"Ke mana dia?"Nial mencoba menghubungi Bela, tapi panggilannya tidak diangkat. Ponselnya mati, yang artinya dia tidak bisa menemukan di mana keberadaannya saat ini bahkan saat ia telah melacaknya.Nial gelisah. Ia merasa bersalah.Ia merasa dirinya sudah gila saat mengatakan hal-hal buruk pada Bela. Di tempat harusnya Bela bisa mendapatkan healing terbaik, namun Nial justru menambah luka hatinya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa dia melakukan itu pada perempuan yang hidup dan matinya bahkan rela dia korbankan, demi Nial."Itu gara-gara pemilik rumah itu. Kalau dia nggak menemukan pasporku dan mengembalikannya besok pagi, akan aku patahkan tulang lehernya."Nial menghela napasnya dengan kesal. Ia mengambil sisi kanan jalan setelah keluar dari gerbang rendah rumah yang ia sewa. Ia terus berjalan. Ia harus menemukan Bela. Menengok ke sekitaran yang restoran atau kafenya masih buka. Tapi tidak ada tanda keberadaan perempuan cantik dengan pinggang ramping dan dagu kecilnya. Semua kosong
Bela dibawa ke dalam sebuah tempat yang tidak dia ketahui di mana pastinya. Dia tidak tahu arah karena ini adalah tempat yang asing.Dia di dudukkan dengan paksa di dalam sebuah rumah. Yang sebenarnya tidak terlalu buruk. tidaklah tempat yang gelap atau bahkan temaram. Leo membawanya memasuki sebuah rumah yang tampaknya juga dia sewa selama ada di sini.Tapi tentu saja!Tentu saja ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan observasi atau bahkan mengagumi isi di dalam dan desain interior rumah. Karena Bela dalam bahaya. Leo duduk berseberangan dengannya.Dia tersenyum penuh kemenangan saat menghubungi Nial dan meminta tebusan senilai lima juta dolar.Bela juga dapat mendengar umpatan marah dari Nial saat Leo mengancamnya akan mengembalikan Bela dalam peti mati. Bela dapat mendengar semuanya dengan jelas karena panggilan mereka dalam mode speaker."Biarkan aku melihat istriku!"Suara Nial yang dari seberang telepon terdengar putus asa. "Nial, kamu tahu ini bukan posisimu untuk mengat
…."Ada apa, Pak Nial?"Jerry bertanya dengan cemas setelah mendengar Nial mengumpat tak terkendali dan panggilannya dengan seseorang mati."Itu Leo, Jerry! Dia benar-benar membawa Bela dan meminta tebusan lima juta dolar.""Lalu?""Waktu penyerahannya besok pagi. Kalau aku gagal melakukan kesepakatan ini dia akan mengembalikan Bela di dalam peti mati.""Bajingan itu!""Baik. Berikan saja! Tapi aku harus menghubunginya lagi untuk memastikan di mana keberadaannya saat ini."Tangan Nial bergetar saat kembali melihat ponselnya. Tapi saat itu, laju mobil Jerry berhenti dan pergelangan tangannya di raih olehnya."Jangan, Pak Nial!""Lalu aku harus bagaimana?"Suara Nial menyeriak marah. Dia menatap Jerry dengan mata serigalanya yang putus asa."Kita nggak bisa gegabah. Dengarkan aku! Kita bicarakan ini pada kepolisian setempat--""Tapi dia melarangku untuk--""Apa dia tahu kita akan menghubungi polisi? Nggak, 'kan? Kita datangi dia malam ini, bukan besok pagi. Kalau kita datang malam ini,
Lewat dari dua puluh empat jam. Bela berjalan menuju ruangan di mana Nial dirawat di dalam sana.Ucapan Nial perihal dia yang akan mengorbankan apapun bahkan jika itu nyawanya demi Bela telah terpatri dengan kuat. Sekaligus membuatnya kesakitan.Bela hanya bisa melihatnya di sini, di depan jendela kaca besar dengan keadaan tangannya sendiri yang diperban karena tergores pecahan kaca saat menjadikan dirinya sebagai umpan agar Leo tidak mendekat padanya. Luka itu bertambah parah karena Bela menahan gerakan tangan Leo yang menusuk Nial malam itu.Di lehernya juga tertambal kaca steril, akibat terkena goresan."Kenapa kamu keluar dari kamar rawatmu?"Bela menoleh pada Jerry yang datang dari sisi kanannya, ikut berdiri melihat Nial yang ada di dalam sana."Kak Jerry?""Kamu istirahatlah, Bela! Aku yany akan menjaganya di sini."Jerry memandang Bela yang tampak kusut. Bulan madu yang diharapkan memberikan healing padanya justru malah berubah menjadi malapetaka."Aku takut."Bela mengucapk
