Hari ini Adhitama sudah dibolehkan pulang dari rumah sakit. Sebenarnya, belum!! Tapi Adhitama memaksa Rana untuk pulang ke rumah, dengan alasan jika Adhitama tidak betah di rumah sakit. Selain bau obat, dia juga tidak bisa tidur nyenyak. Takut-takut jika kamar sebelah meninggal, atau mendengar sirine ambulan.
"Ya ampun Ayah, begitu aja takut. Kan kita juga nantinya bakalan pulang ke pangkuan Bapa." ucap Rania. Adhitama terkekeh. "Ya tapi kan masalahnya Ayah belum siap. Ayah masih pengen lihat putri Ayah bahagia dulu, menemukan pasangan hidupnya yang tepat. Baru Ayah bisa pulang ke pangkuan Bapa dengan damai." Mendengar hal itu Rania pun menahan tangisannya. Dalam hati Rania berterima kasih pas Rana yang telah membantunya. Mungkin jika Rana tidak datang tepat waktu, Rania pasti akan kehilangan Adhitama. Langsung saja Rania memeluk pria tua itu dengan hangat, mengusap air matanya dengan begitu kasar. Agar orang yang dia peluk, tidak tahu jika putri kecilnya ini tengah menangis. "Ayah bilang apa sih. Rania masih pengen ditemenin Ayah loh. Intinya, Ayah harus cepat sembuh. Ayah harus temenin Rania sampai Rania tua nanti. Ayah juga harus janji, kalau Ayah nggak akan ninggalin Rania." Adhitama menggeleng, dia tidak bisa berjanji dengan hal ini. Karena Adhitama saja tidak tahu, usianya akan sampai mana. Hanya bisa tersenyum kecil dan mengusap puncak kepala putri kecilnya. Ya, Adhitama selalu menganggap jika Rania adalah putri kecilnya, sampai kapanpun Rania akan tetap menjadi putri kecilnya. Selesai berpelukan, Rania segera membereskan semua pakaian Adhitama, dan dia masukkan kedalam tas. Setelah itu barulah Rania memegangi tangan Adhitama, untuk turun dari brankar. "Kita pulang ya Yah." ucap Rania. "Iya. Ayah udah nggak tahan lagi di rumah sakit. Baunya bikin Ayah mual." Rania tertawa kecil, dia pun meminta Adhitama untuk duduk di kursi roda. Sayangnya, ayahnya itu keras kepala. Memilih berjalan santai dengan Rania, dibanding harus duduk di kursi roda. Lagian, Adhitama ini tidak sakit parah. Dia hanya sakit jantung saja, tidak sakit parah. Tapi tetap saja, menurut Rania itu sangat parah. Ketika membuka pintu ruang inap Adhitama, Rania malah dikejutkan dengan Rana yang sudah berdiri di depan ruang inap ini. Tangannya hampir saja memegang gagang pintu, jika Rania tidak membukanya. "Rana … " panggil Rania bingung. Tumben sekali dia datang ke rumah sakit? Perasaan Rania juga tidak bilang pada Rana, jika ayahnya akan pulang hari ini. "Tumben kamu kesini? Ada apa?" tanya Rania bingung. "Abrisam ngajakin fitting baju. Kamu harus kesana, Ayah biar aku yang nganter pulang." ucap Rana. Rania mendadak sedih, niat hati setelah pulang dari sini ingin membelikan Adhitama sepiring soto daging. Tapi yang ada Rana memintanya bertemu dengan Abrisam. Wanita itu ingin sekali menolak, namun, tatapan Rana membuat Rania mengangguk kecil. Ingat Rania!! Kamu berhutang budi atas nyawa ayahmu, jika bukan karena Rana, Ayahmu tidak akan selamat. "Ayah pulang sama Rana ya. Nanti pas Rania pulang, Rania beliin soto dagingnya." pamit Rania. Adhitama tersenyum, menepuk kepala Rania penuh sayang. "Iya. Ayah tunggu dirumah ya." Setelah mengucapkan hal itu, barulah Rania pergi dari hadapan Adhitama dan juga Rana. Dia pun memesan taksi online, dan memiliki alamat fitting baju yang akan dia datangi. Sedangkan Rana sendiri, dia pun langsung menuntun Adhitama keluar dari ruang inap, dan mengajakmu pulang ke rumah. "Kamu kenapa sih, melakukan ini dengan kakakmu?" tanya Adhitama lembut. Memangnya apa yang harus Rana lakukan jika bukan hal ini? Dia