalam taman ini. Rania memutuskan untuk pulang, hari ini Adhitama harus di operasi pencangkokan jantung. Dia tidak tega jika harus meninggalkan Adhitama sendirian di rumah sakit. Walaupun Ra
"Rana … gimana keadaan Ayah?" tanya Rania khawatir. Rana yang sibuk dengan cat kukunya pun menatap Rania malas. Jika dilihat secara penampilan pun mereka sangat berbeda. Tidak perlu dijelaskan, karena semua orang tahu jika Rana hidup dengan harta. Sedangkan Rania yang hidup jauh dari kata harta. "Baik. Seperti yang kamu lihat!!" jawab Rana cuek. "Operasinya?" Rana menghela nafasnya berat, dia pun menutup botol kecil cat kukunya dan menatap Rania sekali lagi. Saudara kembarnya itu sangat cerewet, dan tidak bisa diam. Seharusnya tanpa bertanya dia tahu, jika ayahnya itu baik-baik saja. Operasinya berjalan dengan lancar, karena Rania pergi cukup lama bersama dengan Abrisam. Tapi tidak masalah yang penting Rana akan terbebas dari pria buta yang sama sekali tidak dia inginkan. Wanita itu bangkit dari duduknya dan memilih pergi. Dia juga sempat meninggalkan beberapa lembar uang, dan juga kontrak perjanjian kerja sama mereka. Jika Rana akan membiayai pengobatan Adhitama hingga sembuh