***"Dia memang kehilangan banyak darah. Tapi lukanya nggak parah, Pak Nial."Niko mengatakan demikian saat mereka ada di depan ruang rawat Bela yang sudah dipindah dari ICU. Dua puluh empat jam pasca peristiwa penyerangan.Mereka melihat ke dalam ruangan. Di mana Bela dibiarkan istirahat setelah mendapatkan pengobatan dan jahitan kecil di lukanya yang menganga."Sungguh itu akan baik-baik saja?"Nial mempertegas. Ia takut Niko hanya mengatakan kalimat penghibur agar dia tidak larut dalam kesedihannya."Ya, bekas jahitannya akan menghilang dengan cepat. Aku akan meresepkan gel dan salep untuknya. Dipakai secara rutin, itu akan membantunya dengan cepat pulih.""Nggak perlu operasi revisi?"Niko menoleh padanya. Melihat wajah khawatir Nial yang tampak tak bisa ia sembunyikan. Meski ia bicara dengan nada suara yang ia buat senormal mungkin."Nggak, Pak Nial. Operasi revisi dilakukan pada luka berskala besar atau bekas luka yang kesulitan sembuhnya tinggi. Konsultasilah dengan dokter kuli
Jenni seperti kesetanan dengan ucapan Jerry. Sekarang dia tahu alasan kenapa tidak ada sama sekali lawyer yang datang padanya atau bahkan batang hidung ayah atau keluarganya guna menjenguknya.Itu karena dia sudah dibuang."Selamat menuai apa yang kamu tabur, Nona Jenni. Semoga lantai penjara yang dingin membuka kedua matamu."Jerry melemparkan pandangan bencinya lalu pergi dari sana. Tidak peduli bagaimana jerit marahnya Jenni yang merasa Jerry seperti baru saja memberikannya sebuah hukuman.Jerry melihat Nial sudah ada si samping mobil. Menunggu kedatangannya."Pak Nial akan kembali ke rumah sakit?""Iya.""Baiklah. Ayo aku antar!"Nial hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan. Mereka masuk ke dalam mobil saat Jerry kembali membuka suaranya."Pak Nial kenapa? Merasa bersalah dengan nona?"Nial mendorong napasnya dengan cemas. Diakui atau tidak, memang itulah yang dia rasakan."Ya. Aku selalu saja membuatnya menderita. Apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua ini?""Berada di s
***"Bela? Mas akan mengobati lukamu. Hm?"Hari sudah pagi, berlalu setelah sekian hari ia habiskan di rumah sakit dengan penuh kesedihan karena Bela tidak akan sama lagi saat melihat orang-orang. Atau lebih tepatnya orang-orang yang tidak akan sama lagi saat melihatnya. Bela dapat mendengar suara bariton hangat Nial saat ia duduk di tepi ranjang dengan wajahnya yang tertunduk. Tak bisa ia perlihatkan.Nial datang dari ruang ganti dengan keadaan sudah rapi. Ia mengenakan pakaian yang tadi disiapkan Bela. Kemeja berwarna hitam yang membuat kulit putihnya mencolok sekaligus serasi karena ia mwnjadi semakin tampan.Ia duduk berlutut di hadapan Bela. Tangannya sibuk membuka kotak obat. Mengambil gel yang diresepkan dokter kulit, sama dengan apa yang dikatakan oleh Niko bahwa Bela tidak perlu menjalani operasi revisi. Nial memutar tutupnya, mengoleskannya pada wajah Bela yang hanya menyuguhkan kebisuan tanpa adanya tanda dia akan mengeluarkan sepatah kata. Nial juga dalam kebisuan yang
Panti Asuhan.Itu adalah jawabannya. Itu adalah jawaban dari apa yang tadi ditanyakan Bela pada Nial tentang tempat yang akan mereka kunjungi setelah Nial selesai kerja."Ini panti asuhan tempat Catherine berasal dulu."Nial mengucapkannya saat mereka sampai di sana. Turun dari mobil dengan Nial yang menggenggam erat-erat tangan Bela."Mas!"Bela menahan Nial yang sudah akan membawanya masuk melalui pintu utama. Bela ragu, ia takut anak-anak di sini menangis karena ketakutan melihat sebelah wajahnya yang belum pulih. Jangankan pulih, itu seperti luka yang tidak tahu kapan akan menghilang."Kenapa? Kamu bukannya pernah bilang ingin datang ke sini?""Iya, tapi ... wajahku? Aku takut mereka menangis.""Nggak akan begitu, Bela. Ayo!"Nial mengisyaratkan dengan senyumnya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mereka masuk melalui pintu yang besar dan kokoh. Disambut beberapa staf yang memang dipekerjakan Ones Company di sini, untuk menjaga dan mengelola panti sejak Catherine tiada."Pak Ni