tidak ingin menikah, pernikahan ibu dan ayahnya membuat Rana takut. Dia takut jika suatu saat nanti dia akan ditinggalkan suaminya, atau ditinggalkan orang yang dia cintai. Rana juga tidak suka terlibat dalam komitmen, dia adalah wanita bebas, dan menikah tidak pernah terlihat di pikiran Rana. Apalagi menikah dengan orang buta, bukanlah kemauan Rana. "Itu juga bukan kemauan kakakmu, Rana." kata Adhitama. "Ya aku tau Ayah. Tapi aku nggak berdaya, waktu mama bilang, kalau aku harus menikah. Ayah pernikahanmu dengan mama membuatku takut. Jadi tolong, mengertilah posisiku sekarang." Adhitama selalu tahu posisi anaknya seperti apa. Sejak dulu Rania dan juga Rana itu berbeda, Rania memiliki sikap penurut dan tidak banyak tingkah. Sedangkan Rana yang memiliki sikap pembangkang dan keras kepala. Di situ Adhitama tidak pernah menyalahkan kedua anaknya. Yang penting bagi Adhitama adalah, mereka hidup rukun dan tidak ada perselisihan diantara mereka. Berbeda dengan Grace yang suka sekali memaksa kehendak mereka. Dia menginginkan mereka memiliki selera seperti Grace. Sedangkan Rania sendiri di ajak mewah tidak bisa. Dan Graace selalu memaksa Rana, melakukan hal yang dia inginkan. Dan menurut Rana, dia sangat tersiksa dengan hidup Grace. Itu sebabnya Rana paling iri jika dibanding hidupnya dengan Rania. Kakaknya itu bisa melakukan apapun yang dia inginkan. Sedangkan Rana tidak bisa. Semua yang Rana lakukan harus sesuai dengan kemauan Grace. Sedangkan Rania? Hidupnya sangat berbeda. "Ya sudah ayo kita pulang. Kakakmu nanti pasti pulang cepet, beliin Ayah soto daging. Ayah harap kamu mau makan bersama dengan Ayah ya, Rana." Rana mengangguk dia juga merindukan makan bersama dengan Adhitama dan juga Rania. Walaupun hal itu sangat jarang dilakukan. Dan Rana pun datang saat ada maunya saja, bahkan dalam satu tahun, belum tentu Rana bisa bertemu dengan Adhitama dan juna Rania. Bukan berarti Rana tidak memperhatikan mereka ya. Jika tidak ada kegiatan, atau bertengkar dengan ibunya, Rana pasti mengikuti keseharian Rania. Apapun yang dia lakukan untuk mendapatkan banyak uang. Dulu, saat Rania masih berjualan di pinggir jalan. Rana membagikan banyak uang pada orang, untuk membeli semua dagangan Rania hingga habis. Agar kakaknya itu cepat pulang ke rumah. Hidup susah membuat Rana kasihan, tapi apa boleh buat. Grace melarangnya untuk berbagi dengan Rania. Sebelum pergi ke rumah Adhitama, Rana lebih dulu membeli banyak cemilan dan juga kebutuhan. Setelah itu barulah, mereka pulang ke rumah petak milik Adhitama. Rumah kecil, yang entah kenapa ditatap saja membuat Rana nyaman. Yang dimana sebentar lagi Rania tidak akan tinggal di rumah petak ini. meninggalkan Ayah dan juga kenangannya disini.Di tengah jalan, hujan tiba-tiba turun. Bahkan ketika masuk ke dalam butik yang dimaksud Rana tadi, Rania harus basah kuyup dulu. Menepuk bajunya yang basah dan juga membenarkan rambutnya, Rania mengintip Abrisam yang ternyata sudah berada di dalam butik. Kalau begini caranya, Rania sendiri yang akan malu ketika bertemu dengan orang banyak. Dia sudah seperti tikus kecemplung selokan. "Sisirnya mana sih, kok nggak ada!" gumam Rania mengacak isi tasnya. Dan nyatanya sisir kecil yang selalu dia bawa pun tidak ada. Dia baru ingat, jika sisir itu berada di tempat ke kerjanya beberapa hari yang lalu. Lebih tepatnya, disaat Cinta meminjam sisir itu, dan Rania lupa memasukkan kembali sisirnya ke dalam tas. "Rana … " Panggilan itu membuat Rania menoleh. Dia pun menatap Bagus yang keluar dari pintu butik. "Bagas … ada apa?" tanya Rania layaknya orang bodoh. Tentu saja pria itu datang untuk menjemput Rania, dan meminta wanita itu untuk masuk ke dalam. Tapi keadaan Rania yang basah kuyup
