"I know that you're an annoying old man. But ... this is too much. You cross the boundaries, Sir."Nyatanya Nial yang sedari pagi pamit pada Bela ada urusan dengan Jerry itu sebenarnya sedang pergi ke kantor ayahnya. Ini di dalam ruang kerja Hendro. Presiden Direktur Ones Company dan Nial duduk dengan memutar kursi kerjanya. "Apa yang kamu lakukan di sini, Nial? Dan apa yang kamu katakan barusan?"Nial bangun dari duduknya. Dia berjalan pada Hendro dengan menasehati dirinya sendiri agar tidak marah atau mengeluarkan sumpah serapah paling buruk.Tapi mengingat mata putus asa Bela yang hampir mati bunuh diri di pantai, ia tidak bisa melakukannya."Ayah tahu kalau Ayah itu sangat memuakkan? Apa yang kamu katakan pada istriku, pada Bela?"Hendro bergerak tidak nyaman, ia tahu Nial pasti sedang membicarakan pertemuannya dengan Bela tempo hari. Pertengkaran mereka dan hari di mana ia bisa menyaksikan Bela menangis."Maaf!"Hendro menjawab dengan cepat, tidak ingin merusak mood Nial semaki
"Nggak! Jangan!"Bela hampir menangis saat mengatakan itu. Ia melihat Jenni datang dari sisi kanan Nial, dengan sebilah pisau yang dibawanya. Bela tahu Jenni sudah pasti diam-diam mengikutinya karena dia marah setelah Bela memberinya perlawanan dan memberinya batas agar Jenni tahu diri. Tapi kemarahan Jenni yang tadinya ia tujukan pada Bela telah berubah haluan saat ia menjumpai Nial di tempat ini. Bela tahu apa yang ada di pikiran Jenni saat ia melihat Nial.Menghancurkan Nial, tidak ada yang boleh memilikinya jika itu bukan Jenni.Dugaannya benar! Karena Jenni menyerangnya. Membuat Bela berlari secepat kilat melindungi Nial. Maka ... di sinilah dia sekarang. Meski Bela telah memeluk Nial dan menjadikan punggung kecilnya sebagai umpan, namun Jenni memilih melukai yang lain.Wajahnya."BELA!"Nial berseru dalam kecemasan saat melihat sebelah pipi kiri Bela tersayat pisau. Darahnya terpercik hingga mengenai wajah Nial.Meski dalam rasa terkejut yang hebat, dan mengira ini hanyalah
***"Dia memang kehilangan banyak darah. Tapi lukanya nggak parah, Pak Nial."Niko mengatakan demikian saat mereka ada di depan ruang rawat Bela yang sudah dipindah dari ICU. Dua puluh empat jam pasca peristiwa penyerangan.Mereka melihat ke dalam ruangan. Di mana Bela dibiarkan istirahat setelah mendapatkan pengobatan dan jahitan kecil di lukanya yang menganga."Sungguh itu akan baik-baik saja?"Nial mempertegas. Ia takut Niko hanya mengatakan kalimat penghibur agar dia tidak larut dalam kesedihannya."Ya, bekas jahitannya akan menghilang dengan cepat. Aku akan meresepkan gel dan salep untuknya. Dipakai secara rutin, itu akan membantunya dengan cepat pulih.""Nggak perlu operasi revisi?"Niko menoleh padanya. Melihat wajah khawatir Nial yang tampak tak bisa ia sembunyikan. Meski ia bicara dengan nada suara yang ia buat senormal mungkin."Nggak, Pak Nial. Operasi revisi dilakukan pada luka berskala besar atau bekas luka yang kesulitan sembuhnya tinggi. Konsultasilah dengan dokter kuli
Jenni seperti kesetanan dengan ucapan Jerry. Sekarang dia tahu alasan kenapa tidak ada sama sekali lawyer yang datang padanya atau bahkan batang hidung ayah atau keluarganya guna menjenguknya.Itu karena dia sudah dibuang."Selamat menuai apa yang kamu tabur, Nona Jenni. Semoga lantai penjara yang dingin membuka kedua matamu."Jerry melemparkan pandangan bencinya lalu pergi dari sana. Tidak peduli bagaimana jerit marahnya Jenni yang merasa Jerry seperti baru saja memberikannya sebuah hukuman.Jerry melihat Nial sudah ada si samping mobil. Menunggu kedatangannya."Pak Nial akan kembali ke rumah sakit?""Iya.""Baiklah. Ayo aku antar!"Nial hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan. Mereka masuk ke dalam mobil saat Jerry kembali membuka suaranya."Pak Nial kenapa? Merasa bersalah dengan nona?"Nial mendorong napasnya dengan cemas. Diakui atau tidak, memang itulah yang dia rasakan."Ya. Aku selalu saja membuatnya menderita. Apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua ini?""Berada di s