Seorang lelaki tampak dengan kesal saat ia duduk menghadap ke sekat kaca yang ada di hadapannya. Ia mendengus saat melihat seorang perempuan berbaju tahanan yang dibawa masuk lalu duduk di sana.Wajahnya kusut, rambutnya sedikit berantakan dan dia duduk dengan tanpa gairah. Seolah dunianya telah berhenti berputar.Walaupun memang benar demikian adanya."Lihat siapa yang tampak menyedihkan ini? Wah ... ternyata Jennisa Rubiantoro. Aku pikir kamu zombie loh barusan!""Sial! Jangan mengejekku terus, Leonard Bagaskara!"Ya!Perempuan yang ada di balik sekat kaca itu adalah Jenni. Dan tamunya yang datang sepagi ini adalah Leo.Presiden Mahasiswa setelah Niko dari universitas yang sama dengan Bela."Aku senang kamu mengunjungiku, adikku yang paaaling ganteng di dunia ini.""Saat susah kamu menyebutku adik? Biar aku ralat dari awal, adik dari istri kedua ayahmu. Jelas?"Jenni tampak tersenyum sekilas. Memang benar Leo adalah adiknya, tapi dari ibu yang berbeda karena Rafael memiliki dua ist
"Selamat pagi."Nial dengan cepat memutar tubuhnya setelah menurunkan Bela dari atas meja makan. Keadaan menjadi canggung, selagi Jerry yang ada di belakang Sasti dan juga Handoko menahan senyumnya."Apa ... kami mengganggu kalian?"Sasti dengan ragu bertanya. Dijawab dengan gelengan kepala oleh Nial dan juga Bela."Nggak kok, Buk! Mas, ambil bajumu!""Ah, iya."Nial beringsut pergi dari sana. Menghindari kontak mata dengan Handoko yang tersenyum tanpa henti melihat Nial yang menutup lehernya dengan sebelah tangan dan menghilang di balik pintu kamar Bela."Astaga Nial! Kamu ketahuan lagi, 'kan?"Nial merutuki dirinya sendiri. Masuk ke dalam kamar dan membuka lemari Bela. Mengambil kemeja lengan panjang warna hitam yang digantung di sana. Lalu mengambil plester luka dan ia letakkan di lehernya. Menutupi bekas serangan dominan Bela, meskipun itu memberi porsi yang lebih banyak mengundang perhatian.Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada cara lain.Dia keluar dari kamar dan kembali ke rua
Bela lari menuju ruang rawat Hendro bersama Jerry yang ada di sampingnya."Apa ayah baik-baik saja?"Bela masuk ke dalam ruangan di mana Hendro ada di sana dengan terbaring tidak berdaya. Ada selang infus di tangan kirinya dan matanya sayu menatap Bela yang datang dan berdiri di sebelah Nial."Bela?"Hendro menyapanya dengan lemah. Bela meraih tangannya dan menggenggamnya. Dingin. Air mata Bela tergenang."Ayah?""Dia baik-baik saja."Nial berkata dengan entengnya, Bela dengan cepat menoleh padanya dan matanya hampir terbelalak keluar dari tempatnya."Apa maksudnya?"Bela memandang Nial dan Hendro bergantian."Dia baik-baik saja, Bel. Dia pingsan karena tekanan darahnya rendah. Dia bilang ingin bertemu denganmu. Dan aku melarangnya. Tapi dia memohon seperti orang yang hampir mati. Lihat! Dia menahan senyumnya sekarang!"Nial mengedikkan dagunya pada Hendro yang tertawa lemah di atas ranjang rawatnya."Kalian bicaralah! Dan Ayah jangan bicara hal yang macam-macam pada Bela! Kalau sam