Tepat jam delapan malam, Rania baru saja sampai di rumah. Dia pun segera masuk ke rumahnya dan mengganti bajunya dengan baju kering. Biasalah, karena masih hujan dan Rania nekat untuk pulang. Akhirnya dia pun menerobos derasnya hujan untuk sampai di rumah. Mana tidak membawa payung sama sekali, dengan harapan Rania tidak akan sakit. "Ayah ini so-- Rana kamu masih disini." Rania memekik kaget ketika melihat Rana yang masih ada di dalam rumahnya. Cepat-cepat Rania meminta maaf pada Rana karena menunggunya cukup lama. Bahkan Rania juga sempat mempersilahkan Rana untuk pulang, karena hari sudah gelap. Sudah dipastikan jika Grace akan khawatir, mengetahui jika Rana tidak pulang ke rumah. Tentu saja hal itu langsung ditolak oleh Rana. Dia akan menginap malam ini, dan kembali pulang esok pagi. Tidak mungkin juga dia pulang dengan keadaan di luaran sana masih hujan. Bukannya apa, tapi Rana malas saja jika harus keluar rumah saat hujan.Hal itu langsung membuat Rania tersenyum. Dia pun lan
Keesokan harinya, Rana pun memilih untuk pulang. Grace terus saja menelponnya sejak setengah jam yang lalu. Dan nyatanya, Rana paling malas jika harus menerima panggilan itu, dan mendengar omelan Grace. Semalam, Rania menceritakan apa saja yang mereka lakukan. Termasuk menurunkan Rania di depan rumah Rana. Dimana Abrisam mengajak Rania ke sebuah butik untuk memesan gaun pernikahan mereka. Dan juga pergi membuat undangan sesuai apa yang Rania inginkan. Katanya, semua sesuai keinginan Rania. Itu sebabnya Rana meminta Rania bercerita dengan sedetail mungkin. "Yaudah aku pulang. Nanti kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin aku. Apalagi Abrisam sekarang udah punya nomer kamu. Yang jelas dia nggak akan telepon aku lagi." kata Rana. Rania mengangguk. "Iya. Kalau dia telepon aku, nanti aku langsung ngabarin kamu." Rana bergumam dia pun langsung mengambil kunci minimnya, dan memilih pergi. Dia harus pulang cepat dan mengurus semuanya. Setelah Rania menikah dengan Abrisam, dia harus segera p
Memasuki makan siang, Rania pun melepas celemek di tubuhnya. Dia pun memilih membeli roti panggang yang berada di seberang jalan. Entah kenapa akhir-akhir ini Rania ingin makan sekali roti panggang. Bahkan Rania juga lupa kapan terakhir dia membeli roti panggang untuk dirinya dan juga ayahnya.“Mau kemana Ran, kok buru-buru.” kata Vano, ketika menyadari jika Rania ingin pergi dari cafe. Ya selama ini Rania bekerja di salah satu cafe di ibukota. Cafe ini hampir setiap hari ramai pengunjung. Entah anak muda, ibu-ibu arisan atau bahkan beberapa orang pebisnis yang menyewa ruang privasi. “Beli roti panggang Mas. Kenapa? Mau titip?”Vano menggeleng. “Nggak lah. Cuma mau tanya aja.”Rania menunjukkan wajah cemberutnya, dia pun memilih cepat pergi dari cafe ini sebelum roti panggang depan itu tutup. Maklum saja toko itu buka dari jam tujuh pagi sampai jam dua belas siang, lalu buka kembali jam empat sore sampai jam sepuluh malam. Dan jika Rania belinya malam, sudah dipastikan jika dia tida
