Panti Asuhan.Itu adalah jawabannya. Itu adalah jawaban dari apa yang tadi ditanyakan Bela pada Nial tentang tempat yang akan mereka kunjungi setelah Nial selesai kerja."Ini panti asuhan tempat Catherine berasal dulu."Nial mengucapkannya saat mereka sampai di sana. Turun dari mobil dengan Nial yang menggenggam erat-erat tangan Bela."Mas!"Bela menahan Nial yang sudah akan membawanya masuk melalui pintu utama. Bela ragu, ia takut anak-anak di sini menangis karena ketakutan melihat sebelah wajahnya yang belum pulih. Jangankan pulih, itu seperti luka yang tidak tahu kapan akan menghilang."Kenapa? Kamu bukannya pernah bilang ingin datang ke sini?""Iya, tapi ... wajahku? Aku takut mereka menangis.""Nggak akan begitu, Bela. Ayo!"Nial mengisyaratkan dengan senyumnya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Mereka masuk melalui pintu yang besar dan kokoh. Disambut beberapa staf yang memang dipekerjakan Ones Company di sini, untuk menjaga dan mengelola panti sejak Catherine tiada."Pak Ni
Seorang lelaki tampak dengan kesal saat ia duduk menghadap ke sekat kaca yang ada di hadapannya. Ia mendengus saat melihat seorang perempuan berbaju tahanan yang dibawa masuk lalu duduk di sana.Wajahnya kusut, rambutnya sedikit berantakan dan dia duduk dengan tanpa gairah. Seolah dunianya telah berhenti berputar.Walaupun memang benar demikian adanya."Lihat siapa yang tampak menyedihkan ini? Wah ... ternyata Jennisa Rubiantoro. Aku pikir kamu zombie loh barusan!""Sial! Jangan mengejekku terus, Leonard Bagaskara!"Ya!Perempuan yang ada di balik sekat kaca itu adalah Jenni. Dan tamunya yang datang sepagi ini adalah Leo.Presiden Mahasiswa setelah Niko dari universitas yang sama dengan Bela."Aku senang kamu mengunjungiku, adikku yang paaaling ganteng di dunia ini.""Saat susah kamu menyebutku adik? Biar aku ralat dari awal, adik dari istri kedua ayahmu. Jelas?"Jenni tampak tersenyum sekilas. Memang benar Leo adalah adiknya, tapi dari ibu yang berbeda karena Rafael memiliki dua ist
"Selamat pagi."Nial dengan cepat memutar tubuhnya setelah menurunkan Bela dari atas meja makan. Keadaan menjadi canggung, selagi Jerry yang ada di belakang Sasti dan juga Handoko menahan senyumnya."Apa ... kami mengganggu kalian?"Sasti dengan ragu bertanya. Dijawab dengan gelengan kepala oleh Nial dan juga Bela."Nggak kok, Buk! Mas, ambil bajumu!""Ah, iya."Nial beringsut pergi dari sana. Menghindari kontak mata dengan Handoko yang tersenyum tanpa henti melihat Nial yang menutup lehernya dengan sebelah tangan dan menghilang di balik pintu kamar Bela."Astaga Nial! Kamu ketahuan lagi, 'kan?"Nial merutuki dirinya sendiri. Masuk ke dalam kamar dan membuka lemari Bela. Mengambil kemeja lengan panjang warna hitam yang digantung di sana. Lalu mengambil plester luka dan ia letakkan di lehernya. Menutupi bekas serangan dominan Bela, meskipun itu memberi porsi yang lebih banyak mengundang perhatian.Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada cara lain.Dia keluar dari kamar dan kembali ke rua
Bela lari menuju ruang rawat Hendro bersama Jerry yang ada di sampingnya."Apa ayah baik-baik saja?"Bela masuk ke dalam ruangan di mana Hendro ada di sana dengan terbaring tidak berdaya. Ada selang infus di tangan kirinya dan matanya sayu menatap Bela yang datang dan berdiri di sebelah Nial."Bela?"Hendro menyapanya dengan lemah. Bela meraih tangannya dan menggenggamnya. Dingin. Air mata Bela tergenang."Ayah?""Dia baik-baik saja."Nial berkata dengan entengnya, Bela dengan cepat menoleh padanya dan matanya hampir terbelalak keluar dari tempatnya."Apa maksudnya?"Bela memandang Nial dan Hendro bergantian."Dia baik-baik saja, Bel. Dia pingsan karena tekanan darahnya rendah. Dia bilang ingin bertemu denganmu. Dan aku melarangnya. Tapi dia memohon seperti orang yang hampir mati. Lihat! Dia menahan senyumnya sekarang!"Nial mengedikkan dagunya pada Hendro yang tertawa lemah di atas ranjang rawatnya."Kalian bicaralah! Dan Ayah jangan bicara hal yang macam-macam pada Bela! Kalau sam
***"Wah ... jadi benar kata orang kalau ini adalah potongan surga di atas lembah?"Bela kagum melihat landscape mengagumkan tempat ini setibanya di sebuah rumah kecil yang disewa oleh Nial sebagai perjalanan bulan madu mereka."Tapi ada yang lebih cantik, Bel!""Hah?!""Kamu."Nial melingkarkan tangannya pada pinggang Bela yang berdiri di sampingnya. Mengamati setiap sudut tempat yang bahkan jendela kecilnya bisa menunjukkan bagaimana hebatnya pemandangan hijau yang menghampar di luar sana.Lauterbrunnen.Adalah nama kotamadya yang terkenal di swiss. Bukan hanya air terjunnya saja, tapi juga sungai yang mengalir di bawahnya. Warna airnya bisa dikatakan biru muda dan arusnya deras.Perumahan khas milik penduduk yang sebagiannya bisa dibilang dalam ukuran kecil. Namun demikian keadaan di dalamnya manis dan hangat.Sengaja memberikan kehangatan bagi udara dingin yang menyelimuti tempat ini. Jendelanya juga tidak begitu luas. Ukurannya kecil-kecil, bahkan bunga yang ditanam di dalam pot
Hari sudah malam saat Bela menyadari Nial juga tak kunjung pulang setelah dia dan Jerry berpamitan akan mengurus beberapa hal dengan pemilik rumah karena tas milik Nial--yang modelnya hampir sama dengan pemilik rumah--terbawa olehnya saat datang tadi pagi, sekalian dengan paspornya."Bukannya ini sudah larut? Kenapa dia belum pulang?"Bela bertanya pada dirinya sendiri. Dia ingin menyusul Nial. Tapi kakinya terlampau lelah untuk berjalan karena seharian ini dia sudah hampir mengelilingi kawasan Lauterbrunnen hingga kakinya hampir patah.Ting tong!Suara bel rumah berdentang dan Bela turun dari ranjang. Padahal sedari tadi dia duduk nyaman dengan meluruskan kakinya."Kenapa dia memencet bel? Astaga ... dia mengerjaiku?"Bela turun dari ranjang dan berjalan menuju pintu utama. "Kenapa Mas--"Dia menghentikan kalimatnya dan senyumnya menghilang karena saat pintu terbuka, bukanlah Nial dan Jerry yang ada di sana. Melainkan Leo. Leonard Bagaskara.Berarti Bela tidak salah lihat tadi pagi
"Bisa-bisanya dia bilang begitu!"Bela berjalan keluar dari rumah dengan menendang-nendang kakinya. Ia kesal pada Nial yang dengan entengnya mempermasalahkan bagaimana ia membuka pintu untuk Leo saat ia pergi.Dan penjelasan dengan mengatakan bahwa Bela membukanya itu karena ia menganggap yang memencet bel adalah Nial hanya dianggap angin lalu saja olehnya."Kalau suasana hatinya buruk karena paspornya hilang kenapa dia marah padaku? Harusnya dia marah saja pada pemilik rumah itu."Bela masih belum mau menurunkan rasa kesalnya. Nial telah meluluh-lantahkan mood baiknya menjadi hancur tak berbentuk.Bela terus berjalan, dengan selimut di punggungnya. Berharap rasa kesalnya akan memudar dan dia bisa kembali dengan keadaan lebih baik. Atau lebih tepatnya, orang yang ia tinggalkan di dalam rumah juga bisa memperbaiki suasana hatinya agar ia sadar bahwa ia sedikit banyak telah menyakiti Bela.Bela memandang sekitar. Keadaan sudah cukup lengang karena ini memang hampir tengah malam.Dan se
"Ke mana dia?"Nial mencoba menghubungi Bela, tapi panggilannya tidak diangkat. Ponselnya mati, yang artinya dia tidak bisa menemukan di mana keberadaannya saat ini bahkan saat ia telah melacaknya.Nial gelisah. Ia merasa bersalah.Ia merasa dirinya sudah gila saat mengatakan hal-hal buruk pada Bela. Di tempat harusnya Bela bisa mendapatkan healing terbaik, namun Nial justru menambah luka hatinya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa dia melakukan itu pada perempuan yang hidup dan matinya bahkan rela dia korbankan, demi Nial."Itu gara-gara pemilik rumah itu. Kalau dia nggak menemukan pasporku dan mengembalikannya besok pagi, akan aku patahkan tulang lehernya."Nial menghela napasnya dengan kesal. Ia mengambil sisi kanan jalan setelah keluar dari gerbang rendah rumah yang ia sewa. Ia terus berjalan. Ia harus menemukan Bela. Menengok ke sekitaran yang restoran atau kafenya masih buka. Tapi tidak ada tanda keberadaan perempuan cantik dengan pinggang ramping dan dagu kecilnya. Semua kosong