***"Wah ... jadi benar kata orang kalau ini adalah potongan surga di atas lembah?"Bela kagum melihat landscape mengagumkan tempat ini setibanya di sebuah rumah kecil yang disewa oleh Nial sebagai perjalanan bulan madu mereka."Tapi ada yang lebih cantik, Bel!""Hah?!""Kamu."Nial melingkarkan tangannya pada pinggang Bela yang berdiri di sampingnya. Mengamati setiap sudut tempat yang bahkan jendela kecilnya bisa menunjukkan bagaimana hebatnya pemandangan hijau yang menghampar di luar sana.Lauterbrunnen.Adalah nama kotamadya yang terkenal di swiss. Bukan hanya air terjunnya saja, tapi juga sungai yang mengalir di bawahnya. Warna airnya bisa dikatakan biru muda dan arusnya deras.Perumahan khas milik penduduk yang sebagiannya bisa dibilang dalam ukuran kecil. Namun demikian keadaan di dalamnya manis dan hangat.Sengaja memberikan kehangatan bagi udara dingin yang menyelimuti tempat ini. Jendelanya juga tidak begitu luas. Ukurannya kecil-kecil, bahkan bunga yang ditanam di dalam pot
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele
***Nial membuka matanya, hari sudah pagi. Dengan keadaan dirinya yang terbaring di atas ranjang bulan madunya. Dengan keadaan tanpa pakaian.Ia sama sekali tidak turun dari ranjang sejak dengan Bela kemarin sore. Akh.Mengingatnya saja membuatnya gerah setengah mati bahkan saat pendingin udara dinyalakan di atas sana. Ingatannya kembali terpanggil di saat-saat ia dan Bela memasuki kamar kemarin."Are you sure?" ragu Bela, bertanya memastikan pada Nial bahwa ia diperbolehkan mengambil alih kontrol mulai saat ini sejak Nial tidak bisa mendominasi hubungan ranjang karena ia masih tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak."Yeah, Baby! Take off my clothes!"Jantung Bela berdebar mendengar permintaan Nial agar melucuti pakaiannya. Bela tidak membantahnya dan membuka kancing kemeja Nial satu demi satu. Melihat perutnya yang masih terlilit perban dan belum sepenuhnya bisa dikatakan pulih.Nial hanya tersenyum saat Bela membuka kancing di celana panjang putih yang ia kenakan dan membuatny
Darah lebih kental dari Air. Jika di Swiss Leo menyerang Nial saat semua orang lengah, atau Jenni yang menyerang Bela saat itu, sekarang di sini, di Jakarta, Rafael menyerang Jerry.Tapi Jerry telah meningkatkan kewaspadaannya sepuluh kali lipat. Ia membaca pergerakan Rafael dan secepat mungkin menahan pergelangan tangannya yang membawa pisau cutter."Kamu yang brengsek!"Jerry memuntir tangannya hingga terbalik dan jatuhlah pisau itu. Rafael didorongnya hingga punggungnya terbentur dinding dengan kasar."Untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluarga Nial, dan kali ini padaku. Bayarkan dan tebuslah semuanya, Rafael! Kamu punya kesempatan untuk menyesal."Jerry mengalihkan tangannya dari bahu Rafael ke kerah bajunya."Tapi saat kamu nggak berubah, aku pastikan kerah bajumu ini nggak lagi sama karena kamu akan mendekam di dalam penjara. Do you get it? Get lost you bastard!"Jerry memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Membuat Rafael bergidik ngeri karena dia dalam ancaman yan
"Selamat malam."Jerry datang dan menunduukan kepalanya pada Nial dan juga Bela yang ada di dalam kamar rawat."Selamat malam," balas mereka hampir bersamaan."Pak Nial sudah baikan?""Ya, Jerry. Dari mana kamu seharian? Kamu nggak datang menjengukku loh."Jerry menunjukkan senyumnya yang manis. Tapi Bela dapat melihat ada gurat kemarahan yang ia pendam saat ini."Bisa kita bicara? Hanya berdua saja."Jerry memandang Bela, memohon pengertian dan maaf."Sure, aku akan keluar. Aku akan ngobrol dengan Pak Watson."Bela hanya melemparkan senyumnya lalu memberi tempat untuk Jerry."Sebentar ya, Sayang?" Nial meraih tangannya sebelum ia benar-benar pergi."Iya, Mas. Kalian bicaralah!"Bela melambaikan tangannya sekilas pada Nial sebelum menghilang di balik pintu ruangan."Kenapa, Jerry? Hari ini kamu mengunjungi anak itu?"Nial bertanya sesegera mungkin. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak karena ia ingin dengar apa yang ingin dikatakan oleh Jerry sampai membuat Bela harus pergi dari si