Abrisam meminta Bagas untuk menceritakan apa yang terjadi ketika dia makan malam bersama dengan Rana..bagaimana wajahnya, bentuk rambutnya, pakaian apa yang dia gunakan. Abrisam ingin sekali mengetahui semua itu. Namun, takdir berkata lain di kehidupan Abrisam.
Bagas menceritakan apa yang digunakan Rana ketika bertemu dengan Abrisam. Pertama, saat di cafe bersama dengan keluarga. Rana mengenakan baju yang begitu mahal, penuh dengan perlak-perlik. Kedua, ketika bertemu di taman, Bagas hanya melihat Rana mengenakan dres biasa dengan warna peach. Panjangnya hanya di atas lutut dengan flat shoes berwarna gelap. Tas kecil dan kuncir rambut yang menjadi gelang di tangan kirinya. Ketiga, Batas melihat Rana datang kembali mengenakan baju abu-abu. Abu-abunya tidak seperti abu-abu pada umumnya, ada noda putih, dengan celana hitam panjang yang warnanya hampir mirip dengan bajunya. Dia juga hanya mengenakan flat shoes biasa seperti di taman, dan juga tas kecil. Dan lagi, Rana menguncir rambutnya asal tepat di hadapan Abrisam. Dia berpenampilan sederhana tidak glamor seperti pertama kalinya. "Masalah cincin?" tanya Abrisam antusias. Dia masih memegang cincin yang dipilih oleh Rana. Cincin yang menurut Abrisam hanya memiliki satu mata di atas yang tidak begitu besar. Lempengan yang tidak besar dan tidak kecil. Dan yang jelas pas digunakan oleh Abrisam dan juga Rana. "Cincinnya sederhana. Nggak mewah, dan nggak jelek juga." jawab Bagas. "Maksud kamu?" Abrisam masih ingat betul, ketika dia datang ke toko perhiasan. Dan membawa satu kotak cincin perhiasan yang paling mahal dan elegan. Abrisam tidak meminta pegawai toko itu untuk memberikan cincin sederhana, seperti apa yang Bagas katakan barusan. Mengetahui jika majikannya itu bingung. Bagas langsung menyela, dan memberitahu Abrisam jika cincin sederhana itu, Bagas yang sengaja selipkan. Dia ingin tahu sebenarnya Rana itu menikah dengan Abrisam karena dia kaya, atau mungkin karena suatu hal. Dan nyatanya, Rana malah memilih cincin yang sederhana. Cincin itu memiliki permata biru terang, dengan lempengan sedang. Kalau dilihat sih bagus, dan tidak begitu mencolok. Harga cincin itu memang beda dari harga cincin lainnya. Mungkin jika cincin pilihan Abrisam memiliki harga hampir miliaran rupiah. Maka, cincin pilihan Rana hanya memiliki harga puluhan juta saja. "Astaga Bagas … " "Biar tahu Bri, dia itu sungguh atau mengincar harta kamu aja." Bukannya menghina, sekarang kalau dipikir dan dilihat. Abrisam itu buta, mantan kekasihnya saja meninggalkan dia. Apalagi ini adalah jenjang yang lebih serius. Abrisam akan menikah dengan wanita yang dia tidak kenal, dan tidak pernah dia lihat. Itu sebabnya Bagas tidak ingin Abrisam menyesal setelah menikahi Rana. Itu sebabnya tidak hanya kali ini, setelah ini dan apapun itu Bagas akan menguji sampai mana Rana bisa bertahan di samping Abrisam. "Kalau sampai aku mati?" "Bagus dong. Itu tandanya, cinta sehidup semati." Abrisam mendengus, cinta sehidup semati pala kuda!! Sekarang saja Abrisam tidak tahu, Rana itu mencintai Abrisam atau tidak. Kok malah hokang cinta. "Sok tau banget, yang bilang aja jomblo." Bagas berdecak kesal menatap Abrisam. "Tau sialan nggak?" Dengan tertawa kencang Abrisam menggeleng. "Nggak tau tuh!!" Untung saja Abrisam itu buta, coba saja jika tidak. Mungkin saja Bagas akan menghajar Abrisam tanka ampun. Pria itu meminta Abrisam untuk cepat tidur. Besok masih ada banyak waktu untuk membahas acara pernikahan mereka. Apalagi ibu Abrisam juga menginginkan pernikahan ini cepat terjadi. Katanya, pengen cepat dipanggil nenek saja oleh mereka. Abrisam mengangguk kecil, dan meminta Bagas untuk keluar. Membaringkan badannya di kasur king sizenya. Abrisam malah membayangkan bagaimana wajah Rana. Wanita yang sebentar lagi akan menjadi istri, dan juga pendamping hidupnya kelak. Dia juga berharap jika pilihan Maminya adalah yang terbaik untuk Abrisam. Dan entah kenapa dia bisa seyakin ini dengan Rana. Cukup tiga tahun yang lalu saja, yang membuat Abrisam trauma dan terpuruk, setelah ini tidak lagi. Ketika Abrisam memejamkan kedua bola matanya, dia malah mendengar sebuah pintu terbuka. Abrisam pun menajamkan telinganya dan mendengar derapan kaki yang mendekat ke arahnya. “Bagas?” kata Abrisam memastikan. Jika orang yang masuk itu adalah Bagas. “Ini Mami, Abri.” Abrisam tersenyum kecil, dia pun menepuk pinggiran tempat tidurnya. "Duduk sini Mi. Tumben Mami kesini, ada apa Mi?" Selena tersenyum mengusap pipi Abrisam dengan sedih. Anak laki-lakinya akan menikah sebentar lagi, dan yang jelas akan meninggalkan rumah ini untuk hidup bersama dengan istrinya. Selena menyinggung masalah Rana, beberapa hari ini Abrisam juga sudah bertemu dengan Rana, untuk mengetahui cocok atau tidaknya. Ditambah lagi, Bagas juga bilang jika malah ini mereka kembali bertemu dan memiliki cincin pernikahan mereka. Langsung saja Abrisam mengeluarkan kotak berwarna biru yang disimpan di nakas samping tempat tidurnya, dan dia berikan pada Selena. Itu adalah cincin pilihan Rana. Kata Bagas cincin itu terlihat sederhana dengan mata birunya. "Ya cincin ini bagus. Warnanya biru, Mami suka. Ditambah lagi, cincinnya juga simple gak neko-neko." kata Selena. Abrisam tersenyum. "Beneran Mi? Aku pikir Bagas bohong." Tersenyum sedih, Selena kembali menyimpan cincin itu pada tempat semula. Dia pun meminta Abrisam untuk istirahat. Besok adalah hal yang melelahkan bagi Abrisam dan juga Rana. Karena Selena meminta mereka berdua memilih beberapa undangan dan juga souvenir untuk pernikahan mereka. "Tapi … Mami ikut kan?" ucap Abrisam memastikan. "Ya nggak dong, Abri. Mami kan sibuk ngurus ini rumah, dekorasinya, catering dan masih banyak lagi, yang Mami harus urus. Itu semua sudah sudah menjadi tugas kamu sama Rana. Udah sekarang kamu tidur, biar besok bisa bangun pagi." kata Selena mengusap puncak kepala Abrisam. "Selamat malam Mi." "Selamat malam juga Abri."Hari ini Adhitama sudah dibolehkan pulang dari rumah sakit. Sebenarnya, belum!! Tapi Adhitama memaksa Rana untuk pulang ke rumah, dengan alasan jika Adhitama tidak betah di rumah sakit. Selain bau obat, dia juga tidak bisa tidur nyenyak. Takut-takut jika kamar sebelah meninggal, atau mendengar sirine ambulan. "Ya ampun Ayah, begitu aja takut. Kan kita juga nantinya bakalan pulang ke pangkuan Bapa." ucap Rania. Adhitama terkekeh. "Ya tapi kan masalahnya Ayah belum siap. Ayah masih pengen lihat putri Ayah bahagia dulu, menemukan pasangan hidupnya yang tepat. Baru Ayah bisa pulang ke pangkuan Bapa dengan damai." Mendengar hal itu Rania pun menahan tangisannya. Dalam hati Rania berterima kasih pas Rana yang telah membantunya. Mungkin jika Rana tidak datang tepat waktu, Rania pasti akan kehilangan Adhitama. Langsung saja Rania memeluk pria tua itu dengan hangat, mengusap air matanya dengan begitu kasar. Agar orang yang dia peluk, tidak tahu jika putri kecilnya ini tengah menangis. "A
Di tengah jalan, hujan tiba-tiba turun. Bahkan ketika masuk ke dalam butik yang dimaksud Rana tadi, Rania harus basah kuyup dulu. Menepuk bajunya yang basah dan juga membenarkan rambutnya, Rania mengintip Abrisam yang ternyata sudah berada di dalam butik. Kalau begini caranya, Rania sendiri yang akan malu ketika bertemu dengan orang banyak. Dia sudah seperti tikus kecemplung selokan. "Sisirnya mana sih, kok nggak ada!" gumam Rania mengacak isi tasnya. Dan nyatanya sisir kecil yang selalu dia bawa pun tidak ada. Dia baru ingat, jika sisir itu berada di tempat ke kerjanya beberapa hari yang lalu. Lebih tepatnya, disaat Cinta meminjam sisir itu, dan Rania lupa memasukkan kembali sisirnya ke dalam tas. "Rana … " Panggilan itu membuat Rania menoleh. Dia pun menatap Bagus yang keluar dari pintu butik. "Bagas … ada apa?" tanya Rania layaknya orang bodoh. Tentu saja pria itu datang untuk menjemput Rania, dan meminta wanita itu untuk masuk ke dalam. Tapi keadaan Rania yang basah kuyup
Tepat jam delapan malam, Rania baru saja sampai di rumah. Dia pun segera masuk ke rumahnya dan mengganti bajunya dengan baju kering. Biasalah, karena masih hujan dan Rania nekat untuk pulang. Akhirnya dia pun menerobos derasnya hujan untuk sampai di rumah. Mana tidak membawa payung sama sekali, dengan harapan Rania tidak akan sakit. "Ayah ini so-- Rana kamu masih disini." Rania memekik kaget ketika melihat Rana yang masih ada di dalam rumahnya. Cepat-cepat Rania meminta maaf pada Rana karena menunggunya cukup lama. Bahkan Rania juga sempat mempersilahkan Rana untuk pulang, karena hari sudah gelap. Sudah dipastikan jika Grace akan khawatir, mengetahui jika Rana tidak pulang ke rumah. Tentu saja hal itu langsung ditolak oleh Rana. Dia akan menginap malam ini, dan kembali pulang esok pagi. Tidak mungkin juga dia pulang dengan keadaan di luaran sana masih hujan. Bukannya apa, tapi Rana malas saja jika harus keluar rumah saat hujan.Hal itu langsung membuat Rania tersenyum. Dia pun lan
Keesokan harinya, Rana pun memilih untuk pulang. Grace terus saja menelponnya sejak setengah jam yang lalu. Dan nyatanya, Rana paling malas jika harus menerima panggilan itu, dan mendengar omelan Grace. Semalam, Rania menceritakan apa saja yang mereka lakukan. Termasuk menurunkan Rania di depan rumah Rana. Dimana Abrisam mengajak Rania ke sebuah butik untuk memesan gaun pernikahan mereka. Dan juga pergi membuat undangan sesuai apa yang Rania inginkan. Katanya, semua sesuai keinginan Rania. Itu sebabnya Rana meminta Rania bercerita dengan sedetail mungkin. "Yaudah aku pulang. Nanti kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin aku. Apalagi Abrisam sekarang udah punya nomer kamu. Yang jelas dia nggak akan telepon aku lagi." kata Rana. Rania mengangguk. "Iya. Kalau dia telepon aku, nanti aku langsung ngabarin kamu." Rana bergumam dia pun langsung mengambil kunci minimnya, dan memilih pergi. Dia harus pulang cepat dan mengurus semuanya. Setelah Rania menikah dengan Abrisam, dia harus segera p
Memasuki makan siang, Rania pun melepas celemek di tubuhnya. Dia pun memilih membeli roti panggang yang berada di seberang jalan. Entah kenapa akhir-akhir ini Rania ingin makan sekali roti panggang. Bahkan Rania juga lupa kapan terakhir dia membeli roti panggang untuk dirinya dan juga ayahnya.“Mau kemana Ran, kok buru-buru.” kata Vano, ketika menyadari jika Rania ingin pergi dari cafe. Ya selama ini Rania bekerja di salah satu cafe di ibukota. Cafe ini hampir setiap hari ramai pengunjung. Entah anak muda, ibu-ibu arisan atau bahkan beberapa orang pebisnis yang menyewa ruang privasi. “Beli roti panggang Mas. Kenapa? Mau titip?”Vano menggeleng. “Nggak lah. Cuma mau tanya aja.”Rania menunjukkan wajah cemberutnya, dia pun memilih cepat pergi dari cafe ini sebelum roti panggang depan itu tutup. Maklum saja toko itu buka dari jam tujuh pagi sampai jam dua belas siang, lalu buka kembali jam empat sore sampai jam sepuluh malam. Dan jika Rania belinya malam, sudah dipastikan jika dia tida
Rania mendadak gugup ketika dia bertemu dengan Selena, Ibu Abrisam. Siang ini Rania mendapat telepon dari Bagas. Jika Selena ingin bertemu dengan Rania. Ralat!! Sebenarnya ingin bertemu dengan Rana, karena Rania yang menggantikannya. Itu sebabnya dia datang, sedangkan Rana tentu saja wanita itu pergi entah kemana. Agar Grace tidak curiga dan marah padanya. Seperti saat ini Selena yang mengundang Rania untuk makan siang bersamanya, dan juga membahas tentang pernikahan mereka. Selena juga memuji Rania yang pandai masak, dan rasa masakannya sangat enak. Selena berani bertaruh, jika wanita itu membuka usaha catering atau makanan ringan sudah dipastikan akan laku keras. "Tante bisa aja." ucap Rania malu. "Serius loh. Tadi sambal cumi kamu enak banget. Abri aja sampai nambah." goda Selena. Rania tersipu malu, dia pun menyimpan sambal cumi yang ada di dalam lemari pendingin. Sambal cumi ini bisa bertahan dua minggu jika berada di lemari pendingin.Kalau begini ceritanya, Selena juga beta
Rania sampai dirumah pukul enam sore. Untuk saja cuaca hari ini cerah dan tidak turun hujan. Dia tidak harus drama lagi, karena hujan turun dan membuat kepala Rania pusing. Bahkan tidak hanya itu, Rania juga dikejutkan oleh kedatangan Rana yang ternyata seharian ini menemani ayahnya di rumah. Meskipun rumahnya harus menjadi kapal pecah karena ulah Rana. "Yang bayar tagihan AC siapa, Rana. Itu listriknya pasti mahal banget." kata Rania, menyodorkan satu kotak roti pandan pada ayah dan juga Rana. Wanita itu menoleh cepat menatap Rania dan juga pendingin ruangan di kamarnya secara bergantian. "Calon istrinya Abrisam bayar listrik aja nggak mampu!!" "Rana--" "Aku yang bayar, kalau Kakak nggak mampu!" Sebenarnya bukan tidak mampu. Rania itu mampu membelinya. Tapi kamu Rania hingga harus memikirkan biaya hidupnya selanjutnya setelah membeli barang seperti itu. Nyatanya kipas angin yang ada di kamar Rania saja tidak pernah menyala, apalagi ini pendingin ruangan yang dipakai atau tidak t