"Selamat malam."Jerry datang dan menunduukan kepalanya pada Nial dan juga Bela yang ada di dalam kamar rawat."Selamat malam," balas mereka hampir bersamaan."Pak Nial sudah baikan?""Ya, Jerry. Dari mana kamu seharian? Kamu nggak datang menjengukku loh."Jerry menunjukkan senyumnya yang manis. Tapi Bela dapat melihat ada gurat kemarahan yang ia pendam saat ini."Bisa kita bicara? Hanya berdua saja."Jerry memandang Bela, memohon pengertian dan maaf."Sure, aku akan keluar. Aku akan ngobrol dengan Pak Watson."Bela hanya melemparkan senyumnya lalu memberi tempat untuk Jerry."Sebentar ya, Sayang?" Nial meraih tangannya sebelum ia benar-benar pergi."Iya, Mas. Kalian bicaralah!"Bela melambaikan tangannya sekilas pada Nial sebelum menghilang di balik pintu ruangan."Kenapa, Jerry? Hari ini kamu mengunjungi anak itu?"Nial bertanya sesegera mungkin. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak karena ia ingin dengar apa yang ingin dikatakan oleh Jerry sampai membuat Bela harus pergi dari si
Darah lebih kental dari Air. Jika di Swiss Leo menyerang Nial saat semua orang lengah, atau Jenni yang menyerang Bela saat itu, sekarang di sini, di Jakarta, Rafael menyerang Jerry.Tapi Jerry telah meningkatkan kewaspadaannya sepuluh kali lipat. Ia membaca pergerakan Rafael dan secepat mungkin menahan pergelangan tangannya yang membawa pisau cutter."Kamu yang brengsek!"Jerry memuntir tangannya hingga terbalik dan jatuhlah pisau itu. Rafael didorongnya hingga punggungnya terbentur dinding dengan kasar."Untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluarga Nial, dan kali ini padaku. Bayarkan dan tebuslah semuanya, Rafael! Kamu punya kesempatan untuk menyesal."Jerry mengalihkan tangannya dari bahu Rafael ke kerah bajunya."Tapi saat kamu nggak berubah, aku pastikan kerah bajumu ini nggak lagi sama karena kamu akan mendekam di dalam penjara. Do you get it? Get lost you bastard!"Jerry memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Membuat Rafael bergidik ngeri karena dia dalam ancaman yan
***Nial membuka matanya, hari sudah pagi. Dengan keadaan dirinya yang terbaring di atas ranjang bulan madunya. Dengan keadaan tanpa pakaian.Ia sama sekali tidak turun dari ranjang sejak dengan Bela kemarin sore. Akh.Mengingatnya saja membuatnya gerah setengah mati bahkan saat pendingin udara dinyalakan di atas sana. Ingatannya kembali terpanggil di saat-saat ia dan Bela memasuki kamar kemarin."Are you sure?" ragu Bela, bertanya memastikan pada Nial bahwa ia diperbolehkan mengambil alih kontrol mulai saat ini sejak Nial tidak bisa mendominasi hubungan ranjang karena ia masih tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak."Yeah, Baby! Take off my clothes!"Jantung Bela berdebar mendengar permintaan Nial agar melucuti pakaiannya. Bela tidak membantahnya dan membuka kancing kemeja Nial satu demi satu. Melihat perutnya yang masih terlilit perban dan belum sepenuhnya bisa dikatakan pulih.Nial hanya tersenyum saat Bela membuka kancing di celana panjang putih yang ia kenakan dan membuatny
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele