Abrisam meminta Bagas untuk menceritakan apa yang terjadi ketika dia makan malam bersama dengan Rana..bagaimana wajahnya, bentuk rambutnya, pakaian apa yang dia gunakan. Abrisam ingin sekali mengetahui semua itu. Namun, takdir berkata lain di kehidupan Abrisam.
Bagas menceritakan apa yang digunakan Rana ketika bertemu dengan Abrisam. Pertama, saat di cafe bersama dengan keluarga. Rana mengenakan baju yang begitu mahal, penuh dengan perlak-perlik. Kedua, ketika bertemu di taman, Bagas hanya melihat Rana mengenakan dres biasa dengan warna peach. Panjangnya hanya di atas lutut dengan flat shoes berwarna gelap. Tas kecil dan kuncir rambut yang menjadi gelang di tangan kirinya. Ketiga, Batas melihat Rana datang kembali mengenakan baju abu-abu. Abu-abunya tidak seperti abu-abu pada umumnya, ada noda putih, dengan celana hitam panjang yang warnanya hampir mirip dengan bajunya. Dia juga hanya mengenakan flat shoes biasa seperti di taman, dan juga tas kecil. Dan lagi, Rana menguncir rambutnya asal tepat di hadapan Abrisam. Dia berpenampilan sederhana tidak glamor seperti pertama kalinya. "Masalah cincin?" tanya Abrisam antusias. Dia masih memegang cincin yang dipilih oleh Rana. Cincin yang menurut Abrisam hanya memiliki satu mata di atas yang tidak begitu besar. Lempengan yang tidak besar dan tidak kecil. Dan yang jelas pas digunakan oleh Abrisam dan juga Rana. "Cincinnya sederhana. Nggak mewah, dan nggak jelek juga." jawab Bagas. "Maksud kamu?" Abrisam masih ingat betul, ketika dia datang ke toko perhiasan. Dan membawa satu kotak cincin perhiasan yang paling mahal dan elegan. Abrisam tidak meminta pegawai toko itu untuk memberikan cincin sederhana, seperti apa yang Bagas katakan barusan. Mengetahui jika majikannya itu bingung. Bagas langsung menyela, dan memberitahu Abrisam jika cincin sederhana itu, Bagas yang sengaja selipkan. Dia ingin tahu sebenarnya Rana itu menikah dengan Abrisam karena dia kaya, atau mungkin karena suatu hal. Dan nyatanya, Rana malah memilih cincin yang sederhana. Cincin itu memiliki permata biru terang, dengan lempengan sedang. Kalau dilihat sih bagus, dan tidak begitu mencolok. Harga cincin itu memang beda dari harga cincin lainnya. Mungkin jika cincin pilihan Abrisam memiliki harga hampir miliaran rupiah. Maka, cincin pilihan Rana hanya memiliki harga puluhan juta saja. "Astaga Bagas … " "Biar tahu Bri, dia itu sungguh atau mengincar harta kamu aja." Bukannya menghina, sekarang kalau dipikir dan dilihat. Abrisam itu buta, mantan kekasihnya saja meninggalkan dia. Apalagi ini adalah jenjang yang lebih serius. Abrisam akan menikah dengan wanita yang dia tidak kenal, dan tidak pernah dia lihat. Itu sebabnya Bagas tidak ingin Abrisam menyesal setelah menikahi Rana. Itu sebabnya tidak hanya kali ini, setelah ini dan apapun itu Bagas akan menguji sampai mana Rana bisa bertahan di samping Abrisam. "Kalau sampai aku mati?" "Bagus dong. Itu tandanya, cinta sehidup semati." Abrisam mendengus, cinta sehidup semati pala kuda!! Sekarang saja Abrisam tidak tahu, Rana itu mencintai Abrisam atau tidak. Kok malah hokang cinta. "Sok tau banget, yang bilang aja jomblo." Bagas berdecak kesal menatap Abrisam. "Tau sialan nggak?" Dengan tertawa kencang Abrisam menggeleng. "Nggak tau tuh!!" Untung saja Abrisam itu buta, coba saja jika tidak. Mungkin saja Bagas akan menghajar Abrisam tanka ampun. Pria itu meminta Abrisam untuk cepat tidur. Besok masih ada banyak waktu untuk membahas acara pernikahan mereka. Apalagi ibu Abrisam juga menginginkan pernikahan ini cepat terjadi. Katanya, pengen cepat dipanggil nenek saja oleh mereka. Abrisam mengangguk kecil, dan meminta Bagas untuk keluar. Membaringkan badannya di kasur king sizenya. Abrisam malah membayangkan bagaimana wajah Rana. Wanita yang sebentar lagi akan menjadi istri, dan juga pendamping hidupnya kelak. Dia juga berharap jika pilihan Maminya adalah yang terbaik untuk Abrisam. Dan entah kenapa dia bisa seyakin ini dengan Rana. Cukup tiga tahun yang lalu saja, yang membuat Abrisam trauma dan terpuruk, setelah ini tidak lagi. Ketika Abrisam memejamkan kedua bola matanya, dia malah mendengar sebuah pintu terbuka. Abrisam pun menajamkan telinganya dan mendengar derapan kaki yang mendekat ke arahnya. “Bagas?” kata Abrisam memastikan. Jika orang yang masuk itu adalah Bagas. “Ini Mami, Abri.” Abrisam tersenyum kecil, dia pun menepuk pinggiran tempat tidurnya. "Duduk sini Mi. Tumben Mami kesini, ada apa Mi?" Selena tersenyum mengusap pipi Abrisam dengan sedih. Anak laki-lakinya akan menikah sebentar lagi, dan yang jelas akan meninggalkan rumah ini untuk hidup bersama dengan istrinya. Selena menyinggung masalah Rana, beberapa hari ini Abrisam juga sudah bertemu dengan Rana, untuk mengetahui cocok atau tidaknya. Ditambah lagi, Bagas juga bilang jika malah ini mereka kembali bertemu dan memiliki cincin pernikahan mereka. Langsung saja Abrisam mengeluarkan kotak berwarna biru yang disimpan di nakas samping tempat tidurnya, dan dia berikan pada Selena. Itu adalah cincin pilihan Rana. Kata Bagas cincin itu terlihat sederhana dengan mata birunya. "Ya cincin ini bagus. Warnanya biru, Mami suka. Ditambah lagi, cincinnya juga simple gak neko-neko." kata Selena. Abrisam tersenyum. "Beneran Mi? Aku pikir Bagas bohong." Tersenyum sedih, Selena kembali menyimpan cincin itu pada tempat semula. Dia pun meminta Abrisam untuk istirahat. Besok adalah hal yang melelahkan bagi Abrisam dan juga Rana. Karena Selena meminta mereka berdua memilih beberapa undangan dan juga souvenir untuk pernikahan mereka. "Tapi … Mami ikut kan?" ucap Abrisam memastikan. "Ya nggak dong, Abri. Mami kan sibuk ngurus ini rumah, dekorasinya, catering dan masih banyak lagi, yang Mami harus urus. Itu semua sudah sudah menjadi tugas kamu sama Rana. Udah sekarang kamu tidur, biar besok bisa bangun pagi." kata Selena mengusap puncak kepala Abrisam. "Selamat malam Mi." "Selamat malam juga Abri."Hari ini Adhitama sudah dibolehkan pulang dari rumah sakit. Sebenarnya, belum!! Tapi Adhitama memaksa Rana untuk pulang ke rumah, dengan alasan jika Adhitama tidak betah di rumah sakit. Selain bau obat, dia juga tidak bisa tidur nyenyak. Takut-takut jika kamar sebelah meninggal, atau mendengar sirine ambulan. "Ya ampun Ayah, begitu aja takut. Kan kita juga nantinya bakalan pulang ke pangkuan Bapa." ucap Rania. Adhitama terkekeh. "Ya tapi kan masalahnya Ayah belum siap. Ayah masih pengen lihat putri Ayah bahagia dulu, menemukan pasangan hidupnya yang tepat. Baru Ayah bisa pulang ke pangkuan Bapa dengan damai." Mendengar hal itu Rania pun menahan tangisannya. Dalam hati Rania berterima kasih pas Rana yang telah membantunya. Mungkin jika Rana tidak datang tepat waktu, Rania pasti akan kehilangan Adhitama. Langsung saja Rania memeluk pria tua itu dengan hangat, mengusap air matanya dengan begitu kasar. Agar orang yang dia peluk, tidak tahu jika putri kecilnya ini tengah menangis. "A
Di tengah jalan, hujan tiba-tiba turun. Bahkan ketika masuk ke dalam butik yang dimaksud Rana tadi, Rania harus basah kuyup dulu. Menepuk bajunya yang basah dan juga membenarkan rambutnya, Rania mengintip Abrisam yang ternyata sudah berada di dalam butik. Kalau begini caranya, Rania sendiri yang akan malu ketika bertemu dengan orang banyak. Dia sudah seperti tikus kecemplung selokan. "Sisirnya mana sih, kok nggak ada!" gumam Rania mengacak isi tasnya. Dan nyatanya sisir kecil yang selalu dia bawa pun tidak ada. Dia baru ingat, jika sisir itu berada di tempat ke kerjanya beberapa hari yang lalu. Lebih tepatnya, disaat Cinta meminjam sisir itu, dan Rania lupa memasukkan kembali sisirnya ke dalam tas. "Rana … " Panggilan itu membuat Rania menoleh. Dia pun menatap Bagus yang keluar dari pintu butik. "Bagas … ada apa?" tanya Rania layaknya orang bodoh. Tentu saja pria itu datang untuk menjemput Rania, dan meminta wanita itu untuk masuk ke dalam. Tapi keadaan Rania yang basah kuyup
Tepat jam delapan malam, Rania baru saja sampai di rumah. Dia pun segera masuk ke rumahnya dan mengganti bajunya dengan baju kering. Biasalah, karena masih hujan dan Rania nekat untuk pulang. Akhirnya dia pun menerobos derasnya hujan untuk sampai di rumah. Mana tidak membawa payung sama sekali, dengan harapan Rania tidak akan sakit. "Ayah ini so-- Rana kamu masih disini." Rania memekik kaget ketika melihat Rana yang masih ada di dalam rumahnya. Cepat-cepat Rania meminta maaf pada Rana karena menunggunya cukup lama. Bahkan Rania juga sempat mempersilahkan Rana untuk pulang, karena hari sudah gelap. Sudah dipastikan jika Grace akan khawatir, mengetahui jika Rana tidak pulang ke rumah. Tentu saja hal itu langsung ditolak oleh Rana. Dia akan menginap malam ini, dan kembali pulang esok pagi. Tidak mungkin juga dia pulang dengan keadaan di luaran sana masih hujan. Bukannya apa, tapi Rana malas saja jika harus keluar rumah saat hujan.Hal itu langsung membuat Rania tersenyum. Dia pun lan
Keesokan harinya, Rana pun memilih untuk pulang. Grace terus saja menelponnya sejak setengah jam yang lalu. Dan nyatanya, Rana paling malas jika harus menerima panggilan itu, dan mendengar omelan Grace. Semalam, Rania menceritakan apa saja yang mereka lakukan. Termasuk menurunkan Rania di depan rumah Rana. Dimana Abrisam mengajak Rania ke sebuah butik untuk memesan gaun pernikahan mereka. Dan juga pergi membuat undangan sesuai apa yang Rania inginkan. Katanya, semua sesuai keinginan Rania. Itu sebabnya Rana meminta Rania bercerita dengan sedetail mungkin. "Yaudah aku pulang. Nanti kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin aku. Apalagi Abrisam sekarang udah punya nomer kamu. Yang jelas dia nggak akan telepon aku lagi." kata Rana. Rania mengangguk. "Iya. Kalau dia telepon aku, nanti aku langsung ngabarin kamu." Rana bergumam dia pun langsung mengambil kunci minimnya, dan memilih pergi. Dia harus pulang cepat dan mengurus semuanya. Setelah Rania menikah dengan Abrisam, dia harus segera p
Memasuki makan siang, Rania pun melepas celemek di tubuhnya. Dia pun memilih membeli roti panggang yang berada di seberang jalan. Entah kenapa akhir-akhir ini Rania ingin makan sekali roti panggang. Bahkan Rania juga lupa kapan terakhir dia membeli roti panggang untuk dirinya dan juga ayahnya.“Mau kemana Ran, kok buru-buru.” kata Vano, ketika menyadari jika Rania ingin pergi dari cafe. Ya selama ini Rania bekerja di salah satu cafe di ibukota. Cafe ini hampir setiap hari ramai pengunjung. Entah anak muda, ibu-ibu arisan atau bahkan beberapa orang pebisnis yang menyewa ruang privasi. “Beli roti panggang Mas. Kenapa? Mau titip?”Vano menggeleng. “Nggak lah. Cuma mau tanya aja.”Rania menunjukkan wajah cemberutnya, dia pun memilih cepat pergi dari cafe ini sebelum roti panggang depan itu tutup. Maklum saja toko itu buka dari jam tujuh pagi sampai jam dua belas siang, lalu buka kembali jam empat sore sampai jam sepuluh malam. Dan jika Rania belinya malam, sudah dipastikan jika dia tida
Rania mendadak gugup ketika dia bertemu dengan Selena, Ibu Abrisam. Siang ini Rania mendapat telepon dari Bagas. Jika Selena ingin bertemu dengan Rania. Ralat!! Sebenarnya ingin bertemu dengan Rana, karena Rania yang menggantikannya. Itu sebabnya dia datang, sedangkan Rana tentu saja wanita itu pergi entah kemana. Agar Grace tidak curiga dan marah padanya. Seperti saat ini Selena yang mengundang Rania untuk makan siang bersamanya, dan juga membahas tentang pernikahan mereka. Selena juga memuji Rania yang pandai masak, dan rasa masakannya sangat enak. Selena berani bertaruh, jika wanita itu membuka usaha catering atau makanan ringan sudah dipastikan akan laku keras. "Tante bisa aja." ucap Rania malu. "Serius loh. Tadi sambal cumi kamu enak banget. Abri aja sampai nambah." goda Selena. Rania tersipu malu, dia pun menyimpan sambal cumi yang ada di dalam lemari pendingin. Sambal cumi ini bisa bertahan dua minggu jika berada di lemari pendingin.Kalau begini ceritanya, Selena juga beta
Rania sampai dirumah pukul enam sore. Untuk saja cuaca hari ini cerah dan tidak turun hujan. Dia tidak harus drama lagi, karena hujan turun dan membuat kepala Rania pusing. Bahkan tidak hanya itu, Rania juga dikejutkan oleh kedatangan Rana yang ternyata seharian ini menemani ayahnya di rumah. Meskipun rumahnya harus menjadi kapal pecah karena ulah Rana. "Yang bayar tagihan AC siapa, Rana. Itu listriknya pasti mahal banget." kata Rania, menyodorkan satu kotak roti pandan pada ayah dan juga Rana. Wanita itu menoleh cepat menatap Rania dan juga pendingin ruangan di kamarnya secara bergantian. "Calon istrinya Abrisam bayar listrik aja nggak mampu!!" "Rana--" "Aku yang bayar, kalau Kakak nggak mampu!" Sebenarnya bukan tidak mampu. Rania itu mampu membelinya. Tapi kamu Rania hingga harus memikirkan biaya hidupnya selanjutnya setelah membeli barang seperti itu. Nyatanya kipas angin yang ada di kamar Rania saja tidak pernah menyala, apalagi ini pendingin ruangan yang dipakai atau tidak t
Rania Paramitha terlihat sangat panik setelah mendapat telepon dari Gaby tetangganya. Wanita itu memberitahu Rania jika ayahnya pingsan di rumah, dan langsung dilarikan di rumah sakit. Gaby juga memberitahu Rania jika obat yang dikonsumsi ayahnya telah habis. Mungkin itu yang membuat ayah Rania pingsan. Katanya setelah berpisah, ayah Rania tidak menikah kembali dan lebih fokus mengurus Rania. Memberikan kehidupan yang layak dan juga pendidikan yang bagus. Walaupun hanya sebatas lulusan SMA. Sedangkan ibu Rania, dia sudah menikah kembali dan memiliki anak bersama dengan suami sambungnya. Ditambah lagi masalah anak, karena waktu itu ayah dan ibu Rania memiliki anak kembar dan perempuan semua. Rania ikut dengan ayahnya, dan saudara kembarnya Rana ikut bersama dengan ibunya. Kehidupan mereka juga sangat bertolak belakang. Dimana Rania serba kekurangan, sedangkan Rana hidup dalam bergelimang harta. Semenjak lulus sekolah Rania yang menggantikan ayahnya mencari uang. Apalagi saat tahu ji