Rana menghela nafasnya berat, ketika Rania menelponnya dan memberitahu dirinya. Jika hari ini gaun yang beberapa hari dipesan oleh Rania sudah jadi. Dan Megan meminta Rana dan juga Abrisam untuk mencobanya. Malas!! Tentu saja iya, dia harus bangun pagi hanya untuk datang ke butik yang Rania katakan. Belum lagi ocehan Grace yang membuat telinga Rana panas. "Mama bisa diam tidak!! Aku pusing denger Mama ngomong terus, dan itu semua hanya karena harta!" cetus Rana. Yang ada dipikiran ibunya itu hanya harta, harta, harta, dan harta. Tapi Grace tidak pernah memikirkan perasaan anaknya sampai detik ini. Rana itu tidak mau menikah, dia adalah wanita bebas, dia tidak suka keterikatan. Berkali-kali Rana mengatakan hal itu pada Grace. Dan nyatanya wanita tua itu sama sekali tidak peduli. Ibarat kata, Grace itu adalah sopir dan Rana adalah penumpang yang harus ikut dan menurut apapun yang sopir itu katakan. "Mama cuma ingetin kamu!! Jangan sampai jatuh cinta dengan dia." "Lagian siapa juga
Keesokan harinya Rania dan Abrisma pun duduk berdua dengan gugup. Mereka harus menunggu selama tiga puluh menit untuk melihat hasil periksa Abrisam dan juga Rania. Rania harap-harap cemas dengan semua ini, begitu juga dengan Abrisam yang cemas tapi masih terlihat santai dan tenang. Disini tidak hanya mereka tapi juga dengan Selena, Kara dan juga Bagas yang ikut serta menemani pemeriksaan mereka. Rania mencoba untuk lebih rileks, berkali-kali dia menarik nafasnya dalam dan menghembuskannya secara perlahan. jantungnya berdebar kencang, apalagi tangan Abrisam yang mulai menggenggamnya dengan erat, sangat erat hingga Rania merasakan kesakitan yang luar biasa. “Sakit Mas.” lirih Rania memukul tangan Abrisam pelan. “Grogi Ran, takut kalau aku beneran mandul.”Rania menghela nafasnya berat. “Kayak apapun hasilnya, aku nggak peduli Mas. kamu hamil atau tidak itu hanya menurut Dokter, bukan menurut Tuhan.”“Tapi Ran kalau hasilnya positif, mami pasti kecewa sama aku yang nggak bisa ngasih d
Satu minggu sudah Rania dan juga keluarga Abrisam berlibur. Mereka memutuskan untuk pulang. Setelah kejadian Kara menangis, Abrisam sempat menuduh Rania yang menyebabkan Kara menangis. Sedangkan yang sebenarnya Rania juga tidak tahu penyebab utama Kara menangis apa. Dia hanya mencoba menenangkan Kara dan juga mendengar keluh kesah yang Kara rasakan. Untung saja Kara membantu Rania menjelaskan pada Abrisam hingga salah paham ini usai. Selama satu minggu berada di puncak, banyak sekali yang mereka lakukan. Setiap pagi Kara selalu mengajak Rania untuk jalan-jalan sebentar, menikmati udara dingin puncak yang katanya sudah lama sekali Rania tak merasakannya. Siang hari Rania membantu Selena dan juga mbok Atun memasak, meskipun kadang Selena suka menolak dan meminta Rania untuk masuk ke kamar. Belum lagi keusilan Selena yang selalu berulah mengunci Rania dan juga Abrisam berdua di dalam kamar, tak tanggung-tanggung Selena juga pernah mengunci mereka berdua di dalam kamar. Dengan harapan ji