Rania mendadak gugup ketika dia bertemu dengan Selena, Ibu Abrisam. Siang ini Rania mendapat telepon dari Bagas. Jika Selena ingin bertemu dengan Rania. Ralat!! Sebenarnya ingin bertemu dengan Rana, karena Rania yang menggantikannya. Itu sebabnya dia datang, sedangkan Rana tentu saja wanita itu pergi entah kemana. Agar Grace tidak curiga dan marah padanya. Seperti saat ini Selena yang mengundang Rania untuk makan siang bersamanya, dan juga membahas tentang pernikahan mereka. Selena juga memuji Rania yang pandai masak, dan rasa masakannya sangat enak. Selena berani bertaruh, jika wanita itu membuka usaha catering atau makanan ringan sudah dipastikan akan laku keras. "Tante bisa aja." ucap Rania malu. "Serius loh. Tadi sambal cumi kamu enak banget. Abri aja sampai nambah." goda Selena. Rania tersipu malu, dia pun menyimpan sambal cumi yang ada di dalam lemari pendingin. Sambal cumi ini bisa bertahan dua minggu jika berada di lemari pendingin.Kalau begini ceritanya, Selena juga beta
Rania sampai dirumah pukul enam sore. Untuk saja cuaca hari ini cerah dan tidak turun hujan. Dia tidak harus drama lagi, karena hujan turun dan membuat kepala Rania pusing. Bahkan tidak hanya itu, Rania juga dikejutkan oleh kedatangan Rana yang ternyata seharian ini menemani ayahnya di rumah. Meskipun rumahnya harus menjadi kapal pecah karena ulah Rana. "Yang bayar tagihan AC siapa, Rana. Itu listriknya pasti mahal banget." kata Rania, menyodorkan satu kotak roti pandan pada ayah dan juga Rana. Wanita itu menoleh cepat menatap Rania dan juga pendingin ruangan di kamarnya secara bergantian. "Calon istrinya Abrisam bayar listrik aja nggak mampu!!" "Rana--" "Aku yang bayar, kalau Kakak nggak mampu!" Sebenarnya bukan tidak mampu. Rania itu mampu membelinya. Tapi kamu Rania hingga harus memikirkan biaya hidupnya selanjutnya setelah membeli barang seperti itu. Nyatanya kipas angin yang ada di kamar Rania saja tidak pernah menyala, apalagi ini pendingin ruangan yang dipakai atau tidak t
Rania Paramitha terlihat sangat panik setelah mendapat telepon dari Gaby tetangganya. Wanita itu memberitahu Rania jika ayahnya pingsan di rumah, dan langsung dilarikan di rumah sakit. Gaby juga memberitahu Rania jika obat yang dikonsumsi ayahnya telah habis. Mungkin itu yang membuat ayah Rania pingsan. Katanya setelah berpisah, ayah Rania tidak menikah kembali dan lebih fokus mengurus Rania. Memberikan kehidupan yang layak dan juga pendidikan yang bagus. Walaupun hanya sebatas lulusan SMA. Sedangkan ibu Rania, dia sudah menikah kembali dan memiliki anak bersama dengan suami sambungnya. Ditambah lagi masalah anak, karena waktu itu ayah dan ibu Rania memiliki anak kembar dan perempuan semua. Rania ikut dengan ayahnya, dan saudara kembarnya Rana ikut bersama dengan ibunya. Kehidupan mereka juga sangat bertolak belakang. Dimana Rania serba kekurangan, sedangkan Rana hidup dalam bergelimang harta. Semenjak lulus sekolah Rania yang menggantikan ayahnya mencari uang. Apalagi saat tahu ji
Karena membutuhkan banyak biaya untuk ayahnya, Rania pun akhirnya menyetujui ucapan Rana. Dia menerima tawaran Rana yang akan menikah dengan Abrisam, pria kaya raya yang buta itu. Selama menikah, Rana akan pergi keluar negeri untuk mengasingkan diri. Sedangkan nanti yang akan tinggal bersama dengan Abrisam adalah Rania. Semua ini dia lakukan untuk ayahnya, agar ayahnya sembuh dari penyakitnya dan mampu menemani rania hingga hari bahagianya nanti. Setelah bertemu dengan Rana, dan wanita itu meminta Rania bertemu dengan Abrisam di taman kota. Sayangnya, Rania sudah muter-muter taman ini selama setengah jam, dan Rania tidak bertemu dengan Abrisam sedikitpun. Dia melihat banyak orang yang datang dari ibu-ibu, bapak-ibu, anak-anak dan masih banyak lai. Tapi Rania tidak melihat orang buta yang masuk ke dalam taman ini. Rania memutuskan untuk pulang, hari ini Adhitama harus di operasi pencangkokan jantung. Dia tidak tega jika harus meninggalkan Adhitama sendirian di rumah sakit. Walaupun Ra