***"Bela? Mas akan mengobati lukamu. Hm?"Hari sudah pagi, berlalu setelah sekian hari ia habiskan di rumah sakit dengan penuh kesedihan karena Bela tidak akan sama lagi saat melihat orang-orang. Atau lebih tepatnya orang-orang yang tidak akan sama lagi saat melihatnya. Bela dapat mendengar suara bariton hangat Nial saat ia duduk di tepi ranjang dengan wajahnya yang tertunduk. Tak bisa ia perlihatkan.Nial datang dari ruang ganti dengan keadaan sudah rapi. Ia mengenakan pakaian yang tadi disiapkan Bela. Kemeja berwarna hitam yang membuat kulit putihnya mencolok sekaligus serasi karena ia mwnjadi semakin tampan.Ia duduk berlutut di hadapan Bela. Tangannya sibuk membuka kotak obat. Mengambil gel yang diresepkan dokter kulit, sama dengan apa yang dikatakan oleh Niko bahwa Bela tidak perlu menjalani operasi revisi. Nial memutar tutupnya, mengoleskannya pada wajah Bela yang hanya menyuguhkan kebisuan tanpa adanya tanda dia akan mengeluarkan sepatah kata. Nial juga dalam kebisuan yang
Panti Asuhan.Itu adalah jawabannya. Itu adalah jawaban dari apa yang tadi ditanyakan Bela pada Nial tentang tempat yang akan mereka kunjungi setelah Nial selesai kerja."Ini panti asuhan tempat Catherine berasal dulu."Nial mengucapkannya saat mereka sampai di sana. Turun dari mobil dengan Nial yang menggenggam erat-erat tangan Bela."Mas!"Bela menahan Nial yang sudah akan membawanya masuk melalui pintu utama. Bela ragu, ia takut anak-anak di sini menangis karena ketakutan melihat sebelah wajahnya yang belum pulih. Jangankan pulih, itu seperti luka yang tidak tahu kapan akan menghilang."Kenapa? Kamu bukannya pernah bilang ingin datang ke sini?""Iya, tapi ... wajahku? Aku takut mereka menangis.""Nggak akan begitu, Bela. Ayo!"Nial mengisyaratkan dengan senyumnya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mereka masuk melalui pintu yang besar dan kokoh. Disambut beberapa staf yang memang dipekerjakan Ones Company di sini, untuk menjaga dan mengelola panti sejak Catherine tiada."Pak Ni
Seorang lelaki tampak dengan kesal saat ia duduk menghadap ke sekat kaca yang ada di hadapannya. Ia mendengus saat melihat seorang perempuan berbaju tahanan yang dibawa masuk lalu duduk di sana.Wajahnya kusut, rambutnya sedikit berantakan dan dia duduk dengan tanpa gairah. Seolah dunianya telah berhenti berputar.Walaupun memang benar demikian adanya."Lihat siapa yang tampak menyedihkan ini? Wah ... ternyata Jennisa Rubiantoro. Aku pikir kamu zombie loh barusan!""Sial! Jangan mengejekku terus, Leonard Bagaskara!"Ya!Perempuan yang ada di balik sekat kaca itu adalah Jenni. Dan tamunya yang datang sepagi ini adalah Leo.Presiden Mahasiswa setelah Niko dari universitas yang sama dengan Bela."Aku senang kamu mengunjungiku, adikku yang paaaling ganteng di dunia ini.""Saat susah kamu menyebutku adik? Biar aku ralat dari awal, adik dari istri kedua ayahmu. Jelas?"Jenni tampak tersenyum sekilas. Memang benar Leo adalah adiknya, tapi dari ibu yang berbeda karena Rafael memiliki dua ist
"Selamat pagi."Nial dengan cepat memutar tubuhnya setelah menurunkan Bela dari atas meja makan. Keadaan menjadi canggung, selagi Jerry yang ada di belakang Sasti dan juga Handoko menahan senyumnya."Apa ... kami mengganggu kalian?"Sasti dengan ragu bertanya. Dijawab dengan gelengan kepala oleh Nial dan juga Bela."Nggak kok, Buk! Mas, ambil bajumu!""Ah, iya."Nial beringsut pergi dari sana. Menghindari kontak mata dengan Handoko yang tersenyum tanpa henti melihat Nial yang menutup lehernya dengan sebelah tangan dan menghilang di balik pintu kamar Bela."Astaga Nial! Kamu ketahuan lagi, 'kan?"Nial merutuki dirinya sendiri. Masuk ke dalam kamar dan membuka lemari Bela. Mengambil kemeja lengan panjang warna hitam yang digantung di sana. Lalu mengambil plester luka dan ia letakkan di lehernya. Menutupi bekas serangan dominan Bela, meskipun itu memberi porsi yang lebih banyak mengundang perhatian.Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada cara lain.Dia keluar dari kamar dan kembali ke rua