"Selesai." kata Rania. Wanita itu baru saja meluruskan rambut Kara. Menyisir nya dengan lembut, Rania pun tersenyum. Jika saja rambutnya panjang mungkin akan seindah rambut Kara. Sayangnya rambut Rania tidak begitu panjang. "Rambut kamu bagus banget, lembut lagi pengen pegang terus." ucap Rania kembali. Kara membalik badannya, dia pun menatap Rania dengan tatapan sendu. Dia mengajak Rania ke kamar bukan sekedar untuk meluruskan rambutnya, tapi juga ingin berbicara banyak hal tentang perasaan. Kara tahu pernikahannya dengan Abrisam itu karena perjodohan, tapi apa dia percaya cinta itu datang karena terbiasa?Menjauhkan tangannya dari rambut Kara, Rania pun duduk di pinggiran tempat tidur Kara samb melipat selimut wanita itu. "Cinta itu datang karena terbiasa. Kalau kita bisa menerima takdir dengan baik, menempatkan diri dengan baik. Kita pasti menemukan cinta yang tepat." katanya. "Aku sama mas Abri memang dijodohkan, tapi aku tidak menutup kemungkinan kalau aku akan jatuh cinta de
"Pembahasan dari kemarin gak jauh banget dari permen. Itu sebenarnya permen apa sih!!" kata Bagas penasaran. Kali ini mereka hanya ada berdua, tanpa Rania dan juga yang lainnya. Semua orang mendadak pergi satu persatu dan meninggalkan penginapan, begitu juga dengan Rania yang kembali pergi bersama dengan Kara. Sejujurnya Bagas agak khawatir kalau Rania bertemu atau keluar dengan Kara. Wanita satu itu bar-bar dan suka berbuat banyak hal di luar nalar. Dan Bagas takut kalau Rania akan kepancing dan menuruti apapun yang Kara inginkan. Bukannya apa, Bagas sudah hafal bagaimana sifat Kara sejak dulu.Abrisam tertawa kecil. "Permen apa ya … kepo banget sih!!" "Bukannya kepo, Bri. Apa sih nggak paham, atau otak aku yang ngelag jauh banget." Entah kenapa hal itu membuat Abrisam tertawa kecil. Sampai detik ini Bagas selalu saja memiliki pemikiran yang jauh dari apa yang dikatakan Rania. Itu hanya permen tusuk, tapi kenapa pikiran Bagas jauh banget. Harusnya otak Bagas itu dicuci bersih den
Sampai akhirnya Leon pun memutuskan untuk mengambil kuliah di luar negeri yang berbeda dengan Abrisam. Sejak saat itu Leon tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan Abrisam, mereka hanya kontak lewat email, social media saja. Yang Leon tahu juga dulu, wanita yang paling dicintai Abrisam itu hanya Starla, selebihnya Leon tidak tahu lagi. Dan jika Rania ingin tahu segalanya dan lebih tahu siapa Abrisam sebenarnya, harusnya Rania bertanya pada Bagas. Mereka tinggal dalam satu rumah dari kecil hingga dewasa. Ketika Abrisam kuliah di luar negeri pun Bagas juga ikut. Yang jelas, Bagas lebih tau segalanya daripada Leon. "Playboy juga ya mas Abri dulu." kekeh Rania. Leon juga ikut tertawa. "Ya gimana ya, namanya juga anak remaja kayaknya wajar aja deh. Kamu juga pasti mengalami hal yang sama." Kalau masalah itu tentu saja tidak. Rania tidak memiliki ke masih satu pun. Jangankan kekasih, dekat dengan satu pria saja Rania tidak pernah. Dia terlalu sibuk bersekolah hingga semua orang menganggap
Melihat Rania yang berjalan sendiri, Leon pun langsung mendekatinya. Menepuk bahu wanita itu, hingga membuatnya terjangkau kaget. "Pak Leon … " ucap Rania. Leon tersenyum. "Kamu melamun ya." Alis Rania mengerut. "Nggak kok. Saya nggak melamun. Disini, Leon langsung menunjuk satu pohon besar yang berdiri di hadapan Rania. Jika saja Leon tidak menepuk bahu Rania, sudah dipastikan jika wanita itu akan menabrak pohon besar itu. Meringis adalah hal yang dilakukan oleh Rania. Dia tidak tahu jika ada pilih di hadapannya. Dan seingat Rania, pohon begini biasanya ada di pinggiran jalan. Dan Rania berjalan di … melihat arah jalannya Rania pun terkejut, dia tidak lagi berjalan di tengah jalan bebatuan ini. Lebih tepatnya Rania berjalan di pinggir dan nyaris masuk ke selokan. Mungkin benar kata Leon kalau pria itu tidak menepuk bahunya, sudah dipastikan kalau Rania akan menabrak pohon besar ini dan terjatuh. "Huft … terimakasih." kata Rania akhirnya. Setidaknya dia tahu rasa terimakasih pad
Leon pulang dengan perasaan kesal. Makan siang tadi membuat dirinya ingin sekali marah. Dia harus melihat kemesraan Abrisam dan juga Rania yang ditunjukkan di depan publik. Bisa dibilang sengaja membuat Leon marah. Pria itu masih ingat betul, jika dulu ketika Abrisam memiliki kekasih pria itu tidak seperti ini dengan kekasihnya dulu. Bahkan kebanyakan kekasih Abrisam sekali mengeluh memilih kekasih macam Abrisam yang terkesan cuek dan tidak peduli dengan kekasihnya. Itu sebabnya mereka lebih suka menjalin hubungan dengan Leon karena apa yang mereka dapatkan selalu ada di diri Leon. Perhatian, kasih sayang, dan waktu. Empat hal yang selalu diinginkan wanita ketika memiliki kekasih.Duduk di sofa cream pria itu menatap langit-langit rumahnya dengan mata terpejam. Dalam bayangannya, Leon membayangkan ucapan Rania yang dia dengar tadi. Permainan memakan permen, menjilatinya hingga menggigit. Entah kenapa Leon membayangkan hal yang mengarah pada adegan dewasa. Dimana Rania yang mulai memai
Kara menatap Rania yang mondar mandir di depannya dengan jengkel. Baju tipis itu bergoyang kesana kemari seiring mengikuti arah angin. Belum lagi disini ada tiga pria, yang otomatis juga pasti akan paham dengan situasi seperti ini. Wanita itu masuk ke dalam kamar penginapannya, mengambil beberapa potong baju miliknya lalu dia berikan pada Rania. Meminta kakak iparnya untuk mengganti bajunya yang lebih tebal. Lagian, Kara juga tidak ingin kakak iparnya itu sakit kembali. Jika kemarin kakak iparnya bisa sakit masih, mungkin saja setelah ini kakak iparnya bisa masuk angin. "Kamu serius minjemin baju ini buat aku, Kara?" tanya Rania memastikan. "Iya. Aku pikir-pikir takut Kakak sakit lagi aja." Rania melompat kegirangan layaknya anak kecil. Dia pun buru-buru mengganti baju tipisnya dengan baju tebal milik Kara. Tidak masalah kebesaran sedikit, toh Rania juga suka baju dengan size yang besar. Tidak hanya itu, sangking senangnya dengan baju yang Kara bagi. Rania langsung menemui Abrisa
Suara peluit berbunyi dengan kencangnya. Satu persatu bola masuk ke gawang lawan dan mencetak gol. Permainan dimulai dua jam yang lalu, dimana team Kara dan juga Rania unggul dengan delapan poin. Sedangkan team Mbok Atun dan juga Selena unggul dengan lima poin. Susah dipastikan team Rania dan juga Kara yang memenangkan tantangan kali ini. "Astaga capek banget." keluh Rania dan duduk di samping Abrisam. "Seru mainnya?" tanya Abrisam bersemangat. Rania mengangguk, dia pun menerima satu botol minum yang diberikan Abrisam. Meneguk nya hingga setengah, Rania pun dengan iseng melempar bola itu ke sembarang arah. Hingga dia mendengar suara rintihan yang kencang. "Ehh siapa itu?" pekik Rania kaget. "Ada orang kah?" teriak Kata kencang. Rania menatap setiap penjuru arah, sambil mewanti-wanti jika itu adalah monster hutan, atau mungkin orang jahat. Selena dan yang lain pun bisa langsung kabur jika ada yang mau mencelakai mereka. Dan ternyata, orang itu keluar dari arah samping kanan denga