Rania Paramitha terlihat sangat panik setelah mendapat telepon dari Gaby tetangganya. Wanita itu memberitahu Rania jika ayahnya pingsan di rumah, dan langsung dilarikan di rumah sakit. Gaby juga memberitahu Rania jika obat yang dikonsumsi ayahnya telah habis. Mungkin itu yang membuat ayah Rania pingsan.
Katanya setelah berpisah, ayah Rania tidak menikah kembali dan lebih fokus mengurus Rania. Memberikan kehidupan yang layak dan juga pendidikan yang bagus. Walaupun hanya sebatas lulusan SMA. Sedangkan ibu Rania, dia sudah menikah kembali dan memiliki anak bersama dengan suami sambungnya. Ditambah lagi masalah anak, karena waktu itu ayah dan ibu Rania memiliki anak kembar dan perempuan semua. Rania ikut dengan ayahnya, dan saudara kembarnya Rana ikut bersama dengan ibunya. Kehidupan mereka juga sangat bertolak belakang. Dimana Rania serba kekurangan, sedangkan Rana hidup dalam bergelimang harta. Semenjak lulus sekolah Rania yang menggantikan ayahnya mencari uang. Apalagi saat tahu jika ayahnya terkena serangan jantung setelah berpisah dari ibu Rania. Itu sebabnya Rania mengambil alih dan menjadi tulang punggung keluarga. “Dok … bagaimana keadaan ayah saya?” tanya Rania panik. Dokter menurunkan maskernya dan menatap Rania dengan helaan nafasnya berat. “Saya sudah bilang kan, jangan sampai terlambat minum obatnya. Ini yang akan terjadi, untung saja cepat dibawa ke rumah sakit. Tolong diperhatikan lagi ya ayahnya. Kalau bisa cepat di operasi agar kejadian ini tidak membuat anda takut.” jelas sang Dokter dan berlalu. Rania mengusap wajahnya kasar, uang dari mana lagi dia untuk mengoperasi jantung ayahnya. Yang diyakini Rania harga operasi tidaklah murah. Menjual rumah saja juga tidak akan mampu menyembuhkan ayahnya. Sedangkan selama ini Rania hanya menebus obat yang dokter itu tulis, dan melakukan cek rutin tiga bulan sekali. Hanya itu yang bisa Rania lakukan selama ini. Wanita berusia dua puluh lima tahun itupun memasuki ruangan. Dia pun menatap Ayahnya yang terbaring lemah di atas brankar dengan wajah pucatnya. Dia baru saja menebus obatnya, agar Ayahnya bisa meminum obatnya secara rutin. Karena setiap cek rutin tiga bulan sekali, selalu saja ada obat yang di naik turunkan dan di ganti. “Ayah … “ panggil Rania lembut dan mengusap tangan sang ayah. Adhitama membuka kedua bola matanya perlahan, hal pertama yang dia lihat adalah putri kecilnya yang sudah menjelma menjadi sosok wanita dewasa. Namun sayangnya di mata Adhitama, dia tetaplah putri kecil yang Adhitama banggakan. “Ayah baik-baik saja kan? Bagaimana bisa Ayah pingsan di rumah pas Rania nggak ada?” tanya Rania lembut. “Ayah baik-baik saja nak, tenanglah.” jawab Adhitama lemah Ayahnya itu akan selalu menjawab seperti itu jika ditanya dia baik-baik saja atau tidak. Dan bahkan Rania sampai bosan mendengar kata itu. “Yasudah kalau Ayah baik-baik saja, aku mau bayar administrasi dulu ya, agar kita biar bisa cepat pulang. Ayah tunggu disini.” ucap Raia “Iya nak.” Rania memilih pergi dari ruangan ini dan menuju ke administrasi untuk menyelesaikan tagihan Adhitama. Dan menanyakan biaya Adhitama, dalam hati Rania berharap pengobatan ini tidaklah mahal. Dia sudah menghabiskan tabungannya untuk mengobati ayahnya. Harapan tinggallah harapan. Kekecewaan itu datang ketika melihat biaya administrasi yang suster itu berikan pada Rania. Jumlahnya cukup besar, dan Rania tidak mampu melunasinya data sekejap. "Mbak ini biayanya bisa dicicil tidak? Uang saya kurang." ucap Rania memohon. Bahkan dia sampai menunjukkan wajah melasnya, agar suster itu mengasihaninya dan sedikit memberi kelonggaran biaya ayahnya. "Biar saya saja yang bayar administrasi atas nama pasien Adhitama." ucap seseorang. Rania menoleh kaget, dia pun menatap kembarannya yang berdiri tegak di belakangnya. Dia tahu jika ayahnya masuk rumah sakit dan tengah sakit keras. Padahal setahu Rania, kembarannya ini tidak peduli lagi dengan ayah dan juga dirinya. Sekarang dia malah menunjukkan wajahnya dan membayar semua biaya administrasi ayahnya. Yang jelas ada sesuatu yang dia inginkan dari Rania atau mungkin ayahnya. Rana sendiri langsung mengeluarkan beberapa lembar uang, untuk membayar semua tagihan Adhitama. Bahkan dia juga meminta suster untuk menyiapkan ruang operasi untuk Adhitama. Agar pria tua itu segera dioperasi dan sembuh. Rana juga merasa kasihan pada Rania yang bekerja keras hanya untuk mengobati ayahnya saja. "Kamu tumben jenguk ayah. Ada apa?" tanya Rania curiga. Rana hanya tersenyum, setelah melunasi semua biaya dan meminta suster untuk mengoperasi Adhitama dengan cepat. Rana pun langsung menarik tangan Rania dan mengajaknya ke taman rumah sakit. "Aku ada perlu sama kamu. Dan semua itu tidak gratis!!" kata Rana dan membuat Rania tidak mengerti. Rana yang melihat wajah tidak mengerti Rania pun tersenyum kecil. Tentu saja Rania tidak akan paham, dia itu hidup serba kekurangan. Hal seperti ini tentu saja tidak akan membuat Rania paham. Dengan pelan tapi pasti Rana pun menjelaskan, jika biaya yang dikeluarkan tadi tidaklah gratis. Semua ada imbalannya, dan Rana menginginkan satu hal dari Rania. "Kamu minta apa? Kamu tulis saja semuanya, nanti kalau aku punya uang aku bayar." kata Rania lembut. Rana menggeleng, "Aku nggak suka uang receh. Jadi aku nggak butuh uang kamu!!" ejek Rana. "Terus kamu maunya apa?" "Aku mau kamu gantiin aku menikah dengan Abrisam, pria kaya yang buta." Rania masih tidak mengerti. Sampai akhirnya Rana pun mengatakan jika Grace meminta Rana untuk menikah dengan Abrisam. Dia adalah pria yang mengalami kebutaan tiga tahun yang lalu karena kecelakaan. Dan sampai saat ini Abrisam belum memiliki donor mata sama sekali. Itu sebabnya Rana menolak, karena dia tidak ingin memiliki suami buta. Itu sebabnya Rana meminta Rania untuk menggantikannya di hari pernikahannya nanti. Wanita itu menolak, dia tidak mungkin berbohong sebesar ini pada semua orang. Mungkin awalnya akan baik-baik saja. Tapi setelah itu, semuanya akan berbalik dan Rania bisa saja masuk penjara. Rana yang tidak mau kalah pun mencoba membujuk Rania, dengan embel-embel ayah yang sedang sakit. Selain dia mendapat jatah belanja dari Abrisam. Rania juga bisa mengobati Adhitama hingga sembuh total. “Semua keputusan ada ditangan kamu. Nyawa ayah kamu juga ada di tangan kamu. Jika kamu menolak … kamu tahu sendiri kan, apa akibatnya Kak Rania?”Karena membutuhkan banyak biaya untuk ayahnya, Rania pun akhirnya menyetujui ucapan Rana. Dia menerima tawaran Rana yang akan menikah dengan Abrisam, pria kaya raya yang buta itu. Selama menikah, Rana akan pergi keluar negeri untuk mengasingkan diri. Sedangkan nanti yang akan tinggal bersama dengan Abrisam adalah Rania. Semua ini dia lakukan untuk ayahnya, agar ayahnya sembuh dari penyakitnya dan mampu menemani rania hingga hari bahagianya nanti. Setelah bertemu dengan Rana, dan wanita itu meminta Rania bertemu dengan Abrisam di taman kota. Sayangnya, Rania sudah muter-muter taman ini selama setengah jam, dan Rania tidak bertemu dengan Abrisam sedikitpun. Dia melihat banyak orang yang datang dari ibu-ibu, bapak-ibu, anak-anak dan masih banyak lai. Tapi Rania tidak melihat orang buta yang masuk ke dalam taman ini. Rania memutuskan untuk pulang, hari ini Adhitama harus di operasi pencangkokan jantung. Dia tidak tega jika harus meninggalkan Adhitama sendirian di rumah sakit. Walaupun Ra
"Rana … gimana keadaan Ayah?" tanya Rania khawatir. Rana yang sibuk dengan cat kukunya pun menatap Rania malas. Jika dilihat secara penampilan pun mereka sangat berbeda. Tidak perlu dijelaskan, karena semua orang tahu jika Rana hidup dengan harta. Sedangkan Rania yang hidup jauh dari kata harta. "Baik. Seperti yang kamu lihat!!" jawab Rana cuek. "Operasinya?" Rana menghela nafasnya berat, dia pun menutup botol kecil cat kukunya dan menatap Rania sekali lagi. Saudara kembarnya itu sangat cerewet, dan tidak bisa diam. Seharusnya tanpa bertanya dia tahu, jika ayahnya itu baik-baik saja. Operasinya berjalan dengan lancar, karena Rania pergi cukup lama bersama dengan Abrisam. Tapi tidak masalah yang penting Rana akan terbebas dari pria buta yang sama sekali tidak dia inginkan. Wanita itu bangkit dari duduknya dan memilih pergi. Dia juga sempat meninggalkan beberapa lembar uang, dan juga kontrak perjanjian kerja sama mereka. Jika Rana akan membiayai pengobatan Adhitama hingga sembuh
Sebuah nomor ponsel tak dikenal menelpon Rania beberapa kali. Dia pun menatap nomor ponsel itu dengan aneh. Pasalnya nomor itu telah menelpon Rania sebanyak lima kali. Karena penasaran Rania pun langsung kembali menelpon nomor ponsel itu, siapa tahu saja ada yang penting sampai nomor itu menelponnya sebanyak lima kali. "Hallo … " sapa Rania ketika teleponnya tersambung. "Rana … ini aku Abrisam. Bisa kita ketemu? Aku ingin mengenal kamu jauh lebih dalam lagi." Rania menatap Adhitama dengan nanar, jika dia meninggalkan Adhitama lalu siapa yang akan menjaga ayahnya? Wanita itu hendak menolak, karena dia harus menjaga ayahnya. Tapi ketika melihat pintu rumah sakit di bila begitu lebar, dan masuklah Rana. Tentu saja Rania langsung mengatakan iya pada Abrisam. Dia bisa menemui Abrisam saat ini juga, dan meminta Abrisam untuk menyebutkan tempatnya. Masalah pernikahannya itu, Adhitama menolaknya. Dia tidak setuju jika Rania harus menggantikan posisi Rana. Tapi Rania mencoba membuat Ad
Abrisam meminta Bagas untuk menceritakan apa yang terjadi ketika dia makan malam bersama dengan Rana..bagaimana wajahnya, bentuk rambutnya, pakaian apa yang dia gunakan. Abrisam ingin sekali mengetahui semua itu. Namun, takdir berkata lain di kehidupan Abrisam. Bagas menceritakan apa yang digunakan Rana ketika bertemu dengan Abrisam. Pertama, saat di cafe bersama dengan keluarga. Rana mengenakan baju yang begitu mahal, penuh dengan perlak-perlik. Kedua, ketika bertemu di taman, Bagas hanya melihat Rana mengenakan dres biasa dengan warna peach. Panjangnya hanya di atas lutut dengan flat shoes berwarna gelap. Tas kecil dan kuncir rambut yang menjadi gelang di tangan kirinya. Ketiga, Batas melihat Rana datang kembali mengenakan baju abu-abu. Abu-abunya tidak seperti abu-abu pada umumnya, ada noda putih, dengan celana hitam panjang yang warnanya hampir mirip dengan bajunya. Dia juga hanya mengenakan flat shoes biasa seperti di taman, dan juga tas kecil. Dan lagi, Rana menguncir rambutnya
Hari ini Adhitama sudah dibolehkan pulang dari rumah sakit. Sebenarnya, belum!! Tapi Adhitama memaksa Rana untuk pulang ke rumah, dengan alasan jika Adhitama tidak betah di rumah sakit. Selain bau obat, dia juga tidak bisa tidur nyenyak. Takut-takut jika kamar sebelah meninggal, atau mendengar sirine ambulan. "Ya ampun Ayah, begitu aja takut. Kan kita juga nantinya bakalan pulang ke pangkuan Bapa." ucap Rania. Adhitama terkekeh. "Ya tapi kan masalahnya Ayah belum siap. Ayah masih pengen lihat putri Ayah bahagia dulu, menemukan pasangan hidupnya yang tepat. Baru Ayah bisa pulang ke pangkuan Bapa dengan damai." Mendengar hal itu Rania pun menahan tangisannya. Dalam hati Rania berterima kasih pas Rana yang telah membantunya. Mungkin jika Rana tidak datang tepat waktu, Rania pasti akan kehilangan Adhitama. Langsung saja Rania memeluk pria tua itu dengan hangat, mengusap air matanya dengan begitu kasar. Agar orang yang dia peluk, tidak tahu jika putri kecilnya ini tengah menangis. "A
Di tengah jalan, hujan tiba-tiba turun. Bahkan ketika masuk ke dalam butik yang dimaksud Rana tadi, Rania harus basah kuyup dulu. Menepuk bajunya yang basah dan juga membenarkan rambutnya, Rania mengintip Abrisam yang ternyata sudah berada di dalam butik. Kalau begini caranya, Rania sendiri yang akan malu ketika bertemu dengan orang banyak. Dia sudah seperti tikus kecemplung selokan. "Sisirnya mana sih, kok nggak ada!" gumam Rania mengacak isi tasnya. Dan nyatanya sisir kecil yang selalu dia bawa pun tidak ada. Dia baru ingat, jika sisir itu berada di tempat ke kerjanya beberapa hari yang lalu. Lebih tepatnya, disaat Cinta meminjam sisir itu, dan Rania lupa memasukkan kembali sisirnya ke dalam tas. "Rana … " Panggilan itu membuat Rania menoleh. Dia pun menatap Bagus yang keluar dari pintu butik. "Bagas … ada apa?" tanya Rania layaknya orang bodoh. Tentu saja pria itu datang untuk menjemput Rania, dan meminta wanita itu untuk masuk ke dalam. Tapi keadaan Rania yang basah kuyup
Tepat jam delapan malam, Rania baru saja sampai di rumah. Dia pun segera masuk ke rumahnya dan mengganti bajunya dengan baju kering. Biasalah, karena masih hujan dan Rania nekat untuk pulang. Akhirnya dia pun menerobos derasnya hujan untuk sampai di rumah. Mana tidak membawa payung sama sekali, dengan harapan Rania tidak akan sakit. "Ayah ini so-- Rana kamu masih disini." Rania memekik kaget ketika melihat Rana yang masih ada di dalam rumahnya. Cepat-cepat Rania meminta maaf pada Rana karena menunggunya cukup lama. Bahkan Rania juga sempat mempersilahkan Rana untuk pulang, karena hari sudah gelap. Sudah dipastikan jika Grace akan khawatir, mengetahui jika Rana tidak pulang ke rumah. Tentu saja hal itu langsung ditolak oleh Rana. Dia akan menginap malam ini, dan kembali pulang esok pagi. Tidak mungkin juga dia pulang dengan keadaan di luaran sana masih hujan. Bukannya apa, tapi Rana malas saja jika harus keluar rumah saat hujan.Hal itu langsung membuat Rania tersenyum. Dia pun lan
Keesokan harinya, Rana pun memilih untuk pulang. Grace terus saja menelponnya sejak setengah jam yang lalu. Dan nyatanya, Rana paling malas jika harus menerima panggilan itu, dan mendengar omelan Grace. Semalam, Rania menceritakan apa saja yang mereka lakukan. Termasuk menurunkan Rania di depan rumah Rana. Dimana Abrisam mengajak Rania ke sebuah butik untuk memesan gaun pernikahan mereka. Dan juga pergi membuat undangan sesuai apa yang Rania inginkan. Katanya, semua sesuai keinginan Rania. Itu sebabnya Rana meminta Rania bercerita dengan sedetail mungkin. "Yaudah aku pulang. Nanti kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin aku. Apalagi Abrisam sekarang udah punya nomer kamu. Yang jelas dia nggak akan telepon aku lagi." kata Rana. Rania mengangguk. "Iya. Kalau dia telepon aku, nanti aku langsung ngabarin kamu." Rana bergumam dia pun langsung mengambil kunci minimnya, dan memilih pergi. Dia harus pulang cepat dan mengurus semuanya. Setelah Rania menikah dengan Abrisam, dia harus segera p